Bab 11 Rasa Lega
by Rivaldo
13:53,Jun 28,2021
Saat ini Andre dan Sahabat-sahabat Darel sudah berada di rumah sakit. Tepatnya mereka menunggu di depan ruang UGD dengan wajah sudah tampak kacau. Andre yang matanya sudah sembab karena menangis melihat kondisi adik kesayangan yang dalam kondisi buruk.
"Kakak mohon bertahanlah, Rel!" batin Andre.
Lalu detik kemudian terdengar suara bunyi ponsel berdering. Andre mengambil ponselnya tersebut dan langsung menjawab panggilan tersebut.
"Hallo, Kak Davian," jawab Andre dengan suara yang bergetar.
***
Di kediaman keluarga Wilson seluruh anggota keluarga, kecuali Agatha dan ketujuh putranya tampak kacau. Mereka sedang memikirkan kedua anggota keluarga mereka yang tidak bisa dihubungi.
"Kalian ada dimana, sayang!" batin Adelina gelisah.
"Semoga kalian baik-baik saja," batin Arvind.
Davian mencoba kembali untuk menghubungi Andra sekali lagi dan siapa tahu kali ini panggilan tersebut dijawab oleh adiknya.
Panggilan tersambung...
"Hallo, Kak Davian."
"Aach, syukurlah. Akhirnya kau menjawab panggilan Kakak. Kau dan Darel ada dimana sekarang? Kenapa belum kembali juga?" tanya Davian khawatir.
Andre tidak langsung menjawab pertanyaan dari Kakak tertuanya itu.
"Hiks.."
"Hallo, Andre. Kau dengar Kakak tidak, hah? Ada apa? Kenapa kau menangis?!" teriak Davian.
"Davian, panggilannya diloudspeaker. Biar kami juga bisa mendengarnya juga," pinta Salma.
Davian pun meloudspeaker panggilannya tersebut.
"Andre, sayang. Ini Mama, nak. Sekarang kau dan Darel ada dimana? Jangan buat kami khawatir, Andre." Adelina berbicara dengan suara bergetarnya. Adelina tengah menangis memikirkan dua putranya, apalagi putra bungsunya.
"Hiks... Mama.. a-ku.. aku ada di rumah sakit Asklepios Klinik Barmbek. Da-darel kecelakaan. Da-darel ditabrak mobil.. Hiks."
"Apaa?!" teriak mereka semua.
"Mama aku takut, Ma.. hiks." isak Andra di seberang telepon.
"Andre. Kau dengar Papa, nak. Tenangkan dirimu, oke! Semuanya akan baik-baik saja. Papa dan yang lainnya akan segera ke rumah sakit. Jadi Papa minta padamu untuk tetap tenang. MENGERTI." tutur Arvind.
Tidak ada jawaban dari Andre. Dan detik kemudian panggilan terputus.
TUTT!
TUTT!
"Lebih baik kita segera ke rumah sakit. Kasihan Andre. Pasti saat ini dirinya shock atas apa yang menimpa Darel!" ucap Sandy.
Setelah itu, mereka semua pun pergi meninggalkan kediaman menuju rumah sakit.
***
Andre saat ini masih menangis. Dirinya terduduk di lantai. Keadaan tampak sangat kacau.
"Darel," batin Andre.
"Andre," panggil Arvind langsung memeluk putranya.
"Papa," lirih Andre yang menatap wajah ayahnya dalam keadaan kacau.
"Tenanglah. Semua akan baik-baik saja," hibur Arvind.
Mereka yang melihat keadaan Andre sungguh sangat tidak tega. Matanya yang sembab, hidungnya yang memerah, baju yang sudah berlumuran darah.
Davian menghampiri Andre adik keempatnya. "Hei. Kau jelek sekali, hum! Darel akan baik-baik saja. Kau tahukan, adik kita itu sungguh kuat. Jadi dia pasti akan baik-baik saja. Kau percayakan?"
Andre menatap wajah Kakak tertuanya itu. "Aku percaya, Kak. Tapi aku tidak bisa membohongi hatiku kalau saat ini aku benar-benar takut. Takut kalau Darel kenapa-kenapa?"
"Kita berdoa yang terbaik untuknya," ucap Davian.
CKLEK!
Pintu UGD di buka oleh seseorang. Dan terlihat seorang dokter keluar. Dia adalah Dokter Fayyadh sekaligus Dokter keluarga Wilson dan sahabat dari Arvind Wilson.
"Fayyadh. Bagaimana keadaan putraku. Dia baik-baik sajakan? Putraku tidak apa-apa kan, Fayyadh?" tanya Arvind bertubi-tubi tanpa jeda.
"Hei, tenanglah. Banyak sekali pertanyaanmu itu, Arvind!" ucap Fayyadh sambil tersenyum. "Putra manismu itu baik-baik saja. Hanya luka-luka luar saja yang dialaminya. Tidak ada luka serius. Maupun luka dalam. Tapi ada sedikit masalah disini. Luka lama di kepalanya mengalami benturan keras. Ini luka kedua yang didapat dan ditempat yang sama. Untuk saat ini aku bisa bilang, dia baik-baik saja. Selanjutnya kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada putramu? Kita lihat perkembangannya selama dua minggu ini," tutur Fayyadh.
"Kalian bisa melihatnya saat dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Kalau putramu sudah sadar, segera beritahuku. Kalau begitu aku permisi dulu," ucap Fayyadh.
Arvind mengangguk tanda mengerti.
***
Sekarang mereka semua sudah berada di ruang rawat Darel. Mereka semua menangis melihat kesayangan mereka terbaring lemah di ranjang pesakitan. Hidungnya yang di pasang selang nasal oksigen canula. Tangan kirinya tertancap infus. Kepala dan lengan kanannya di perban.
Adelina duduk di samping ranjang Darel. Tangannya menggenggam lembut tangan putra bungsunya.
"Sayang. Ini Mama. Bukalah matamu, nak."
"Hei, Jagoan Papa. Ini Papa sayang," lirih Arvind yang tangannya membelai rambut putranya yang diperban dengan lembut dan kemudian mencium.
Andre membelai kepala
adiknya yang diperban dengan lembut, lalu memberikan kecupan di keningnya yang kedua kalinya.
"Darel. Maafkan Kakak. Kakak sudah lalai menjagamu. Seharusnya Kakak menemanimu dan tidak membiarkanmu pergi sendirian," lirih Andre yang meneteskan air matanya.
"Sayang, sudahlah. Jangan seperti ini. Ini bukanlah salahmu. Kalau adikmu sampai mendengarnya, dia pasti akan marah padamu. Ini musibah, nak." Arvind berusaha menenangkan putranya kelimanya itu.
Davian dan saudara-saudaranya yang lain mengerubungi ranjang Darel. Mereka secara bergantian memberikan kecupan di kepala Darel yang diperban dan membisikkan kata-kata sayang di telinganya.
"Kami menyayangimu, Rel. Cepatlah bangun."
"Oh ya. Kalian siapa??" tanya Evita yang sadar saat melihat Kenzo dan yang lainnya berada di ruang rawat Darel.
"Kami sahabatnya Darel, Bi!" jawab Kenzo.
"Ooh. Jad kalian sahabat-sahabatnya, Darel. Terima kasih, ya sudah membantu Kakaknya Darel membawa Darel ke rumah sakit," tutur Evita.
"Bibi tidak perlu berterima kasih pada kami. Kan Darel sahabat kami. Jadi kami akan selalu berada disamping Darel. Dan akan selalu ada untuknya," jawab Azri.
Evita tersenyum mendengarnya. Begitu juga dengan anggota keluarga Darel yang lainnya.
"Oh ya. Kalau begitu kami pamit pulang dulu Paman, Bibi, Kakek, Kak. Nanti kami akan kesini lagi," ucap Brian mewakili yang lain.
"Terima kasih, ya kalian sudah menolong Darel dan menemani Kakaknya Darel," ucap Adelina lembut
"Sama-sama, Bi. Kalau begitu kami pamit!" seru Kenzo dan mereka pun pergi meninggalkan ruang rawat Darel.
***
Di kediaman Wilson, Agatha sedang duduk santai dengan wajah yang tersirat kebahagiaan. Saingannya sekarang ini terbaring tak berdaya di rumah sakit.
"Darel. Sudah kubilang jangan melawanku. Tapi kau masih saja keras kepala. Jadi rasakan sekarang apa yang sudah menimpamu. Aku tak masalah kalau kau masih hidup. Karena aku juga tak ingin melihatmu mati begitu cepat. Aku ingin bermain-main denganmu terlebih dahulu. Aku belun mendapatkan apa yang aku mau. Setelah semua ditanganku. Barulah kau aku singkirkan, Darel Wilson. " Agatha monolog.
***
Suasana di ruang rawat Darel tampak ramai. Dimana seluruh anggota keluarga, kecuali Agatha dan ketujuh putra-putranya berkumpul. Termasuk William Wilson. Mereka memutuskan untuk tetap menunggu Darel sampai sadar. Setelah Darel sadar dan dipastikan keadaannya baik-baik saja, baru mereka akan pulang. Supaya rasa khawatir dan panik mereka hilang seratus persen.
"Ma, Pa. Kenapa Darel belum bangun juga? Darel baik-baik sajakan? Darel tidak luka parahkan?" tanya Raffa bertubi-tubi.
Raffa sangat amat menyayangi Darel. Walau dirinya sering dan hobi menjahili adiknya. Tapi kalau adiknya sudah diserang sakit, dirinyalah yang paling takut dan khawatir. Takut kalau adiknya kenapa-kenapa?
"Sayang! Dengarkan Papa. Adikmu ini anak yang kuat. Jagoan Papa, jagoan kamu dan jagoan kita semua. Papa yakin adikmu baik-baik saja," hibur Arvind sambil memeluk putranya.
Saat mereka sibuk dengan pikiran masing-masing dikarenakan rasa khawatir terhadap sibungsu, lalu mereka dikejutkan dengan suara lenguhan dari Darel.
"Eeuugghhh.."
Mereka mengalihkan atensinya menatap Darel.
"Darel!" seru Mereka.
Berlahan Darek membuka kedua matanya, sembari mengerjap-ngerjapkan mata menyesuaikan cahaya yang masuk dalam matanya dan beradaptasi dengan ruangan kamar yang bernuansa putih. Adelina membelai lembut kepala putranya.
"Sayang, hei!"
"Mama. Papa."
"Syukurlah, Akhirnya kamu sadar juga, sayang!" seru Arvind, lalu mencium kepala Darel.
"Apa ada yang sakit, sayang?" tanya Adelina yang masih menggenggam tangan putra bungsunya.
"Sa-kit ma. Tapi hanya sedikit," jawab Darel pelan tapi masih bisa didengar oleh mereka semua.
"Cucu kakek memang kuat dan hebat," puji Antony sambil mengacungkan dua jempolnya.
"Kakek juga hebat," balas Darel. Mereka semua tersenyum bahagia.
"Kakak mohon bertahanlah, Rel!" batin Andre.
Lalu detik kemudian terdengar suara bunyi ponsel berdering. Andre mengambil ponselnya tersebut dan langsung menjawab panggilan tersebut.
"Hallo, Kak Davian," jawab Andre dengan suara yang bergetar.
***
Di kediaman keluarga Wilson seluruh anggota keluarga, kecuali Agatha dan ketujuh putranya tampak kacau. Mereka sedang memikirkan kedua anggota keluarga mereka yang tidak bisa dihubungi.
"Kalian ada dimana, sayang!" batin Adelina gelisah.
"Semoga kalian baik-baik saja," batin Arvind.
Davian mencoba kembali untuk menghubungi Andra sekali lagi dan siapa tahu kali ini panggilan tersebut dijawab oleh adiknya.
Panggilan tersambung...
"Hallo, Kak Davian."
"Aach, syukurlah. Akhirnya kau menjawab panggilan Kakak. Kau dan Darel ada dimana sekarang? Kenapa belum kembali juga?" tanya Davian khawatir.
Andre tidak langsung menjawab pertanyaan dari Kakak tertuanya itu.
"Hiks.."
"Hallo, Andre. Kau dengar Kakak tidak, hah? Ada apa? Kenapa kau menangis?!" teriak Davian.
"Davian, panggilannya diloudspeaker. Biar kami juga bisa mendengarnya juga," pinta Salma.
Davian pun meloudspeaker panggilannya tersebut.
"Andre, sayang. Ini Mama, nak. Sekarang kau dan Darel ada dimana? Jangan buat kami khawatir, Andre." Adelina berbicara dengan suara bergetarnya. Adelina tengah menangis memikirkan dua putranya, apalagi putra bungsunya.
"Hiks... Mama.. a-ku.. aku ada di rumah sakit Asklepios Klinik Barmbek. Da-darel kecelakaan. Da-darel ditabrak mobil.. Hiks."
"Apaa?!" teriak mereka semua.
"Mama aku takut, Ma.. hiks." isak Andra di seberang telepon.
"Andre. Kau dengar Papa, nak. Tenangkan dirimu, oke! Semuanya akan baik-baik saja. Papa dan yang lainnya akan segera ke rumah sakit. Jadi Papa minta padamu untuk tetap tenang. MENGERTI." tutur Arvind.
Tidak ada jawaban dari Andre. Dan detik kemudian panggilan terputus.
TUTT!
TUTT!
"Lebih baik kita segera ke rumah sakit. Kasihan Andre. Pasti saat ini dirinya shock atas apa yang menimpa Darel!" ucap Sandy.
Setelah itu, mereka semua pun pergi meninggalkan kediaman menuju rumah sakit.
***
Andre saat ini masih menangis. Dirinya terduduk di lantai. Keadaan tampak sangat kacau.
"Darel," batin Andre.
"Andre," panggil Arvind langsung memeluk putranya.
"Papa," lirih Andre yang menatap wajah ayahnya dalam keadaan kacau.
"Tenanglah. Semua akan baik-baik saja," hibur Arvind.
Mereka yang melihat keadaan Andre sungguh sangat tidak tega. Matanya yang sembab, hidungnya yang memerah, baju yang sudah berlumuran darah.
Davian menghampiri Andre adik keempatnya. "Hei. Kau jelek sekali, hum! Darel akan baik-baik saja. Kau tahukan, adik kita itu sungguh kuat. Jadi dia pasti akan baik-baik saja. Kau percayakan?"
Andre menatap wajah Kakak tertuanya itu. "Aku percaya, Kak. Tapi aku tidak bisa membohongi hatiku kalau saat ini aku benar-benar takut. Takut kalau Darel kenapa-kenapa?"
"Kita berdoa yang terbaik untuknya," ucap Davian.
CKLEK!
Pintu UGD di buka oleh seseorang. Dan terlihat seorang dokter keluar. Dia adalah Dokter Fayyadh sekaligus Dokter keluarga Wilson dan sahabat dari Arvind Wilson.
"Fayyadh. Bagaimana keadaan putraku. Dia baik-baik sajakan? Putraku tidak apa-apa kan, Fayyadh?" tanya Arvind bertubi-tubi tanpa jeda.
"Hei, tenanglah. Banyak sekali pertanyaanmu itu, Arvind!" ucap Fayyadh sambil tersenyum. "Putra manismu itu baik-baik saja. Hanya luka-luka luar saja yang dialaminya. Tidak ada luka serius. Maupun luka dalam. Tapi ada sedikit masalah disini. Luka lama di kepalanya mengalami benturan keras. Ini luka kedua yang didapat dan ditempat yang sama. Untuk saat ini aku bisa bilang, dia baik-baik saja. Selanjutnya kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada putramu? Kita lihat perkembangannya selama dua minggu ini," tutur Fayyadh.
"Kalian bisa melihatnya saat dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Kalau putramu sudah sadar, segera beritahuku. Kalau begitu aku permisi dulu," ucap Fayyadh.
Arvind mengangguk tanda mengerti.
***
Sekarang mereka semua sudah berada di ruang rawat Darel. Mereka semua menangis melihat kesayangan mereka terbaring lemah di ranjang pesakitan. Hidungnya yang di pasang selang nasal oksigen canula. Tangan kirinya tertancap infus. Kepala dan lengan kanannya di perban.
Adelina duduk di samping ranjang Darel. Tangannya menggenggam lembut tangan putra bungsunya.
"Sayang. Ini Mama. Bukalah matamu, nak."
"Hei, Jagoan Papa. Ini Papa sayang," lirih Arvind yang tangannya membelai rambut putranya yang diperban dengan lembut dan kemudian mencium.
Andre membelai kepala
adiknya yang diperban dengan lembut, lalu memberikan kecupan di keningnya yang kedua kalinya.
"Darel. Maafkan Kakak. Kakak sudah lalai menjagamu. Seharusnya Kakak menemanimu dan tidak membiarkanmu pergi sendirian," lirih Andre yang meneteskan air matanya.
"Sayang, sudahlah. Jangan seperti ini. Ini bukanlah salahmu. Kalau adikmu sampai mendengarnya, dia pasti akan marah padamu. Ini musibah, nak." Arvind berusaha menenangkan putranya kelimanya itu.
Davian dan saudara-saudaranya yang lain mengerubungi ranjang Darel. Mereka secara bergantian memberikan kecupan di kepala Darel yang diperban dan membisikkan kata-kata sayang di telinganya.
"Kami menyayangimu, Rel. Cepatlah bangun."
"Oh ya. Kalian siapa??" tanya Evita yang sadar saat melihat Kenzo dan yang lainnya berada di ruang rawat Darel.
"Kami sahabatnya Darel, Bi!" jawab Kenzo.
"Ooh. Jad kalian sahabat-sahabatnya, Darel. Terima kasih, ya sudah membantu Kakaknya Darel membawa Darel ke rumah sakit," tutur Evita.
"Bibi tidak perlu berterima kasih pada kami. Kan Darel sahabat kami. Jadi kami akan selalu berada disamping Darel. Dan akan selalu ada untuknya," jawab Azri.
Evita tersenyum mendengarnya. Begitu juga dengan anggota keluarga Darel yang lainnya.
"Oh ya. Kalau begitu kami pamit pulang dulu Paman, Bibi, Kakek, Kak. Nanti kami akan kesini lagi," ucap Brian mewakili yang lain.
"Terima kasih, ya kalian sudah menolong Darel dan menemani Kakaknya Darel," ucap Adelina lembut
"Sama-sama, Bi. Kalau begitu kami pamit!" seru Kenzo dan mereka pun pergi meninggalkan ruang rawat Darel.
***
Di kediaman Wilson, Agatha sedang duduk santai dengan wajah yang tersirat kebahagiaan. Saingannya sekarang ini terbaring tak berdaya di rumah sakit.
"Darel. Sudah kubilang jangan melawanku. Tapi kau masih saja keras kepala. Jadi rasakan sekarang apa yang sudah menimpamu. Aku tak masalah kalau kau masih hidup. Karena aku juga tak ingin melihatmu mati begitu cepat. Aku ingin bermain-main denganmu terlebih dahulu. Aku belun mendapatkan apa yang aku mau. Setelah semua ditanganku. Barulah kau aku singkirkan, Darel Wilson. " Agatha monolog.
***
Suasana di ruang rawat Darel tampak ramai. Dimana seluruh anggota keluarga, kecuali Agatha dan ketujuh putra-putranya berkumpul. Termasuk William Wilson. Mereka memutuskan untuk tetap menunggu Darel sampai sadar. Setelah Darel sadar dan dipastikan keadaannya baik-baik saja, baru mereka akan pulang. Supaya rasa khawatir dan panik mereka hilang seratus persen.
"Ma, Pa. Kenapa Darel belum bangun juga? Darel baik-baik sajakan? Darel tidak luka parahkan?" tanya Raffa bertubi-tubi.
Raffa sangat amat menyayangi Darel. Walau dirinya sering dan hobi menjahili adiknya. Tapi kalau adiknya sudah diserang sakit, dirinyalah yang paling takut dan khawatir. Takut kalau adiknya kenapa-kenapa?
"Sayang! Dengarkan Papa. Adikmu ini anak yang kuat. Jagoan Papa, jagoan kamu dan jagoan kita semua. Papa yakin adikmu baik-baik saja," hibur Arvind sambil memeluk putranya.
Saat mereka sibuk dengan pikiran masing-masing dikarenakan rasa khawatir terhadap sibungsu, lalu mereka dikejutkan dengan suara lenguhan dari Darel.
"Eeuugghhh.."
Mereka mengalihkan atensinya menatap Darel.
"Darel!" seru Mereka.
Berlahan Darek membuka kedua matanya, sembari mengerjap-ngerjapkan mata menyesuaikan cahaya yang masuk dalam matanya dan beradaptasi dengan ruangan kamar yang bernuansa putih. Adelina membelai lembut kepala putranya.
"Sayang, hei!"
"Mama. Papa."
"Syukurlah, Akhirnya kamu sadar juga, sayang!" seru Arvind, lalu mencium kepala Darel.
"Apa ada yang sakit, sayang?" tanya Adelina yang masih menggenggam tangan putra bungsunya.
"Sa-kit ma. Tapi hanya sedikit," jawab Darel pelan tapi masih bisa didengar oleh mereka semua.
"Cucu kakek memang kuat dan hebat," puji Antony sambil mengacungkan dua jempolnya.
"Kakek juga hebat," balas Darel. Mereka semua tersenyum bahagia.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved