Bab 24 Masalah Yang Rumit
by Rivaldo
10:56,Jun 30,2021
Semua anggota keluarga sudah pulang dari kegiatan mereka diluar. Seperti dari kantor, butik, toko, kampus dan sekolah. Sebagai ada yang di kamar dan sebagian ada yang duduk di sofa ruang tengah. Ada dua anggota keluarga mereka yang belum berada di rumah. Mereka adalah Ghali Wilson dan Darel Wilson.
"Kok Darel dan Kak Ghali belum kembali. Ini sudah pukul berapa?" tanya Raffa saat melihat adik bungsunya dan kakak ketiganya belum kembali.
"Mungkin sebentar lagi, Raffa." Evan menjawab pertanyaan dari Raffa.
"Tapi ini sudah pukul dua siang, Van. Aku takut terjadi sesuatu pada mereka berdua terutama Darel." Raffa sangat mengkhawatirkan kedua saudaranya itu.
"Raffa. Jangan berpikiran seperti itu, sayang. Semoga adikmu dan kakakmu baik-baik saja," sela Adelina.
"Kalian dimana sayang?" batin Adelina.
Davian menghubungi ponsel Ghali. Tapi hasilnya nihil. Ponsel adiknya itu tidak aktif. Lalu kemudian menghubungi ponsel sibungsu. Tapi hasilnya sama saja. Ponselnya sibungsu juga tidak aktif.
"Aaaa... sial! Mereka berdua pada kompak lagi. Ponsel mereka tidak aktif!" teriak frustasi Davian.
Mereka yang ada di ruang tengah menatap Davian.
"Davian, sudahlah. Mungkin ponsel mereka habis daya. Makanya tidak bisa dihubungi. Kita berdoa saja semoga mereka baik-baik saja," ucap Arvind pada putra sulungnya.
"Semoga kalian baik-baik saja, nak!" batin Arvind.
Saat mereka tengah memikirkan Darel dan Ghali. Terdengarlah suara klason mobil.
TIN!
TIN!
"Nah, itu mereka pulang!" seru Daksa.
"Haaaahh." Mereka semua bernafas lega karena yang dinantikan kembali dengan selamat.
TING!
TONG!
CKLEK!
Pintu di buka oleh salah satu pelayan. Setelah pintu itu terbuka. Darel dan Ghali langsung masuk ke dalam rumah mewah tersebut.
Darel dengan wajah yang ditekuk langsung melangkah menuju kamarnya dan menghiraukan anggota keluarganya yang sedang menatapnya.
"Ghali. Kenapa dengan adikmu?" tanya Arvind.
Ghali melihat wajah ayahnya. Saat ingin membuka suara, Ghali melirik kearah sang Kakek yang juga menatapnya, lalu Ghali kembali menatap wajah ayahnya.
"Nanti saja kita bicarakan, Pa. Aku lelah dan mau istirahat," jawab Ghali.
Setelah itu, Ghali pun pergi meninggalkan anggota keluarganya yang masih berdiri menatap kepergiannya
"Ada apa dengan Darel dan Kak Ghali?" tanya Alvaro.
"Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan," sela Axel.
"Apalagi tadi wajah Darel yang ditekuk begitu. Sepertinya Darel habis menangis," sela Vano.
"Sudah, sudah. Nanti saja kita tanyakan pada mereka. Untuk saat ini biarkan mereka istirahat dan jangan diganggu," ujar Sandy.
Semuanya pun mengangguk tanda setuju. Walau hati mereka saat ini tidak tenang. Terutama Adelina, sang Ibu.
***
Seluruh anggota keluarga Wilson, kecuali Agatha dan ketujuh putranya sudah berkumpul di ruang tengah. Mereka saat ini tengah membahas tentang Darel yang pulang dari sekolah dalam keadaan menangis. Yang jadi korban interogasinya adalah Ghali.
"Ghali. Katakan pada Papa. Apa yang terjadi pada Darel? Kenapa Darel pulang dalam keadaan lesu dan mata sembab?" tanya Arvind.
"Intinya Darel sangat lelah dan terpukul dengan semua ini. Darel mengeluh dan mengadu padaku kalau dia ingin pulang ke rumah kita," jawab Ghali.
"Pa. Apa yang harus kita lakukan? Aku tidak mau Darel kenapa-kenapa," ucap dan tanya Daffa.
"Pa," panggil Arvind pada ayahnya, Antony Wilson.
Antony melihat kearah putra sulungnya. "Papa tahu apa yang akan kau tanyakan, Arvind. Papa akan tunggu Darel menemui Papa dan berbicara dengan Papa. Papa akan dengar sendiri keputusannya. Apapun keputusannya, Papa akan penuhi."
Setelah mengatakan hal itu, Antony pergi meninggalkan anak, menantu dan cucu-cucunya menuju kamarnya.
"Masalah makin rumit saja," ucap Daksa Jecolyn.
"Ya. Kau benar, Daksa. Kita dibuat bingung dengan keduanya. Kita tidak tahu harus mendukung siapa?" sahut Sandy.
"Aku sangat tahu tripikal Papa. Sekalipun nanti Papa menghargai keputusan putra bungsuku. Tapi keputusan Papa yang awalnya ingin menghibahkan seluruh kekayaannya untuk orang lain akan tetap dilakukannya," saut Arvind.
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Paman?" tanya Dario.
"Paman juga bingung, Dario." Arvind menjawab dengan wajah sedih.
"Kalau aku boleh jujur. Aku tidak mau sampai kehilangan rumah ini. Rumah ini banyak kenangannya. Kenangan saat kita bersama Mama. Kenangan saat kita masih kecil-kecil dulu. Di rumah ini tempat kita dibesarkan," sahut Evita.
Semuanya diam. Semuanya bingung. Mereka tidak tahu harus mengambil keputusan apa? Tanpa mereka sadari. Sedari tadi Darel mendengar semua yang dibicarakan oleh anggota keluarganya. Setelah Darel mendengar apa yang dibicarakan oleh anggota keluarganya, Darel kembali ke kamarnya.
"Lebih baik kita ke kamar Darel. Saat Darel pulang sekolah, kita belum menemuinya!" seru Evan.
Mereka semua mengangguk. Lalu mereka pun pergi meninggalkan anggota keluarga menuju kamarnya sibungsu.
Darel saat ini sedang berdiri di balkon kamarnya. Pikiran benar-benar kacau dan bingung. Semua perkataan anggota keluarganya terngiang-ngiang di pikirannya.
"Papa tahu apa yang akan kau tanyakan, Arvind. Papa akan tunggu Darel menemui Papa dan berbicara dengan Papa. Papa akan dengar sendiri keputusannya. Apapun keputusannya, Papa akan penuhi."
Setelah mengatakan hal itu, Antony pergi meninggalkan anak, menantu dan cucu-cucunya menuju kamarnya.
"Masalah makin rumit saja," ucap Daksa Jecolyn.
"Ya. Kau benar, Daksa. Kita dibuat bingung dengan keduanya. Kita tidak tahu harus mendukung siapa?" ucap Sandy
"Aku sangat tahu tripikal Papa. Sekalipun nanti Papa menghargai keputusan putra bungsuku, tapi keputusan Papa yang awalnya ingin menghibahkan seluruh kekayaannya untuk orang lain akan tetap dilakukannya," ucap Arvind.
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Paman?" tanya Dario.
"Paman juga bingung, Dario." Arvind menjawab pertanyaan Dario dengan wajah sedih.
"Kalau aku boleh jujur. Aku tidak mau sampai kehilangan rumah ini. Rumah ini banyak kenangannya. Kenangan saat kita bersama Mama. Kenangan saat kita masih kecil-kecil dulu. Di rumah ini tempat kita dibesarkan," sahut Evita.
CKLEK!
Pintu kamarnya di buka dan masuklah Davian dan adik-adiknya ke kamar sibungsu. Sementara sang pemilik kamar tak menyadarinya kedatangan mereka.
Ketika mereka berada di dalam kamar adik bungsunya, mereka semua dapat melihat sibungsu kesayangan mereka sedang berdiri di balkon.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku benar-benar lelah dengan semua ini. Aku ingin menyerah, tapi kasihan Paman dan Bibi. Mereka pasti akan sedih kehilangan rumah ini. Apalagi Papa. Kalau aku tetap disini, aku dan Mama akan selalu jadi bualan mereka." Darel berbicara dengan pandangannya melihat ke langit.
"Kak. Aku tidak tega melihat Darel seperti ini. Kalau Darel sampai jatuh sakit hanya gara-gara memikirkan masalah ini, bagaimana?" ucap dan tanya Raffa.
"Iya, Kak. Apalagi Darel itu gampang sekali jatuh sakit," sela Evan.
Mereka memperhatikan Darel dengan perasaan sedih dan iba.
"Kenapa Tuhan menciptakan segerombolan tikus-tikus seperti Bibi
Agatha dan ketujuh putranya lahir ke dunia ini kalau nyatanya hidup mereka hanya dihabiskan untuk menyakiti orang lain? Seandainya saja aku punya kekuatan akan aku jadikan mereka tikus-tikus beneran. Lalu aku kerangkeng mereka semua," tutur Darel kesal.
Para kakak-kakaknya tersenyum mendengar penuturan darinya. Mereka pun memutuskan untuk menghampiri sang adik. Tapi saat kaki mereka ingin melangkah menghampirinya, tiba-tiba terdengar suara seekor kucing.
MEOONG!
Kucing itu berada di kaki Darel yang sedang mengendus-endus kepalanya. Darel yang merasakan sesuatu di kakinya pun mengalihkan pandangannya ke bawah. Terukir senyuman manis di bibir Darel saat melihat seekor kucing yang begitu manis berada di kakinya itu. Lalu Darel pun berjongkok.
"Hei. Kenapa kau ada disini? Dari mana datangnya? Mana majikanmu? Apa manjikanmu menyiksamu sehingga kau kabur kemari, hum?" tanya Darel pada kucing tersebut dengan tangannya mengelus lembut bulunya.
Para kakaknya tersenyum melihat Darel yang sedang berbicara dengan seekor kucing. Paling tidak pikiran adik mereka teralihkan kemasalah lain.
Darel kembali berdiri dengan seekor kucing di pelukannya. Kucing itu pun merasa nyaman di pelukannya. Kucing itu terus menerus menjilati wajahnya. Darel tertawa lepas seakan semua bebannya hilang.
"Aku bahagia melihat Darel seperti ini, Kak!" Seru Evan.
Mereka semua sangat amat bahagia melihat adik kesayangan mereka tertawa lepas seperti saat ini. Lalu detik kemudian terdengar suara teriakan seseorang.
"Hei, kau. Kembali kucingku. Dasar pencuri!" teriak seorang gadis di bawah balkon kamarnya. Lebih tepatnya di luar gerbang mansionnya
Darel melihat seorang gadis yang berteriak sembari menunjuk kearahnya. "Aku? Pencuri? Kucing?" tanyanya bingung.
Lalu matanya mengarah kekucing tersebut. "Hei, kau. Apa benar aku menculikmu?" tanya Darel pada kucing yang ada di pangkuannya. Kucing itu justru menjilati wajah Darel. "Aku menyuruhmu untuk menjawab bukan menjilatiku," kesal Darel mempoutkan bibirnya.
Sedangkan para kakaknya langsung menepuk jidat masing-masing dan juga geleng-geleng kepala melihat kelakuan adiknya.
"Hei, kau. Kembalikan kucingku. Dia itu milikku!" teriak gadis itu lagi.
Seakan penasaran dengan suara teriakan gadis di luar kamar Darel. Para kakaknya pun mengintip dari balik jendela. Dan dapat mereka lihat seorang gadis cantik yang berdiri di depan gerbang Mansion mereka.
"Gadis yang cantik," batin para kakaknya.
"Hei, nona. Kau itu perempuan. Apa kau tidak malu teriak-teriak di depan rumah orang. Apalagi orang yang kau teriaki adalah seorang pemuda yang sangat tampan?" teriak Darel balik.
Para kakaknya yang mendengar ucapan Jungkook sontak melotot dan melongo. Mereka semua geleng-geleng kepala mendengar ucapan sang adik. Mereka tak habis pikir tentang adik bungsu mereka yang dengan pedenya mengatakan ketampanannya.
"Sudahlah. Aku tidak mau ribut dengan manusia sepertimu. Cepat kembalikan kucingku. Bawa kemari!" teriak gadis itu sembari mengangkat kedua tangannya.
"Kau mau kucingmu, oke. Kalau begitu ambil ini!" teriak Darel seakan-akan ingin melempari kucing itu kepada gadis tersebut.
"Jangan!" teriak gadis itu.
"Darel, jangan!" teriak para kakaknya
"Yak. Kenapa kau berteriak? Bukannya kau menyuruhku untuk memberikan kucingmu padamu?"
"Tapi aku tidak menyuruhmu untuk melempari kucingku itu gila. Kau bisa membawanya kemari."
"Dasar nenek lampir cerewet. Kalau aku gila, sudah dari tadi ini kucing mati ditanganku."
Saat gadis itu ingin membalas perkataan Darel. Darel sudah terlebih dahulu memotongnya. "Kalau kau ingin kucingmu kembali padamu. Kau datang kesini dan kau ambil sendiri kucingmu. Memang kau siapa? Seenaknya saja menyuruhku."
Setelah mengatakan hal itu, Darel masuk ke kamarnya lalu menutup jendela kamarnya tersebut.
Saat Darel membalikkan badannya, dirinya terkejut saat melihat para kakak-kakaknya berada di dalam kamarnya.
"Kakak! Sejak kapan kalian ada di kamarku?"
"Sejak Darel berdiri sendiri di balkon," sahut Davian.
"Lalu bertemu dengan seekor kucing," ucap Vano.
"Dan berakhir teriak-teriakan antara Darel dengan sipemilik kucing itu," ujar Axel.
"Aish." Darel menatap kesal para kakak-kakaknya.
Darel meletakkan kucing itu di atas tempat tidurnya. Kemudian Darel menduduki pantatnya di tempat tidur dengan posisi memunggungi para kakaknya.
"Bisa tidak tinggalkan aku sendirian, Kak? Aku mau sendiri dulu," ucap Darel lirih.
"Tapi Darel," ucap Davian.
"Aku mohon, Kak."
"Baiklah."
Mereka pun dengan berat hati pergi meninggalkan kamar sang adik tercinta. Walau hati mereka ingin sekali menemani kesayangan mereka.
"Kok Darel dan Kak Ghali belum kembali. Ini sudah pukul berapa?" tanya Raffa saat melihat adik bungsunya dan kakak ketiganya belum kembali.
"Mungkin sebentar lagi, Raffa." Evan menjawab pertanyaan dari Raffa.
"Tapi ini sudah pukul dua siang, Van. Aku takut terjadi sesuatu pada mereka berdua terutama Darel." Raffa sangat mengkhawatirkan kedua saudaranya itu.
"Raffa. Jangan berpikiran seperti itu, sayang. Semoga adikmu dan kakakmu baik-baik saja," sela Adelina.
"Kalian dimana sayang?" batin Adelina.
Davian menghubungi ponsel Ghali. Tapi hasilnya nihil. Ponsel adiknya itu tidak aktif. Lalu kemudian menghubungi ponsel sibungsu. Tapi hasilnya sama saja. Ponselnya sibungsu juga tidak aktif.
"Aaaa... sial! Mereka berdua pada kompak lagi. Ponsel mereka tidak aktif!" teriak frustasi Davian.
Mereka yang ada di ruang tengah menatap Davian.
"Davian, sudahlah. Mungkin ponsel mereka habis daya. Makanya tidak bisa dihubungi. Kita berdoa saja semoga mereka baik-baik saja," ucap Arvind pada putra sulungnya.
"Semoga kalian baik-baik saja, nak!" batin Arvind.
Saat mereka tengah memikirkan Darel dan Ghali. Terdengarlah suara klason mobil.
TIN!
TIN!
"Nah, itu mereka pulang!" seru Daksa.
"Haaaahh." Mereka semua bernafas lega karena yang dinantikan kembali dengan selamat.
TING!
TONG!
CKLEK!
Pintu di buka oleh salah satu pelayan. Setelah pintu itu terbuka. Darel dan Ghali langsung masuk ke dalam rumah mewah tersebut.
Darel dengan wajah yang ditekuk langsung melangkah menuju kamarnya dan menghiraukan anggota keluarganya yang sedang menatapnya.
"Ghali. Kenapa dengan adikmu?" tanya Arvind.
Ghali melihat wajah ayahnya. Saat ingin membuka suara, Ghali melirik kearah sang Kakek yang juga menatapnya, lalu Ghali kembali menatap wajah ayahnya.
"Nanti saja kita bicarakan, Pa. Aku lelah dan mau istirahat," jawab Ghali.
Setelah itu, Ghali pun pergi meninggalkan anggota keluarganya yang masih berdiri menatap kepergiannya
"Ada apa dengan Darel dan Kak Ghali?" tanya Alvaro.
"Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan," sela Axel.
"Apalagi tadi wajah Darel yang ditekuk begitu. Sepertinya Darel habis menangis," sela Vano.
"Sudah, sudah. Nanti saja kita tanyakan pada mereka. Untuk saat ini biarkan mereka istirahat dan jangan diganggu," ujar Sandy.
Semuanya pun mengangguk tanda setuju. Walau hati mereka saat ini tidak tenang. Terutama Adelina, sang Ibu.
***
Seluruh anggota keluarga Wilson, kecuali Agatha dan ketujuh putranya sudah berkumpul di ruang tengah. Mereka saat ini tengah membahas tentang Darel yang pulang dari sekolah dalam keadaan menangis. Yang jadi korban interogasinya adalah Ghali.
"Ghali. Katakan pada Papa. Apa yang terjadi pada Darel? Kenapa Darel pulang dalam keadaan lesu dan mata sembab?" tanya Arvind.
"Intinya Darel sangat lelah dan terpukul dengan semua ini. Darel mengeluh dan mengadu padaku kalau dia ingin pulang ke rumah kita," jawab Ghali.
"Pa. Apa yang harus kita lakukan? Aku tidak mau Darel kenapa-kenapa," ucap dan tanya Daffa.
"Pa," panggil Arvind pada ayahnya, Antony Wilson.
Antony melihat kearah putra sulungnya. "Papa tahu apa yang akan kau tanyakan, Arvind. Papa akan tunggu Darel menemui Papa dan berbicara dengan Papa. Papa akan dengar sendiri keputusannya. Apapun keputusannya, Papa akan penuhi."
Setelah mengatakan hal itu, Antony pergi meninggalkan anak, menantu dan cucu-cucunya menuju kamarnya.
"Masalah makin rumit saja," ucap Daksa Jecolyn.
"Ya. Kau benar, Daksa. Kita dibuat bingung dengan keduanya. Kita tidak tahu harus mendukung siapa?" sahut Sandy.
"Aku sangat tahu tripikal Papa. Sekalipun nanti Papa menghargai keputusan putra bungsuku. Tapi keputusan Papa yang awalnya ingin menghibahkan seluruh kekayaannya untuk orang lain akan tetap dilakukannya," saut Arvind.
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Paman?" tanya Dario.
"Paman juga bingung, Dario." Arvind menjawab dengan wajah sedih.
"Kalau aku boleh jujur. Aku tidak mau sampai kehilangan rumah ini. Rumah ini banyak kenangannya. Kenangan saat kita bersama Mama. Kenangan saat kita masih kecil-kecil dulu. Di rumah ini tempat kita dibesarkan," sahut Evita.
Semuanya diam. Semuanya bingung. Mereka tidak tahu harus mengambil keputusan apa? Tanpa mereka sadari. Sedari tadi Darel mendengar semua yang dibicarakan oleh anggota keluarganya. Setelah Darel mendengar apa yang dibicarakan oleh anggota keluarganya, Darel kembali ke kamarnya.
"Lebih baik kita ke kamar Darel. Saat Darel pulang sekolah, kita belum menemuinya!" seru Evan.
Mereka semua mengangguk. Lalu mereka pun pergi meninggalkan anggota keluarga menuju kamarnya sibungsu.
Darel saat ini sedang berdiri di balkon kamarnya. Pikiran benar-benar kacau dan bingung. Semua perkataan anggota keluarganya terngiang-ngiang di pikirannya.
"Papa tahu apa yang akan kau tanyakan, Arvind. Papa akan tunggu Darel menemui Papa dan berbicara dengan Papa. Papa akan dengar sendiri keputusannya. Apapun keputusannya, Papa akan penuhi."
Setelah mengatakan hal itu, Antony pergi meninggalkan anak, menantu dan cucu-cucunya menuju kamarnya.
"Masalah makin rumit saja," ucap Daksa Jecolyn.
"Ya. Kau benar, Daksa. Kita dibuat bingung dengan keduanya. Kita tidak tahu harus mendukung siapa?" ucap Sandy
"Aku sangat tahu tripikal Papa. Sekalipun nanti Papa menghargai keputusan putra bungsuku, tapi keputusan Papa yang awalnya ingin menghibahkan seluruh kekayaannya untuk orang lain akan tetap dilakukannya," ucap Arvind.
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Paman?" tanya Dario.
"Paman juga bingung, Dario." Arvind menjawab pertanyaan Dario dengan wajah sedih.
"Kalau aku boleh jujur. Aku tidak mau sampai kehilangan rumah ini. Rumah ini banyak kenangannya. Kenangan saat kita bersama Mama. Kenangan saat kita masih kecil-kecil dulu. Di rumah ini tempat kita dibesarkan," sahut Evita.
CKLEK!
Pintu kamarnya di buka dan masuklah Davian dan adik-adiknya ke kamar sibungsu. Sementara sang pemilik kamar tak menyadarinya kedatangan mereka.
Ketika mereka berada di dalam kamar adik bungsunya, mereka semua dapat melihat sibungsu kesayangan mereka sedang berdiri di balkon.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku benar-benar lelah dengan semua ini. Aku ingin menyerah, tapi kasihan Paman dan Bibi. Mereka pasti akan sedih kehilangan rumah ini. Apalagi Papa. Kalau aku tetap disini, aku dan Mama akan selalu jadi bualan mereka." Darel berbicara dengan pandangannya melihat ke langit.
"Kak. Aku tidak tega melihat Darel seperti ini. Kalau Darel sampai jatuh sakit hanya gara-gara memikirkan masalah ini, bagaimana?" ucap dan tanya Raffa.
"Iya, Kak. Apalagi Darel itu gampang sekali jatuh sakit," sela Evan.
Mereka memperhatikan Darel dengan perasaan sedih dan iba.
"Kenapa Tuhan menciptakan segerombolan tikus-tikus seperti Bibi
Agatha dan ketujuh putranya lahir ke dunia ini kalau nyatanya hidup mereka hanya dihabiskan untuk menyakiti orang lain? Seandainya saja aku punya kekuatan akan aku jadikan mereka tikus-tikus beneran. Lalu aku kerangkeng mereka semua," tutur Darel kesal.
Para kakak-kakaknya tersenyum mendengar penuturan darinya. Mereka pun memutuskan untuk menghampiri sang adik. Tapi saat kaki mereka ingin melangkah menghampirinya, tiba-tiba terdengar suara seekor kucing.
MEOONG!
Kucing itu berada di kaki Darel yang sedang mengendus-endus kepalanya. Darel yang merasakan sesuatu di kakinya pun mengalihkan pandangannya ke bawah. Terukir senyuman manis di bibir Darel saat melihat seekor kucing yang begitu manis berada di kakinya itu. Lalu Darel pun berjongkok.
"Hei. Kenapa kau ada disini? Dari mana datangnya? Mana majikanmu? Apa manjikanmu menyiksamu sehingga kau kabur kemari, hum?" tanya Darel pada kucing tersebut dengan tangannya mengelus lembut bulunya.
Para kakaknya tersenyum melihat Darel yang sedang berbicara dengan seekor kucing. Paling tidak pikiran adik mereka teralihkan kemasalah lain.
Darel kembali berdiri dengan seekor kucing di pelukannya. Kucing itu pun merasa nyaman di pelukannya. Kucing itu terus menerus menjilati wajahnya. Darel tertawa lepas seakan semua bebannya hilang.
"Aku bahagia melihat Darel seperti ini, Kak!" Seru Evan.
Mereka semua sangat amat bahagia melihat adik kesayangan mereka tertawa lepas seperti saat ini. Lalu detik kemudian terdengar suara teriakan seseorang.
"Hei, kau. Kembali kucingku. Dasar pencuri!" teriak seorang gadis di bawah balkon kamarnya. Lebih tepatnya di luar gerbang mansionnya
Darel melihat seorang gadis yang berteriak sembari menunjuk kearahnya. "Aku? Pencuri? Kucing?" tanyanya bingung.
Lalu matanya mengarah kekucing tersebut. "Hei, kau. Apa benar aku menculikmu?" tanya Darel pada kucing yang ada di pangkuannya. Kucing itu justru menjilati wajah Darel. "Aku menyuruhmu untuk menjawab bukan menjilatiku," kesal Darel mempoutkan bibirnya.
Sedangkan para kakaknya langsung menepuk jidat masing-masing dan juga geleng-geleng kepala melihat kelakuan adiknya.
"Hei, kau. Kembalikan kucingku. Dia itu milikku!" teriak gadis itu lagi.
Seakan penasaran dengan suara teriakan gadis di luar kamar Darel. Para kakaknya pun mengintip dari balik jendela. Dan dapat mereka lihat seorang gadis cantik yang berdiri di depan gerbang Mansion mereka.
"Gadis yang cantik," batin para kakaknya.
"Hei, nona. Kau itu perempuan. Apa kau tidak malu teriak-teriak di depan rumah orang. Apalagi orang yang kau teriaki adalah seorang pemuda yang sangat tampan?" teriak Darel balik.
Para kakaknya yang mendengar ucapan Jungkook sontak melotot dan melongo. Mereka semua geleng-geleng kepala mendengar ucapan sang adik. Mereka tak habis pikir tentang adik bungsu mereka yang dengan pedenya mengatakan ketampanannya.
"Sudahlah. Aku tidak mau ribut dengan manusia sepertimu. Cepat kembalikan kucingku. Bawa kemari!" teriak gadis itu sembari mengangkat kedua tangannya.
"Kau mau kucingmu, oke. Kalau begitu ambil ini!" teriak Darel seakan-akan ingin melempari kucing itu kepada gadis tersebut.
"Jangan!" teriak gadis itu.
"Darel, jangan!" teriak para kakaknya
"Yak. Kenapa kau berteriak? Bukannya kau menyuruhku untuk memberikan kucingmu padamu?"
"Tapi aku tidak menyuruhmu untuk melempari kucingku itu gila. Kau bisa membawanya kemari."
"Dasar nenek lampir cerewet. Kalau aku gila, sudah dari tadi ini kucing mati ditanganku."
Saat gadis itu ingin membalas perkataan Darel. Darel sudah terlebih dahulu memotongnya. "Kalau kau ingin kucingmu kembali padamu. Kau datang kesini dan kau ambil sendiri kucingmu. Memang kau siapa? Seenaknya saja menyuruhku."
Setelah mengatakan hal itu, Darel masuk ke kamarnya lalu menutup jendela kamarnya tersebut.
Saat Darel membalikkan badannya, dirinya terkejut saat melihat para kakak-kakaknya berada di dalam kamarnya.
"Kakak! Sejak kapan kalian ada di kamarku?"
"Sejak Darel berdiri sendiri di balkon," sahut Davian.
"Lalu bertemu dengan seekor kucing," ucap Vano.
"Dan berakhir teriak-teriakan antara Darel dengan sipemilik kucing itu," ujar Axel.
"Aish." Darel menatap kesal para kakak-kakaknya.
Darel meletakkan kucing itu di atas tempat tidurnya. Kemudian Darel menduduki pantatnya di tempat tidur dengan posisi memunggungi para kakaknya.
"Bisa tidak tinggalkan aku sendirian, Kak? Aku mau sendiri dulu," ucap Darel lirih.
"Tapi Darel," ucap Davian.
"Aku mohon, Kak."
"Baiklah."
Mereka pun dengan berat hati pergi meninggalkan kamar sang adik tercinta. Walau hati mereka ingin sekali menemani kesayangan mereka.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved