Bab 22 Julukan

by Rivaldo 10:20,Jun 29,2021
Ketika Adelina sedang menyiapkan sarapan untuk putra bungsunya, terdengar suara langkah kaki menuju arah ruang makan. Mereka semua langsung melihat keasal suara tersebut dan dapat mereka lihat Darel yang sudah berpakaian seragam lengkap dengan senyuman manis di bibirnya. Mereka yang melihatnya pun ikut tersenyum.

Niat awalnya mereka ingin melarang Darel untuk tidak sekolah. Tapi karena melihat senyuman manis tersebut, mereka akhirnya mengurungkan niat mereka.

"Darel!" teriak Dirga yang datang dari belakang.

Darel pun berhenti dan membalikkan badannya melihat Dirga.

"Ada apa, Kak?" tanya Darel.

"Ada apa, kau bilang? Puas kau sekarang, hah!" bentak Dirga.

"Puas? Maksud Kakak apa? Aku tidak mengerti?" tanya Darel.

"Gara-gara kau. Aku dan adik-adikku harus dihukum oleh Papa. Selama dua bulan uang saku kami dipotong dan selama dua bulan juga kami tidak boleh menggunakan kendaraan milik kami," tutur Dirga emosi.

"Kok aku. Ini kan kesalahannya Kak Rayyan dan Kak Kevin. Kalau mereka tidak cari gara-gara denganku, hal ini tidak akan terjadi. Mereka yang selalu cari-cari gara-gara denganku. Jadi rasakan sendiri akibatnya," jawab Darel enteng tanpa ada rasa takut sama sekali.

Sedangkan para kakak-kakaknya yang mendengar ucapannya tersenyum bangga.

"Bagus, Rel," batin mereka semua.

"Brengsek. Beraninya kau menyalahkan adik-adikku. Disini ini kau yang bersalah. Kalau kau dan keluarga brengsekmu tidak ada di rumah ini. Hal ini tak akan terjadi. Dan hidup kami akan bahagia, damai sentosa." Dirga berbicara ketus.

"Bahagia dengan cara menguasai seluruh kekayaan Kakek, begitu?" batin Darel.

"Lebih baik kau dan keluargamu itu pergi dari sini. Tinggalkan rumah ini. Kalian itu hanya seonggok sampah, benalu dan kotoran menjijikkan. Dan kalian tidak pantas berada di rumah ini," maki Dirga.

Darel mengepalkan tangannya kuat. Dirinya benar-benar tidak terima ucapan yang menyakitkan yang tertuju untuk keluarganya.

Tak jauh beda dengan Darel. Para kakak-kakaknya juga sudah susah payah menahan emosi mereka. Tapi salah satu dari mereka seperti tidak bisa menahan diri lagi, lalu dirinya berdiri dan hendak menghampiri Dirga. Orang itu adalah Nevan.

Arvind melihat salah satu putranya sudah lepas kendali, akhirnya turun tangan.

"Nevan duduk." Arvind berucap dengan menekan kata duduk.

"Tapi, Pa."

"Duduk, Nevan Wilson." Arvind berucap tegas sambil menatap wajah putranya.

Akhirnya, mau tidak mau Nevan pun duduk kembali. "Brengsek kau, Dirga!" batin Nevan.

"Kalau mau mencela orang lain itu ngaca dulu. Muka kayak badak begitu sukanya menghina orang. Kakak itu tidak lebih baik dari pada kami yang Kakak hina. Atau mungkin urat malu Kakak sudah putus kali ya. Sukanya ngatain orang lain jelek, sampah, benalu dan kotoran menjijikkan. Mencari kesalahan orang, tapi tidak pernah bercermin. Sadarlah, ketika Kakak mencela orang itu sama dengan menunjuk muka Kakak sendiri."

"Dan satu hal lagi. Yang sampah dikeluarga ini siapa? Yang benalu dikeluarga ini siapa? Yang menjijikan dikeluarga ini juga siapa? Semua kata-kata itu lebih pantas ditujukan untukmu dan keluargamu. Sampai kapanpun dan apapun yang terjadi aku dan keluargaku lebih berhak dan pantas berada disini karena aku dan kakak-kakakku adalah keturunan sah keluarga Wilson. Cucu kandung dari kakek Antony Wilson. Tidak denganmu dan adik-adikmu. Kalian tidak lebih dari sebuah keluarga penipu yang masuk dalam keluarga ini." Darel berbicara sambil menatap tajam Dirga. Dan hal itu sukses membuat Dirga bungkam.

Setelah mengatakan hal itu, Darel pergi meninggalkan Dirga yang sudah mengepalkan tangannya kuat.

"Brengsek," batin Dirga.

Arvind, Adelina dan putra-putranya yang lainnya tersenyum bangga dan sedikit bernafas lega saat mendengar penuturan dan ucapan dari sibungsu. Arvind berusaha menahan amarahnya dan juga melarang putra-putranya yang lain untuk tidak terpancing atas ucapan Dirga. Walau nyatanya salah satu dari putranya yaitu Nevan yang hampir saja kelepasan. Tapi dirinya berhasil melunakkan emosi putranya itu. Arvind melakukan hal itu hanya untuk menghormati ayahnya, Antony Wilson. Bagaimana pun ayahnya itu kepala keluarga yang harus dihormati.

"Kak Elvan. Ayo, buruan antar aku ke sekolah sekarang. Aku sudah terlambat!" teriak Darel yang sudah berada di ruang makan.

"Sayang. Sarapan dulu ya!" seru Adelina.

Darel menatap satu persatu wajah orang-orang yang ada di meja makan. Lalu kembali menatap wajah cantik ibunya.

"Maaf, Ma. Selera makanku sudah hilang. Aku langsung berangkat ke sekolah saja," jawab Darel.

Setelah itu, Darel langsung pergi meninggalkan semua anggota keluarganya.

Beberap detik kemudian terdengar suara teriakan Darel. "Kak Davian, Kak Steven, Kak Naufal pastikan ketiga tikus hitam itu pergi menggunakan kendaraan umum. Sita kunci mobil dan kunci motor mereka bertiga selama satu bulan penuh. Kalian tahukan siapa mereka bertiga?!" teriak Darel.

Davian, Steven dan Naufal saling lirik, lalu mereka pun membalas teriakan Darel, sang adik.

"Dilaksanakan kapten!" ketiganya berteriak dengan kompak sambil memperlihatkan senyuman maut mereka.

"Ya, sudah. Ma, Pa semuanya aku mengantarkan Darel ke sekolah dulu takutnya Darel pergi sendiri lagi," pamit Elvan, lalu berlari menyusul adik bungsunya yang sudah terlebih dahulu pergi.

Dirga, Rayyan dan Kevin menatap tajam kearah Davian, Steven dan Naufal.

"Jangan tatap kami seperti itu. Habiskan sarapan kalian, lalu serahkan semua kunci motor dan kunci mobil kalian pada kami," tutur Steven.

"Letakkan kunci-kunci itu di atas meja di ruang tengah," jawab Naufal.

"Naufal. Kau pastikan jangan sampai mereka menyimpan kunci cadangannya. Percuma saja kita sita kunci motor dan kunci mobil mereka, kalau mereka masih bisa menggunakannya dengan kunci cadangan. Bisa-bisa mengamuk nanti sikelinci itu pada kita," sahut Davian.

"Siap, Kak Davian." Naufal menjawab dengan semangatnya.

Sedangkan yang lainnya hanya senyam senyum melihat kelakuan ketiganya. Bagi mereka membully itu menyenangkan bagi mereka bertiga.

***

Darel sudah berada di depan gerbang sekolah. Sebelum masuk, Darel menyempatkan mengecup pipi sang kakak.

"Aku masuk dulu, Kak Elvan. Bye." Darel berlari memasuki gerbang sekolahnya.

"Yang akan menjemputmu nanti Kak Ghali!" teriak Elvan.

"Iya!" teriak Darel balik sambil mengacungkan ibu jarinya.

Elvan tersenyum melihatnya, lalu dirinya pun pergi meninggalkan sekolah adik bungsunya itu.

Saat Darel memasuki kelasnya, Darel sudah disambut oleh para sahabat-sahabatnya.

"Hai, Rel." Brian menyapa Darel terlebih dahulu.

"Hai, Kak Brian." Darel membalas sapaan dari Brian.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Kenzo.

"Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku," jawab Darel sembari menduduki pantatnya di kursi.

Mereka semuanya pun duduk sambil memandang Darel untuk meminta penjelasan. Darel yang menyadari tatapan sahabat-sahabat hanya bisa menghela nafas pasrahnya.

"Jangan melihatku seperti itu. Apa yang ingin kalian ketahui?" tanya Darel.

"Semuanya," jawab mereka kompak.

Darel membelalakkan matanya saat mendengar jawaban kompak yang diberikan oleh sahabat-sahabatnya itu.

"Saat aku menunggu kedua kakakku menjemputku. Ada beberapa orang yang mendatangiku. Awalnya aku cuek dan acuh saja. Tapi lama kelamaan mereka makin bersikap kurang ajar padaku. Bahkan tangan-tangan kotor mereka berani menyentuhku, lalu terjadilah perkelahian aku dengan mereka. Dikarenakan tubuhku sedikit lemah, mereka berhasil menyakitiku dan aku terpojok. Tapi aku bersyukur, kakakku datang tepat waktu dan menghajar mereka seperti orang kesetanan." Darel menceritakan tentang kejadian beberapa hari yang lalu kepada ketujuh sahabatnya.

"Luka di lehermu itu ulah mereka?" tanya Evano.

"Iya," jawab Darel. "Sebenarnya mereka hanya sekedar mengancamku dengan meletakkan pisau di leherku agar aku takut dan nurut pada mereka. Tapi dugaan mereka salah. Saat salah satu dari mereka ingin menyentuh bibirku, aku langsung memalingkan wajahku dan akhirnya pisau itu menggores kulit leherku," ucap Darel.

"Untung kau tidak apa-apa, Rel." Brian merasa bersyukur sahabat kelincinya baik-baik saja.

"Aku tidak akan menyesal kalau saat itu nyawaku melayang. Paling tidak aku berhasil menjaga harga diriku dari para brengsek itu," ucap Darel.

"Dan ini ulahnya, Lian Jevera! Orang-orang itu suruhan dia," ucap  Darel.

"Apa?" teriak mereka.

"Memang brengsek si Lian itu," umpat  Gavin.

"Kita harus balas mereka," ujar Azri.

"Aku setuju," sambung Damian.

"Mereka sekali kali diberi pelajaran," sahut Farrel.

"Sudahlah, lupakan saja. Lagian aku tidak apa-apa," sela Darel berusaha menenangkan emosi para sahabatnya.

"Tapi Lian sudah keterlaluan, Rel." Kenzo tidak terima atas perlakuan Lian terhadap Darel.

"Iya. Aku tahu. Tapi untuk kali ini kita biarkan mereka bebas mau melakukan apa saja. Nanti setelah itu baru kita yang menghajar mereka tanpa ampun," sahut Darel mantap.

"Eeemm." Mereka sedang berpikir.

"Baiklah. Kami setuju atas ucapanmu itu, Rel." Mereka berucap dengan kompak.

"Saat itu tiba aku tidak akan memberikan ampun pada mereka," kata Damian.

"Emm. Aku juga." Kenzo berucap sembari membayangkan balasan apa yang pantas untuk Lian dan kelompoknya.

"Kita juga!" seru Gavin, Brian, Evano dan Farrel.

"Ya, ya. Asal kalian tidak sampai membunuh mereka," sela Darel.

"Kau tidak perlu khawatir, Rel. Bagaimana pun juga kami masih punya hati? Tidak mungkinlah kami akan membunuh para tikus-tikus itu," jawab Brian mewakili yang lainnya.

Darel tersenyum mendengar jawaban dari Brian.

"Temanin aku ke kantin, yuk. Aku lapar. Aku tadi gak sempat sarapan di rumah!" seru Darel.

"Nah. Memangnya kenapa?" tanya Kenzo.

"Karena ada tujuh ekor tikus di rumahku sehingga membuat nafsu makanku hilang," jawab Darel.

"Ternyata selain di sekolah di rumahmu juga ada tikus-tikusnya juga ya, Rel?" tanya Damian.

"Sama-sama tujuh lagi. Di sekolah ada tujuh. Di rumahnya Darel juga ada tujuh," ucap Evano.

"Wah. Bahaya tu, Rel. Tikus itukan sarang penyakit. Bisa-bisa kau nanti terkena penyakit dari tujuh ekor tikus yang ada di rumahmu itu," ejek Gavin.

"Justru aku sudah terkena infeksi penyakit dari tujuh ekor tikus itu, Gavin." Darel menjawab perkataan Gavin.

"Gawat dong," sahut Azri.

"Apa nama penyakitnya, Rel?" tanya Brian.

"Penyakit makan hati dan penyakit emosional," jawab Darel.

"Waahh. Benar-benar bahaya penyakit itu, Rel. Apa tidak bisa disembuhkan?" tanya Farrel.

"Tidak. Penyakitnya sudah stadium akut. Kalau pun disembuhkan, ya jalan satu-satunya adalah operasi. Dan operasinya dilakukan dengan cara membasmi hama tikus yang berkeliaran di rumahku," jawab Darel eteng.

Mereka semua terdiam dan saling melirik satu sama lainnya. Dan detik kemudian..

"Hahahaha." tawa mereka pun pecah

Ketujuh sahabat Darel itu tahu dan mengerti maksud dari kata tujuh ekor tikus yang diucapkan oleh Darel. Tujuh ekor tikus itu adalah tujuh kakak-kakak sepupunya yang paliiiiiiinnngg menyebalkan yang ada di dunia.

"Sudah... Sudah. Perutku sakit. Lebih baik kita ke kantin sekarang!" seru Kenzo.

Mereka semua pun memutuskan untuk pergi meninggalkan kelas dan menuju kantin.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

75