Bab 16 Ketika Sifat Manja Darel Kumat
by Rivaldo
14:06,Jun 28,2021
Waktu sudah menunjukkan pukul 7.30 malam. Dan sebentar lagi seluruh penghuni keluarga Wilson akan melakukan aktivitas mereka yaitu makan malam.
Sekarang mereka telah berada di ruang makan. Dan duduk di kursi masing-masing. Hanya satu orang yang belum menampakkan batang hidungnya. Siapa lagi kalau bukan orang yang selalu membuat Agatha dan ketujuh putranya marah-marah seperti singa yaitu Darel Wilson.
Raffa berbisik pada Evan. "Van. Tumben induk singa dan ketujuh anak singanya diam. Biasanya dia selalu cari ribut di meja makan kalau Darek terlambat datang ke ruang makan."
Evan terkekeh sambil menutup mulutnya. "Mungkin siinduk singa dan ketujuh anak singanya sudah dirukiah. Jadi, setannya udah keluar dari dalam tubuhnya," jawab Evan.
Evan dan Raffa terkekeh pelan.
Tanpa mereka menyadari tatapan dari induk singa. Agatha menatap tajam kearah mereka berdua.
Raffa sempat melirik keaeah Agatha, lalu berbisik lagi kepada Evan. "Kau yakin kalau semua roh-roh jahat yang ada dalam tubuh mereka sudah keluar. Siapa tahu masih ada yang tertinggal?" tanya Raffa. "Kau lihat tu wajah siinduk singa sangat menyeramkan sekali," ucap Raffa mengejek.
Evan melirik kearah Agatha, lalu detik kemudian Evan berbisik kepada Raffa. "Kau benar, Raf. Wajah siinduk singa menyeramkan sekali. Berarti masih ada sisa roh jahat dalam tubuhnya dan harus dirukiah lagi," balas Evan.
Dan detik kemudian mereka tertawa. Tawa mereka pun pecah.
"Hahahaha."
Semua anggota keluarga terkejut dan bingung melihat Evan dan Raffa yang tiba-tiba tertawa. Mereka semua melihat kearah Evan dan Raffa, tak terkecuali Agatha dan ketujuh putranya. Mereka menatap tak suka kearah keduanya.
Sedangkan untuk para kakaknya hanya geleng-geleng kepala atas kelakuan kedua adik mereka. Mereka tahu apa yang membuat mereka seperti itu.
"Evan, Raffa. Kalian kenapa sayang? Apa ada yang lucu, hum?" tanya Adelina selaku ibu mereka yang bingung melihat kedua putra bungsunya.
"Kami berdua hanya bercerita tentang teman sekelas kami yang kemarin habis dirukiah, karena teman kami itu selama hidupnya selalu berbuat jahat," jawab Raffa senyam senyum sambil matanya melirik Agatha
"Benarkah?" tanya Antony pada cucunya.
"Benar, Kek!" jawab Evan.
"Kok bisa? Memang apa yang sudah dilakukan oleh teman kalian itu?" tanya Evita.
"Teman kami itu suka memaki orang, suka menghina orang, memandang rendah orang. Pokoknya dia selalu melakukan sesuka hatinya. Sampai orang-orang disekitarnya muak melihat kelakuannya," tutur Evan.
"Semenjak dirukiah. Teman kami itu sekarang sudah sembuh, Bi. Dia sudah kembali kehabitatnya. Jadi orang baik," ucap Raffa menambahkan.
"Lalu kenapa kalian berdua malah tertawa? Seharusnya kalian senang dong, teman kalian itu sembuh dan menjadi orang baik?" tanya Salma.
"Iya, kami senang Bibi Salma. Yang membuat kami tertawa itu. Dia itu tidak pantas jadi orang baik. Tidak cocok dengan wajahnya. Dianya pantasnya jadi orang jahat, sesuai dengan wajahnya. Melihat wajahnya saja sudah membuat kami tertawa," jawab Raffa yang matanya melirik Agatha.
"Raffa, Evan. Kalian tidak boleh seperti itu. Mama tidak suka," tegur Adelina.
"Maaf, Ma!" jawab mereka. Walau nyatanya mereka masih saja senyam senyum melihat wajah Bibi mereka yang berusaha menunjukkan sikap baik didepan semua orang.
"Selamat pagi. Maaf aku telat!" seru Darel yang tiba-tiba datang menghampiri mereka semua.
Tatapan mata Darel tertuju pada Agatha. Darel memiringkan sedikit kepalanya kekiri dan menaiki satu alisnya.
"Tumben sekali sinenek sihir bungkam malam ini. Biasanya dia berteriak seperti orang gila kalau aku datang terlambat ke meja makan," batin Darel.
Lalu Darel menatap Pamannya, William. William yang menyadari tatapan keponakannya hanya mengangguk memberikan jawaban atas bungkamnya sang Bibi, lalu Darel menuju kursinya yang berada diantara Evan dan Raffa.
"Nah, karena Darel sudah disini. Semuanya sudah lengkap. Mari kita langsung saja makan malamnya!" seru Antony.
Mereka pun makan malam dengan tenang dan hikmat. Walau ada beberapa yang sedang dongkol.
***
Makan malam pun selesai. Para orang tua tengah bersantai sejenak di ruang tengah, kecuali Agatha. Sedangkan para anak-anak sudah berada di kamar masing-masing.
Beda dengan para kakaknya Darel. Mereka lebih memilih untuk menemui adik bungsu mereka yang sekarang sudah berada di kamar.
Saat mereka memasuki kamar sibungsu, mata mereka melihat pemandangan yang begitu indah. Dimana adik kesayangan mereka telah tertidur. Adik mereka tertidur disaat sedang belajar.
Mereka mendekati Darel. Tangan-tangan kekar mereka secara bergantian mengelus lembut rambut sang adik. Bahkan mereka juga memberikan kecupan manis di keningnya.
"Sepertinya Darel kelelahan saat belajar sampai Darel ketiduran," ucap Nevan.
"Laptopnya saja masih menyala," sela Ghali, lalu mematikan laptop adiknya.
"Lebih baik pindahkan saja Darel ke tempat tidurnya, Kak. Kasihan Darel kalau dibiarkan tidur seperti ini!" seru Evan.
Davian pun langsung mengangkat tubuh adiknya untuk dipindahkan ke tempat tidurnya. Davian membaringkan tubuh adiknya ke tempat tidur dengan hati-hati. Dirinya tidak mau sampai membuat adiknya terbangun.
Setelah membaringkan tubuh adiknya, Davian menyelimuti tubuh sang adik. Dan tidak lupa mencium keningnya sayang. Mereka semua memandangi wajah damai sibungsu.
"Wajahnya benar-benar imut saat tidur," ucap Andre.
"Ya. Kau benar, Andre. Wajah adik bungsu kita benar-benar imut dan menggemaskan," saut Elvan.
"Wajah adik kita ini bukan imut dan menggemaskan saja, Kak. Tapi wajahnya juga cantik dan manis. Padahal Darel itu laki-laki, tapi wajahnya cantik kayak perempuan!" seru Raffa.
"Kalau sampai Darel mendengar kau mengatakan cantik dan manis. Habislah kau Raffa. Darel kan paling tidak suka kalau dirinya disebut cantik dan manis," kata Evan.
Yang lainnya mengangguk membenarkan kata-kata Evan. Saat mereka masih fokus memandangi wajah manis adik bungsu mereka. Mereka dikejutkan suara pintu yang di buka.
CKLEK!
Dan masuklah seorang wanita cantik dan laki-laki tampan yaitu Arvind dan Adelina yang tak lain adalah kedua orang tua mereka.
"Mama, Papa!" sapa mereka.
"Eeh. Darelnya sudah tidur!" seru Adelina saat melihat putra bungsunya yang sudah tertidur sambil melangkahkan kakinya mendekati ranjang putra bungsunya. Adelina memberikan kecupan manis di kening sibungsu.
"Tumben sekali kelinci imut ini sudah tidur. Biasanya dia yang paling lambat tidurnya. Kita teriak-teriak dulu menyuruhnya untuk tidur, baru dia akan tidur," tutur Arvind, sang ayah.
"Darel kelelahan saat belajar, Pa. Saat kami semua masuk ke kamarnya, kami sudah melihat Darel ketiduran di meja belajarnya," jawab Axel.
Lalu tiba-tiba saja mereka dikejutkan dengan suara igauan Darel. Mereka semua panik melihat Darel yang gelisah dalam tidurnya. Keringatnya bercucuran. Mereka mengerubungi Darel. Sampai ada yang naik ke tempat tidurnya.
Raffa sudah menggenggam tangan Darel dan menangis. Adelina juga menangis melihat putra bungsunya yang gelisah serta keringat yang membasahi wajah putranya itu.
"Darel. Hei, ini mama sayang. Bukalah matamu," panggil Adelina. Tangannya membelai rambut Darel dan menghapus keringatnya.
"Ma, Papa. Darel kenapa?" tanya Axel yang khawatir melihat adik bungsunya.
"Tenanglah, sayang. Darel tidak apa-apa. Sepertinya Darel sedang bermimpi," hibur Arvind.
"Papa," panggil Darel dalam tidurnya.
Arvind yang mendengar putra bungsunya memanggilnya langsung mendekati putranya itu. Sedangkan Adelina berpindah tempat dan membiarkan suaminya duduk di samping putranya itu.
Arvind menggenggam tangan Darel dan membelai rambutnya.
"Hei, jagoan Papa. Papa disini sayang."
"Papa.. Papa." Darel makin gelisah dan histeris dalam tidurnya hal itu sukses membuat semuanya panik.
"Darel, bangunlah. Papa disini sayang," panggil Arvind sambil menepuk pelan pipi putra bungsunya.
"Darel," panggilnya lagi.
Darel pun berlahan membuka kedua mata bulatnya dengan nafas terengah-engah. Jangan lupa keringat yang bercucuran.
"Darel," panggil Arvind.
Darel menolehkan wajahnya melihat wajah ayahnya.
"Pa-papa," lirih Darel.
Detik kemudian Darel memeluk ayahnya yang duduk di sampingnya.
"Hiks." Darel terisak.
Mereka yang mendengar isakan Darel, merasakan sesak didada. Mereka tidak bisa melihat adik kesayangan mereka menangis. Karena itu adalah kelemahan mereka. Begitu juga dengan Adelina dan Arvind.
"Darel, kenapa sayang. Ceritakan pada Papa," ucap dan tanya Arvind sambil tangannya mengelus kepala belakang putranya.
Darel tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Dirinya masih erat memeluk ayahnya itu, lalu lima menit kemudian terdengar suara manja dari mulutnya.
"Papa mau tidak menemaniku tidur," pintanya tanpa melihat wajah ayahnya.
Arvind dan yang lainnya hanya tersenyum, lalu terlintas ide jahil di pikiran Adelina.
"Kalau Papa tidur dengan Darel, lalu siapa yang akan menemani mama tidur?"
"Mama tidur sendiri saja. Biarkan Papa menemaniku disini. Cuma sebentar kok, gak lama. Papa akan pindah ke kamarnya Mama, kalau aku sudah tidur," jawab Darel.
"Ya, sudah. Darel tidurlah. Jangan mikir apapun. Mama dan kakak-kakakmu akan keluar," ucap Adelina, lalu mengecup kening putranya.
"Mama yang terbaik. Aku menyayangi, Mama," sahut Darel.
"Mama juga menyayangimu, sayang." Adelina membalas ucapan putra bungsunya.
"Aku juga menyayangi kalian, Kak." Darel berucap kembali.
"Kami juga menyayangimu, Rel." mereka menjawabnya secara bersamaan.
Setelah itu mereka pun pergi meninggalkan kamar Darel. Dan kini tinggallah Darel dan ayahnya.
Darel menggeser tubuhnya ke tengah agar ayahnya bisa tidur di sampingnya.
"Sekarang tidurlah," ucap Arvind lembut.
Sekarang mereka telah berada di ruang makan. Dan duduk di kursi masing-masing. Hanya satu orang yang belum menampakkan batang hidungnya. Siapa lagi kalau bukan orang yang selalu membuat Agatha dan ketujuh putranya marah-marah seperti singa yaitu Darel Wilson.
Raffa berbisik pada Evan. "Van. Tumben induk singa dan ketujuh anak singanya diam. Biasanya dia selalu cari ribut di meja makan kalau Darek terlambat datang ke ruang makan."
Evan terkekeh sambil menutup mulutnya. "Mungkin siinduk singa dan ketujuh anak singanya sudah dirukiah. Jadi, setannya udah keluar dari dalam tubuhnya," jawab Evan.
Evan dan Raffa terkekeh pelan.
Tanpa mereka menyadari tatapan dari induk singa. Agatha menatap tajam kearah mereka berdua.
Raffa sempat melirik keaeah Agatha, lalu berbisik lagi kepada Evan. "Kau yakin kalau semua roh-roh jahat yang ada dalam tubuh mereka sudah keluar. Siapa tahu masih ada yang tertinggal?" tanya Raffa. "Kau lihat tu wajah siinduk singa sangat menyeramkan sekali," ucap Raffa mengejek.
Evan melirik kearah Agatha, lalu detik kemudian Evan berbisik kepada Raffa. "Kau benar, Raf. Wajah siinduk singa menyeramkan sekali. Berarti masih ada sisa roh jahat dalam tubuhnya dan harus dirukiah lagi," balas Evan.
Dan detik kemudian mereka tertawa. Tawa mereka pun pecah.
"Hahahaha."
Semua anggota keluarga terkejut dan bingung melihat Evan dan Raffa yang tiba-tiba tertawa. Mereka semua melihat kearah Evan dan Raffa, tak terkecuali Agatha dan ketujuh putranya. Mereka menatap tak suka kearah keduanya.
Sedangkan untuk para kakaknya hanya geleng-geleng kepala atas kelakuan kedua adik mereka. Mereka tahu apa yang membuat mereka seperti itu.
"Evan, Raffa. Kalian kenapa sayang? Apa ada yang lucu, hum?" tanya Adelina selaku ibu mereka yang bingung melihat kedua putra bungsunya.
"Kami berdua hanya bercerita tentang teman sekelas kami yang kemarin habis dirukiah, karena teman kami itu selama hidupnya selalu berbuat jahat," jawab Raffa senyam senyum sambil matanya melirik Agatha
"Benarkah?" tanya Antony pada cucunya.
"Benar, Kek!" jawab Evan.
"Kok bisa? Memang apa yang sudah dilakukan oleh teman kalian itu?" tanya Evita.
"Teman kami itu suka memaki orang, suka menghina orang, memandang rendah orang. Pokoknya dia selalu melakukan sesuka hatinya. Sampai orang-orang disekitarnya muak melihat kelakuannya," tutur Evan.
"Semenjak dirukiah. Teman kami itu sekarang sudah sembuh, Bi. Dia sudah kembali kehabitatnya. Jadi orang baik," ucap Raffa menambahkan.
"Lalu kenapa kalian berdua malah tertawa? Seharusnya kalian senang dong, teman kalian itu sembuh dan menjadi orang baik?" tanya Salma.
"Iya, kami senang Bibi Salma. Yang membuat kami tertawa itu. Dia itu tidak pantas jadi orang baik. Tidak cocok dengan wajahnya. Dianya pantasnya jadi orang jahat, sesuai dengan wajahnya. Melihat wajahnya saja sudah membuat kami tertawa," jawab Raffa yang matanya melirik Agatha.
"Raffa, Evan. Kalian tidak boleh seperti itu. Mama tidak suka," tegur Adelina.
"Maaf, Ma!" jawab mereka. Walau nyatanya mereka masih saja senyam senyum melihat wajah Bibi mereka yang berusaha menunjukkan sikap baik didepan semua orang.
"Selamat pagi. Maaf aku telat!" seru Darel yang tiba-tiba datang menghampiri mereka semua.
Tatapan mata Darel tertuju pada Agatha. Darel memiringkan sedikit kepalanya kekiri dan menaiki satu alisnya.
"Tumben sekali sinenek sihir bungkam malam ini. Biasanya dia berteriak seperti orang gila kalau aku datang terlambat ke meja makan," batin Darel.
Lalu Darel menatap Pamannya, William. William yang menyadari tatapan keponakannya hanya mengangguk memberikan jawaban atas bungkamnya sang Bibi, lalu Darel menuju kursinya yang berada diantara Evan dan Raffa.
"Nah, karena Darel sudah disini. Semuanya sudah lengkap. Mari kita langsung saja makan malamnya!" seru Antony.
Mereka pun makan malam dengan tenang dan hikmat. Walau ada beberapa yang sedang dongkol.
***
Makan malam pun selesai. Para orang tua tengah bersantai sejenak di ruang tengah, kecuali Agatha. Sedangkan para anak-anak sudah berada di kamar masing-masing.
Beda dengan para kakaknya Darel. Mereka lebih memilih untuk menemui adik bungsu mereka yang sekarang sudah berada di kamar.
Saat mereka memasuki kamar sibungsu, mata mereka melihat pemandangan yang begitu indah. Dimana adik kesayangan mereka telah tertidur. Adik mereka tertidur disaat sedang belajar.
Mereka mendekati Darel. Tangan-tangan kekar mereka secara bergantian mengelus lembut rambut sang adik. Bahkan mereka juga memberikan kecupan manis di keningnya.
"Sepertinya Darel kelelahan saat belajar sampai Darel ketiduran," ucap Nevan.
"Laptopnya saja masih menyala," sela Ghali, lalu mematikan laptop adiknya.
"Lebih baik pindahkan saja Darel ke tempat tidurnya, Kak. Kasihan Darel kalau dibiarkan tidur seperti ini!" seru Evan.
Davian pun langsung mengangkat tubuh adiknya untuk dipindahkan ke tempat tidurnya. Davian membaringkan tubuh adiknya ke tempat tidur dengan hati-hati. Dirinya tidak mau sampai membuat adiknya terbangun.
Setelah membaringkan tubuh adiknya, Davian menyelimuti tubuh sang adik. Dan tidak lupa mencium keningnya sayang. Mereka semua memandangi wajah damai sibungsu.
"Wajahnya benar-benar imut saat tidur," ucap Andre.
"Ya. Kau benar, Andre. Wajah adik bungsu kita benar-benar imut dan menggemaskan," saut Elvan.
"Wajah adik kita ini bukan imut dan menggemaskan saja, Kak. Tapi wajahnya juga cantik dan manis. Padahal Darel itu laki-laki, tapi wajahnya cantik kayak perempuan!" seru Raffa.
"Kalau sampai Darel mendengar kau mengatakan cantik dan manis. Habislah kau Raffa. Darel kan paling tidak suka kalau dirinya disebut cantik dan manis," kata Evan.
Yang lainnya mengangguk membenarkan kata-kata Evan. Saat mereka masih fokus memandangi wajah manis adik bungsu mereka. Mereka dikejutkan suara pintu yang di buka.
CKLEK!
Dan masuklah seorang wanita cantik dan laki-laki tampan yaitu Arvind dan Adelina yang tak lain adalah kedua orang tua mereka.
"Mama, Papa!" sapa mereka.
"Eeh. Darelnya sudah tidur!" seru Adelina saat melihat putra bungsunya yang sudah tertidur sambil melangkahkan kakinya mendekati ranjang putra bungsunya. Adelina memberikan kecupan manis di kening sibungsu.
"Tumben sekali kelinci imut ini sudah tidur. Biasanya dia yang paling lambat tidurnya. Kita teriak-teriak dulu menyuruhnya untuk tidur, baru dia akan tidur," tutur Arvind, sang ayah.
"Darel kelelahan saat belajar, Pa. Saat kami semua masuk ke kamarnya, kami sudah melihat Darel ketiduran di meja belajarnya," jawab Axel.
Lalu tiba-tiba saja mereka dikejutkan dengan suara igauan Darel. Mereka semua panik melihat Darel yang gelisah dalam tidurnya. Keringatnya bercucuran. Mereka mengerubungi Darel. Sampai ada yang naik ke tempat tidurnya.
Raffa sudah menggenggam tangan Darel dan menangis. Adelina juga menangis melihat putra bungsunya yang gelisah serta keringat yang membasahi wajah putranya itu.
"Darel. Hei, ini mama sayang. Bukalah matamu," panggil Adelina. Tangannya membelai rambut Darel dan menghapus keringatnya.
"Ma, Papa. Darel kenapa?" tanya Axel yang khawatir melihat adik bungsunya.
"Tenanglah, sayang. Darel tidak apa-apa. Sepertinya Darel sedang bermimpi," hibur Arvind.
"Papa," panggil Darel dalam tidurnya.
Arvind yang mendengar putra bungsunya memanggilnya langsung mendekati putranya itu. Sedangkan Adelina berpindah tempat dan membiarkan suaminya duduk di samping putranya itu.
Arvind menggenggam tangan Darel dan membelai rambutnya.
"Hei, jagoan Papa. Papa disini sayang."
"Papa.. Papa." Darel makin gelisah dan histeris dalam tidurnya hal itu sukses membuat semuanya panik.
"Darel, bangunlah. Papa disini sayang," panggil Arvind sambil menepuk pelan pipi putra bungsunya.
"Darel," panggilnya lagi.
Darel pun berlahan membuka kedua mata bulatnya dengan nafas terengah-engah. Jangan lupa keringat yang bercucuran.
"Darel," panggil Arvind.
Darel menolehkan wajahnya melihat wajah ayahnya.
"Pa-papa," lirih Darel.
Detik kemudian Darel memeluk ayahnya yang duduk di sampingnya.
"Hiks." Darel terisak.
Mereka yang mendengar isakan Darel, merasakan sesak didada. Mereka tidak bisa melihat adik kesayangan mereka menangis. Karena itu adalah kelemahan mereka. Begitu juga dengan Adelina dan Arvind.
"Darel, kenapa sayang. Ceritakan pada Papa," ucap dan tanya Arvind sambil tangannya mengelus kepala belakang putranya.
Darel tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Dirinya masih erat memeluk ayahnya itu, lalu lima menit kemudian terdengar suara manja dari mulutnya.
"Papa mau tidak menemaniku tidur," pintanya tanpa melihat wajah ayahnya.
Arvind dan yang lainnya hanya tersenyum, lalu terlintas ide jahil di pikiran Adelina.
"Kalau Papa tidur dengan Darel, lalu siapa yang akan menemani mama tidur?"
"Mama tidur sendiri saja. Biarkan Papa menemaniku disini. Cuma sebentar kok, gak lama. Papa akan pindah ke kamarnya Mama, kalau aku sudah tidur," jawab Darel.
"Ya, sudah. Darel tidurlah. Jangan mikir apapun. Mama dan kakak-kakakmu akan keluar," ucap Adelina, lalu mengecup kening putranya.
"Mama yang terbaik. Aku menyayangi, Mama," sahut Darel.
"Mama juga menyayangimu, sayang." Adelina membalas ucapan putra bungsunya.
"Aku juga menyayangi kalian, Kak." Darel berucap kembali.
"Kami juga menyayangimu, Rel." mereka menjawabnya secara bersamaan.
Setelah itu mereka pun pergi meninggalkan kamar Darel. Dan kini tinggallah Darel dan ayahnya.
Darel menggeser tubuhnya ke tengah agar ayahnya bisa tidur di sampingnya.
"Sekarang tidurlah," ucap Arvind lembut.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved