Bab 23 Beban Pikiran
by Rivaldo
10:43,Jun 30,2021
Seperti biasa seluruh siswa SUMMER CAMP FOR JUNIORS IN Munich yang sedang melakukan kegiatan belajar mengajar. Tapi tidak untuk kelompok GASTA yang memang bisa di bilang berkuasa dan agak NAKAL. Kenakalan mereka sangat dan sangaat sampai seluruh guru angkat tangan dengan kelompok itu.
Bel tanda istirahat berbunyi...
KRIIIINNGG!
"Aah! Akhirnya istirahat juga," ujar Raffa.
"Yaa. Raffa Wilson jangan lupa tugasmu," omel Mr. Charlest.
"Iih. Masih ingat saja," batin Raffa. "Iya, iya. Lagian kenapa sih aku harus satu kelompok dengan Brendan. Merepotkan saja?" protes Raffa.
"Aku tidak mau tau! Itu kan sudah deal," jawab Mr. Charlest guru bahasa Inggris yang ganteng and unyuuk banget itu, tapi sangat KEJAAAAM.
Sepeninggalan Mr. Charlest. Raffa mendumel sendiri sambil memasuk-masukkan bukunya dengan raut wajah super enek. Apa lagi mengingat dia harus satu kelompok dengan Brendan. Sial bagi Raffa.
"Sabar, Raffa. Terima saja nasibmu," ejek Evan.
"Hm," Rico dan Ansel mengangguk-angguk kepala.
"Kalian benar-benar menyebalkan," kesal Raffa. Sedangkan Evan dan kelima sahabatnya hanya tersenyum.
Raffa kesal karena harus satu kelompok dengan salah satu anggota GASTA. Musuh bebuyutannya dan Evan.
"Kalian menyuruhku sabar? Bagaimana aku bisa sabar. Kalian lihat saja kelompok sirkus itu saja tidak ada sekarang. Dan aku harus mati-matian mengajaknya kerja kelompok kalian bisa bayangkan itu? Aiiish! Aku bisa mati muda kalau begini caranya," omel Raffa mulai kelimpungan sendiri dengan nasibnya dan tugasnya nanti.
"Untung aku dengan Rico. Jadi tugas seperti ini kecil," ujar Evan bangga.
"Kau sih enak dengan Rico. Ansel dengan Allan. Gustav dengan Luis. Nah, aku dengan siketua sirkus sialan itu. Bukannya kerja kelompok tapi adu mulut mulut," sahut Raffa kesal.
"Ach, sudahlah. Mari kita ke kantin. Aku sudah lapar." Luis mengajak sahabat-sahabatnya ke kantin.
"Hmm, ide bagus. Mari!" seru Evan sembari menyematkan tangannya ke lengan Raffa, lalu mereka bertujuh pergi ke kantin bersama.
***
Davian berada di Perusahaan CJ GRUP. Dirinya tengah sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk. Demi adik bungsu kesayangannya itu, dirinya ikhlas mengerjakannya. Lagian ini semua juga untuk kepentingan bersama. Dirinya sebagai kakak tertua tidak tega melihat adik bungsu kesayangannya itu harus memikul tanggung jawab yang begitu besar sendirian. Tambah lagi adiknya masih sekolah, takutnya kegiatan sekolahnya terganggu.
Jari-jari kekarnya sedang menari-nari di atas keyboard laptop miliknya. Davian ingin segera menyelesaikan pekerjaan, lalu dirinya ingin segera pulang ke rumah.
Saat Davian sedang asyik dengan dunianya. Sampai dirinya tak mendengar suara ketukan pintu dari luar.
CKLEK!
Pintu di buka oleh seseorang dan orang itu pun memutuskan untuk masuk.
"Kak," sapa orang itu.
Hal itu sukses membuat Davian terkejut dan merengut kesal.
"Aish. Kau ini kebiasaan sekali, Naufal. Kalau masuk tidak pernah ngetuk pintu dulu," kesal Davian.
"Yak! Jangan asal menuduhku, Kak. Kupingmu saja yang tak mendengar. Aku sudah berulang kali mengetuknya, tapi Kakak saja yang tuli karena tidak ada balasan darimu. Aku memutuskan untuk masuk saja," jawab Naufal yang bibir sudah panjang lima senti ke bawah.
Diam-diam Davian terkekeh melihat wajah merengut Naufal, adik sepupunya itu. Tapi Davian milih untuk menjahilinya. "Kenapa tu bibir? Apa mau minta dicium, hum?"
Reflek Naufal menutup mulutnya saat mendengar ucapan dari Kakak sepupunya. Sementara matanya menatap horror pada sang kakak.
"Ya, sudah. Kau sudah makan siang?" tanya Davian.
"Belum," jawab Naufal.
"Kalau begitu, ayo kita makan siang. Sekalian ajak Steven," ucap Davian.
Setelah itu, mereka berdua pun pergi meninggalkan ruang kerja Davian menuju ruang kerja Steven untuk makan siang bersama.
***
Arvind dan ketujuh putranya sedang berada di perusahaan HYUNDAI GROUP. Tepatnya di ruangan mereka masing-masing. Tapi beda dengan Elvan, Andre dan Arga. Ketiganya berada di ruangan kerjanya Ghali. Apa lagi alasannya kalau bukan untuk mengganggu Kakak ketiganya itu.
"Aish. Kenapa kalian kemari sih? Balik sana ke ruangan kalian. Atau Kakak adukan nih sama Papa," omel Ghali pada ketiga adik-adiknya.
Sedangkan mereka yang merasa diomeli hanya memilih acuh dan mengabaikan ucapan sang kakak dengan tidur-tiduran dan bermalas-malasan di sofa empuk yang ada di ruangan kerja tersebut.
Ghali mendengus kesal melihat kelakuan ketiga adik-adiknya itu dan memilih kembali fokus pada kerjaannya.
"Kak Andre, Kak Elvan. Aku penasaran, deh. Bagaimana ya tampang-tampang kesal dari Dirga dan kedua adik-adiknya Rayyan dan Kevin saat mereka pergi kerja dan kuliah tanpa kendaraan pribadi mereka?" tanya Arga.
"Eemm. Bagaimana ya??" Andre dan Elvan berpikir sejenak memikirkan wajah kesal saudara-saudaranya itu.
"Yang jelas wajah mereka jelek seperti hewan The Warthog ketika marah, ketika mereka mengomel terlihat gigi mereka seperti hewan The Aye Aye dan kalau emosi mereka meluap-luap, mereka akan tiduran dan guling-guling di lantai seperti hewan The Sloth," jawab Ghali yang masih fokus dengan kerjaannya, tapi cukup jelas mendengar pertanyaan dari adiknya, Arga.
Ketiga adiknya menatap dirinya. "Wah. Jawaban yang benar-benar komplit dan panjang, Kak!" seru Arga.
"Hahahaha." mereka tertawa.
"Sudahlah. Lebih baik kalian kembali kerja. Atau Kakak akan benar-benar adukan kalian sama Papa," ucap Ghali mengancam.
Akhirnya mereka bertiga pun pasrah akan ancaman dari sang kakak. Lalu mereka pun beranjak dari acara duduk manis mereka.
Saat mereka ingin melangkah menuju pintu keluar. Andre bersuara, "Kak, kau jangan sampai lupa menjemput sikelinci nakal itu. Sebentar lagi jam pelajarannya selesai. Jangan sampai kejadian itu terjadi lagi."
Ghali melihat jam ditangannya. "Iya. Kakak tidak lupa dengan jadwal Kakak untuk menjemput Darel. Dan kau Andre. Kau kan yang menjemput Evan dan Raffa?"
"Eem," jawab Andre.
Ghali menyudahi kerjaannya, lalu mereka pun keluar secara bersamaan dari ruang kerja Ghali.
***
Darel dan ketujuh sahabat-sahabatnya sedang membereskan buku-buku mereka. Hanya tersisa mereka saja. Sedangkan teman-teman mereka yang lain sudah berhamburan keluar meninggalkan kelas.
"Pokoknya hari ini kita akan menunggumu sampai kakakmu datang menjemputmu, Rel! Kita tidak mau kejadian kemarin terulang kembali," ucap Brian.
"Itu benar. Kemarin kita gagal jagain kamu. Jadi kami tidak mau gagal untuk yang kedua kalinya," sahut Kenzo.
Sementara Darel sudah tersenyum mendengar penuturan para sahabatnya. "Terima kasih. Aku benar-benar bahagia memiliki kalian."
"Ya, sudah. Yuk!" ajak Gavin.
Dan mereka pun pergi meninggalkan kelas menuju gerbang sekolah.
Saat ini mereka sudah berada di halaman sekolah. Sepuluh menit mereka menunggu, akhirnya terdengarlah suara klason mobil.
TIN!
TIN!
Mereka semua melihat kearah suara tersebut dan dapat mereka lihat orang itu melambaikan tangannya kearah mereka.
"Nah, itu kakakmu sudah datang menjemputmu, Rel!" seru Azri.
"Ya, sudah. Kalau begitu aku duluan ya. Kalian hati-hatilah bawa motornya dan jangan ngebut," ucap Darel sembari menasehati para sahabatnya itu.
"Ya, pasti." mereka menjawab secara bersamaan.
***
Darel sudah berada di dalam mobil bersama kakak kesayangannya. Sepanjang perjalanan, Darel hanya diam tanpa ada niat untuk membuka suara. Hal itu sukses membuat Ghali, sang kakak sangat khawatir. Tidak seperti biasanya. Setahunya kalau adiknya ini sangat cerewet saat berada di dalam mobil. Adiknya akan selalu bertanya ini itu padanya atau pada saudara-saudaranya yang lain saat ketika mengantar atau menjemputnya dari sekolah. Tapi kali ini sang adik hanya diam membisu.
"Darel," panggil Ghali.
Darel yang merasa dipanggil pun mengalihkan pandangannya dan melihat kakaknya itu. "Ada apa, Kak?"
"Ada apa, hum? Kenapa diam saja? Biasanya Darel selalu cerewet ketika di dalam mobil?" tanya Ghali.
Darel berlahan menunduk dan seketika terdengar suara isakan yang keluar dari bibirnya. Sontak membuat Ghali menghentikan mobilnya.
"Hei, Darel. Kenapa? Kenapa menangis? Apa ada yang menyakitimu di sekolah, hum?" tanya Ghali bertubi-tubi sembari mengelus-elus punggung dan kepala adiknya.
"Hiks... aku tidak mau pulang," jawab Darel.
"Tidak mau pulang. Maksud Darel apa?" tanya Ghali bingung.
"Ka-kakak. Aku mau pulang ke rumah kita saja. Aku tidak mau pulang ke rumahnya Kakek... Hiks."
Hati Ghali sakit saat mendengar Darel yang mengatakan kalau dirinya ingin pulang ke rumah kita. Tidak mau pulang ke rumah Kakek.
"Kakak. Aku tidak mau kesana lagi."
Ghali menarik tubuh adiknya ke dalam dekapannya dan kemudian memeluknya erat, serta memberikan kecupan di kepala sang adik.
"Kakak tahu perasaan kamu. Kakak sangat tahu hal itu. Begini saja, kita pulang dulu ke rumah Kakek. Masalah ini nanti kita bicarakan sama Mama dan Papa," bujuk Ghali.
Darel mengangguk di dalam pelukan kakaknya itu. Ghali melepaskan pelukannya dan menatap wajah tampan adiknya itu. Lalu tangannya menghapus jejak air mata di wajah adiknya.
"Sekarang kita pulang ya." Ghali berucap dengan sangat lembut.
Melihat adiknya sudah merasa tenang. Ghali kembali menghidupkan mesin mobilnya. Dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Bel tanda istirahat berbunyi...
KRIIIINNGG!
"Aah! Akhirnya istirahat juga," ujar Raffa.
"Yaa. Raffa Wilson jangan lupa tugasmu," omel Mr. Charlest.
"Iih. Masih ingat saja," batin Raffa. "Iya, iya. Lagian kenapa sih aku harus satu kelompok dengan Brendan. Merepotkan saja?" protes Raffa.
"Aku tidak mau tau! Itu kan sudah deal," jawab Mr. Charlest guru bahasa Inggris yang ganteng and unyuuk banget itu, tapi sangat KEJAAAAM.
Sepeninggalan Mr. Charlest. Raffa mendumel sendiri sambil memasuk-masukkan bukunya dengan raut wajah super enek. Apa lagi mengingat dia harus satu kelompok dengan Brendan. Sial bagi Raffa.
"Sabar, Raffa. Terima saja nasibmu," ejek Evan.
"Hm," Rico dan Ansel mengangguk-angguk kepala.
"Kalian benar-benar menyebalkan," kesal Raffa. Sedangkan Evan dan kelima sahabatnya hanya tersenyum.
Raffa kesal karena harus satu kelompok dengan salah satu anggota GASTA. Musuh bebuyutannya dan Evan.
"Kalian menyuruhku sabar? Bagaimana aku bisa sabar. Kalian lihat saja kelompok sirkus itu saja tidak ada sekarang. Dan aku harus mati-matian mengajaknya kerja kelompok kalian bisa bayangkan itu? Aiiish! Aku bisa mati muda kalau begini caranya," omel Raffa mulai kelimpungan sendiri dengan nasibnya dan tugasnya nanti.
"Untung aku dengan Rico. Jadi tugas seperti ini kecil," ujar Evan bangga.
"Kau sih enak dengan Rico. Ansel dengan Allan. Gustav dengan Luis. Nah, aku dengan siketua sirkus sialan itu. Bukannya kerja kelompok tapi adu mulut mulut," sahut Raffa kesal.
"Ach, sudahlah. Mari kita ke kantin. Aku sudah lapar." Luis mengajak sahabat-sahabatnya ke kantin.
"Hmm, ide bagus. Mari!" seru Evan sembari menyematkan tangannya ke lengan Raffa, lalu mereka bertujuh pergi ke kantin bersama.
***
Davian berada di Perusahaan CJ GRUP. Dirinya tengah sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk. Demi adik bungsu kesayangannya itu, dirinya ikhlas mengerjakannya. Lagian ini semua juga untuk kepentingan bersama. Dirinya sebagai kakak tertua tidak tega melihat adik bungsu kesayangannya itu harus memikul tanggung jawab yang begitu besar sendirian. Tambah lagi adiknya masih sekolah, takutnya kegiatan sekolahnya terganggu.
Jari-jari kekarnya sedang menari-nari di atas keyboard laptop miliknya. Davian ingin segera menyelesaikan pekerjaan, lalu dirinya ingin segera pulang ke rumah.
Saat Davian sedang asyik dengan dunianya. Sampai dirinya tak mendengar suara ketukan pintu dari luar.
CKLEK!
Pintu di buka oleh seseorang dan orang itu pun memutuskan untuk masuk.
"Kak," sapa orang itu.
Hal itu sukses membuat Davian terkejut dan merengut kesal.
"Aish. Kau ini kebiasaan sekali, Naufal. Kalau masuk tidak pernah ngetuk pintu dulu," kesal Davian.
"Yak! Jangan asal menuduhku, Kak. Kupingmu saja yang tak mendengar. Aku sudah berulang kali mengetuknya, tapi Kakak saja yang tuli karena tidak ada balasan darimu. Aku memutuskan untuk masuk saja," jawab Naufal yang bibir sudah panjang lima senti ke bawah.
Diam-diam Davian terkekeh melihat wajah merengut Naufal, adik sepupunya itu. Tapi Davian milih untuk menjahilinya. "Kenapa tu bibir? Apa mau minta dicium, hum?"
Reflek Naufal menutup mulutnya saat mendengar ucapan dari Kakak sepupunya. Sementara matanya menatap horror pada sang kakak.
"Ya, sudah. Kau sudah makan siang?" tanya Davian.
"Belum," jawab Naufal.
"Kalau begitu, ayo kita makan siang. Sekalian ajak Steven," ucap Davian.
Setelah itu, mereka berdua pun pergi meninggalkan ruang kerja Davian menuju ruang kerja Steven untuk makan siang bersama.
***
Arvind dan ketujuh putranya sedang berada di perusahaan HYUNDAI GROUP. Tepatnya di ruangan mereka masing-masing. Tapi beda dengan Elvan, Andre dan Arga. Ketiganya berada di ruangan kerjanya Ghali. Apa lagi alasannya kalau bukan untuk mengganggu Kakak ketiganya itu.
"Aish. Kenapa kalian kemari sih? Balik sana ke ruangan kalian. Atau Kakak adukan nih sama Papa," omel Ghali pada ketiga adik-adiknya.
Sedangkan mereka yang merasa diomeli hanya memilih acuh dan mengabaikan ucapan sang kakak dengan tidur-tiduran dan bermalas-malasan di sofa empuk yang ada di ruangan kerja tersebut.
Ghali mendengus kesal melihat kelakuan ketiga adik-adiknya itu dan memilih kembali fokus pada kerjaannya.
"Kak Andre, Kak Elvan. Aku penasaran, deh. Bagaimana ya tampang-tampang kesal dari Dirga dan kedua adik-adiknya Rayyan dan Kevin saat mereka pergi kerja dan kuliah tanpa kendaraan pribadi mereka?" tanya Arga.
"Eemm. Bagaimana ya??" Andre dan Elvan berpikir sejenak memikirkan wajah kesal saudara-saudaranya itu.
"Yang jelas wajah mereka jelek seperti hewan The Warthog ketika marah, ketika mereka mengomel terlihat gigi mereka seperti hewan The Aye Aye dan kalau emosi mereka meluap-luap, mereka akan tiduran dan guling-guling di lantai seperti hewan The Sloth," jawab Ghali yang masih fokus dengan kerjaannya, tapi cukup jelas mendengar pertanyaan dari adiknya, Arga.
Ketiga adiknya menatap dirinya. "Wah. Jawaban yang benar-benar komplit dan panjang, Kak!" seru Arga.
"Hahahaha." mereka tertawa.
"Sudahlah. Lebih baik kalian kembali kerja. Atau Kakak akan benar-benar adukan kalian sama Papa," ucap Ghali mengancam.
Akhirnya mereka bertiga pun pasrah akan ancaman dari sang kakak. Lalu mereka pun beranjak dari acara duduk manis mereka.
Saat mereka ingin melangkah menuju pintu keluar. Andre bersuara, "Kak, kau jangan sampai lupa menjemput sikelinci nakal itu. Sebentar lagi jam pelajarannya selesai. Jangan sampai kejadian itu terjadi lagi."
Ghali melihat jam ditangannya. "Iya. Kakak tidak lupa dengan jadwal Kakak untuk menjemput Darel. Dan kau Andre. Kau kan yang menjemput Evan dan Raffa?"
"Eem," jawab Andre.
Ghali menyudahi kerjaannya, lalu mereka pun keluar secara bersamaan dari ruang kerja Ghali.
***
Darel dan ketujuh sahabat-sahabatnya sedang membereskan buku-buku mereka. Hanya tersisa mereka saja. Sedangkan teman-teman mereka yang lain sudah berhamburan keluar meninggalkan kelas.
"Pokoknya hari ini kita akan menunggumu sampai kakakmu datang menjemputmu, Rel! Kita tidak mau kejadian kemarin terulang kembali," ucap Brian.
"Itu benar. Kemarin kita gagal jagain kamu. Jadi kami tidak mau gagal untuk yang kedua kalinya," sahut Kenzo.
Sementara Darel sudah tersenyum mendengar penuturan para sahabatnya. "Terima kasih. Aku benar-benar bahagia memiliki kalian."
"Ya, sudah. Yuk!" ajak Gavin.
Dan mereka pun pergi meninggalkan kelas menuju gerbang sekolah.
Saat ini mereka sudah berada di halaman sekolah. Sepuluh menit mereka menunggu, akhirnya terdengarlah suara klason mobil.
TIN!
TIN!
Mereka semua melihat kearah suara tersebut dan dapat mereka lihat orang itu melambaikan tangannya kearah mereka.
"Nah, itu kakakmu sudah datang menjemputmu, Rel!" seru Azri.
"Ya, sudah. Kalau begitu aku duluan ya. Kalian hati-hatilah bawa motornya dan jangan ngebut," ucap Darel sembari menasehati para sahabatnya itu.
"Ya, pasti." mereka menjawab secara bersamaan.
***
Darel sudah berada di dalam mobil bersama kakak kesayangannya. Sepanjang perjalanan, Darel hanya diam tanpa ada niat untuk membuka suara. Hal itu sukses membuat Ghali, sang kakak sangat khawatir. Tidak seperti biasanya. Setahunya kalau adiknya ini sangat cerewet saat berada di dalam mobil. Adiknya akan selalu bertanya ini itu padanya atau pada saudara-saudaranya yang lain saat ketika mengantar atau menjemputnya dari sekolah. Tapi kali ini sang adik hanya diam membisu.
"Darel," panggil Ghali.
Darel yang merasa dipanggil pun mengalihkan pandangannya dan melihat kakaknya itu. "Ada apa, Kak?"
"Ada apa, hum? Kenapa diam saja? Biasanya Darel selalu cerewet ketika di dalam mobil?" tanya Ghali.
Darel berlahan menunduk dan seketika terdengar suara isakan yang keluar dari bibirnya. Sontak membuat Ghali menghentikan mobilnya.
"Hei, Darel. Kenapa? Kenapa menangis? Apa ada yang menyakitimu di sekolah, hum?" tanya Ghali bertubi-tubi sembari mengelus-elus punggung dan kepala adiknya.
"Hiks... aku tidak mau pulang," jawab Darel.
"Tidak mau pulang. Maksud Darel apa?" tanya Ghali bingung.
"Ka-kakak. Aku mau pulang ke rumah kita saja. Aku tidak mau pulang ke rumahnya Kakek... Hiks."
Hati Ghali sakit saat mendengar Darel yang mengatakan kalau dirinya ingin pulang ke rumah kita. Tidak mau pulang ke rumah Kakek.
"Kakak. Aku tidak mau kesana lagi."
Ghali menarik tubuh adiknya ke dalam dekapannya dan kemudian memeluknya erat, serta memberikan kecupan di kepala sang adik.
"Kakak tahu perasaan kamu. Kakak sangat tahu hal itu. Begini saja, kita pulang dulu ke rumah Kakek. Masalah ini nanti kita bicarakan sama Mama dan Papa," bujuk Ghali.
Darel mengangguk di dalam pelukan kakaknya itu. Ghali melepaskan pelukannya dan menatap wajah tampan adiknya itu. Lalu tangannya menghapus jejak air mata di wajah adiknya.
"Sekarang kita pulang ya." Ghali berucap dengan sangat lembut.
Melihat adiknya sudah merasa tenang. Ghali kembali menghidupkan mesin mobilnya. Dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved