Bab 15 Ketakutan Agatha
by Rivaldo
14:05,Jun 28,2021
Agatha saat ini sedang berada di kamarnya. Dirinya terlihat dongkol atas kejadian tadi siang di ruang tengah. Dia benar-benar marah atas kelakuan Darel kepadanya. Dirinya berpikir keras. Apa yang menyebabkan bocah sialan itu berani melawannya?
"Brengsek kau, Darel. Tunggu pembalasanku," batin Agatha.
Lalu matanya tak sengaja melirik sebuah VCD yang terletak di meja riasnya. Dan dia pun baru sadar VCD itu adalah VCD yang diberikan oleh Darel kepadanya.
Agatha pun mengambil VCD tersebut. "VCD apa ini? Kenapa bocah sialan itu memberikannya padaku?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Penasaran akan isinya. Agatha pun memutar VCD tersebut.
"Hallo. Aku mau kau memberikan sedikit pelajaran pada bocah sialan yang kemarin kau tabrak itu. Dia sudah berani melawanku," ucap Agatha.
"Darel Wilson. Tunggu pembalasanku. Kau pikir aku akan diam saja, hah? Kau boleh bersenang-senang karena selamat dari tabrakan itu dan orang suruhanku gagal membunuhmu. Tapi lain kali aku tidak akan gagal untuk melenyapkanmu bocah sialan."
"Brengsek. Bocah itu benar-benar kurang ajar. Sejak kapan dia mengambil dan merekam pembicaraanku?"
"Eheeemm." Darel berdehem keras sambil bersandar di depan pintu kamar Agatha dengan kedua tangan berlipat di dadanya.
Mendengar deheman tersebut, hal itu sukses membuat Agatha terperanjak kaget.
"Kau. Kenapa kau ada disitu, hah?" tanya Agatha dengan suara yang keras.
"Tidak ada. Hanya kebetulan lewat. Dan aku lihat pintu kamarnya Bibi tidak tertutup. Ya, sudah aku berdiri disini sambil menyakitkan Bibi yang sedang menonton VCD dariku." Darel menjawabnya dengan santainya.
"Lebih baik kau pergi dari disini. Aku tidak mau berurusan denganmu sekarang ini!" bentak Agatha.
"Jangan marah-marah, Bi. Seharusnya Bibi berterima kasih padaku karena aku yang pertama kali masuk ke kamar Bibi dan melihat video itu. Coba kalau Mama, Papa, Kakek atau salah satu kakak-kakakku yang melihatnya, bagaimana? Mau ditaruh dimana tu wajah Bibi. Dan aku pastikan mereka akan membawa masalah ini ke polisi. Kalau aku mau, aku bisa memperlihatkan video itu ke polisi hari ini juga." Darel berbicara sambil menatap remeh Agatha dan juga posisinya masih dalam keadaan santai.
Sedangkan Agatha sudah terlihat sedikit ketakutan di wajahnya.
Agatha mengambil VCD tersebut, lalu mematahkan VCD itu. "Kau lihat ini, bocah sialan. VCD ini telah rusak dan sudah kupatahkan. Jadi, kau tidak memiliki bukti apapun untuk melaporkanku ke polisi!" bentak Agatha dengan wajah bahagianya.
Darel masih santai menanggapi Agatha dan jangan lupa sedikit senyuman yang tersungging di sudut bibirnya.
"Hahahaha." Darel tertawa keras. "Jangan senang dulu, Bibiku sayang. VCD yang Bibi patahkan itu hanya salinannya saja. Masih banyak salinannya padaku. Masih sekitar 99 salinan lagi, karena aku mengkopi sebanyak 100 VCD. Bibi masih punya 99 VCD lagi untuk dipatahkan sampai Bibi mendapatkan yang aslinya," tutur Darel.
"Sialan. Mau apa kau?!" bentak Agatha.
"Aku hanya minta pada Bibi. Jangan pernah menghina mamaku. Dan jangan pernah untuk coba-coba menyakitiku atau berusaha untuk membunuhku. Bibi juga seorang ibukan? Bagaimana kalau aku menyuruh orang menyakiti salah satu putra bibi? Apa bibi mau kehilangan salah satu dari mereka?" Darek berucap dengan penuh penekanan.
"Kau tidak akan berani melakukan itu bocah!" bentak Agatha.
"Kita lihat saja nanti. Apa yang akan terjadi? Yang jelas aku tidak akan diam saja menerima semua perbuatanmu, Nyonya Agatha," ketus Darek, lalu pergi meninggalkan kamarnya Agatha
"Ternyata bocah itu benar-benar licik dan pintar. Wajahnya saja yang terlihat polos. Tapi kelakuannya tak jauh beda dari ayah dan kakak-kakaknya. Bahkan bocah sialan itu diam-diam mengerikan juga. Selama ini aku telah salah menilainya. Mulai sekarang aku harus hati-hati melangkah. Kalau aku sampai salah langkah, bisa-bisa putra-putraku yang jadi korbannya. Aku juga tidak bisa anggap remeh bocah itu. Bagaimana kalau bocah itu benar-benar akan mencelakakan salah satu putraku?" Agatha monolog.
Darel kembali ke kamarnya setelah dari kamar bibinya. Darel memang awalnya tidak sengaja. Tapi salahkan rasa ingin tahunya, membuat dirinya melangkahkan kakinya menuju kamar sang bibi. Dan kebetulan nasib baik memang memihak padanya, karena bibinya itu terlalu bodoh dan ceroboh sampai lupa menutup dan mengunci pintu kamarnya terlebih dahulu. Hasilnya, Darel dengan bebas nonton gratis disana. Darel tersenyum puas melihat wajah takut bibinya itu. Paling tidak sedikit kelegaan baginya, bisa membuat bibinya tak berkutik didepannya.
"Maafkan aku, Bi. Aku tidak bermaksud melakukan ini padamu. Tapi kau sendiri yang membuatku seperti ini," batin Darel.
Lalu terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya.
TOK!
TOK!
TOK!
TOK!
"Siapa?" teriak Darel dari dalam kamar.
"Ini Paman William!" teriak William dari luar.
"Masuklah, Paman. Pintunya tidak dikunci!" teriak Darel.
CKLEK!
Pinta di buka oleh William. Kepalanya menyembul di balik pintu.
"Boleh Paman masuk?" tanya William lembut.
"Boleh, Paman. Silahkan," jawab Darel tak kalah lembut.
William pun melangkahkan kakinya masuk ke kamar keponakannya itu, lalu duduk di sampingnya.
"Ada apa, Paman?" tanya Darel.
"Paman mau membicarakan soal bibimu, bibi Agatha," jawab William.
"Masalah apa, Paman?" tanya Darel lagi.
"Paman minta maaf atas perlakuan buruk istri Paman selama ini. Baik padamu maupun pada keluargamu," ucap William tulus.
"Aku sudah memaafkannya, Paman. Jadi paman jangan merasa bersalah seperti ini. Aku tahu sebenarnya Paman tidak mau hal ini terjadi. Tapi bagaimana lagi. Ini sudah terjadi. Aku tidak pernah marah atau benci pada Paman maupun Bibi," jawab Darel.
"Terima kasih, Darel. Kau memang anak yang baik. Tidak salah kakekmu memilihmu. Paman bangga padamu," ucap William sambil mengusap lembut rambut Darel.
"Aish. Paman terlalu memujiku," sahut Darel.
"Oh, iya. Satu lagi, Rel."
"Apa itu paman? Katakan saja."
"Apa benar kalau Bibimu dan ketujuh putra Paman sudah tidak diperbolehkan makan satu meja dengan anggota keluarga yang lain?" tanya William.
"Sebenarnya...!!" Darel bingung mau jawab apa?
"Paman mengerti. Berikan satu kesempatan untuk bibimu dan ketujuh kakak sepupumu agar tetap makan satu meja dengan anggota keluarga yang lainnya. Paman janji padamu. Tidak akan ada keributan saat berada dimeja makan," mohon William.
Darel tersenyum kepada Pamannya. "Baiklah, Paman. Aku percaya padamu," jawab Darel.
"Terima kasih, Darel."
"Sama-sama Paman."
"Kalau begitu paman keluar dulu."
Willian pun pergi meninggalkan kamar Darel dan menuju kamarnya untuk menemui istrinya.
William sudah berada di kamarnya. Dan kebetulan istrinya, Agatha berada di kamar juga.
"Agatha, aku mau bicara sesuatu padamu!" seru William.
"Kau mau bicara apa sayang?" tanya Agatha dan duduk di samping suaminya.
"Aku minta padamu mulai sekarang rubah sikapmu. Terutama saat di meja makan. Aku tidak mau kau mencari masalah atau ribut saat di meja makan. Sudah cukup, Agatha. Aku malu dengan sikapmu. Aku suamimu. Tolong dengarkan aku. Tapi kalau kau tidak bisa. Kau boleh pergi mencari suami baru. Suami yang membiarkan apapun yang dilakukan oleh istrinya. Oh ya, satu lagi. Tolong katakan juga pada anak-anak. Suruh mereka merubah sikap mereka. Kalau mereka tidak mau. Katakan pada mereka kalau aku akan menarik semua fasilitas mereka," ucap William, lalu pergi menuju kamar mandi untuk bersih-bersih.
Agatha diam membisu di tempat. "Brengsek. Setan apa yang sudah merasuki otak suamiku itu? Kenapa dia sekarang menjadi lembek begini? Kemana perginya William Wilson yang selalu menurut dan mendengar kata-kataku dan tidak ikut campur apa yang aku lakukan di rumah ini. Tapi aku juga tidak bisa melanggar perintahnya. Bagaimana pun aku belum mendapatkan apa yang aku incar selama ini? Jadi tidak apa-apalah. Untuk kali ini aku menjadi istri penurut!" batinnya tersenyum sinis.
CKLEK!
William keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang sudah bersih dan harum.
"Ini pakaianmu, sayang," ucap Agatha.
"Bagaimana dengan permintaanku barusan, Agatha?"
"Aku akan berusaha merubahnya sayang. Demi dirimu," jawab Agatha.
"Kalau bukan demi hartamu. Ogah aku menuruti kata-katamu," batin Agatha.
Darel saat ini tengah bersantai di ruang tengah dengan ponsel di tangannya. Dari kejauhan para kakaknya sedang memandanginya. Mereka tersenyum bahagia melihat sibungsu yang sedang senyam senyum menatap ponsel miliknya, lalu detik kemudian datang perusuh yang ingin mengganggu ketenangan sang adik.
"Hei. Lihat sibos besar lagi duduk santai ternyata," sindir Marcel.
"Enak, ya jadi Bos." Kevin berbicara sembari mengejek.
"Mentang-mentang diberikan kepercayaan dan mendapatkan warisan dari kakek, dia jadi belagu," sinis Aldan.
"Kau benar, Aldan. Anak sialan ini sudah belagu di rumah ini. Kemarin saat di meja makan seenaknya saja dia bersikap kasar pada Mama," ketus Caleb.
Merasa tidak dapat balasan atau reaksi dari Darel. Mereka marah dan tidak terima akan sikap Darel.
"Sialan nih, bocah. Dianggap apa kita ini. Sedari tadi kita bicara disini. Bocah ini sama sekali tak menghiraukan kita," ujar Dzaky.
Dengan kasarnya Rayyan merampas ponsel Darel yang ada ditanyanya. Dan hal ini membuat Darel menatap mereka tajam.
"Mau apa kalian, Kak? Apa tidak ada pekerjaan lain selain menggangguku? Apa sudah hobi kalian, ya selalu menggangguku?" ucap Darel kesal.
"Ooh, ternyata bocah ini bisa bicara. Aku pikir dia bisu," ejek Dirga.
"Hahahaha." mereka tertawa
"Kembalikan ponselku," ucap Darel.
"Kau mau ponselmu, hah!" bentak Rayyan. "Ini ambil!" seru Rayyan, lalu membanting ponsel tersebut.
PRANG!
Ponsel itu hancur seketika atas ulah Rayyan.
Darel menatap makin tajam kearah Rayyan. Dengan beraninya Darel menarik kasar kerah baju Rayyan sehingga membuat Rayyan tercekik.
"Ponselku itu dibeli dari hasil kerja keras Papaku, bukan dari warisan Kakek. Kau tidak berhak membantingnya. Kuberi kau waktu satu hari untuk menggantinya. Kalau kau tidak mau membelinya, akan aku pastikan kau pergi kuliah naik kendaraan umum selama satu minggu penuh." Darel berucap penuh penekanan dan juga ancaman.
Setelah mengatakan hal itu, Darel pun pergi meninggalkan mereka semua.
Baru beberapa langkah, Derel berhenti dan berbalik. "Aku mau ponsel yang sama. Tidak mau ponsel merek lain. Dan aku juga mau kau membelinya menggunakan uangmu sendiri, tidak meminta pada orang tuamu. Kalau sampai aku mengetahui kau menggunakan uang orang tuamu untuk membeli ponsel tersebut, aku akan menambahkan satu minggu lagi. Jadi, kau akan kuliah naik kendaraan umum selama dua minggu. Berlaku untuk kalian juga. Bagi kalian yang memberikan tumpangan padanya. Selama dua minggu kalian akan sama seperti saudara bodoh kalian itu. Kehilangan kendaraan pribadi kalian."
Setelah mengatakan hal itu, Darel kembali melangkahkan kakinya pergi dari sana. Kini tersisa Dirga dan saudara-saudaranya.
Sedangkan para kakak-kakaknya yang sedari tadi masih setia mengawasinya dan menyaksikan disaat diganggu tersenyum puas. Mereka tersenyum meremehkan meliha Dirga dan adik-adiknya yang mati kutu ketika mendapatkan perlawanan dari adiknya. Melihat adiknya yang melawan para perusuh keluarga Wilson merasa kebahagiaan tersendiri bagi mereka.
"Wah. Adikku benar-benar hebat," puji Arga.
"Itu adikku yang manis," ucap Andre tak mau kalah.
"Itu adikku. Sifat beraninya menular dariku," ujar Davian bangga.
"Kau salah, Kak. Sifatnya menular dariku. Kau saja kalau emosi seperti orang kesetanan. Sedangkan Darel masih bisa mengontrol dirinya," ejek Ghali.
"Yak. Sialan kau," umpat Davian.
"Tapi benarkan?" tanya Ghali sambil menaik turunkan alisnya.
"Kenapa kalian malah bertengkar, sih? Sifat Siapapun yang menular kepada Darel. Yang jelas dia adik kita. Adik kesayangan kita," tutur Raffa yang jengah melihat kakak-kakaknya yang ribut hal sepele.
Mereka semua menatap Raffa dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Wah. Sejak kapan adik alien Kakak ini bisa bijak seperti ini, hum?" goda Nevan.
"Aish!" kesal Raffa, lalu pergi meninggalkan kakak-kakaknya itu.
"Yak, Raffa Wilson!" teriak mereka, lalu mereka semua mengejar Raffa.
"Brengsek kau, Darel. Tunggu pembalasanku," batin Agatha.
Lalu matanya tak sengaja melirik sebuah VCD yang terletak di meja riasnya. Dan dia pun baru sadar VCD itu adalah VCD yang diberikan oleh Darel kepadanya.
Agatha pun mengambil VCD tersebut. "VCD apa ini? Kenapa bocah sialan itu memberikannya padaku?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Penasaran akan isinya. Agatha pun memutar VCD tersebut.
"Hallo. Aku mau kau memberikan sedikit pelajaran pada bocah sialan yang kemarin kau tabrak itu. Dia sudah berani melawanku," ucap Agatha.
"Darel Wilson. Tunggu pembalasanku. Kau pikir aku akan diam saja, hah? Kau boleh bersenang-senang karena selamat dari tabrakan itu dan orang suruhanku gagal membunuhmu. Tapi lain kali aku tidak akan gagal untuk melenyapkanmu bocah sialan."
"Brengsek. Bocah itu benar-benar kurang ajar. Sejak kapan dia mengambil dan merekam pembicaraanku?"
"Eheeemm." Darel berdehem keras sambil bersandar di depan pintu kamar Agatha dengan kedua tangan berlipat di dadanya.
Mendengar deheman tersebut, hal itu sukses membuat Agatha terperanjak kaget.
"Kau. Kenapa kau ada disitu, hah?" tanya Agatha dengan suara yang keras.
"Tidak ada. Hanya kebetulan lewat. Dan aku lihat pintu kamarnya Bibi tidak tertutup. Ya, sudah aku berdiri disini sambil menyakitkan Bibi yang sedang menonton VCD dariku." Darel menjawabnya dengan santainya.
"Lebih baik kau pergi dari disini. Aku tidak mau berurusan denganmu sekarang ini!" bentak Agatha.
"Jangan marah-marah, Bi. Seharusnya Bibi berterima kasih padaku karena aku yang pertama kali masuk ke kamar Bibi dan melihat video itu. Coba kalau Mama, Papa, Kakek atau salah satu kakak-kakakku yang melihatnya, bagaimana? Mau ditaruh dimana tu wajah Bibi. Dan aku pastikan mereka akan membawa masalah ini ke polisi. Kalau aku mau, aku bisa memperlihatkan video itu ke polisi hari ini juga." Darel berbicara sambil menatap remeh Agatha dan juga posisinya masih dalam keadaan santai.
Sedangkan Agatha sudah terlihat sedikit ketakutan di wajahnya.
Agatha mengambil VCD tersebut, lalu mematahkan VCD itu. "Kau lihat ini, bocah sialan. VCD ini telah rusak dan sudah kupatahkan. Jadi, kau tidak memiliki bukti apapun untuk melaporkanku ke polisi!" bentak Agatha dengan wajah bahagianya.
Darel masih santai menanggapi Agatha dan jangan lupa sedikit senyuman yang tersungging di sudut bibirnya.
"Hahahaha." Darel tertawa keras. "Jangan senang dulu, Bibiku sayang. VCD yang Bibi patahkan itu hanya salinannya saja. Masih banyak salinannya padaku. Masih sekitar 99 salinan lagi, karena aku mengkopi sebanyak 100 VCD. Bibi masih punya 99 VCD lagi untuk dipatahkan sampai Bibi mendapatkan yang aslinya," tutur Darel.
"Sialan. Mau apa kau?!" bentak Agatha.
"Aku hanya minta pada Bibi. Jangan pernah menghina mamaku. Dan jangan pernah untuk coba-coba menyakitiku atau berusaha untuk membunuhku. Bibi juga seorang ibukan? Bagaimana kalau aku menyuruh orang menyakiti salah satu putra bibi? Apa bibi mau kehilangan salah satu dari mereka?" Darek berucap dengan penuh penekanan.
"Kau tidak akan berani melakukan itu bocah!" bentak Agatha.
"Kita lihat saja nanti. Apa yang akan terjadi? Yang jelas aku tidak akan diam saja menerima semua perbuatanmu, Nyonya Agatha," ketus Darek, lalu pergi meninggalkan kamarnya Agatha
"Ternyata bocah itu benar-benar licik dan pintar. Wajahnya saja yang terlihat polos. Tapi kelakuannya tak jauh beda dari ayah dan kakak-kakaknya. Bahkan bocah sialan itu diam-diam mengerikan juga. Selama ini aku telah salah menilainya. Mulai sekarang aku harus hati-hati melangkah. Kalau aku sampai salah langkah, bisa-bisa putra-putraku yang jadi korbannya. Aku juga tidak bisa anggap remeh bocah itu. Bagaimana kalau bocah itu benar-benar akan mencelakakan salah satu putraku?" Agatha monolog.
Darel kembali ke kamarnya setelah dari kamar bibinya. Darel memang awalnya tidak sengaja. Tapi salahkan rasa ingin tahunya, membuat dirinya melangkahkan kakinya menuju kamar sang bibi. Dan kebetulan nasib baik memang memihak padanya, karena bibinya itu terlalu bodoh dan ceroboh sampai lupa menutup dan mengunci pintu kamarnya terlebih dahulu. Hasilnya, Darel dengan bebas nonton gratis disana. Darel tersenyum puas melihat wajah takut bibinya itu. Paling tidak sedikit kelegaan baginya, bisa membuat bibinya tak berkutik didepannya.
"Maafkan aku, Bi. Aku tidak bermaksud melakukan ini padamu. Tapi kau sendiri yang membuatku seperti ini," batin Darel.
Lalu terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya.
TOK!
TOK!
TOK!
TOK!
"Siapa?" teriak Darel dari dalam kamar.
"Ini Paman William!" teriak William dari luar.
"Masuklah, Paman. Pintunya tidak dikunci!" teriak Darel.
CKLEK!
Pinta di buka oleh William. Kepalanya menyembul di balik pintu.
"Boleh Paman masuk?" tanya William lembut.
"Boleh, Paman. Silahkan," jawab Darel tak kalah lembut.
William pun melangkahkan kakinya masuk ke kamar keponakannya itu, lalu duduk di sampingnya.
"Ada apa, Paman?" tanya Darel.
"Paman mau membicarakan soal bibimu, bibi Agatha," jawab William.
"Masalah apa, Paman?" tanya Darel lagi.
"Paman minta maaf atas perlakuan buruk istri Paman selama ini. Baik padamu maupun pada keluargamu," ucap William tulus.
"Aku sudah memaafkannya, Paman. Jadi paman jangan merasa bersalah seperti ini. Aku tahu sebenarnya Paman tidak mau hal ini terjadi. Tapi bagaimana lagi. Ini sudah terjadi. Aku tidak pernah marah atau benci pada Paman maupun Bibi," jawab Darel.
"Terima kasih, Darel. Kau memang anak yang baik. Tidak salah kakekmu memilihmu. Paman bangga padamu," ucap William sambil mengusap lembut rambut Darel.
"Aish. Paman terlalu memujiku," sahut Darel.
"Oh, iya. Satu lagi, Rel."
"Apa itu paman? Katakan saja."
"Apa benar kalau Bibimu dan ketujuh putra Paman sudah tidak diperbolehkan makan satu meja dengan anggota keluarga yang lain?" tanya William.
"Sebenarnya...!!" Darel bingung mau jawab apa?
"Paman mengerti. Berikan satu kesempatan untuk bibimu dan ketujuh kakak sepupumu agar tetap makan satu meja dengan anggota keluarga yang lainnya. Paman janji padamu. Tidak akan ada keributan saat berada dimeja makan," mohon William.
Darel tersenyum kepada Pamannya. "Baiklah, Paman. Aku percaya padamu," jawab Darel.
"Terima kasih, Darel."
"Sama-sama Paman."
"Kalau begitu paman keluar dulu."
Willian pun pergi meninggalkan kamar Darel dan menuju kamarnya untuk menemui istrinya.
William sudah berada di kamarnya. Dan kebetulan istrinya, Agatha berada di kamar juga.
"Agatha, aku mau bicara sesuatu padamu!" seru William.
"Kau mau bicara apa sayang?" tanya Agatha dan duduk di samping suaminya.
"Aku minta padamu mulai sekarang rubah sikapmu. Terutama saat di meja makan. Aku tidak mau kau mencari masalah atau ribut saat di meja makan. Sudah cukup, Agatha. Aku malu dengan sikapmu. Aku suamimu. Tolong dengarkan aku. Tapi kalau kau tidak bisa. Kau boleh pergi mencari suami baru. Suami yang membiarkan apapun yang dilakukan oleh istrinya. Oh ya, satu lagi. Tolong katakan juga pada anak-anak. Suruh mereka merubah sikap mereka. Kalau mereka tidak mau. Katakan pada mereka kalau aku akan menarik semua fasilitas mereka," ucap William, lalu pergi menuju kamar mandi untuk bersih-bersih.
Agatha diam membisu di tempat. "Brengsek. Setan apa yang sudah merasuki otak suamiku itu? Kenapa dia sekarang menjadi lembek begini? Kemana perginya William Wilson yang selalu menurut dan mendengar kata-kataku dan tidak ikut campur apa yang aku lakukan di rumah ini. Tapi aku juga tidak bisa melanggar perintahnya. Bagaimana pun aku belum mendapatkan apa yang aku incar selama ini? Jadi tidak apa-apalah. Untuk kali ini aku menjadi istri penurut!" batinnya tersenyum sinis.
CKLEK!
William keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang sudah bersih dan harum.
"Ini pakaianmu, sayang," ucap Agatha.
"Bagaimana dengan permintaanku barusan, Agatha?"
"Aku akan berusaha merubahnya sayang. Demi dirimu," jawab Agatha.
"Kalau bukan demi hartamu. Ogah aku menuruti kata-katamu," batin Agatha.
Darel saat ini tengah bersantai di ruang tengah dengan ponsel di tangannya. Dari kejauhan para kakaknya sedang memandanginya. Mereka tersenyum bahagia melihat sibungsu yang sedang senyam senyum menatap ponsel miliknya, lalu detik kemudian datang perusuh yang ingin mengganggu ketenangan sang adik.
"Hei. Lihat sibos besar lagi duduk santai ternyata," sindir Marcel.
"Enak, ya jadi Bos." Kevin berbicara sembari mengejek.
"Mentang-mentang diberikan kepercayaan dan mendapatkan warisan dari kakek, dia jadi belagu," sinis Aldan.
"Kau benar, Aldan. Anak sialan ini sudah belagu di rumah ini. Kemarin saat di meja makan seenaknya saja dia bersikap kasar pada Mama," ketus Caleb.
Merasa tidak dapat balasan atau reaksi dari Darel. Mereka marah dan tidak terima akan sikap Darel.
"Sialan nih, bocah. Dianggap apa kita ini. Sedari tadi kita bicara disini. Bocah ini sama sekali tak menghiraukan kita," ujar Dzaky.
Dengan kasarnya Rayyan merampas ponsel Darel yang ada ditanyanya. Dan hal ini membuat Darel menatap mereka tajam.
"Mau apa kalian, Kak? Apa tidak ada pekerjaan lain selain menggangguku? Apa sudah hobi kalian, ya selalu menggangguku?" ucap Darel kesal.
"Ooh, ternyata bocah ini bisa bicara. Aku pikir dia bisu," ejek Dirga.
"Hahahaha." mereka tertawa
"Kembalikan ponselku," ucap Darel.
"Kau mau ponselmu, hah!" bentak Rayyan. "Ini ambil!" seru Rayyan, lalu membanting ponsel tersebut.
PRANG!
Ponsel itu hancur seketika atas ulah Rayyan.
Darel menatap makin tajam kearah Rayyan. Dengan beraninya Darel menarik kasar kerah baju Rayyan sehingga membuat Rayyan tercekik.
"Ponselku itu dibeli dari hasil kerja keras Papaku, bukan dari warisan Kakek. Kau tidak berhak membantingnya. Kuberi kau waktu satu hari untuk menggantinya. Kalau kau tidak mau membelinya, akan aku pastikan kau pergi kuliah naik kendaraan umum selama satu minggu penuh." Darel berucap penuh penekanan dan juga ancaman.
Setelah mengatakan hal itu, Darel pun pergi meninggalkan mereka semua.
Baru beberapa langkah, Derel berhenti dan berbalik. "Aku mau ponsel yang sama. Tidak mau ponsel merek lain. Dan aku juga mau kau membelinya menggunakan uangmu sendiri, tidak meminta pada orang tuamu. Kalau sampai aku mengetahui kau menggunakan uang orang tuamu untuk membeli ponsel tersebut, aku akan menambahkan satu minggu lagi. Jadi, kau akan kuliah naik kendaraan umum selama dua minggu. Berlaku untuk kalian juga. Bagi kalian yang memberikan tumpangan padanya. Selama dua minggu kalian akan sama seperti saudara bodoh kalian itu. Kehilangan kendaraan pribadi kalian."
Setelah mengatakan hal itu, Darel kembali melangkahkan kakinya pergi dari sana. Kini tersisa Dirga dan saudara-saudaranya.
Sedangkan para kakak-kakaknya yang sedari tadi masih setia mengawasinya dan menyaksikan disaat diganggu tersenyum puas. Mereka tersenyum meremehkan meliha Dirga dan adik-adiknya yang mati kutu ketika mendapatkan perlawanan dari adiknya. Melihat adiknya yang melawan para perusuh keluarga Wilson merasa kebahagiaan tersendiri bagi mereka.
"Wah. Adikku benar-benar hebat," puji Arga.
"Itu adikku yang manis," ucap Andre tak mau kalah.
"Itu adikku. Sifat beraninya menular dariku," ujar Davian bangga.
"Kau salah, Kak. Sifatnya menular dariku. Kau saja kalau emosi seperti orang kesetanan. Sedangkan Darel masih bisa mengontrol dirinya," ejek Ghali.
"Yak. Sialan kau," umpat Davian.
"Tapi benarkan?" tanya Ghali sambil menaik turunkan alisnya.
"Kenapa kalian malah bertengkar, sih? Sifat Siapapun yang menular kepada Darel. Yang jelas dia adik kita. Adik kesayangan kita," tutur Raffa yang jengah melihat kakak-kakaknya yang ribut hal sepele.
Mereka semua menatap Raffa dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Wah. Sejak kapan adik alien Kakak ini bisa bijak seperti ini, hum?" goda Nevan.
"Aish!" kesal Raffa, lalu pergi meninggalkan kakak-kakaknya itu.
"Yak, Raffa Wilson!" teriak mereka, lalu mereka semua mengejar Raffa.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved