Bab 25 Hampir Saja
by Rivaldo
09:18,Jul 01,2021
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh tiga puluh. Dan waktunya anggota keluarga untuk melakukan makan malam bersama.
Seluruh anggota keluarga sudah berada di meja makan. Hanya menunggu sibungsu Wilson yaitu Darel.
"Aku akan memanggil Darel untuk makan malam bersama kita!" seru Vano, lalu beranjak dari duduknya.
Baru empat langkah Vano meninggalkan meja makan, terdengar suara derap langkah yang menuju kearah ruang makan.
TAP!
TAP!
TAP!
"Selamat malam sayang." Adelina menyapa putra bungsunya.
"Malam, Ma." Darel menjawab sapaan ibunya. Dan langsung duduk diantara Evan dan Raffa.
"Karena Darel sudah bersama kita. Ayo, kita mulai makan malamnya!" seru Antony.
Mereka pun mulai menyantap makan malam dengan hening. Selang beberapa detik kemudian, terjadi keributan.
"Dasar tidak tahu diri. Sudah membuat orang lain kesusahan, tapi dengan santainya dia menikmati makan malamnya tanpa rasa bersalah sama sekali," sindir Rayyan.
"Bermuka tembok. Sangat menjijikkan," ejek Kevin.
"Hei, Darel. Kenapa kau tidak pergi saja dari rumah ini? Kenapa kau masih betah saja tinggal disini?" tanya Dirga ketus.
Para kakak-kakaknya sudah mengepalkan tangan mereka kuat mendengar ucapan menjijikkan dari saudara sepupu mereka. Sesekali mereka melihat kearah Darel yang sepertinya tak terpancing akan ucapan-ucapan menjijikkan itu, tak terkecuali orang tuanya yang juga melihat kearahnya.
"Dasar penjilat," ujar Marcel.
"Kalau aku jadi dirimu. Aku pasti sudah pergi dari sini. Dan tidak akan sudi untuk tinggal lagi disini," ucap Caleb.
"Kalau begitu silahkan kalian pergi dari rumah ini. Kalian tidak dibutuhkan dan tidak dianggap oleh keluarga disini." Darel menjawab dengan nada ketus sembari fokus dengan makan malamnya.
"Brengsek! Kau berani mengusir kami, hah?!" bentak Dirga.
"Kau tidak punya hak untuk mengusir kami dari rumah ini!" sergah Aldan.
"Kalau begitu kalian juga tidak punya hak untuk mengusirku dan keluargaku dari rumah ini," jawab Darel santai.
"Dasar benalu," ejek Kevin.
"Paman Arvind, maaf sebelumnya. Aku rasa Paman sudah salah mendidik putra Paman bernama Darel. Putra Paman ini terlalu serakah akan hartanya Kakek. Katanya dia tidak menginginkannya, tapi dia tetap menerimanya juga," ujar Dirga.
"Dasar munafik," ucap Dzaky.
Mendengar perkataan para putra-putranya, Agatha tersenyum bangga akan putra-putranya. Sedangkan William sedang tidak berada di rumah. William sedang berada di luar kota.
"Bibi Adelina. Bibi itu sebagai ibu jangan diam saja. Didik tu putranya dengan baik. Jangan serakah dan tamak dengan hartanya kakek. Cucu Kakek itu bukan putra bibi saja. Kami semua juga cucunya Kakek. Atau jangan-jangan Bibi juga mengincar hartanya Kakek juga ya." Kevin berbicara dengan kejamnya kepada Adelina.
BYUURR!
PRAANG!
Darel berdiri dari duduknya dan langsung menyirami wajah Kevin dengan sop ayam yang ada di hadapannya.
"Aaarrgghh!!" Kevin berteriak saat merasakan pedih di matanya.
"Kevin!" teriak Dirga, Marcel dan Rayyan. Mereka menatap tajam Darel.
"Kevin, sayang." Agatha berdiri lalu membantu putranya.
"Kalian ingin sekali aku dan keluargaku pergi dari rumah ini, hah?! Apa kalian tidak sadar dan tidak berpikir apa status kalian di rumah ini? Aku dan kakaku lebih berhak tinggal di rumah ini dari pada kalian semua. Dalam tubuh kami mengalir darah keluarga Wilson. Aku cucu kandung dari Antony Wilson. Sedangkan kalian!!" tunjuk Darel dengan wajah emosinya. "Kalian buk...!" ucapan Darel terhenti.
"Darel Wilson!!" teriak Antony Wilson.
Darel melihat kearah kakeknya dengan tatapan tajamnya. Dan kedua tangannya mengepal kuat.
Adelina, Arvind, para Kakak kandungnya, para Kakak sepupunya, Paman dan Bibinya melihat tepat ke manik coklat milik Darel. Mereka dapat melihat dari tatapan mata Darel tersirat amarah yang begitu besar disana.
"Aarrgghhhh!" teriak Darel.
Darel pergi begitu saja meninggalkan anggota keluarganya menuju kamarnya di lantai dua.
Setibanya di lantai dua, Darel membuka pintu kamarnya. Darel melangkah masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamarnya dengan cara membantingnya.
BLAM!
Davian berdiri dari duduknya dan menatap tajam kearah Kevin dan saudara-saudaranya.
"Brengsek! Puas kalian semua, hah!" teriak Davian dan berlalu pergi dari sana disusul oleh Evan dan Raffa.
"Diberi hukuman bukannya jera. Ini malah makin merajela kelakuan kalian. Benar-benar menjijikkan." Nevan berucap.
Setelah itu, Nevan menyusul Davian, Evan dan Raffa.
"Kelakuan kalian sama saja seperti binatang. Bahkan lebih dari pada binatang," ucap Vano sarkas yang juga pergi menyusul keempat saudaranya
"Ma, Pa. Lebih baik kita ke kamarnya Darel. Ngapain masih disini," kata Daffa.
Arvind, Adelina pun mengangguk dan tak lupa mengajak sang Ayah, Antony.
"Ayo, Pa. Aku antar Papa ke kamar. Lebih baik Papa istirahat."
Evita, Daksa, Sandy, Salma beserta putra-putra mereka juga pergi meninggalkan meja makan. Kini tersisa Agatha dan tujuh putranya.
***
Darel duduk di lantai kamarnya dengan punggung bersandar di tempat tidur. Mata dan hidungnya memerah karena menangis. Kepalanya di tenggelamkan di antara dua lututnya. Sikucing mengedusel kepalanya di kakinya. Mungkin sikucing tahu kalau majikan barunya sedang sedih.
Darel mengangkat kepalanya lalu melihat kucing tersebut yang juga menatapnya. Kucing itu langsung melompat ke pangkuannya dan menyerangnya dengan menjilat-jilati wajah tampannya. Hal itu membuat Darel tertawa.
CKLEK!
Pintu kamarnya di buka oleh seseorang. Dikarenakan Darel sedang asyik bermain dengan kucing barunya, dirinya tak menyadari kehadiran orang tua dan para kakaknya.
Orang tuanya dan para kakaknya sudah berada di kamarnya yang tengah memperhatikan dirinya.
"Hahaha. Sudah, sudah. Jangan menjilat-jilati wajahku terus. Kau itu belum gosok gigikan. Nanti wajahku bau bekas ilermu," ucap Darel pada sikucing.
"MEEOOONG!"
Sikucing itu bersuara, lalu sikucing itu meletakkan tangannya di wajah Darel.
"Kau ingin menghiburku?" tanya Darel yang melihat sikucing dan tangannya mengelus-elus lembut bulu kucing itu.
"MEEOOONG!"
Sikucing itu bersuara lagi dengan masih menjilat-jilati wajahnya.
Sedangkan orang tuanya dan para kakak-kakaknya tersenyum bahagia dan gemas melihat Darel bermain dengan kucing barunya.
"Namamu siapa cing? Aku harus manggilmu apa? Apa sinenek lampir itu memberikanmu nama?"
"MEEOOONG!"
"Bagaimana kalau aku beri kamu nama Fluffy? Kamu mau?"
"MEEOOONG!!"
Kucing itu menjilati wajah Darel dan mengdusel kepalanya di leher Darel.
"Hahaha. Jadi kamu menyukai namanya? Baguslah kalau begitu."
"Hei, Fluffy. Kamu disini saja ya. Kamu tidak usah balik ama sinenek lampir itu. Dia sudah jelek, galak lagi. Apa kamu betah tinggal bersama nenek lampir itu?"
Darel membelai-belai lembut seluruh bulu kucing itu. Memeluk bahkan mencium kucing tersebut.
Orang tuanya dan para kakak-kakaknya yang sedari tadi menyaksikan kegiatannya sedikit bernafas lega. Paling tidak sibungsu kesayangan mereka tidak terlalu memikirkan kejadian di meja makan barusan.
"Nenek lampir? Siapa itu nenek lampir?" tanya Adelina.
"Hehe. Nenek lampir yang dimaksud Darel itu sipemilik dari kucing itu, Ma!" jawab Arga.
"Lalu kucing itu kok ada pada Darel?? Kalau sipemiliknya nyari bagaimana?" tanya Arvind.
"Nah, itu dia kenapa Darel nyebut sipemilik kucing itu nenek lampir karena Darel udah ketemu sama sipemilik kucing itu. Kemarin sipemilik kucing itu teriak-teriak di depan gerbang rumah kita. Lebih tepatnya di depan kamar Darel," jawab Nevan.
"Kucing itu memang datang sendiri ke kamarnya Darel. Kita melihatnya sendiri kalau kucing itu melompat dari balkon kamarnya Darel dan langsung bermain-main di kakinya Darel," tutur Evan.
"Dan itu sukses membuat Darel tersenyum. Lalu sipemilik kucing itu berteriak dan mengatakan bahwa Darel telah mencuri kucing miliknya," kata Raffa.
"Terjadilah perang mulut diantara mereka berdua," ujar Elvan.
"Gadis itu cantik dan manis lagi," kata Axel.
"Hei, Fluffy. Kamu tidak kangen ama
si cerewet majikanmu itu, hum? Mungkin saat ini dia sedang guling-guling di tempat tidur, nangis-nangis histeris di kamarnya. Bahkan mungkin saat ini kamarnya sudah hancur berantakan karena teriakannya dikarenakan kamunya gak balik," tutur Darel sembari mengelus lembut bulu kucing tersebut.
"Fluffy." Darel menatap kucing itu lalu sikucing itu menjilati wajahnya kembali. "Aku sedih nih. Apa benar ya kalau aku ini jahat? Apa benar ya kalau aku ini serakah akan hartanya Kakek? Apa yang harus aku lakukan Fluffy? Apa aku mundur saja? Tapi kalau aku mundur. Bagaimana dengan Kakek? Padahal Kakek sudah berharap banyak padaku. Kakek memberikan kepercayaan lebih padaku. Tadi saja saat di meja makan aku hampir saja keceplosan. Tapi untungnya Kakek berteriak memanggil namaku. Kalau tidak semuanya pasti sudah terbongkar," adu Darel pada kucing barunya.
"Apa maksud dari putra bungsuku barusan? Keceplosan? Terbongkar? Apa ada sesuatu rahasia besar yang disembunyikan oleh Papa lalu Papa memberitahukannya pada Darel," batin Arvind.
"Apa maksud dari ucapan barusan? Keceplosan? Terbongkar? Apa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Darel?" batin para kakak-kakaknya.
"Eehheeemmm." Arvind berdehem.
Dan hal itu sukses membuat Darel yang sedang asyik bermain-main dengan kucing barunya terkejut. Darel langsung membalikkan badannya melihat keasal suara.
"Papa, Mama, Kakak." Darel berucap lembut.
Sementara mereka semua menyunggingkan senyuman manis mereka ketika mendengar ucapan manis dan lembut kesayangan mereka. Setelah itu, Darel kembali menatap sikucing barunya.
Kedua orang tuanya dan para kakaknya melangkah menghampirinya, lalu duduk di dekatnya.
"Aish, kebiasaan sekali. Setiap masuk ke kamarku tidak pernah ketok pintu dulu. Itukan tidak sopan namanya," protes Darel dengan bibir yang dimanyunkan-manyunkan.
Lagi-lagi anggota keluarganya hanya tersenyum menanggapi aksi protes dari Jungkook.
"Eeooh. Putra Mama lagi merajuk nih," goda Adelina lalu memberikan kecupan di pipi kiri putra bungsunya.
"Mama." Darel bersemu malu saat ibunya mengecup pipinya.
Arvind juga ikut mengecup wajah tampan putra bungsunya itu. "Lengkap sudah. Kedua pipi putra Papa mendapatkan kecupan gratis. Satu dari Mama dan satu dari Papa," goda Arvind.
"Aish. Papa menyebalkan."
Arvind menarik tubuh putra bungsunya ke dalam pelukannya. "Apa Darel masih memikirkan masalah di meja makan tadi, hum?"
"Hiks.. Hiks.." Terdengar suara isakan dari Darel. "Aku bingung, Pa."
"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku menyerah saja dan kembali pulang ke rumah kita? Tapi bagaimana dengan Kakek, Bibi Evita, Paman Sandy dan Paman William? Pasti mereka tidak ingin kehilangan rumah ini. Dan Papa? Papa juga tidak ingin kehilangan rumah inikan?"
Hening..
Darel melepaskan pelukan ayahnya. Dan menatap lekat wajah ayahnya. "Tukan, Papa saja diam. Berarti Papa juga tidak ingin kehilangan rumah ini."
"Pa! Apa yang harus aku lakukan? Katakan padaku."
Arvind mengelus lembut rambut putra bungsunya, mengecup keningnya dan mengelus lembut wajah tampannya.
"Semua jawaban yang Darel butuhkan ada disini." Arvind berbicara sambil tangannya menunjuk ke dada kiri putra bungsunya. "Lakukan sesuai kata hatimu. Kalau hati Darel mengatakan ingin tetap berada disini, lanjutkan tugas ini sampai selesai. Tapi kalau hati Darel memilih untuk menyerah, berhentilah dan jangan diteruskan. Papa, Mama dan kakak-kakakmu akan selalu ada untukmu. Darel tidak sendirian."
Darel kembali memeluk Ayahnya. "Aku menyayangimu, Pa. Terima kasih selalu ada untukku. Jangan pernah pergi meninggalkanku."
"Pasti, sayang. Papa juga menyayangimu. Lebih dari apapun," jawab Arvind.
"Jadi cuma Papa saja yang Darel sayangi, hum? Lalu Mamanya tidak? Nih, buktinya. Mamanya diangguri." Adelina memasang wajah memelasnya.
Darel yang mendengar keluhan dari ibunya, Darel langsung melepaskan pelukannya dari ayahnya dan langsung menghambur kepelukan ibunya.
"Iih, Mama. Kayak anak kecil aja."
Adelina memberikan kecupan pada pucuk kepala putra bungsunya itu.
"Kita juga mau dong!" seru Davian dan yang lainnya.
Darel melepaskan pelukannya dari ibunya, lalu menatap wajah tampan para kakak-kakaknya. Kemudian Darel merentangkan kedua tangannya.
"Kakak yang harusnya memelukku!" seru Darel.
Dan tanpa pikir panjang lagi para kakak-kakaknya pun secara bergantian memeluknya dan mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang.
Seluruh anggota keluarga sudah berada di meja makan. Hanya menunggu sibungsu Wilson yaitu Darel.
"Aku akan memanggil Darel untuk makan malam bersama kita!" seru Vano, lalu beranjak dari duduknya.
Baru empat langkah Vano meninggalkan meja makan, terdengar suara derap langkah yang menuju kearah ruang makan.
TAP!
TAP!
TAP!
"Selamat malam sayang." Adelina menyapa putra bungsunya.
"Malam, Ma." Darel menjawab sapaan ibunya. Dan langsung duduk diantara Evan dan Raffa.
"Karena Darel sudah bersama kita. Ayo, kita mulai makan malamnya!" seru Antony.
Mereka pun mulai menyantap makan malam dengan hening. Selang beberapa detik kemudian, terjadi keributan.
"Dasar tidak tahu diri. Sudah membuat orang lain kesusahan, tapi dengan santainya dia menikmati makan malamnya tanpa rasa bersalah sama sekali," sindir Rayyan.
"Bermuka tembok. Sangat menjijikkan," ejek Kevin.
"Hei, Darel. Kenapa kau tidak pergi saja dari rumah ini? Kenapa kau masih betah saja tinggal disini?" tanya Dirga ketus.
Para kakak-kakaknya sudah mengepalkan tangan mereka kuat mendengar ucapan menjijikkan dari saudara sepupu mereka. Sesekali mereka melihat kearah Darel yang sepertinya tak terpancing akan ucapan-ucapan menjijikkan itu, tak terkecuali orang tuanya yang juga melihat kearahnya.
"Dasar penjilat," ujar Marcel.
"Kalau aku jadi dirimu. Aku pasti sudah pergi dari sini. Dan tidak akan sudi untuk tinggal lagi disini," ucap Caleb.
"Kalau begitu silahkan kalian pergi dari rumah ini. Kalian tidak dibutuhkan dan tidak dianggap oleh keluarga disini." Darel menjawab dengan nada ketus sembari fokus dengan makan malamnya.
"Brengsek! Kau berani mengusir kami, hah?!" bentak Dirga.
"Kau tidak punya hak untuk mengusir kami dari rumah ini!" sergah Aldan.
"Kalau begitu kalian juga tidak punya hak untuk mengusirku dan keluargaku dari rumah ini," jawab Darel santai.
"Dasar benalu," ejek Kevin.
"Paman Arvind, maaf sebelumnya. Aku rasa Paman sudah salah mendidik putra Paman bernama Darel. Putra Paman ini terlalu serakah akan hartanya Kakek. Katanya dia tidak menginginkannya, tapi dia tetap menerimanya juga," ujar Dirga.
"Dasar munafik," ucap Dzaky.
Mendengar perkataan para putra-putranya, Agatha tersenyum bangga akan putra-putranya. Sedangkan William sedang tidak berada di rumah. William sedang berada di luar kota.
"Bibi Adelina. Bibi itu sebagai ibu jangan diam saja. Didik tu putranya dengan baik. Jangan serakah dan tamak dengan hartanya kakek. Cucu Kakek itu bukan putra bibi saja. Kami semua juga cucunya Kakek. Atau jangan-jangan Bibi juga mengincar hartanya Kakek juga ya." Kevin berbicara dengan kejamnya kepada Adelina.
BYUURR!
PRAANG!
Darel berdiri dari duduknya dan langsung menyirami wajah Kevin dengan sop ayam yang ada di hadapannya.
"Aaarrgghh!!" Kevin berteriak saat merasakan pedih di matanya.
"Kevin!" teriak Dirga, Marcel dan Rayyan. Mereka menatap tajam Darel.
"Kevin, sayang." Agatha berdiri lalu membantu putranya.
"Kalian ingin sekali aku dan keluargaku pergi dari rumah ini, hah?! Apa kalian tidak sadar dan tidak berpikir apa status kalian di rumah ini? Aku dan kakaku lebih berhak tinggal di rumah ini dari pada kalian semua. Dalam tubuh kami mengalir darah keluarga Wilson. Aku cucu kandung dari Antony Wilson. Sedangkan kalian!!" tunjuk Darel dengan wajah emosinya. "Kalian buk...!" ucapan Darel terhenti.
"Darel Wilson!!" teriak Antony Wilson.
Darel melihat kearah kakeknya dengan tatapan tajamnya. Dan kedua tangannya mengepal kuat.
Adelina, Arvind, para Kakak kandungnya, para Kakak sepupunya, Paman dan Bibinya melihat tepat ke manik coklat milik Darel. Mereka dapat melihat dari tatapan mata Darel tersirat amarah yang begitu besar disana.
"Aarrgghhhh!" teriak Darel.
Darel pergi begitu saja meninggalkan anggota keluarganya menuju kamarnya di lantai dua.
Setibanya di lantai dua, Darel membuka pintu kamarnya. Darel melangkah masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamarnya dengan cara membantingnya.
BLAM!
Davian berdiri dari duduknya dan menatap tajam kearah Kevin dan saudara-saudaranya.
"Brengsek! Puas kalian semua, hah!" teriak Davian dan berlalu pergi dari sana disusul oleh Evan dan Raffa.
"Diberi hukuman bukannya jera. Ini malah makin merajela kelakuan kalian. Benar-benar menjijikkan." Nevan berucap.
Setelah itu, Nevan menyusul Davian, Evan dan Raffa.
"Kelakuan kalian sama saja seperti binatang. Bahkan lebih dari pada binatang," ucap Vano sarkas yang juga pergi menyusul keempat saudaranya
"Ma, Pa. Lebih baik kita ke kamarnya Darel. Ngapain masih disini," kata Daffa.
Arvind, Adelina pun mengangguk dan tak lupa mengajak sang Ayah, Antony.
"Ayo, Pa. Aku antar Papa ke kamar. Lebih baik Papa istirahat."
Evita, Daksa, Sandy, Salma beserta putra-putra mereka juga pergi meninggalkan meja makan. Kini tersisa Agatha dan tujuh putranya.
***
Darel duduk di lantai kamarnya dengan punggung bersandar di tempat tidur. Mata dan hidungnya memerah karena menangis. Kepalanya di tenggelamkan di antara dua lututnya. Sikucing mengedusel kepalanya di kakinya. Mungkin sikucing tahu kalau majikan barunya sedang sedih.
Darel mengangkat kepalanya lalu melihat kucing tersebut yang juga menatapnya. Kucing itu langsung melompat ke pangkuannya dan menyerangnya dengan menjilat-jilati wajah tampannya. Hal itu membuat Darel tertawa.
CKLEK!
Pintu kamarnya di buka oleh seseorang. Dikarenakan Darel sedang asyik bermain dengan kucing barunya, dirinya tak menyadari kehadiran orang tua dan para kakaknya.
Orang tuanya dan para kakaknya sudah berada di kamarnya yang tengah memperhatikan dirinya.
"Hahaha. Sudah, sudah. Jangan menjilat-jilati wajahku terus. Kau itu belum gosok gigikan. Nanti wajahku bau bekas ilermu," ucap Darel pada sikucing.
"MEEOOONG!"
Sikucing itu bersuara, lalu sikucing itu meletakkan tangannya di wajah Darel.
"Kau ingin menghiburku?" tanya Darel yang melihat sikucing dan tangannya mengelus-elus lembut bulu kucing itu.
"MEEOOONG!"
Sikucing itu bersuara lagi dengan masih menjilat-jilati wajahnya.
Sedangkan orang tuanya dan para kakak-kakaknya tersenyum bahagia dan gemas melihat Darel bermain dengan kucing barunya.
"Namamu siapa cing? Aku harus manggilmu apa? Apa sinenek lampir itu memberikanmu nama?"
"MEEOOONG!"
"Bagaimana kalau aku beri kamu nama Fluffy? Kamu mau?"
"MEEOOONG!!"
Kucing itu menjilati wajah Darel dan mengdusel kepalanya di leher Darel.
"Hahaha. Jadi kamu menyukai namanya? Baguslah kalau begitu."
"Hei, Fluffy. Kamu disini saja ya. Kamu tidak usah balik ama sinenek lampir itu. Dia sudah jelek, galak lagi. Apa kamu betah tinggal bersama nenek lampir itu?"
Darel membelai-belai lembut seluruh bulu kucing itu. Memeluk bahkan mencium kucing tersebut.
Orang tuanya dan para kakak-kakaknya yang sedari tadi menyaksikan kegiatannya sedikit bernafas lega. Paling tidak sibungsu kesayangan mereka tidak terlalu memikirkan kejadian di meja makan barusan.
"Nenek lampir? Siapa itu nenek lampir?" tanya Adelina.
"Hehe. Nenek lampir yang dimaksud Darel itu sipemilik dari kucing itu, Ma!" jawab Arga.
"Lalu kucing itu kok ada pada Darel?? Kalau sipemiliknya nyari bagaimana?" tanya Arvind.
"Nah, itu dia kenapa Darel nyebut sipemilik kucing itu nenek lampir karena Darel udah ketemu sama sipemilik kucing itu. Kemarin sipemilik kucing itu teriak-teriak di depan gerbang rumah kita. Lebih tepatnya di depan kamar Darel," jawab Nevan.
"Kucing itu memang datang sendiri ke kamarnya Darel. Kita melihatnya sendiri kalau kucing itu melompat dari balkon kamarnya Darel dan langsung bermain-main di kakinya Darel," tutur Evan.
"Dan itu sukses membuat Darel tersenyum. Lalu sipemilik kucing itu berteriak dan mengatakan bahwa Darel telah mencuri kucing miliknya," kata Raffa.
"Terjadilah perang mulut diantara mereka berdua," ujar Elvan.
"Gadis itu cantik dan manis lagi," kata Axel.
"Hei, Fluffy. Kamu tidak kangen ama
si cerewet majikanmu itu, hum? Mungkin saat ini dia sedang guling-guling di tempat tidur, nangis-nangis histeris di kamarnya. Bahkan mungkin saat ini kamarnya sudah hancur berantakan karena teriakannya dikarenakan kamunya gak balik," tutur Darel sembari mengelus lembut bulu kucing tersebut.
"Fluffy." Darel menatap kucing itu lalu sikucing itu menjilati wajahnya kembali. "Aku sedih nih. Apa benar ya kalau aku ini jahat? Apa benar ya kalau aku ini serakah akan hartanya Kakek? Apa yang harus aku lakukan Fluffy? Apa aku mundur saja? Tapi kalau aku mundur. Bagaimana dengan Kakek? Padahal Kakek sudah berharap banyak padaku. Kakek memberikan kepercayaan lebih padaku. Tadi saja saat di meja makan aku hampir saja keceplosan. Tapi untungnya Kakek berteriak memanggil namaku. Kalau tidak semuanya pasti sudah terbongkar," adu Darel pada kucing barunya.
"Apa maksud dari putra bungsuku barusan? Keceplosan? Terbongkar? Apa ada sesuatu rahasia besar yang disembunyikan oleh Papa lalu Papa memberitahukannya pada Darel," batin Arvind.
"Apa maksud dari ucapan barusan? Keceplosan? Terbongkar? Apa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Darel?" batin para kakak-kakaknya.
"Eehheeemmm." Arvind berdehem.
Dan hal itu sukses membuat Darel yang sedang asyik bermain-main dengan kucing barunya terkejut. Darel langsung membalikkan badannya melihat keasal suara.
"Papa, Mama, Kakak." Darel berucap lembut.
Sementara mereka semua menyunggingkan senyuman manis mereka ketika mendengar ucapan manis dan lembut kesayangan mereka. Setelah itu, Darel kembali menatap sikucing barunya.
Kedua orang tuanya dan para kakaknya melangkah menghampirinya, lalu duduk di dekatnya.
"Aish, kebiasaan sekali. Setiap masuk ke kamarku tidak pernah ketok pintu dulu. Itukan tidak sopan namanya," protes Darel dengan bibir yang dimanyunkan-manyunkan.
Lagi-lagi anggota keluarganya hanya tersenyum menanggapi aksi protes dari Jungkook.
"Eeooh. Putra Mama lagi merajuk nih," goda Adelina lalu memberikan kecupan di pipi kiri putra bungsunya.
"Mama." Darel bersemu malu saat ibunya mengecup pipinya.
Arvind juga ikut mengecup wajah tampan putra bungsunya itu. "Lengkap sudah. Kedua pipi putra Papa mendapatkan kecupan gratis. Satu dari Mama dan satu dari Papa," goda Arvind.
"Aish. Papa menyebalkan."
Arvind menarik tubuh putra bungsunya ke dalam pelukannya. "Apa Darel masih memikirkan masalah di meja makan tadi, hum?"
"Hiks.. Hiks.." Terdengar suara isakan dari Darel. "Aku bingung, Pa."
"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku menyerah saja dan kembali pulang ke rumah kita? Tapi bagaimana dengan Kakek, Bibi Evita, Paman Sandy dan Paman William? Pasti mereka tidak ingin kehilangan rumah ini. Dan Papa? Papa juga tidak ingin kehilangan rumah inikan?"
Hening..
Darel melepaskan pelukan ayahnya. Dan menatap lekat wajah ayahnya. "Tukan, Papa saja diam. Berarti Papa juga tidak ingin kehilangan rumah ini."
"Pa! Apa yang harus aku lakukan? Katakan padaku."
Arvind mengelus lembut rambut putra bungsunya, mengecup keningnya dan mengelus lembut wajah tampannya.
"Semua jawaban yang Darel butuhkan ada disini." Arvind berbicara sambil tangannya menunjuk ke dada kiri putra bungsunya. "Lakukan sesuai kata hatimu. Kalau hati Darel mengatakan ingin tetap berada disini, lanjutkan tugas ini sampai selesai. Tapi kalau hati Darel memilih untuk menyerah, berhentilah dan jangan diteruskan. Papa, Mama dan kakak-kakakmu akan selalu ada untukmu. Darel tidak sendirian."
Darel kembali memeluk Ayahnya. "Aku menyayangimu, Pa. Terima kasih selalu ada untukku. Jangan pernah pergi meninggalkanku."
"Pasti, sayang. Papa juga menyayangimu. Lebih dari apapun," jawab Arvind.
"Jadi cuma Papa saja yang Darel sayangi, hum? Lalu Mamanya tidak? Nih, buktinya. Mamanya diangguri." Adelina memasang wajah memelasnya.
Darel yang mendengar keluhan dari ibunya, Darel langsung melepaskan pelukannya dari ayahnya dan langsung menghambur kepelukan ibunya.
"Iih, Mama. Kayak anak kecil aja."
Adelina memberikan kecupan pada pucuk kepala putra bungsunya itu.
"Kita juga mau dong!" seru Davian dan yang lainnya.
Darel melepaskan pelukannya dari ibunya, lalu menatap wajah tampan para kakak-kakaknya. Kemudian Darel merentangkan kedua tangannya.
"Kakak yang harusnya memelukku!" seru Darel.
Dan tanpa pikir panjang lagi para kakak-kakaknya pun secara bergantian memeluknya dan mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved