Bab 12 Sakitnya masih sama
by Hairunnisa Ys
09:10,Dec 10,2020
Pagi itu, Saira bersiap-siap berangkat ke kantor Aksa untuk melanjutkan meeting mereka tempo lalu. Ia sudah bersiap bersama Alyne yang menunggunya di ruang tamu. Sebuah deringan menghentikan langkah kakinya, ia mengambil benda pipih tersebut dan tersenyum melihat nama yang tertera di sana. Ia menggeser tombol hijau pada panggilan wattsap nya.
"Halo, Ma. Ada apa pagi-pagi sudah menelpon."
"Sayang, Mama kangen sama kamu, kapan kamu pulang kemari?" tanya Halena.
"Ma, Eve masih sepuluh hari lagi di sini," ucap Saira sambil tertawa pelan.
"Kenapa lama sekali, rasanya kamu sudah pergi setahun Sayang. Rumah ini sepi kalau nggak ada kamu."
Saira tertawa pelan mendengar ucapan ibunya dari benua seberang. Sejujurnya ia juga merindukan wanita itu, tapi pekerjaannya belum juga usai. Setidaknya selama ia di sini, hal yang oaling utama ialah bisa melihat makamnya sendiri. Ia tidak berharap sekali pun bisa bertemu dengan orang-orang dari masa lalunya sampai dia kekbali ke Autralia. Karena semua terlihat akan sangat menyakitkan untuk diingat apalagi dikenang.
"Ma, Eve harus segera pergi karena ada rapat di kantor kliennya. Nanti Eve hubungi lagi, da Ma."
Saira segera mematikan ponselnya lalu meletakkan kembali ke dalam tas yang ia pakai. Alyne sendiri segera mengunci rumah dan mereka segera beranjak menuju perusahaan Aksa.
"Alyne, pulang dari kantor saya mau mampir ke makam tempo lalu."
"Baik, Bu."
Ia menjalankan mobilnya dan sesekali melihat ke arah belakang. Di sana wajah Saira tampak sangat murung. Alyne tidak tahu apa yang terjadi, hanya saja ia tidak ingin bertanya lebih jauh karena itu semua bukan porsinya untuk bertanya. Mobil yang dia kemudikan juga sudah sampai di depan kantor. Saira segera turun dan berjalan memasuki kantor tersebut dan langsung menuju ruangan metting diikuti oleh Alyne yang setia berjalan di belakangnya.
"Selamat pagi, Pak. Rapatnya sudah siap dilaksanakan." beritahu sekretarisnya dengan sopan.
"Baik, terima kasih."
Aksa bangkit dari kursi kebangaannya dan berjalan menuju ruang meeting untuk membahas lebih lanjut pekerjaan mereka. Saira sudah duduk di kursinya. Ia menatap semua orang yang hadir di sana dan rata-rata adalah wanita dengan penampilan yang mencolok. Baginya gaya bukan hal yang utama jika pekerjaan tidak seberapa.
Aksa masuk bersama dengan sekretarusnya yang sudah membawa beberapa berkas di tangannya. Ia meletakkan ke depan meja Aksa dan segera mengambil tempat.
"Kita mulai saja rapatnya, untuk pembangunan gedung hotel di Jakarta Utara dengan konsep alam sudah disetujui dan sedang dalam masa pemantauan lokasi yang tepat."
Aksa menatap Saira yang duduk dengan tegal. Wajah dingin yang tidak pernah menampilkan senyuman membuat Aksa penasaran dengan sosoknya. Seolah gadis itu tidak ingin disentuh oleh siapa pun dan cenderung menutup akses untuk mengenalnya. Hal ini sangat menarik bagi Aksa.
"Lebih cepat lebih baik untuk pengerjaannya, saya tidak ingin terlalu berlama-lama di sini."
Saira menatap mereka semua dengan datar, "Rapat selesai bukan?"
"Sudah, Bu Saira, Anda boleh pergi jika ada kepentingan lain." sekretaris Aksa menimpali sambil tersenyum.
Saira segera bangun dari duduknya dan Alyne mohon pamit. Mereka berdua meninggalkan ruangan tersebut bersamaan dengan beberapa karyawan yang tampak tidak senang dengan tindakan Saira.
"Nggak sopan banget sih ya, padahal dia dari luar negeri."
"Iya, kau benar. Ternyata attitudenya sangat minus."
Mereka terus saja berbisik-bisik mengenai Saira yang menurut mereka tidak pantas sama sekali. Aksa sendiri mwmilih segera pergi dari sana. Ia memutuskan menyusul Saira untuk menemui gadis itu. Selama ini tidak ada srorang pun yang mampu membuatnya tertarik.
Is segera menyusul ke lobi tapi mobil Saira baru saja meninggalkan perusahannya. Ia mendesah pelan dan kembali berjalan ke ruangannya.
"Kenapa sosokmu sangat membuatku tertarik, Evellyn. Kamu mengingatkanku pada seseorang yang sudah kusia-siakan sampai akhir hayatnya."
Aksa kembali menatap poto Saira yang menggantung indah di ruangannya. Kemudian ia mengambil bingkai kecil dari dalam lacinya. Senyum yang sangat menenangkan jiwa lara yang selalu menggerogoti tanpa berkesudahan.
Ia mengelus lembut bingkai tersebut. Selalu terjadi, setiap ia mengingat Saira, air mata masih betah turun tanpa disengaja.
"Sayang, maaf aku tidak mengunjungimu hari ini, aku sangat sibuk. Semoga kamu nggak marah ya."
Ia mengecup lama bingkai tersebut dan mengusap air mata yang sempat lolos. Setelah dirasa tenang, ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
-----
"Pa, Mama mau ke kuburan Saira, Mama kangen sama dia."
"Kondisi Mama belum pulih, Papa pasti mengizinkan Mama ke sana tapi tunggu sehat dulu ya." bujuk Andri lembut. Ia juga ingin berjiarah ke makam putrinya. Namun, kondisi istrinya sedang tidak memungkinkan untuk melakukan semua itu. Setidaknya ia harus menunggu sampai benar-benar pulih.
"Nggak, Pa. Mama sudah mendingan." ia berjalan pelan ke arah suaminya dengan wajah mengiba. "Mama kangen sama Saira."
Andri mengembuskan napas pelan dan menganguk pada akhirnya. Jika dilarang juga percuma karena istrinya sangat ingin dan tidak mau dibantah sama sekali.
"Mama siap-siap lalu kita akan pergi ke sana."
Wawa tersenyum senang, ada sebuah perasaan yang membuncah bahagia entah karena apa. Ia merasa seolah akan melihat sesuatu yang menenangkan hati dan jiwanya. Mereka segera berangkat setelah Wawa bersiap.
Di jalan, Saira menyuruh Alyne berhenti untuk membeli sebuah bunga yang sangat Saira sukai selama hidupnya. Tapi tidak pernah diberikan oleh Aksa, tapi setelah dia pergi, pria itu selalu menaruh bunga kesukaan Saira di sana. Sudut bibir Saira terangkat melihat semua itu.
Seperti biasa, Alyne akan menunggu di mobil selagi Saira mengunjungi makan yang bahkan Alyne sendiri tidak tahu siapa. Ia mendemgar deru mobil di belakang mobilnya. Ia melihat ke arah tersebut dan sepasang suami istri keluar dari sana.
"Saira, apa kamu tenang di sana? Apa kamu sudah bahagia sekarang?" tanya Saira sambil tedtawa miris. Betapa lucu saat ia menyapa dan bertanya pada makamnya sendiri.
"Hati-hati, Ma." Andri dengan setia memapah istrinya menuju sebuah makan yang tidak jauh dari tempat mereka saat ini.
Alyne menyapa mereka dengan sopan saat mata mereka saling bertemu.
"Ziarah juga?" tanya Wawa lembut.
Alyne hanya menganguk pelan karena dia sama sekali tidak mengerti ucapan mereka. Andri melihat ada seseorang yang tampak berjiarah ke makam putri ya. Ia mengernyit bingung. Selama ini tidak ada yang pernah menjiarahi kuburan putrinya apalagi seorang gadis.
"Saira, aku pulang dulu ya," pamit Saira dan melangkah menjauh dari sana.
Sorot matanya bersitatap dengan dua orang yang dulu pernah ia sebut sebagai ibu dan ayah. Ada kerinduan di dalam sana yang bergelora dan ia ingin segera menghambur ke pelukan keduanya. Tapi bayangan terakhir sebelum ia meninggal berputar di kepalanya. Permintaan kecil yang diabaikan, dicaci maki, dihina dan dikucilkan. Senyumnya yang hendak mengembang perlahan surut dan matanya menyorot dingin kepada keduanya. Ia berlalu begitu saja, lalu langkahnya terhenti saat sebuah suara bertanya.
"Maaf, Nak. Kami tadi melihatmu menjiarahi makam putri kami, apa kamu mengenalnya?" tanya Andri pelan.
Sudut bibir Saira terangkat dan ia tersenyum sinis. Sekarang mereka memanggil Saira sebagai putri dan semua itu terjadi setelah ketiadaannya. Manusia memnag suka melakukan hal yang tidak berguna. Selagi ada di sia-siakan, setelah tiada dirindukan setengah mati.
"Saya sahabatnya," ucap Saira datar tanpa berniat berbalik arah. Ia segera meninggalkan kedunya yang tampak masih kebingungan.
Alyne tampak mengamati interaksi mereka bertiga yang terlihat sangat aneh. Yang aneh adalah saat Saira melihat kearah mereka. Tatapannya tidak bersahabat sama sekali dan itu membuat Alyne kembali bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada atasannya. Ia tahu jika Saira memang sosok yang dingin tapi tatapannya tidak pernah sedingin itu. Ia bahkan seperti menyimpan sebuah luka yang tidak kasat mata.
"Alyne, ayo pergi!"
Ia segera memasuki mobil dan Alyne mengikuti langkahnya. Gadis itu segera menjalankan mobil menuju sebuah taman. Alyne dan Saira segera turun dan mereka tampak menikmati suasana di sana dengan tenang. Saira ingat, dulu sehabis pulang kuliah, ia akan berlari ke taman ini. Lalu ada seorang pria yang mencoba menghiburnya. Ia tersenyum miris saat mengingat betapa sulit kehidupannya dulu. Di dunia ini ia bahkan memiliki semuanya. Namun, rasanya sebatang kara.
"Apa kamu baik-baik saja Saira, dari tadi wajahmu tampak sedang menahan sesuatu." Alyne akhirnya berani berbicara.
"Kalau kubilang baik-baik saja, apa kamu akan percaya?" Saira melihat ke arah Alyne yang tampak menggekeng.
Saira menarik napas dengan berat dan memejamkan matanya, sebulir air mata jatuh perlahan ke pipinya. Semua kembali teringat dan mencekam hatinya yang berdenyut nyeri. Alyne hanya menjadi pemerhati saja karena sejauh ini, ia tidak mengenal Saira dengan baik.
"Menangislah jika semua bisa mengurangi bebanmu." hanya itu yang mampu ia ucapkan sebagai 'teman'.
"Terima kasih, Alyne." Saira berujar tulus.
Alyne tampak tersentak mendengarnya. Bahkan ucapan itu terdengar sangat tulus. Siapakah sosok dibalik wajah datar itu. Alyne yakin, Saira memiliki sesuatu yang membuatnya menjadi wanita dingin dan datar tanpa perasaan. Ia berjanji akan selalu ada untuk gadis itu.
"Sama-sama Saira," ucap Alyne.
Di tempat pemakaman Saira, wajah Wawa sudah dibanjiri air mata. Putrinya seolah menghukumnya bahkan tidak menyisakan satu hal pun untuk bisa mereka kenang. Semua hal yang menyangkut dirinya, raib tidak bersisa.
"Sayang, kamu apa kabar di sana? Mama sangat merindukanmu, apa kamu merindukan Mama juga?" bahu Wawa tampak bergetar dengan hebat. Andri sendiri tidak kuasa menahan kesedihan, kerinduan dan penyesalannya selama ini. Ia tahu bahwa kata pepatah memang benar. Tidak ada sesal yang lahir di awal melainkan di akhir untuk memberikan manudia sebuah pelajaran berharga. Mereka sudah menyia-nyiakan putri yang begitu baik, hanya karena sebuah kesalahan yang masih bisa dimaafkan. Tapi hati mereka keras seperti batu. Menyisihkan ia sendirian melawan kerasnya kehidupan sampai maut menjemputnya dengan bahagia.
"Sayang, meski jutaan kali Mama memohon maaf atas segalanya, tetap saja kerinduan ini semakin menyiksa. Apa yang harus Mama lakukan untuk mengobatinya." isaknya terdengar sangat memilukan.
"Ma, sudah jangan menangis lagi, nanti Mama jatuh sakit lagi." tegur Andri sambil mengusap pelan bahu istrinya.
"Pa, Mama mau pulang, Saira tidak mau menjawab Mama." isaknya.
Andri sangat sedih melihat kondisi istrinya yang selalu memburuk jika menyangkut Saira.
"Ya sudah, ayo!" ajaknya lembut dan mereka berjalan menuju mobilnya.
"Ayo kita pulang!" ajak Alyne saat jam sudah menujukkan pukul lima. Saira membuka mata dan menganguk pelan. Mereka bangkit dari sana dan berjalan menuju mobil yang diparkir tidak jauh dari sana.
Seorang anak kecil yang sedang berlari, menabrak Saira hingga terjatuh, es krim yang ia bawa tumpah mengenai kaki Saira. Gadis itu mensejajarkan tinggi dengan gadis kecil itu.
"Apa kamu terluka?" tanya Saira lembut. Gadis kecil itu menggeleng.
"Tidak, Kak. Tapi aku sudah menumpahkan es krimnya ke kaki Kakak. Aku tidak mau dimarahi." isaknya kecil dan semua itu membuat Saira tersenyum kecil.
"Kakak tidak akan memarahimu, ayo bangun dan kita beli lagi es krimnya." Saira tersenyum.
"Tapi bagaimana dengan kaki kakak yang kotor," ucapnya sedih.
"Sudah tidak apa-apa, nanti kakinya bisa dibersihkan. Ayo!" ajak Saira sambil menggendong gadis kecil yang ia perkirakan masih berusia enam tahun.
Alyne tampak terpukau melihat pemandangan tersebut. Ia kembali melihat sisi lain dari atasannya. Ia mengira sosok dinginnya berlaku pada semua makhluk hidup. Tapi ternyata tidak, hatinya juga sangat lembut terhadap anak-anak. Tadinya ia takut jika Saira akan memaki atau memarahi syukurlah kekhawatirannya tidak terjadi.
"Saira!" panggil sebuah suara yang sangat dia kenal. Jantungnya berdetak kencang. Apa pria itu sudah mengenalinya sekarang.
Ia berbalik dan Aksa tampak menghampiri mereka berdua.
"Sayang, kamu kenapa menghilang dari hadapan Papa. Papa kan jadi panik."
Lagi, jantung Saira berdetak kencang saat mendengar Aksa memanggil gadis kecil yang sedang ia gendong dengan menyebutkan dirinya sebagai Papa. Apa pria itu suda menikah sekarang. Pertanyaan itu bergentayangan di kepalanya.
"Maaf, Bu Evellyn, karena sudah merepotkan."
"Papa, tadi Ai numpahin es krim ke kaki Kakak ini." ia kembali terlihat sedih.
"Bu Evellyn, maaf atas tindakan putri saya. Sayang ayo sini!" Gadis itu meraih uluran tangan Aksa dan beralih ke dalam gendongannya.
Saira masih tampak diam dan mencerna semuanya. Ia tidak berniat membalas ucapan Aksa.
"Mbak, ini es krimnya." seorang penjual mengulurkan es krim kearah Saira.
"Ini es krimnya, jangan lari-lari lagi ya nanti bisa bahaya."
"Makasih Tante yang cantik, Tante sebaik almarhum Mama Saira." celetuk anak itu yang membuat langkah Saira mendadak berhenti. Ia bertanya apa maksud dari perkataan anak tersebut. Kenapa dia menyebut dirinya sebagai Mama.
Aksa sendiri tampak mengembuskan napas pelan. Kembali, Saira tidak menggubrisnya. Ia tidak tahu apa kesalahannya sampai gadis itu selalu bersikap dingin padanya.
"Saira, ayo kita pukang! Mama pasti sudah menunggu di rumah."
Aksa melangkah pergi dari sana, menyisakan beribu pertanyaan di benak Saira. Siapa wanita yang disebutkan mama oleh Aksa. Apakah pria itu sudah menikah dengan Izora. Ah, mengingat Izora, ia yakin sekarang keduanya pasti sudah menikah.
"Mungkin hanya aku yang ditakdirkan hidup semerana ini." bisiknya dan pergi meninggalkan taman tersebut.
---------
"Halo, Ma. Ada apa pagi-pagi sudah menelpon."
"Sayang, Mama kangen sama kamu, kapan kamu pulang kemari?" tanya Halena.
"Ma, Eve masih sepuluh hari lagi di sini," ucap Saira sambil tertawa pelan.
"Kenapa lama sekali, rasanya kamu sudah pergi setahun Sayang. Rumah ini sepi kalau nggak ada kamu."
Saira tertawa pelan mendengar ucapan ibunya dari benua seberang. Sejujurnya ia juga merindukan wanita itu, tapi pekerjaannya belum juga usai. Setidaknya selama ia di sini, hal yang oaling utama ialah bisa melihat makamnya sendiri. Ia tidak berharap sekali pun bisa bertemu dengan orang-orang dari masa lalunya sampai dia kekbali ke Autralia. Karena semua terlihat akan sangat menyakitkan untuk diingat apalagi dikenang.
"Ma, Eve harus segera pergi karena ada rapat di kantor kliennya. Nanti Eve hubungi lagi, da Ma."
Saira segera mematikan ponselnya lalu meletakkan kembali ke dalam tas yang ia pakai. Alyne sendiri segera mengunci rumah dan mereka segera beranjak menuju perusahaan Aksa.
"Alyne, pulang dari kantor saya mau mampir ke makam tempo lalu."
"Baik, Bu."
Ia menjalankan mobilnya dan sesekali melihat ke arah belakang. Di sana wajah Saira tampak sangat murung. Alyne tidak tahu apa yang terjadi, hanya saja ia tidak ingin bertanya lebih jauh karena itu semua bukan porsinya untuk bertanya. Mobil yang dia kemudikan juga sudah sampai di depan kantor. Saira segera turun dan berjalan memasuki kantor tersebut dan langsung menuju ruangan metting diikuti oleh Alyne yang setia berjalan di belakangnya.
"Selamat pagi, Pak. Rapatnya sudah siap dilaksanakan." beritahu sekretarisnya dengan sopan.
"Baik, terima kasih."
Aksa bangkit dari kursi kebangaannya dan berjalan menuju ruang meeting untuk membahas lebih lanjut pekerjaan mereka. Saira sudah duduk di kursinya. Ia menatap semua orang yang hadir di sana dan rata-rata adalah wanita dengan penampilan yang mencolok. Baginya gaya bukan hal yang utama jika pekerjaan tidak seberapa.
Aksa masuk bersama dengan sekretarusnya yang sudah membawa beberapa berkas di tangannya. Ia meletakkan ke depan meja Aksa dan segera mengambil tempat.
"Kita mulai saja rapatnya, untuk pembangunan gedung hotel di Jakarta Utara dengan konsep alam sudah disetujui dan sedang dalam masa pemantauan lokasi yang tepat."
Aksa menatap Saira yang duduk dengan tegal. Wajah dingin yang tidak pernah menampilkan senyuman membuat Aksa penasaran dengan sosoknya. Seolah gadis itu tidak ingin disentuh oleh siapa pun dan cenderung menutup akses untuk mengenalnya. Hal ini sangat menarik bagi Aksa.
"Lebih cepat lebih baik untuk pengerjaannya, saya tidak ingin terlalu berlama-lama di sini."
Saira menatap mereka semua dengan datar, "Rapat selesai bukan?"
"Sudah, Bu Saira, Anda boleh pergi jika ada kepentingan lain." sekretaris Aksa menimpali sambil tersenyum.
Saira segera bangun dari duduknya dan Alyne mohon pamit. Mereka berdua meninggalkan ruangan tersebut bersamaan dengan beberapa karyawan yang tampak tidak senang dengan tindakan Saira.
"Nggak sopan banget sih ya, padahal dia dari luar negeri."
"Iya, kau benar. Ternyata attitudenya sangat minus."
Mereka terus saja berbisik-bisik mengenai Saira yang menurut mereka tidak pantas sama sekali. Aksa sendiri mwmilih segera pergi dari sana. Ia memutuskan menyusul Saira untuk menemui gadis itu. Selama ini tidak ada srorang pun yang mampu membuatnya tertarik.
Is segera menyusul ke lobi tapi mobil Saira baru saja meninggalkan perusahannya. Ia mendesah pelan dan kembali berjalan ke ruangannya.
"Kenapa sosokmu sangat membuatku tertarik, Evellyn. Kamu mengingatkanku pada seseorang yang sudah kusia-siakan sampai akhir hayatnya."
Aksa kembali menatap poto Saira yang menggantung indah di ruangannya. Kemudian ia mengambil bingkai kecil dari dalam lacinya. Senyum yang sangat menenangkan jiwa lara yang selalu menggerogoti tanpa berkesudahan.
Ia mengelus lembut bingkai tersebut. Selalu terjadi, setiap ia mengingat Saira, air mata masih betah turun tanpa disengaja.
"Sayang, maaf aku tidak mengunjungimu hari ini, aku sangat sibuk. Semoga kamu nggak marah ya."
Ia mengecup lama bingkai tersebut dan mengusap air mata yang sempat lolos. Setelah dirasa tenang, ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
-----
"Pa, Mama mau ke kuburan Saira, Mama kangen sama dia."
"Kondisi Mama belum pulih, Papa pasti mengizinkan Mama ke sana tapi tunggu sehat dulu ya." bujuk Andri lembut. Ia juga ingin berjiarah ke makam putrinya. Namun, kondisi istrinya sedang tidak memungkinkan untuk melakukan semua itu. Setidaknya ia harus menunggu sampai benar-benar pulih.
"Nggak, Pa. Mama sudah mendingan." ia berjalan pelan ke arah suaminya dengan wajah mengiba. "Mama kangen sama Saira."
Andri mengembuskan napas pelan dan menganguk pada akhirnya. Jika dilarang juga percuma karena istrinya sangat ingin dan tidak mau dibantah sama sekali.
"Mama siap-siap lalu kita akan pergi ke sana."
Wawa tersenyum senang, ada sebuah perasaan yang membuncah bahagia entah karena apa. Ia merasa seolah akan melihat sesuatu yang menenangkan hati dan jiwanya. Mereka segera berangkat setelah Wawa bersiap.
Di jalan, Saira menyuruh Alyne berhenti untuk membeli sebuah bunga yang sangat Saira sukai selama hidupnya. Tapi tidak pernah diberikan oleh Aksa, tapi setelah dia pergi, pria itu selalu menaruh bunga kesukaan Saira di sana. Sudut bibir Saira terangkat melihat semua itu.
Seperti biasa, Alyne akan menunggu di mobil selagi Saira mengunjungi makan yang bahkan Alyne sendiri tidak tahu siapa. Ia mendemgar deru mobil di belakang mobilnya. Ia melihat ke arah tersebut dan sepasang suami istri keluar dari sana.
"Saira, apa kamu tenang di sana? Apa kamu sudah bahagia sekarang?" tanya Saira sambil tedtawa miris. Betapa lucu saat ia menyapa dan bertanya pada makamnya sendiri.
"Hati-hati, Ma." Andri dengan setia memapah istrinya menuju sebuah makan yang tidak jauh dari tempat mereka saat ini.
Alyne menyapa mereka dengan sopan saat mata mereka saling bertemu.
"Ziarah juga?" tanya Wawa lembut.
Alyne hanya menganguk pelan karena dia sama sekali tidak mengerti ucapan mereka. Andri melihat ada seseorang yang tampak berjiarah ke makam putri ya. Ia mengernyit bingung. Selama ini tidak ada yang pernah menjiarahi kuburan putrinya apalagi seorang gadis.
"Saira, aku pulang dulu ya," pamit Saira dan melangkah menjauh dari sana.
Sorot matanya bersitatap dengan dua orang yang dulu pernah ia sebut sebagai ibu dan ayah. Ada kerinduan di dalam sana yang bergelora dan ia ingin segera menghambur ke pelukan keduanya. Tapi bayangan terakhir sebelum ia meninggal berputar di kepalanya. Permintaan kecil yang diabaikan, dicaci maki, dihina dan dikucilkan. Senyumnya yang hendak mengembang perlahan surut dan matanya menyorot dingin kepada keduanya. Ia berlalu begitu saja, lalu langkahnya terhenti saat sebuah suara bertanya.
"Maaf, Nak. Kami tadi melihatmu menjiarahi makam putri kami, apa kamu mengenalnya?" tanya Andri pelan.
Sudut bibir Saira terangkat dan ia tersenyum sinis. Sekarang mereka memanggil Saira sebagai putri dan semua itu terjadi setelah ketiadaannya. Manusia memnag suka melakukan hal yang tidak berguna. Selagi ada di sia-siakan, setelah tiada dirindukan setengah mati.
"Saya sahabatnya," ucap Saira datar tanpa berniat berbalik arah. Ia segera meninggalkan kedunya yang tampak masih kebingungan.
Alyne tampak mengamati interaksi mereka bertiga yang terlihat sangat aneh. Yang aneh adalah saat Saira melihat kearah mereka. Tatapannya tidak bersahabat sama sekali dan itu membuat Alyne kembali bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada atasannya. Ia tahu jika Saira memang sosok yang dingin tapi tatapannya tidak pernah sedingin itu. Ia bahkan seperti menyimpan sebuah luka yang tidak kasat mata.
"Alyne, ayo pergi!"
Ia segera memasuki mobil dan Alyne mengikuti langkahnya. Gadis itu segera menjalankan mobil menuju sebuah taman. Alyne dan Saira segera turun dan mereka tampak menikmati suasana di sana dengan tenang. Saira ingat, dulu sehabis pulang kuliah, ia akan berlari ke taman ini. Lalu ada seorang pria yang mencoba menghiburnya. Ia tersenyum miris saat mengingat betapa sulit kehidupannya dulu. Di dunia ini ia bahkan memiliki semuanya. Namun, rasanya sebatang kara.
"Apa kamu baik-baik saja Saira, dari tadi wajahmu tampak sedang menahan sesuatu." Alyne akhirnya berani berbicara.
"Kalau kubilang baik-baik saja, apa kamu akan percaya?" Saira melihat ke arah Alyne yang tampak menggekeng.
Saira menarik napas dengan berat dan memejamkan matanya, sebulir air mata jatuh perlahan ke pipinya. Semua kembali teringat dan mencekam hatinya yang berdenyut nyeri. Alyne hanya menjadi pemerhati saja karena sejauh ini, ia tidak mengenal Saira dengan baik.
"Menangislah jika semua bisa mengurangi bebanmu." hanya itu yang mampu ia ucapkan sebagai 'teman'.
"Terima kasih, Alyne." Saira berujar tulus.
Alyne tampak tersentak mendengarnya. Bahkan ucapan itu terdengar sangat tulus. Siapakah sosok dibalik wajah datar itu. Alyne yakin, Saira memiliki sesuatu yang membuatnya menjadi wanita dingin dan datar tanpa perasaan. Ia berjanji akan selalu ada untuk gadis itu.
"Sama-sama Saira," ucap Alyne.
Di tempat pemakaman Saira, wajah Wawa sudah dibanjiri air mata. Putrinya seolah menghukumnya bahkan tidak menyisakan satu hal pun untuk bisa mereka kenang. Semua hal yang menyangkut dirinya, raib tidak bersisa.
"Sayang, kamu apa kabar di sana? Mama sangat merindukanmu, apa kamu merindukan Mama juga?" bahu Wawa tampak bergetar dengan hebat. Andri sendiri tidak kuasa menahan kesedihan, kerinduan dan penyesalannya selama ini. Ia tahu bahwa kata pepatah memang benar. Tidak ada sesal yang lahir di awal melainkan di akhir untuk memberikan manudia sebuah pelajaran berharga. Mereka sudah menyia-nyiakan putri yang begitu baik, hanya karena sebuah kesalahan yang masih bisa dimaafkan. Tapi hati mereka keras seperti batu. Menyisihkan ia sendirian melawan kerasnya kehidupan sampai maut menjemputnya dengan bahagia.
"Sayang, meski jutaan kali Mama memohon maaf atas segalanya, tetap saja kerinduan ini semakin menyiksa. Apa yang harus Mama lakukan untuk mengobatinya." isaknya terdengar sangat memilukan.
"Ma, sudah jangan menangis lagi, nanti Mama jatuh sakit lagi." tegur Andri sambil mengusap pelan bahu istrinya.
"Pa, Mama mau pulang, Saira tidak mau menjawab Mama." isaknya.
Andri sangat sedih melihat kondisi istrinya yang selalu memburuk jika menyangkut Saira.
"Ya sudah, ayo!" ajaknya lembut dan mereka berjalan menuju mobilnya.
"Ayo kita pulang!" ajak Alyne saat jam sudah menujukkan pukul lima. Saira membuka mata dan menganguk pelan. Mereka bangkit dari sana dan berjalan menuju mobil yang diparkir tidak jauh dari sana.
Seorang anak kecil yang sedang berlari, menabrak Saira hingga terjatuh, es krim yang ia bawa tumpah mengenai kaki Saira. Gadis itu mensejajarkan tinggi dengan gadis kecil itu.
"Apa kamu terluka?" tanya Saira lembut. Gadis kecil itu menggeleng.
"Tidak, Kak. Tapi aku sudah menumpahkan es krimnya ke kaki Kakak. Aku tidak mau dimarahi." isaknya kecil dan semua itu membuat Saira tersenyum kecil.
"Kakak tidak akan memarahimu, ayo bangun dan kita beli lagi es krimnya." Saira tersenyum.
"Tapi bagaimana dengan kaki kakak yang kotor," ucapnya sedih.
"Sudah tidak apa-apa, nanti kakinya bisa dibersihkan. Ayo!" ajak Saira sambil menggendong gadis kecil yang ia perkirakan masih berusia enam tahun.
Alyne tampak terpukau melihat pemandangan tersebut. Ia kembali melihat sisi lain dari atasannya. Ia mengira sosok dinginnya berlaku pada semua makhluk hidup. Tapi ternyata tidak, hatinya juga sangat lembut terhadap anak-anak. Tadinya ia takut jika Saira akan memaki atau memarahi syukurlah kekhawatirannya tidak terjadi.
"Saira!" panggil sebuah suara yang sangat dia kenal. Jantungnya berdetak kencang. Apa pria itu sudah mengenalinya sekarang.
Ia berbalik dan Aksa tampak menghampiri mereka berdua.
"Sayang, kamu kenapa menghilang dari hadapan Papa. Papa kan jadi panik."
Lagi, jantung Saira berdetak kencang saat mendengar Aksa memanggil gadis kecil yang sedang ia gendong dengan menyebutkan dirinya sebagai Papa. Apa pria itu suda menikah sekarang. Pertanyaan itu bergentayangan di kepalanya.
"Maaf, Bu Evellyn, karena sudah merepotkan."
"Papa, tadi Ai numpahin es krim ke kaki Kakak ini." ia kembali terlihat sedih.
"Bu Evellyn, maaf atas tindakan putri saya. Sayang ayo sini!" Gadis itu meraih uluran tangan Aksa dan beralih ke dalam gendongannya.
Saira masih tampak diam dan mencerna semuanya. Ia tidak berniat membalas ucapan Aksa.
"Mbak, ini es krimnya." seorang penjual mengulurkan es krim kearah Saira.
"Ini es krimnya, jangan lari-lari lagi ya nanti bisa bahaya."
"Makasih Tante yang cantik, Tante sebaik almarhum Mama Saira." celetuk anak itu yang membuat langkah Saira mendadak berhenti. Ia bertanya apa maksud dari perkataan anak tersebut. Kenapa dia menyebut dirinya sebagai Mama.
Aksa sendiri tampak mengembuskan napas pelan. Kembali, Saira tidak menggubrisnya. Ia tidak tahu apa kesalahannya sampai gadis itu selalu bersikap dingin padanya.
"Saira, ayo kita pukang! Mama pasti sudah menunggu di rumah."
Aksa melangkah pergi dari sana, menyisakan beribu pertanyaan di benak Saira. Siapa wanita yang disebutkan mama oleh Aksa. Apakah pria itu sudah menikah dengan Izora. Ah, mengingat Izora, ia yakin sekarang keduanya pasti sudah menikah.
"Mungkin hanya aku yang ditakdirkan hidup semerana ini." bisiknya dan pergi meninggalkan taman tersebut.
---------
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved