Bab 3 Kemarahan Seorang Aksa
by Hairunnisa Ys
09:07,Dec 09,2020
Saira sedang menyiapkan tugas yang diberikan oleh Aksa. Minggu lalu ia sampai lupa makan. Gadis itu sangat serius karena tidak mau mempermalukan suami yang bahkan tidak mengakui ia sebagai istri. Jam menunjukkan pukul 03:00 WIB. Ia masih setia berkutat dengan kertasnya, sampai mimisan karena kurang istirahat.
"Ah sepertinya harus kusudahi," ucapnya pada diri sendiri. Saira berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan mimisan yang tak kunjung berhenti. Ia mengambil beberapa lembar tisu dan menyumpal ke hidung.
Ketika darahnya sudah tidak mengucur lagi ia segera mengambil wudhu dan mengadu pada sang khalik. Hanya Allah yang ia miliki di dunia ini. Ia membentangkan sajadah panjang dan mulai melaksanakan salat tahajud.
"Ya Allah kuatkanlah hati yang rapuh ini, lembutkanlah hati Aksa untukku. Namun, bila memang dia bukan jodohku, ridhoilah setiap langkahku ya Rabb. Ampunilah hamba yang sudah mengingkari takdirmu hanya untuk menuruti keegoisanku." Itulah yang selalu ia doakan dalam sujud malamnya.
Selesai melaksanakan salat, ia segera melanjutkan tugasnya yang sempat terhenti beberapa puluh menit yang lalu. Hingga pagi menjelang, Saira tidak tidur sama sekali. Entahlah seolah semua rasa dalam hatinya kian mati, dia jarang merasakan lapar, dia juga jarang merasakan kantuk.
Saira segera bersiap menuju kampusnya, hari ini gadis itu akan pergi cepat, jujur ia tidak berani menunjukkan wajah di depan keluarganya terlebih orang tua yang sangat kecewa pada Saira. Ia segera melaju ke kampus tanpa menunggu orang-orang rumah terbangun. Ya dia berangkat pukul setengah enam pagi. Dadanya sangat sesak mengingat semua yang terjadi. Saira sangat merindukan ibunya, ia ingin berbagi kisah peritnya. Namun, ia sangat kesulitan menjangkau ibunya.
"Ya Allah ampunilah hamba bila menghindari ibu dan ayahku termasuk sebuah dosa." doanya dalam hati.
Ia sampai di kampus dan duduk termenung di taman. Apa yang harus ia lakukan agar semua kebahagiaan kembali pada tempatnya. Ia melihat bagaimana bahagianya Aksa saat berbicara pada Izora dan keluarganya yang lain. Namun, berbeda jika dengannya. Ia ingin menangis tapi air mata seolah telah habis terkikis perih. Tatapan mata yang kosong mengisyaratkan miliaran luka yang tak kasat mata.
"Hai boleh aku duduk?" Tanya sebuah suara yang membuyarkan lamunannya.
"Boleh, silahkan," jawab Saira datar.
"Perkenalkan nama saya, Zain Mikael Russel , panggil saja Zain," ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Saira tersenyum sedikit, kemudian berlalu dari sana tanpa menyambut ulur tangan Zain.
"Hm, gadis menarik. Aku jarang diabaikan."
----------
”Kumpulkan tugas kalian minggu lalu, siapa yang tidak mengerjakannya risiko ditanggung sendiri!" seru Aksa dengan datar.
Mereka segera mengumpulkan tugas termasuk Saira dan teman-temannya. Hingga di depan pun pria itu enggan menatap istrinya. Gadis itu kembali duduk di kursinya. Darah segar kembali mengucur. Ia kembali mimisan, tanpa permisi ia segera keluar dari ruangan kelas menuju toilet. Ia segera membersihkan hidung. Setelah selesai ia kembali ke kelasnya dengan wajah pucat.
"Apa boleh Anda keluar sesuka hati dari kelas saya!" tanya Aksa dengan nada marah.
"Maaf, Pak. Saya hanya keluar sebentar karena...," Saira tidak melanjutkan ucapannya karena mendapat tatapan mematikan dari Aksa.
"Ia kembali duduk dan Aksa memberi tugas tambahan yang terbilang cukup berat baginya dan harus dikumpulkan besok."
Ia hanya bisa menghela napas lelah. Apa yang bisa ia lakukan selain menuruti perintahnya.
Malamnya ia kembali begadang untuk menyiapkan tugas yang diberikan Raka padanya. Jam sudah menunjukkan pukul 02:23 WIB. Ia masih berkutat dengan kertas dan laptopnya. Untuk dua hari belakangan ini ia tidak ada tidur sama sekali hingga rasa pusing di kepalanya amat menyakitkan. Ia memegang kepalanya yang sakit luar biasa dan berusaha untuk tetap tersadar. Namun, apa daya ketika kegelapan mengambil alih semuanya.
"Ah kepalaku sakit sekali." ringis Saira sambil memegang kepalanya. Ia terbangun dari pingsan dan yah! Masih di tempat terakhir kali ia pingsan. Miris memang.
Ia lalu melihat jam dinding, gadis itu memelototkan matanya karena jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. "Ya Allah tamatlah aku."
Kakinya berlari pelan menuju kamar mandi dan segera bersiap karena ia masuk pukul 08.00 WIB.
"Ya Allah lindungilah hamba dari amukan dan murkanya." Doanya dalam hati sambil berjalan menuju kelasnya.
Brak
Wajahnya mendadak pucat karena Aksa sudah berada di kelas dan menatapnya dengan aura mematikan.
"Maaf, Pak. Saya terlambat lima menit. Apa saya boleh masuk kelas Anda? Tanya Saira takut-takut.
"Atas alasan apa saya harus memberikan konpensasi pada Anda?” tanyanya dengan tajam.
Saira diam tidak menjawab karena saat ini otaknya sedang buntu ditambah kepalanya yang masih berdenyut pusing.
"Silahkan Anda keluar dari kelas saya!" Usir Aksa lantang.
Saira menghela napas dengan lesu. Ia tak ingin membantah karena sekuat apa pun ia bertahan, tetap akan kalah. Saira keluar dengan perasaan sedih dan hampa.
"Ya Allah kapan ini semua akan berakhir. Rasanya hati ini tak lagi mampu menahannya."
Dari jauh Zain melihat wanita yang tempo hari sedang mengusap air matanya. "Dia menangis," batinnya.
Kaki jenjangnya melangkah mendekati gadis itu.
"Kenapa menangis hm?" Tanya sebuah suara dengan lembut dan duduk di kursi yang ia duduki.
"Tidak ada, hanya sedang mengingat kisah sedih saja," ucap Saira dengan suara serak dan berusaha tersenyum.
"Gadis seistimewa lo nggak boleh lagi menangis mengerti," ujar Zain pelan sambil menatap lembut mata Saira yang mampu menenggelamkan dirinya akan pesona seorang Saira.
Saira tersenyum dan kembali tertawa. bersama Zain ia merasa nyaman. Ia seperti memiliki sosok kakak yang selama ini ia rindukan kehadirannya.
"Terima kasih," ucap Saira dengan tulus.
Zain tersenyum bahagia saat melihat orang yang ia sayangi kembali tersenyum dan tertawa. Entahlah ia sendiri bingung mengatakannya tapi ia sudah menyukai Saira pada pandangan pertama.
Interaksi keduanya terlihat oleh Aksa—pria itu tampak marah. Terlihat dari kepalan tangannya dan memukul stir mobil. Awalnya ia berniat menjemput Izora. Namun, mengurungkan niat saat melihat pemandangan yang tidak mengenakkan antara Saira dan lelaki yang tidak ia kenali, yang pasti pria itu adalah mahasiswanya.
"Apa sekarang hobinya menggoda pria lain? Dasar wanita murahan!" makinya dan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Saira melihat jam tangannya. Ia sedikit terperanjat saat melihat angka yang tertera di sana. Ia segera pamit.
"Zain, aku pulang dulu."
Wanita itu segera beranjak dari taman kampus. Sedangkan Zain menatap punggung yang terlihat rapuh itu berjalan menjauh dari pandangannya.
"Kamu tampak rapuh," ucap Zain dengan sendu. Lalu beranjak pergi dari sana.
Saira sudah sampai di rumah kediamannya bersama sang suami. Terlihat di ruang tamu, Aksa menatapnya tajam seperti biasa. Ia seperti seorang pencuri yang masuk ke rumah warga dan berhasil dihakimi massa.
"Ingat juga jalan pulang!" sinisnya.
Alis Saira mengerut sempurna mendengar ucapan suaminya yang terkesan sedang menyindir.
"Maksud Kakak apa?" tanya Saira.
Aksa bangkit dari sofa dan kenghampiri Saira masih dengan tatapan sinis.
"Pria tadi, apa dia mangsamu selanjutnya?"
Saira semakin dibuat bingung dengan pernyataan suaminya yang menurutnya sangat aneh.
"Apa maksud, Kakak."
"Kalau mau jadi wanita murahan, jangan saat kau menyandang status istri. Jadilah janda!"
Setelah mengucapkan hal tersebut, Aksa berlalu keluar sambil membisikkan sesuatu di telinga Saira sampai membuat tubuh wanita itu luruh menyentuh lantai.
"Apa salahku sefatal ini?"
Ia menangis dengan bahu bergetar. Perlahan bangkit menuju kamarnya. Ia menghempaskan tubuhnya di ranjang kecil yang selama ini menampung bobot tubuhnya saat malam. Ia menghabiskan malamnya dengan menangis, mengabaikan rasa lapar yang bahkan tidak ada apa-apanya di banding derita yang ia tanghung selama ini.
Ia ingat beberapa hari yang lalu, ia bertemu dengan keluarganya. Ia berharap bisa bertegur sapa. Namun, ia bagai orang asing yang terdampar di sebuah keluarga. Ia seolah sudah mati dan namanya tidak pernah tercatat sebagai anak di keluarga tersebut.
"Kenapa ya Tuhan, semua orang sangat membenciku. Suamiku, bahian keluargaku. Apa kesalahanku di masa lalu tidak bisa dimaafkan? Apa sefatal itu Tuhan." isaknya.
Ketika derita, luka dan sakit yang kian lama semakin menganga tidak segera diobati. Maka pikiran negatif sering menyelinap nakal ke benak Saira. Ia ingin menghilang dari dunia yang membuatnya tidak berguna dan terbuang. Ia terlunta dalam kesendirian. Tidak ada ubahnya anak sebatang kara.
-------------
Tubuhnya perlahan mulai menghilang sampai ketiak. Ia masuk semakin dalam. Senyumnya mengembang mmbayangkan kematian yang sebentar lagi akan menyambutnya. Namun, saat tubuhnya sudah sebatas leher. Ia mendengar teriakan seorang pria dari belakang. Zain hampir kehilangan napasnya saat melihat aksi Saira yang menurutnya akan bunuh diri. Ia mulai bertanya ada apa dengan wanita tersebut sampai nekat melakukan hal ini.
"Saira ... Lo ngapain di sana?" teriaknya keras.
Saira berbalik menatap Zain yang sedang menyusulnya.
"Aku hanya sedang mencoba sensasi tenggelam. Apa akan semudah seperti di film-film."
Ia semakin masuk ke dalam dan kini hanya rambutnya yang terlihat. Zain mulai panik dan segera berenang dengan kecepatan tinggi untuk menyelamatkan Saira. Ia tidak akan pernah rela sampai kapan pun jika Saira harus mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini.
Pria itu segera menyelam saat tidak terlihat tubuh Saira. Ia mencoba menggapai tubuh yang mulai masuk makin dalam. Setelah berhasil menggapai ia segera membawa tubuh Saira ke tepian dengan susah payah. Permukaan danau yang ditumbuhi rerumputan membuatnya kesulitan mencapai tepi dengan membawa tubuh Saira.
"Saira ... Saira, bangun Saira." Zain menepuk pipi Saira dengan pelan. Ia mencoba memompa dada Saira sampai gadis itu memuntahkan air. Ia terbatuk dan menarik napas panjang saat kesadarannya sudah kembali.
Zain menghela napas lega saat Saira sudah siuman. Ia hampir menangis melihat Saira yang terlihat sangat putus asa. Bahkan ulu hatinya nyeri saat wanita itu ingin merasakan tenggelam.
"Jangan melakukan hal bodoh lagi!" peringat Zain dengan bibir bergetar.
Saira bangkit dan duduk, ia menatap Zain dengan putus asa. "Kenapa kamu nyelamatin aku, Zain."
Pria itu menatap manik Saira dengan lembut.
"Lo wanita yang istimewa. Kalau lo mati di usia muda, gue nggak akan pernah rela."
Saira menatap kejauhan dengan air mata yang mengalir tanpa ia sadari. Sudah lama ia tidak diperhatikan oleh siapa pun bahkan keluarganya seperti orang asing, dekat tapi sulit dijangkau.
"Hei, lo kenapa nangis? Kalau lo lagi sedih atau lagi patah hati, diputusin pacar lo. Gue siap jadi tong sampah. Lo jangan sungkan-sungkan cerita ke gue." Zain menghapus air mata Saira. Ia tidak suka melihat wanita itu menangis.
"Aku hanya sedang memikirkan cara agar aku bisa bahagia, makanya aku menangis."
Zain mengerutkan alis pelan. Ia semakin penasaran kehidupan macam apa yang sedang dijalani Saira sampai gadis itu menjadi hilang arah seperti ini.
Zain membawa tubuh Saira ke dalam mobilnya. Ia harus segera membawa Saira pulang sebelum ia jatuh sakit. Namun, sebelum itu ia harus membeli pakaian untuk dikenakan oleh Saira.
"Ra, gue boleh nanyak sesuatu?" tanya Zain dengan hati-hati saat keduanya sudah berada di mobil. Pria itu menjalankan mobilnya dengan pelan menuju sebuah toko pakaian.
Saira menganguk pelan. Ia mulai merasakan tubuhnya mengigil.
"Sebenarnya kehidupan lo seperti apa? Sampai lo pengen bunuh diri."
Saira melihat keluar jendela dengan mata berkaca-kaca. Ia menatap Zain dengan tatapan memohon. Pria itu menghela napas pelan, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal tersebut.
"Ya udah, kita ke toko baju dulu. Nggak mungkin kan kamu balik dengan pakaian basah."
Saira menganguk tanpa bersuara. Setelah selesai menganti pakaiannya. Ia segera di antar pulang.
"Zain, turunin aku di sini aja, makasih ya udah nganterin pulang dan makasih buat hari ini."
Ia segera keluar dari mobil dan berjalan 20 meter menuju rumahnya. Ia tidak mau Raka kembali mengatainya wanita murahan karena kembali dengan pria lain.
"Lo aneh banget sih Ra, apa ada yang lagi lo sembunyiin dari gue."
Zain menatap sendu tubuh itu yang sudah hilang di balik pagar. Ia juga mengemudikan mobilnya dan pulang ke rumah.
Saira mencoba berjalan dengan sisa tenaga yang ia miliki. Tenaganya terkuras menahan gejolak emosi yang tidak bisa ia keluarkan. Tubuhnya sudah mengingil dengan kaki bergetar. Ia melihat ada sebuah mobil terparkir di sana dan itu milik Kakaknya.
Saira melangkah pelan memasuki rumahnya. Di sana sudah ada kedua orang tua dan kakaknya serta Aksa. Jika orang lain disambut dengan bahagia, maka tidak dengannya. Ia disambut oleh tatapan tajam, sinis, dan datar dari setiap pasang mata yang melihatnya.
"Dari mana saja kamu?!" tanya Andri kasar.
Saira melihat ke arah mereka dengan tatapan kosong. Ia berjalan pelan menuju lantai atas. Namun, sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Saira! Papa nanyak kamu dari mana aja, kenapa tidak menjawab! Apa selain licik, kamu juga tidak punya etika!"
Aksa menghampiri Saira dan menatapnya dengan tajam.
"Kalau dia punya etika, nggak mungkin bakalan menjebak kamu dan menusuk saudaranya sendiri dari belakang." suara Izora menyahut dan terdengar sinis.
"Pa, anak kita tidak ada yang sekurang ajar itu."
Saira menutup matanya mendengar cercaan dan hakiman dari keluarga yang seharusnya memberinya semangat.
"Tadi pertanyaannya apa? Ah, aku dari mana? Tadi mau menenggelamkan diri ke danau tapi ada yang nolongin," ucapnya sambil tersenyum.
"Saira!" teriak ayahnya dengan keras. Aksa bahkan mencengkam erat lengannya sampai menimbulkan rasa sakit.
Saira menatap mata ayahnya dengan lembut, kemudian beralih ke mata ibunya.
"Ma, Pa, kalau aku mati apa kalian akan sedih?" ia kemudian menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Pertanyaan macam apa itu, tentu saja jawabannya tidak!" sambungnya.
Ia melepaskan cengkraman Aksa dan berlalu dari sana dengan berjuta luka.
"Ah sepertinya harus kusudahi," ucapnya pada diri sendiri. Saira berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan mimisan yang tak kunjung berhenti. Ia mengambil beberapa lembar tisu dan menyumpal ke hidung.
Ketika darahnya sudah tidak mengucur lagi ia segera mengambil wudhu dan mengadu pada sang khalik. Hanya Allah yang ia miliki di dunia ini. Ia membentangkan sajadah panjang dan mulai melaksanakan salat tahajud.
"Ya Allah kuatkanlah hati yang rapuh ini, lembutkanlah hati Aksa untukku. Namun, bila memang dia bukan jodohku, ridhoilah setiap langkahku ya Rabb. Ampunilah hamba yang sudah mengingkari takdirmu hanya untuk menuruti keegoisanku." Itulah yang selalu ia doakan dalam sujud malamnya.
Selesai melaksanakan salat, ia segera melanjutkan tugasnya yang sempat terhenti beberapa puluh menit yang lalu. Hingga pagi menjelang, Saira tidak tidur sama sekali. Entahlah seolah semua rasa dalam hatinya kian mati, dia jarang merasakan lapar, dia juga jarang merasakan kantuk.
Saira segera bersiap menuju kampusnya, hari ini gadis itu akan pergi cepat, jujur ia tidak berani menunjukkan wajah di depan keluarganya terlebih orang tua yang sangat kecewa pada Saira. Ia segera melaju ke kampus tanpa menunggu orang-orang rumah terbangun. Ya dia berangkat pukul setengah enam pagi. Dadanya sangat sesak mengingat semua yang terjadi. Saira sangat merindukan ibunya, ia ingin berbagi kisah peritnya. Namun, ia sangat kesulitan menjangkau ibunya.
"Ya Allah ampunilah hamba bila menghindari ibu dan ayahku termasuk sebuah dosa." doanya dalam hati.
Ia sampai di kampus dan duduk termenung di taman. Apa yang harus ia lakukan agar semua kebahagiaan kembali pada tempatnya. Ia melihat bagaimana bahagianya Aksa saat berbicara pada Izora dan keluarganya yang lain. Namun, berbeda jika dengannya. Ia ingin menangis tapi air mata seolah telah habis terkikis perih. Tatapan mata yang kosong mengisyaratkan miliaran luka yang tak kasat mata.
"Hai boleh aku duduk?" Tanya sebuah suara yang membuyarkan lamunannya.
"Boleh, silahkan," jawab Saira datar.
"Perkenalkan nama saya, Zain Mikael Russel , panggil saja Zain," ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Saira tersenyum sedikit, kemudian berlalu dari sana tanpa menyambut ulur tangan Zain.
"Hm, gadis menarik. Aku jarang diabaikan."
----------
”Kumpulkan tugas kalian minggu lalu, siapa yang tidak mengerjakannya risiko ditanggung sendiri!" seru Aksa dengan datar.
Mereka segera mengumpulkan tugas termasuk Saira dan teman-temannya. Hingga di depan pun pria itu enggan menatap istrinya. Gadis itu kembali duduk di kursinya. Darah segar kembali mengucur. Ia kembali mimisan, tanpa permisi ia segera keluar dari ruangan kelas menuju toilet. Ia segera membersihkan hidung. Setelah selesai ia kembali ke kelasnya dengan wajah pucat.
"Apa boleh Anda keluar sesuka hati dari kelas saya!" tanya Aksa dengan nada marah.
"Maaf, Pak. Saya hanya keluar sebentar karena...," Saira tidak melanjutkan ucapannya karena mendapat tatapan mematikan dari Aksa.
"Ia kembali duduk dan Aksa memberi tugas tambahan yang terbilang cukup berat baginya dan harus dikumpulkan besok."
Ia hanya bisa menghela napas lelah. Apa yang bisa ia lakukan selain menuruti perintahnya.
Malamnya ia kembali begadang untuk menyiapkan tugas yang diberikan Raka padanya. Jam sudah menunjukkan pukul 02:23 WIB. Ia masih berkutat dengan kertas dan laptopnya. Untuk dua hari belakangan ini ia tidak ada tidur sama sekali hingga rasa pusing di kepalanya amat menyakitkan. Ia memegang kepalanya yang sakit luar biasa dan berusaha untuk tetap tersadar. Namun, apa daya ketika kegelapan mengambil alih semuanya.
"Ah kepalaku sakit sekali." ringis Saira sambil memegang kepalanya. Ia terbangun dari pingsan dan yah! Masih di tempat terakhir kali ia pingsan. Miris memang.
Ia lalu melihat jam dinding, gadis itu memelototkan matanya karena jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. "Ya Allah tamatlah aku."
Kakinya berlari pelan menuju kamar mandi dan segera bersiap karena ia masuk pukul 08.00 WIB.
"Ya Allah lindungilah hamba dari amukan dan murkanya." Doanya dalam hati sambil berjalan menuju kelasnya.
Brak
Wajahnya mendadak pucat karena Aksa sudah berada di kelas dan menatapnya dengan aura mematikan.
"Maaf, Pak. Saya terlambat lima menit. Apa saya boleh masuk kelas Anda? Tanya Saira takut-takut.
"Atas alasan apa saya harus memberikan konpensasi pada Anda?” tanyanya dengan tajam.
Saira diam tidak menjawab karena saat ini otaknya sedang buntu ditambah kepalanya yang masih berdenyut pusing.
"Silahkan Anda keluar dari kelas saya!" Usir Aksa lantang.
Saira menghela napas dengan lesu. Ia tak ingin membantah karena sekuat apa pun ia bertahan, tetap akan kalah. Saira keluar dengan perasaan sedih dan hampa.
"Ya Allah kapan ini semua akan berakhir. Rasanya hati ini tak lagi mampu menahannya."
Dari jauh Zain melihat wanita yang tempo hari sedang mengusap air matanya. "Dia menangis," batinnya.
Kaki jenjangnya melangkah mendekati gadis itu.
"Kenapa menangis hm?" Tanya sebuah suara dengan lembut dan duduk di kursi yang ia duduki.
"Tidak ada, hanya sedang mengingat kisah sedih saja," ucap Saira dengan suara serak dan berusaha tersenyum.
"Gadis seistimewa lo nggak boleh lagi menangis mengerti," ujar Zain pelan sambil menatap lembut mata Saira yang mampu menenggelamkan dirinya akan pesona seorang Saira.
Saira tersenyum dan kembali tertawa. bersama Zain ia merasa nyaman. Ia seperti memiliki sosok kakak yang selama ini ia rindukan kehadirannya.
"Terima kasih," ucap Saira dengan tulus.
Zain tersenyum bahagia saat melihat orang yang ia sayangi kembali tersenyum dan tertawa. Entahlah ia sendiri bingung mengatakannya tapi ia sudah menyukai Saira pada pandangan pertama.
Interaksi keduanya terlihat oleh Aksa—pria itu tampak marah. Terlihat dari kepalan tangannya dan memukul stir mobil. Awalnya ia berniat menjemput Izora. Namun, mengurungkan niat saat melihat pemandangan yang tidak mengenakkan antara Saira dan lelaki yang tidak ia kenali, yang pasti pria itu adalah mahasiswanya.
"Apa sekarang hobinya menggoda pria lain? Dasar wanita murahan!" makinya dan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Saira melihat jam tangannya. Ia sedikit terperanjat saat melihat angka yang tertera di sana. Ia segera pamit.
"Zain, aku pulang dulu."
Wanita itu segera beranjak dari taman kampus. Sedangkan Zain menatap punggung yang terlihat rapuh itu berjalan menjauh dari pandangannya.
"Kamu tampak rapuh," ucap Zain dengan sendu. Lalu beranjak pergi dari sana.
Saira sudah sampai di rumah kediamannya bersama sang suami. Terlihat di ruang tamu, Aksa menatapnya tajam seperti biasa. Ia seperti seorang pencuri yang masuk ke rumah warga dan berhasil dihakimi massa.
"Ingat juga jalan pulang!" sinisnya.
Alis Saira mengerut sempurna mendengar ucapan suaminya yang terkesan sedang menyindir.
"Maksud Kakak apa?" tanya Saira.
Aksa bangkit dari sofa dan kenghampiri Saira masih dengan tatapan sinis.
"Pria tadi, apa dia mangsamu selanjutnya?"
Saira semakin dibuat bingung dengan pernyataan suaminya yang menurutnya sangat aneh.
"Apa maksud, Kakak."
"Kalau mau jadi wanita murahan, jangan saat kau menyandang status istri. Jadilah janda!"
Setelah mengucapkan hal tersebut, Aksa berlalu keluar sambil membisikkan sesuatu di telinga Saira sampai membuat tubuh wanita itu luruh menyentuh lantai.
"Apa salahku sefatal ini?"
Ia menangis dengan bahu bergetar. Perlahan bangkit menuju kamarnya. Ia menghempaskan tubuhnya di ranjang kecil yang selama ini menampung bobot tubuhnya saat malam. Ia menghabiskan malamnya dengan menangis, mengabaikan rasa lapar yang bahkan tidak ada apa-apanya di banding derita yang ia tanghung selama ini.
Ia ingat beberapa hari yang lalu, ia bertemu dengan keluarganya. Ia berharap bisa bertegur sapa. Namun, ia bagai orang asing yang terdampar di sebuah keluarga. Ia seolah sudah mati dan namanya tidak pernah tercatat sebagai anak di keluarga tersebut.
"Kenapa ya Tuhan, semua orang sangat membenciku. Suamiku, bahian keluargaku. Apa kesalahanku di masa lalu tidak bisa dimaafkan? Apa sefatal itu Tuhan." isaknya.
Ketika derita, luka dan sakit yang kian lama semakin menganga tidak segera diobati. Maka pikiran negatif sering menyelinap nakal ke benak Saira. Ia ingin menghilang dari dunia yang membuatnya tidak berguna dan terbuang. Ia terlunta dalam kesendirian. Tidak ada ubahnya anak sebatang kara.
-------------
Tubuhnya perlahan mulai menghilang sampai ketiak. Ia masuk semakin dalam. Senyumnya mengembang mmbayangkan kematian yang sebentar lagi akan menyambutnya. Namun, saat tubuhnya sudah sebatas leher. Ia mendengar teriakan seorang pria dari belakang. Zain hampir kehilangan napasnya saat melihat aksi Saira yang menurutnya akan bunuh diri. Ia mulai bertanya ada apa dengan wanita tersebut sampai nekat melakukan hal ini.
"Saira ... Lo ngapain di sana?" teriaknya keras.
Saira berbalik menatap Zain yang sedang menyusulnya.
"Aku hanya sedang mencoba sensasi tenggelam. Apa akan semudah seperti di film-film."
Ia semakin masuk ke dalam dan kini hanya rambutnya yang terlihat. Zain mulai panik dan segera berenang dengan kecepatan tinggi untuk menyelamatkan Saira. Ia tidak akan pernah rela sampai kapan pun jika Saira harus mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini.
Pria itu segera menyelam saat tidak terlihat tubuh Saira. Ia mencoba menggapai tubuh yang mulai masuk makin dalam. Setelah berhasil menggapai ia segera membawa tubuh Saira ke tepian dengan susah payah. Permukaan danau yang ditumbuhi rerumputan membuatnya kesulitan mencapai tepi dengan membawa tubuh Saira.
"Saira ... Saira, bangun Saira." Zain menepuk pipi Saira dengan pelan. Ia mencoba memompa dada Saira sampai gadis itu memuntahkan air. Ia terbatuk dan menarik napas panjang saat kesadarannya sudah kembali.
Zain menghela napas lega saat Saira sudah siuman. Ia hampir menangis melihat Saira yang terlihat sangat putus asa. Bahkan ulu hatinya nyeri saat wanita itu ingin merasakan tenggelam.
"Jangan melakukan hal bodoh lagi!" peringat Zain dengan bibir bergetar.
Saira bangkit dan duduk, ia menatap Zain dengan putus asa. "Kenapa kamu nyelamatin aku, Zain."
Pria itu menatap manik Saira dengan lembut.
"Lo wanita yang istimewa. Kalau lo mati di usia muda, gue nggak akan pernah rela."
Saira menatap kejauhan dengan air mata yang mengalir tanpa ia sadari. Sudah lama ia tidak diperhatikan oleh siapa pun bahkan keluarganya seperti orang asing, dekat tapi sulit dijangkau.
"Hei, lo kenapa nangis? Kalau lo lagi sedih atau lagi patah hati, diputusin pacar lo. Gue siap jadi tong sampah. Lo jangan sungkan-sungkan cerita ke gue." Zain menghapus air mata Saira. Ia tidak suka melihat wanita itu menangis.
"Aku hanya sedang memikirkan cara agar aku bisa bahagia, makanya aku menangis."
Zain mengerutkan alis pelan. Ia semakin penasaran kehidupan macam apa yang sedang dijalani Saira sampai gadis itu menjadi hilang arah seperti ini.
Zain membawa tubuh Saira ke dalam mobilnya. Ia harus segera membawa Saira pulang sebelum ia jatuh sakit. Namun, sebelum itu ia harus membeli pakaian untuk dikenakan oleh Saira.
"Ra, gue boleh nanyak sesuatu?" tanya Zain dengan hati-hati saat keduanya sudah berada di mobil. Pria itu menjalankan mobilnya dengan pelan menuju sebuah toko pakaian.
Saira menganguk pelan. Ia mulai merasakan tubuhnya mengigil.
"Sebenarnya kehidupan lo seperti apa? Sampai lo pengen bunuh diri."
Saira melihat keluar jendela dengan mata berkaca-kaca. Ia menatap Zain dengan tatapan memohon. Pria itu menghela napas pelan, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal tersebut.
"Ya udah, kita ke toko baju dulu. Nggak mungkin kan kamu balik dengan pakaian basah."
Saira menganguk tanpa bersuara. Setelah selesai menganti pakaiannya. Ia segera di antar pulang.
"Zain, turunin aku di sini aja, makasih ya udah nganterin pulang dan makasih buat hari ini."
Ia segera keluar dari mobil dan berjalan 20 meter menuju rumahnya. Ia tidak mau Raka kembali mengatainya wanita murahan karena kembali dengan pria lain.
"Lo aneh banget sih Ra, apa ada yang lagi lo sembunyiin dari gue."
Zain menatap sendu tubuh itu yang sudah hilang di balik pagar. Ia juga mengemudikan mobilnya dan pulang ke rumah.
Saira mencoba berjalan dengan sisa tenaga yang ia miliki. Tenaganya terkuras menahan gejolak emosi yang tidak bisa ia keluarkan. Tubuhnya sudah mengingil dengan kaki bergetar. Ia melihat ada sebuah mobil terparkir di sana dan itu milik Kakaknya.
Saira melangkah pelan memasuki rumahnya. Di sana sudah ada kedua orang tua dan kakaknya serta Aksa. Jika orang lain disambut dengan bahagia, maka tidak dengannya. Ia disambut oleh tatapan tajam, sinis, dan datar dari setiap pasang mata yang melihatnya.
"Dari mana saja kamu?!" tanya Andri kasar.
Saira melihat ke arah mereka dengan tatapan kosong. Ia berjalan pelan menuju lantai atas. Namun, sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Saira! Papa nanyak kamu dari mana aja, kenapa tidak menjawab! Apa selain licik, kamu juga tidak punya etika!"
Aksa menghampiri Saira dan menatapnya dengan tajam.
"Kalau dia punya etika, nggak mungkin bakalan menjebak kamu dan menusuk saudaranya sendiri dari belakang." suara Izora menyahut dan terdengar sinis.
"Pa, anak kita tidak ada yang sekurang ajar itu."
Saira menutup matanya mendengar cercaan dan hakiman dari keluarga yang seharusnya memberinya semangat.
"Tadi pertanyaannya apa? Ah, aku dari mana? Tadi mau menenggelamkan diri ke danau tapi ada yang nolongin," ucapnya sambil tersenyum.
"Saira!" teriak ayahnya dengan keras. Aksa bahkan mencengkam erat lengannya sampai menimbulkan rasa sakit.
Saira menatap mata ayahnya dengan lembut, kemudian beralih ke mata ibunya.
"Ma, Pa, kalau aku mati apa kalian akan sedih?" ia kemudian menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Pertanyaan macam apa itu, tentu saja jawabannya tidak!" sambungnya.
Ia melepaskan cengkraman Aksa dan berlalu dari sana dengan berjuta luka.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved