Bab 6 Sebuah Pengorbanan

by Hairunnisa Ys 09:37,Dec 09,2020
Satu bulan kemudian

Dua tamparan keras dilayangkan mertuanya ke wajah Saira, ia tidak tahu apa lagi kesalahannya kali ini. Terlepas dari apa pun itu, hatinya menjerit perih karena Aksa membiarkan dirinya ditampar oleh ibunya sendiri.

"Aku sangat muak melihat wajahmu, bisakah kau enyah dari hadapanku!" teriak Rika marah.

Saira menatap ke arah suaminya. Namun, lagi-lagi hatinya terobek perih saat melihat Aksa tertawa bahagia di ujung ruangan bersama Izora tanpa memperdulikan perasaannya. Bukankah bulan lalu mereka sudah sepakat untuk berdamai? Tapi kenapa sekarang tampak tak acuh. Ia melangkah penuh nelangsa menyusuri taman untuk mengobati keperitan hatinya.

"Ini sangat menyakitkan.” Ia meremas dadanya yang amat terasa sesak.

"Kapan semua ini akan berakhir ya Allah." tatapannya kosong melayang ke langit yang kini mulai berubah senja.

🐠🐠🐠

Kabar duka tengah menyelimuti keluarga Andri, Izora mengalami kecelakaan yang parah saat pulang dari rumah Aksa hingga menyebabkan ginjal sebelah kananya harus segera diangkat karena mengalami kerusakan parah akibat benturan keras. Jika tidak, akan membahayakan nyawanya.

Mereka sedang menunggu di depan UGD dengan perasaan bercampur aduk antara takut, dan khawatir tak terkecuali Aksa. Ia ikut merasakan ketakutan jika sampai terjadi sesuatu pada kakaknya. ia duduk di kursi paling pojok karena kehadirannya di sini tidak akan terlihat oleh siapa pun.

Terlihat seorang dokter keluar dari ruang UGD dengan wajah kelahnya.

"Keluarga pasien?" .

"Iya Dokter, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Andri khawatir.

Dokter tersebut menarik napas panjang.
"Kecelakaan yang di alami pasien sangat parah, sehingga menyebabkan ginjal sebelah kanannya harus diangkat. Jika tidak segera di operasi, pasien bisa kehilangan nyawanya. Kita butuh pendonor secepatnya," ucap dokter tersebut dengan nada menyesal.

Mereka yang mendengar itupun seperti disambar petir, bagaimana mereka bisa mendapatkan pendonor untuk Izora dalan waktu dekat. Tanpa diketahui oleh semuanya Aksa berlalu untuk menemui dokter tersebut dan mengutarakan maksud kedatangannya.

"Baiklah, kita akan memeriksa seberapa cocok ginjal Anda dengan pasien," ucap dokter yang bernama Yulia.

Saira sudah melakukan serangkaian tes dan hasilnya cocok dengan pasien. Tanpa ragu sedikit pun,l ia mendonorkan ginjalnya meski dengan risiko yang besar. Tekadnya sudah bulat, ia akan menebus kesalahannya pada Izora serta keluarganya. Setelah itu ia akan pergi jauh dari mereka semuanya.

"Apa Anda yakin?" tanya Dokter dengan ragu mengingat risikonya sangat besar untuk seorang pendonor.

"Saya yakin Dokter, tapi bisakah dokter merahasiakan identitas saya," ucapnya penuh permohonan. Ia tidak suka jika harus di kasihani.

Tatapan wajah dokter tersebut terlihat bingung.

"Saya berhutang budi pada keluarganya Dok," ucap Saira.

"Baiklah, besok pagi operasinya akan dilaksanakan." putus Dokter tersebut. Gadis itu menarik napasnya lega. Setidaknya ia bisa melakukan sesuatu yang berarti dalam hidupnya.

Dokter Yulia segera menemui Keluarga pasiennya untuk memberikan kabar bahagia ini.
"Ada kabar baik Pak, ada seseorang yang bersedia mendonorkan ginjalnya untuk putri Bapak, " ucap Dokter Yulia tersenyum.

Mereka yang mendengar kabar bahagia itu pun bersuka cita dan berterima kasih pada yang maha kuasa yang telah menurunkan seorang penolong untuk mereka.

"Bolehkah kami tau siapa orang yang berhati mulia itu Dok?" tanya Andri senang bercampur penasaran. Andai ia tau putrinya lah orangnya apa ia akan sebahagia ini.

"Mohon maaf Pak, pendonor tidak ingin identitasnya diketahui," ucap dokter tersebut memberi pengertian. Andri hanya bisa menghela napas, ia sangat ingin mengucapkan terima kasih pada orangnya secara langsung Namun, apa boleh buat. Mereka yang dilingkupi kebahagiaan tidak menyadari ketiadaan Saira di ruangan tersebut.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Saira datang mendekati mereka.

Ibunya menatap tajam ke arah Saira. "Ini semua gara-gara kamu! Anak tidak tahu diri yang selalu menyusahkan kami semuanya!" cerca Ibunya dengan marah.

Danu menatap datar wajah Saira. Tidak ada sedikit pun cinta di matanya.

Saira tersenyum lemah, "Ma, aku bahagia jika akulah yang berada di tempat Kak Izora. Andai bisa digantikan, aku bahkan ingin melakukannya."

"Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Sejak awal kau memang tidak berguna! Sudah ada penolong baik yang mendonorkan ginjalnya." seru Andri datar.

"Syukur lah, Pa. Tapi bolehkah aku memelukmu sekali saja."

Andri berlalu dari sana. Saira sudah mendapat jawabannya. Batinnya menangis. Namun, ia memasang senyum palsu untuk menutupi keretakan hatinya.

Ia beralih ke arah ibunya. "Ma, bolehkah aku memelukmu." Matanya terlihat berharap.

Wanita itu tidak menggubrisnya. Ia segera mengikuti langkah kaki suaminya. Sekarang Danu juga mengikuti jejak kedua orang tuanya.
Air mata mengalir dari kelopak matanya.

"Terima kasih, Tuhan. Aku tidak lagi ragu menghadapmu," bisiknya pelan.

Inilah yang terbaik untuk semuanya, ia akan berkorban demi kebahagiaan banyak orang. Keluarganya akan sedih bila kakaknya pergi, Aksa juga akan terpukul bila Izora tidak tertolong. Sedangkan Saira, walaupun mati di meja operasi, tidak akan ada yang menangisinya. Untuk itu ia harus menyelamatkan senyuman semua orang. Keputusan sudah ia ambil entah masih hidup atau tidak nantinya. Ia hanya berserah diri pada sang pemberi kehidupan. Ia menatap kosong hamparan taman yang sangat indah. Ia kembali mengingat cacian dan makian dari suaminya beberapa jam yang lalu.

"Kau ingat Saira, jika terjadi apa-apa dengan kekasihku aku tidak akan pernah memaafkanmu. Ini semua karena kau! Kenapa kau harus hadir di antara kami berdua. Kau perusak kebahagian kami. Aku sudah muak dengan semua ini! Bisakah kau pergi dari kehidupanku untuk selamanya!" Aksa berlutut memohon kepada Saira. Ia mengatupkan kedua tangannya.

"Aku mohon Saira, jika kau masih memiliki hati tolong kembalikan kebahagiaanku." Mendengarnya yang menangis sambil memohon seperti ini semakin membuat hati rapuhnya bertambah retak. Ia membantu Aksa bangun dan langsung memeluknya.

Aku berjanji Aksa, aku akan mengembalikan kebahagiaanmu, batinnya.

Tepat pukul 09:08 wib, operasinya akan segera dilaksanakan, Saira sudah dibawa keruang operasi bersamaan dengan Izora, ia menatap sendu wanita yang sudah ia sakiti, tubuhnya dibantu beberapa alat pernapasan dan lainnya karena ia sendiri tidak tahu namanya.

"Semoga ginjalku bisa menebus sebagian kesalahanku Kak," ucapnya pelan, untuk pertama kalinya tersenyum tulus terbit di bibirnya sebelum mata itu tertutup di bawah pengaruh obat bius.

Dokter telah berjuang menyelamatkan mereka berdua selama lima jam lamanya. Operasinya berjalan lancar meski sempat terjadi kesalahan kecil yang tidak diprediksi. Keluarga Andri dan keluarga Ramlan sedang berkumpul di depan ruang operasi. Terlihat Aksa yang tidak bisa duduk dengan tenang. Lampu yang tadi berwarna merah kini sudah berubah menjadi hijau. Menandakan bahwa operasi sudah selesai dan seorang dokter keluar dari ruangan tersebut dengan sebuah senyuman.

"Bagaimana keadaan anak saya dokter?" tanya Andri yang diliputi kekhawatiran.

"Alhamdulillah operasinya berjalan lancar Pak. Kami akan segera memindahkan pasien ke ruang rawat inap," terang dokter tersebut tersenyum dan berlalu kembali masuk ke ruangan operasi.

Mereka semua yang mendengarnya pun mengucap penuh syukur.

Di ruang lainnya keadaan Saira memburuk. Detak jantungnya mulai melemah.

"Selamat tinggal suamiku." air mata mengalir dari kedua sudut matanya.


Izora sudah siuman beberapa jam yang lalu, begitu dia sadar ia melihat banyak sekali keluarga yang menjenguknya. Namun, ada sesuatu yang membuat hatinya resah saat ini. Ia tidak melihat kehadiran Saira sama sekali.

"Ma, di mana Saira?" tanyanya khawatir. Entah mengapa ada perasaan khawatir menyeruak ke dalam hatinya. Sepanjang hidupnya, semenjak kejadian tahun lalu, ia menjaga jarak dengan Saira bahkan tidak mau ambil pusing.

"Loh bukannya dia bersama kita tadi," ujar Ayahnya santai.

"Mungkin dia sudah pulang ke rumah," jawab Aksa cuek.

"Aksa, bisakah kamu mengeceknya, entah kenapa firasatku tidak enak." ucapnya lemah sambil memohon.

"Sudahlah sayang, dia pasti di rumah, lagian ngapain cari dia sih," ucap mamanya dengan tegas.

"Aku bermimpi Saira pergi jauh meninggalkan kita semua," ucap Izora hampir menangis. Sontak keluarga mereka tersentak mendengar penuturan gadis itu termasuk Aksa.

Tak mau membuat kekasihnya sedih sekaligus untuk membuktikan kecemasannya tidak nyata. Akhirnya Aksa pulang untuk mengecek Saira. Ia sudah sampai di rumahnya yang tampak sepi. Terlihat ruang tamu yang tampak gelap.

Kemana dia? batinnya. Ia segera menuju kamar istrinya. Terlihat bersih dan rapi seperti tidak ada penghuni di sana. Matanya menyusuri ruangan sekitar yang tampak sederhana dengan ranjang kecil dan satu buah lemari dua pintu. Matanya tertuju pada sepucuk surat yang diselipkan di sela-sela buku. Ia menggambil surat tersebut dan mulai membacanya. Seketika surat itu terjatuh begitu saja. Inikah firasat yang dirasakan oleh Izora, Ada perasaan sesak melingkupi hatinya. Air matanya berhasil lolos. Ia menangis menyadari sikapnya selama dua tahun ini sangat buruk pada istrinya.

"Dia sudah pergi!" Inikan yang aku mau, tapi mengapa rasanya begitu menyakitkan."

Tiiiiiittttttt........
------

Dokter berlari menuju sebuah ruangan tempat Saira dirawat. Detak jantungnya sempat berhenti. Untungnya dokter yang merawatnya melakukan hal yang tepat dengan memberinya kejut jantung.

"Syukurlah detak jantungnya kembali bekerja. Pantau terus kondisinya jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan."

"Baik, Dok."

Beberapa suster terlihat sedang memeriksa peralatan Saira sebelum akhirnya berlalu bersama sang dokter.

"Dok, kondisi pasien benar-benar sangat kritis."

Seorang suster menghampiri dokter tersebut sambil menunjukkan sesuatu.

"Pasien mengalami gagal ginjal dan sudah parah. Artinya untuk sekarang pasien butuh donor ginjal."

Dokter tersebut terlihat menghela napas. Pasien yang sedang ia tangani juga mengalami hal serupa dengan pasiennya beberapa tempo yang lalu.

"Segera carikan donornya lalu kabari juga keluarga pasien untuk ikut mencari."

"Baik, Dok."Suster tersebut pergi dengan tergesa-gesa.

Air mata menetes dari kedua kelopak matanya yang tertutup. Emosi yang ia rasakan terlihat sangat besar. Seorang suster masuk untuk pemeriksaan rutin. Matanya terpaku pada air mata yang mengalir deras.

"Sebenarnya apa yang sudah kamu alami?" tanyanya pelan.

Letupan emosi yang tidak mampu ditahan, menguar menjadi sebuah bumerang untuk Saira. Kembali mesin EKG menampilkan garis yang awalnya naik turun, kini perlahan rendah dan bergerak horizontal.
Beberapa suster dan dokter terlihat sibuk melakukan tugas mereka untuk menyelamatkan pasiennya. Namun, ikhtiar berhenti saat suara nyaring mesin itu berbunyi.

Tiiittttttt

Saira mengembuskan napas terakhirnya pukul 11:27 WIB. Suster yang menangani pasien pun menghela napas pelan. Dokter terlihat sedih. Seutas kain putih kini menutup wajah pucat pasi milik Saira.
----------

Aksa membuka perlahan surat yang ia temukan di atas nakas. Setiap bait kata ia baca dengan perasaan was-was.

Teruntuk suamiku...
Ketika pertama kali melihatmu, jantungku tak bisa berhenti berdetak.
Senyummu sangat menenangkan sanubariku.
Namun, aku mengacaukannya dengan menjebakmu.

Kak...
Maaf ya, aku sudah menanamkan kesengsaraan dalam hidupmu.
Tapi sebelumnya izinkan aku untuk memelukmu meski hanya dalam angan.

Kak...
Kejarlah cintamu, bahagialah bersamanya.
Seperti janjiku, aku akan melepasmu untuk hidup bahagia bersama Kak Izora.

Deritan nyeri perlahan menghantam ulu hatinya. Aksa menatap nanar surat tersebut. Ia mulai mengingat hari terakhir mereka bertatap muka yakni tiga hari yang lalu.

Di ruang rawat Izora, gadis itu terlihat gelisah entah disebakan oleh apa. Hatinya berdenyut nyeri seolah akan ada kabar buruk yang menimpanya.

"Sayang, kamu kenapa Nak?" tanya Wina lembut.

"Ma, entah kenapa aku merasa was-was."

"Sayang, kamu jangan berpikir aneh-aneh dulu ya. Kamu butuh istirahat yang cukup." saran Wina lembut.

Izora menurut, ia kembali berbaring dan mencoba mengalihkan rasa cemasnya. Lalu seorang dokter memasuki ruangan.

"Selamat siang, Bu. Saya dokter yang menangani operasi Mbak Izora." terangnya sambil tersenyum kecil.

"Iya Dok, terima kasih banyak."

"Bu, kedatangan saya kemari untuk memberikan surat terakhir dari pendonor ginjal untuk putri Ibu." Dokter tersebut menyerahkan satu lembar pada Wina.

"Kalau begitu, saya permisi Bu. Mari!"

Wina menganguk lalu perlahan membuka surat tersebut. Matanya mulai berair saat bait demi bait menghiasi coretan tersebut.

"Saira...," ucapnya tanpa sadar.

"Ma, ada apa dengan Saira?" tqnya Izora bingung.

Tangan Wina bergetar hebat, bibirnya tidak mampu berucap sepatah kata pun. Semua hal tentang Saira terekam di otaknya bagai kaset rusak. Perlakuan buruknya bahkan ia ingat, putrinya hanya meminta sebuah pelukan terakhir yang tidak ia sadari. Rasa sesal memeluknya erat sampai sulit mengembuskan napas. Izora mengambil alih surat tersebut lalu matanya terpaku pada isi dari suratnya.

Untuk keluargaku yang sangat aku cintai...

Ma, kapan ya terakhir kali Ai meluk Mama. Ai ingin mengadu tapi menjangkau Mama begitu sulit.
Maafkan Ai ya Ma, terlepas dari apa yang sudah Ai lakukan.
Maaf karena hanya menghadirkan kekecewaan.

Pa, terima kasih banyak untuk semua kasih sayang Papa selama ini buat Ai. Maaf karena belum bisa menjadi anak yang baik buat Papa.

Kak Danu, aku ingat dulu kita kejar-kejaran di pantai.
Kakak merebut mainanku, huh dasar kakak menyebalkan saat itu.
Tapi semua kenangan ini sangat berharga untukku. Terima kasih, Kak.

Kak Zora, mungkin ribuan maaf tidak bisa menghapus kesalahanku pada Kakak. Maafkan aku yang membuat kakak seperti ini.
Maaf atas semua perbuatanku yang sudah menyakiti Kakak.
Aksa kini milik Kakak. Aku sudah melepasnya. Untuk pertama kalinya aku melakukan hal yang tepat dan aku bahagia melakukannya.

I love you my sister
Jaga ginjalnya dengan baik.

Jangan pernah meneteskan air mata jika aku pergi jauh dari dunia ini. Karena aku sangat bahagia sekarang.

Wina dan Izora menangis, seorang dokter masuk sambil menatap keduanya dengan sedih.

"Bu, pasien yang mendonorkan ginjalnya pada putri Ibu. Baru saja meninggal dunia.

Kalimat itu bagai hantaman batu besar yang menghimpit paru-paru keduanya. Wina jatuh pingsan. Sedangkan Danu menatap nanar surat tersebut. Jantungnya berdenyut nyeri. Ini kah kata pepatah, semua akan berharga saat sudah tiada.






Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

124