Bab 5 Sebuah Permainan
by Hairunnisa Ys
09:32,Dec 09,2020
Dengan langkah mantap ia menghampiri ruang kerja suaminya.
"Kak, bisakah kamu menemaniku malam ini?" tanya Saira dengan ragu dan takut.
Aksa menatap manik indah istrinya dengan tajam.
"Apa aku mengijinkanmu masuk tanpa ijinku. Ini kampus, siapa kamu beraninya memanggilku dengan tidak sopannya!" hardik Aksa dengan dingin.
Hati Saira merasa perih saat suami yang sangat ia cintai tidak pernah menganggapnya ada. Siapa dia? Haruskah dipertanyakan lagi.
"Maaf Kak, em Pak. Tapi malam ini ada acara reunian, apa Bapak bisa datang menemani saya?" kembali Saira bertanya dengan penuh harap.
"Apa wajahku terlihat akan datang ke acara murahan seperti itu?" tanya Aksa sambil tersenyum sinis.
"Tapi...," ucapannya terpotong oleh hentakan keras dari Aksa.
"Aku sudah muak melihatmu sebaiknya kamu keluar!"
Meski enggan akhirnya perempuan itu keluar dengan perasaan hancur. Lagi-lagi sebuah penolakan yang ia terima. Kakinya melangkah ke kantin dengan lesu. Matanya hanya menatap kosong pada hamparan taman kampus yang bersebelahan dengan kantin.
Ia memilih meja paling sudut yang berdekatan dengan taman. Saira mendudukkan bokongnya lalu menatap taman.
"Sedang melamunkan apa?" Tanya seorang pria dengan nada menjengkelkan.
"Ah, apa?" tanya Saira heran saat tersadar dari lamunannya.
ckck
Lelaki itu tertawa kecil sambil mengusap kepala Saira yang sontak membuat wanita itu menepis tangannya.
"Ah maaf ini sebuah kebiasaan," ucap lelaki tersebut dengan tersenyum manis.
Di lain tempat seseorang sedang memandangnya dengan tangan terkepal.
"Cih dasar perempuan murahan!" Desisnya lantas berlalu pergi dengan kemarahan. Ia tak tahu mengapa ia harus marah. Namun, ada nada tak suka saat melihat istrinya disentuh oleh orang lain. Cih berbicara tentang istri masihkah ia menganggapnya sebagai seorang istri. Rasanya ia takkan sudi.
Lelaki yang kini bersama Saira tersenyum saat melihat seorang pria yang ia tahu sebagai dosen di tempatnya menuntut ilmu.
"Kelak kau akan menyadari betapa berharganya orang yang kini sedang kau sia-siakan." monolog batinnya menatap kepergian sosok tersebut.
"Maaf ya aku harus kembali," ucap Saira tersenyum dan melangkah pergi meninggalkan pria yang kini sedang menatapnya dengan sendu.
"Andai aku diberi kesempatan itu Saira, aku pasti akan membahagiakanmu." Ketulusan terlihat di setiap embusan lafaznya.
"Dari mana saja hm, seru pergi berduaan dengan lelaki lain. Dasar perempuan tidak tahu diri." sindir Aksa sangat menusuk telinga dan hati Saira. Haruskah berkata seperti itu?
"Aku tadi ke taman Kak dan...," ucapan Saira terpotong oleh perkataan Aksa yang amat menohok jantungnya.
"Apa aku sedang menunggu alasanmu? Cih, kau sangat naif Saira, setelah apa yang kamu lakukan padaku dan tunanganku. Apa kau pikir aku akan cemburu. Jangan bermimpi! Meski kau akan pergi dengan banyak lelaki aku tidak peduli. Kau tau karena apa? Karena kau tidak penting sama sekali dalam hidupku." Setelah mengatakan hal menyakitkan, Aksa berjalan dengan angkuh. meninggalkan Saira yang menahan air matanya agar tidak jatuh. Namun, jebol begitu saja setelah Aksa berjalan meninggalkannya dalam kepahitan.
"Apa segitu bencinya kamu sama aku Kak. Aku juga tidak ingin seperti ini, tapi apa yang harus aku lakukan. Saat hatiku tidak bisa membiarkanmu jatuh kepelukan wanita lain termasuk Kakakku," ucap Saira dengan pilu. Andai, andai dan andai ia tahu semua akan serumit ini. Saira akan lebih memilih pergi karena nyatanya hati jauh lebih sakit saat Aksa sudah dalam pelukannya.
"Ya Tuhan inikah hasil dari perbuatanku. Inikah hasil yang harus aku tuai, sampai kapan aku mampu bertahan di sisinya." Isaknya dalam keperihan.
Di ruangan lain mata itu menatap sendu sosok yang tengah menangis di sudut ruangan. Namun, dengan segenap hati ia mengenyahkan perasaan itu. Matanya yang sendu kini sudah berubah menjadi setajam pisau. Tangannya mengepal dengan erat menahan segala emosi yang bergejolak dalam hatinya.
"Kau memang pantas aku perlakukan seperti itu Saira. Bahkan penderitaanmu belum seberapa dibandingkan dengan segala penderitaanku yang disebabkan olehmu." Kemarahan itu kian hari kian menutup hati kecilnya hingga menjadi sekeras batu.
Dalam benaknya, hanya dia yang terluka, tanpa ia sadari Saira-lah yang paling menderita di sini, bukan dirinya yang terlampau egois.
Ada kalanya sesuatu yang tidak kita inginkan akan menjadi sesuatu yang sangat berharga melebihi sebongkah permata. Namun, saat kita menyadarinya semua sudah terlambat. Bahkan segalanya tak mampu mengembalikan sesuatu yang telah kita sia-siakan. Selain dari sang pemilik kehidupan itu sendiri.
"Kak sarapannya sudah aku siapkan, makan dulu."
"Aku makan di kantor, untuk apa repot-repot memasak? Aku bahkan tidak berniat mencicipi masakan dari wanita licik sepertimu!" lagi-lagi sindiran pedas yang ia lontarkan pada istrinya.
Kembali hati itu merasakan sakitnya sebuah penghinaan, bahkan segala pengorbanan terasa amat sia-sia. Ia diam saat menerima segala jenis cacian dan makian. Karena pada kenyataannya dialah yang menyebabkan ini semua terjadi. Memangnya apa yang bisa ia lakukan selain bungkam. Saira merenungi nasibnya yang kian hari semakin malang. Dibuang oleh keluarganya, dibenci oleh mertuanya, dijauhi oleh teman-temannya. Sekarang bahkan suaminya sangat membencinya. Kurang pahit apalagi kehidupannya.
"Ya Allah mampukah kelak aku menggapai sebuah kebahagiaan. Hati ini terlalu rapuh menanggung semuanya, tubuh ini terlalu ringkih menahan terjangan penderitaan." Ratapnya dengan pilu. Siapa yang bisa memahaminya sekarang? Bahkan dirinya sudah tidak lagi memahami kehidupan yang sedang ia jalani.
"Kuatkan aku Tuhan dalam menghadapi segala cobaan-Mu ini."
---------
Aksa berjalan dengan langkah cepat menuju ke arah Saira. Ia menyibak selimut itu dan memaksa Saira bangun dengan kasar. Saira yang memang sedang lelah dan kesakitan hanya bisa pasrah saat tubuhnya ditarik kasar oleh suaminya. Ia mendesah pelan.
"Ada apa lagi?" tanyanya pelan dengan menahan sakit di kakinya.
"Kau masih nanyak aku kenapa? Kamu tahu nggak hah! Gara-gara kamu Izora pergi tanpa pamitan. Dia pasti sakit hati sama apa yang kamu katakan tadi." teriak Aksa marah.
Saira melihat manik itu dengan lemah. "Kak Izora pergi itu nggak ada hubungannya sama aku. Kalau kak Izora pergi artinya dia masih punya kehirmatan sebagai seorang wanita."
Ucapan Saira semakin membuat Aksa marah. Ia merasa Saira sedang mengolok kekasihnya dan hal itu membuat dia marah besar. Tanpa sadar ia menampar pipi Saira dengan kasar sampai Saira kehilangan keseimbangannya dan jatuh ke lantai. Sakit di kakinya semakin menjadi saat kembali terkilir.
"Arg....!" teriaknya sambil menahan sakit. Ia menangis menahan perih.
Aksa terperanjat kaget saat istrinya seperti sedang menahan sesuatu. Namun, ekspresinya berganti datar. Ia pikir tamparan begitu bukan apa-apa dan mengira Saira terlalu mengada-ngada.
"Aku nampar kamu, bukan nendang kakimu jadi nggak usah drama!"
Ia segera pergi dari sana. Namun, langkahnya terhenti saat tubuh Saira tergeletak tak berdaya di lantai.
Aksa kembali berjalan menghampiri tubuh Saira.
"Saira, kamu jangan main-main."
Ia menguncang tubuh Saira yang wajahnya terlihat pucat. Ia mengangkat tubuh Saira dan membawanya ke ranjang. Ia membaringkan dengan pelan tubuh itu. Saat akan menutup dengan selimut, ia melihat kaki Saira tampak memar dan itu terlihat sangat parah. Ia memeriksa kaki Saira.
"Sepertinya dia terkilir! Memangnya jamu habis ngapain sih?" tanya Aksa lebih pada diri sendiri.
Ia segera berjalan ke dapur untuk mengambil air beserta handuk dan segera mengompres memar tersebut dengan air hangat. Meski tidak bisa mengobati kakinya. Namun, setidaknya akan lebih mendingan.
Bunyi ponsel Saira mengalihkan atensi Aksa. Ia penasaran dengan isi ponselnya dan segera mengecek. Mana tahu Saira bermain dengan pria lain.
"Mbak, motornya sudah saya ambil dari tempat Mbak kecelakaan tadi. Besok sudah bisa Mbak ambil kembali karena kondisinya tidak parah. Haya bagian remnya saja yang bermasalah."
Jantung Aksa berdetak kencang membaca pesan tersebut. Ia kembali melihat kaki memar Saira.
"Jadi kau habis kecelakaan? Memar ini juga karena kau kecelakaan. Tapi kenapa nggak bilang." desah Aksa. "Jadi ini alasanmu kalau kamu sangat lelah. Maaf karena tidak mengerti."
Aksa menatap lembut wajah pucat Saira. Seorang wanita yang kini menyandang status sebagai istrinya. Jarang ia perhatikan dan hanya makian dan kata kasar yang ia ucapkan. Tapi wanita ini masih bertahan dengannya.
"Apa, kau memang wanita yang sangat bodoh! Jelas-jelas aku membencimu tapi kenapa masih bertahan."
Ia sejenak nostalgia saat masa keduanya begitu lepas berinteraksi.
"Andai kau tidak melakukan kesalahan itu, aku pasti tidak akan membencimu Saira."
Aksa menggelengkan kepalanya. "Nggak, aku nggak boleh merasa kasihan sama dia. Dia ini wanita yang picik. Rel melakukan apa pun demi ambisinya."
Kemarahan lagi-lagi membalutnya dalam sebuah dendam.
-------
Keesokan harinya, Saira bangun dengan rasa kaki yang sedikit mendingan. Ia melihat bekas kompresan masih ada di sana. Ia juga melihat baskom sedang berada di atas meja dekat nakasnya.
"Siapa yang mengompres memarnya? Apa Aksa? Tapi mana mungkin dia mau repot-repot melakukannya."
Aksa datang sambil membawa handuk kecil, "aku yang melakukannya."
"Terima kasih," ucap Saira sedikit gugup.
"Nggak usah lebai, aku cuma nggak mau kau merepotkanku. Sebagai tamu di rumah ini, kau harus sehat supaya bisa mengerjakan pekerjaan rumah."
Selesai mengatakan kalimatnya, Aksa berlalu dari sana. Perasaan senang yang tadi mula mendominasi kini berganti dengan rasa sedih dan kecewa. Saira sangat berharap Aksa bisa membalas cintanya meskipun ia harus berkorban banyak.
"Kapan sih, Kak. Kamu bisa ngeliat aku di sini. Kenapa kamu amsih mengharapkan kak Izora, jelas-jelas di sini aku istrimu."
Saira hendak ke kamar mandinya untuk membuang air kecil. Namun, ia bingung caranya menuju kamar mandi. Haruskah ia ngesot, pikirnya.
Ia perlahan turun dan mencoba meletakkan kakinya di lantai. Namun, baru saja menyentuh lantai rasa sakit kembali mendominasinya.
"Arg...." ringisnya perlahan. "Sepertinya harus ngesot."
Ia turun dengan penuh perjuangan, menumpukan tangannya pada sisi nakas. Kini ia sudah berada di latai. Dengan pelan ia mengesot. Tepat saat ia sudah di depan pintu kamar mandi. Sosok Aksa terlihat sambil membawa sarapan.
"Kau mau kemana sampai ngesot-ngesot." Aksa bertanya datar sambil meletakkan nampannya.
"Ke kamar mandi, Kak." cicit Saira membuat Aksa menganguk.
"Terus kenapa ngesot?"
"Kakak tidak ligat, kakiku tidak bisa diajak jalan."
"Makanya jadi wanita nggak usah gengsi buat manggil suami sendiri." Aksa segera menyadari ucapannya. Ia sedikit kikuk. Namun, sedetik kemudian ia kembali seperti biasa.
"Nggak usa kegeeran, kau hanya istri di atas kertas dan tidak bersifat selamanya."
Untuk keaekian kalinya Saira dipatahkan dengan argumen Aksa. Pria itu segera mengge dong tubuh Saira menuju kamar mandi dan meletakkan tubuh itu di atas closet duduk.
"Kalau udah selesai, bilang."
Ia langsung keluar dan duduk di ranjang Saira.
Sekitar sepuluh menit Saira sudah selesai dengan aktivitasnya. Ia enggan memanggil Aksa. Perlahan ia mencoba berjalan dan kembali jatuh. Ia meringis kesakitan dan hal itu membuat Aksa berlari ke sana.
"Astaga, Saira!"
"Maaf," isak Saira saat rasa sakitnya kembali menderanya.
"Kita ke rumah sakit sekarang."
Aksa membaw Saira ke rumah sakit agar kaki Saira segera di tangani dengan baik dan benar. Ia tidak mau Saira menjadi beban untuknya jika wanita itu sakit. Siapa yang akan membersihkan rumah mereka kalau bukan Saira. Saira segera mendapatkan perawatan intensif.
Beberapa jam kemudian, Aksa dan Saira sudah diperbolehkan pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 23:11 WIB. Saira sudah sangat mengantuk dan tidak kuat berjalan. Akhirnya Aksa menggendongnya.
"Buruan naik ke punggungku."
"Tapi aku berat, Kak."
"Mau jalan dengan kaki ngesot? Kapan kita sampainya kalau gitu. Aku udah ngantuk. Buruan!"
Saira naik ke ounggung Aksa dengan hati berbunga. Ia merasa betapa beruntungnya Saira memiliki pria seperhatian ini. Kapan ia bisa benar-benar bisa merasakan momen langka tersebut. Ia juga ingin sesekali mencecapi rasanya.
Sesampainya di mobil, Aksa segera mendudukkan Saira di kursi depan. Lalu segera berlari kecil menuju kursi pengemudi dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Sesampainya di rumah, Aksa kembali mengge dong tubuh Saira dan membawanya ke kamar. Setelah selesai ia kembali ke kamarnya. Di sana ia memukul kepalanya karena sudah menjadi pria sok baik dan menjadi suami yang teladan.
"Brengsek! Saira berhasil membuatku khawatir. Tidak, aku hanya sebatas khawatir. Satu-satunya wanita yang kucintai adalah Izora.
Senyum Siara tidak pernah luntur. Apalagi saat membayangkan betapa perhatiannya Aksa padanya.
"Jadi begini rasanya saat Aksa berperan sebagai suami sungguhan." bisiknya pelan.
Ia bahkan sampai merasa musibah yang ia alami adalah sebuah berkah karena Aksa menjadi sangat memperhatikannya layaknya seorang istri.
Ia tersenyum kemudian tidur dalam damai. Ia bahagia karena setidaknya Aksa sudah mulai memperhatikan dirinya meski kata-kata suaminya sangat nyelekit dan nyakitin tapi Saira tahu bahwa Aksa sangat peduli terhadapnya. Saira merasa hal ini akan menjadi pertanda baik untuk hubungannya ke depannya. Namun, ia melupakan satu hal.
"Ini hanya tentang sebuah permainan catur, di mana aku tuannya dan kamu biduk caturnya."
Awal yang Saira pikir adalah awal sumber bebahagiaannya, tidak lain hanyalah awal deritanya.
"Aku semakin penasaran, bagaimana reaksimu saat mengetahui bahwa semua hanya ilusi semata. Sungguh wanita yang malang dan sangat kasihan."
Aksa menampilkan senyum devilnya. Sebuah senyuman yang sudah lama tidak terbit di bibir seksinya. Kini berkat Saira ia kembali memamerkan senyumnya. Ia akan pastikan sampai kapan pun Saira akan mengganti rasa sakitnya.
"Kak, bisakah kamu menemaniku malam ini?" tanya Saira dengan ragu dan takut.
Aksa menatap manik indah istrinya dengan tajam.
"Apa aku mengijinkanmu masuk tanpa ijinku. Ini kampus, siapa kamu beraninya memanggilku dengan tidak sopannya!" hardik Aksa dengan dingin.
Hati Saira merasa perih saat suami yang sangat ia cintai tidak pernah menganggapnya ada. Siapa dia? Haruskah dipertanyakan lagi.
"Maaf Kak, em Pak. Tapi malam ini ada acara reunian, apa Bapak bisa datang menemani saya?" kembali Saira bertanya dengan penuh harap.
"Apa wajahku terlihat akan datang ke acara murahan seperti itu?" tanya Aksa sambil tersenyum sinis.
"Tapi...," ucapannya terpotong oleh hentakan keras dari Aksa.
"Aku sudah muak melihatmu sebaiknya kamu keluar!"
Meski enggan akhirnya perempuan itu keluar dengan perasaan hancur. Lagi-lagi sebuah penolakan yang ia terima. Kakinya melangkah ke kantin dengan lesu. Matanya hanya menatap kosong pada hamparan taman kampus yang bersebelahan dengan kantin.
Ia memilih meja paling sudut yang berdekatan dengan taman. Saira mendudukkan bokongnya lalu menatap taman.
"Sedang melamunkan apa?" Tanya seorang pria dengan nada menjengkelkan.
"Ah, apa?" tanya Saira heran saat tersadar dari lamunannya.
ckck
Lelaki itu tertawa kecil sambil mengusap kepala Saira yang sontak membuat wanita itu menepis tangannya.
"Ah maaf ini sebuah kebiasaan," ucap lelaki tersebut dengan tersenyum manis.
Di lain tempat seseorang sedang memandangnya dengan tangan terkepal.
"Cih dasar perempuan murahan!" Desisnya lantas berlalu pergi dengan kemarahan. Ia tak tahu mengapa ia harus marah. Namun, ada nada tak suka saat melihat istrinya disentuh oleh orang lain. Cih berbicara tentang istri masihkah ia menganggapnya sebagai seorang istri. Rasanya ia takkan sudi.
Lelaki yang kini bersama Saira tersenyum saat melihat seorang pria yang ia tahu sebagai dosen di tempatnya menuntut ilmu.
"Kelak kau akan menyadari betapa berharganya orang yang kini sedang kau sia-siakan." monolog batinnya menatap kepergian sosok tersebut.
"Maaf ya aku harus kembali," ucap Saira tersenyum dan melangkah pergi meninggalkan pria yang kini sedang menatapnya dengan sendu.
"Andai aku diberi kesempatan itu Saira, aku pasti akan membahagiakanmu." Ketulusan terlihat di setiap embusan lafaznya.
"Dari mana saja hm, seru pergi berduaan dengan lelaki lain. Dasar perempuan tidak tahu diri." sindir Aksa sangat menusuk telinga dan hati Saira. Haruskah berkata seperti itu?
"Aku tadi ke taman Kak dan...," ucapan Saira terpotong oleh perkataan Aksa yang amat menohok jantungnya.
"Apa aku sedang menunggu alasanmu? Cih, kau sangat naif Saira, setelah apa yang kamu lakukan padaku dan tunanganku. Apa kau pikir aku akan cemburu. Jangan bermimpi! Meski kau akan pergi dengan banyak lelaki aku tidak peduli. Kau tau karena apa? Karena kau tidak penting sama sekali dalam hidupku." Setelah mengatakan hal menyakitkan, Aksa berjalan dengan angkuh. meninggalkan Saira yang menahan air matanya agar tidak jatuh. Namun, jebol begitu saja setelah Aksa berjalan meninggalkannya dalam kepahitan.
"Apa segitu bencinya kamu sama aku Kak. Aku juga tidak ingin seperti ini, tapi apa yang harus aku lakukan. Saat hatiku tidak bisa membiarkanmu jatuh kepelukan wanita lain termasuk Kakakku," ucap Saira dengan pilu. Andai, andai dan andai ia tahu semua akan serumit ini. Saira akan lebih memilih pergi karena nyatanya hati jauh lebih sakit saat Aksa sudah dalam pelukannya.
"Ya Tuhan inikah hasil dari perbuatanku. Inikah hasil yang harus aku tuai, sampai kapan aku mampu bertahan di sisinya." Isaknya dalam keperihan.
Di ruangan lain mata itu menatap sendu sosok yang tengah menangis di sudut ruangan. Namun, dengan segenap hati ia mengenyahkan perasaan itu. Matanya yang sendu kini sudah berubah menjadi setajam pisau. Tangannya mengepal dengan erat menahan segala emosi yang bergejolak dalam hatinya.
"Kau memang pantas aku perlakukan seperti itu Saira. Bahkan penderitaanmu belum seberapa dibandingkan dengan segala penderitaanku yang disebabkan olehmu." Kemarahan itu kian hari kian menutup hati kecilnya hingga menjadi sekeras batu.
Dalam benaknya, hanya dia yang terluka, tanpa ia sadari Saira-lah yang paling menderita di sini, bukan dirinya yang terlampau egois.
Ada kalanya sesuatu yang tidak kita inginkan akan menjadi sesuatu yang sangat berharga melebihi sebongkah permata. Namun, saat kita menyadarinya semua sudah terlambat. Bahkan segalanya tak mampu mengembalikan sesuatu yang telah kita sia-siakan. Selain dari sang pemilik kehidupan itu sendiri.
"Kak sarapannya sudah aku siapkan, makan dulu."
"Aku makan di kantor, untuk apa repot-repot memasak? Aku bahkan tidak berniat mencicipi masakan dari wanita licik sepertimu!" lagi-lagi sindiran pedas yang ia lontarkan pada istrinya.
Kembali hati itu merasakan sakitnya sebuah penghinaan, bahkan segala pengorbanan terasa amat sia-sia. Ia diam saat menerima segala jenis cacian dan makian. Karena pada kenyataannya dialah yang menyebabkan ini semua terjadi. Memangnya apa yang bisa ia lakukan selain bungkam. Saira merenungi nasibnya yang kian hari semakin malang. Dibuang oleh keluarganya, dibenci oleh mertuanya, dijauhi oleh teman-temannya. Sekarang bahkan suaminya sangat membencinya. Kurang pahit apalagi kehidupannya.
"Ya Allah mampukah kelak aku menggapai sebuah kebahagiaan. Hati ini terlalu rapuh menanggung semuanya, tubuh ini terlalu ringkih menahan terjangan penderitaan." Ratapnya dengan pilu. Siapa yang bisa memahaminya sekarang? Bahkan dirinya sudah tidak lagi memahami kehidupan yang sedang ia jalani.
"Kuatkan aku Tuhan dalam menghadapi segala cobaan-Mu ini."
---------
Aksa berjalan dengan langkah cepat menuju ke arah Saira. Ia menyibak selimut itu dan memaksa Saira bangun dengan kasar. Saira yang memang sedang lelah dan kesakitan hanya bisa pasrah saat tubuhnya ditarik kasar oleh suaminya. Ia mendesah pelan.
"Ada apa lagi?" tanyanya pelan dengan menahan sakit di kakinya.
"Kau masih nanyak aku kenapa? Kamu tahu nggak hah! Gara-gara kamu Izora pergi tanpa pamitan. Dia pasti sakit hati sama apa yang kamu katakan tadi." teriak Aksa marah.
Saira melihat manik itu dengan lemah. "Kak Izora pergi itu nggak ada hubungannya sama aku. Kalau kak Izora pergi artinya dia masih punya kehirmatan sebagai seorang wanita."
Ucapan Saira semakin membuat Aksa marah. Ia merasa Saira sedang mengolok kekasihnya dan hal itu membuat dia marah besar. Tanpa sadar ia menampar pipi Saira dengan kasar sampai Saira kehilangan keseimbangannya dan jatuh ke lantai. Sakit di kakinya semakin menjadi saat kembali terkilir.
"Arg....!" teriaknya sambil menahan sakit. Ia menangis menahan perih.
Aksa terperanjat kaget saat istrinya seperti sedang menahan sesuatu. Namun, ekspresinya berganti datar. Ia pikir tamparan begitu bukan apa-apa dan mengira Saira terlalu mengada-ngada.
"Aku nampar kamu, bukan nendang kakimu jadi nggak usah drama!"
Ia segera pergi dari sana. Namun, langkahnya terhenti saat tubuh Saira tergeletak tak berdaya di lantai.
Aksa kembali berjalan menghampiri tubuh Saira.
"Saira, kamu jangan main-main."
Ia menguncang tubuh Saira yang wajahnya terlihat pucat. Ia mengangkat tubuh Saira dan membawanya ke ranjang. Ia membaringkan dengan pelan tubuh itu. Saat akan menutup dengan selimut, ia melihat kaki Saira tampak memar dan itu terlihat sangat parah. Ia memeriksa kaki Saira.
"Sepertinya dia terkilir! Memangnya jamu habis ngapain sih?" tanya Aksa lebih pada diri sendiri.
Ia segera berjalan ke dapur untuk mengambil air beserta handuk dan segera mengompres memar tersebut dengan air hangat. Meski tidak bisa mengobati kakinya. Namun, setidaknya akan lebih mendingan.
Bunyi ponsel Saira mengalihkan atensi Aksa. Ia penasaran dengan isi ponselnya dan segera mengecek. Mana tahu Saira bermain dengan pria lain.
"Mbak, motornya sudah saya ambil dari tempat Mbak kecelakaan tadi. Besok sudah bisa Mbak ambil kembali karena kondisinya tidak parah. Haya bagian remnya saja yang bermasalah."
Jantung Aksa berdetak kencang membaca pesan tersebut. Ia kembali melihat kaki memar Saira.
"Jadi kau habis kecelakaan? Memar ini juga karena kau kecelakaan. Tapi kenapa nggak bilang." desah Aksa. "Jadi ini alasanmu kalau kamu sangat lelah. Maaf karena tidak mengerti."
Aksa menatap lembut wajah pucat Saira. Seorang wanita yang kini menyandang status sebagai istrinya. Jarang ia perhatikan dan hanya makian dan kata kasar yang ia ucapkan. Tapi wanita ini masih bertahan dengannya.
"Apa, kau memang wanita yang sangat bodoh! Jelas-jelas aku membencimu tapi kenapa masih bertahan."
Ia sejenak nostalgia saat masa keduanya begitu lepas berinteraksi.
"Andai kau tidak melakukan kesalahan itu, aku pasti tidak akan membencimu Saira."
Aksa menggelengkan kepalanya. "Nggak, aku nggak boleh merasa kasihan sama dia. Dia ini wanita yang picik. Rel melakukan apa pun demi ambisinya."
Kemarahan lagi-lagi membalutnya dalam sebuah dendam.
-------
Keesokan harinya, Saira bangun dengan rasa kaki yang sedikit mendingan. Ia melihat bekas kompresan masih ada di sana. Ia juga melihat baskom sedang berada di atas meja dekat nakasnya.
"Siapa yang mengompres memarnya? Apa Aksa? Tapi mana mungkin dia mau repot-repot melakukannya."
Aksa datang sambil membawa handuk kecil, "aku yang melakukannya."
"Terima kasih," ucap Saira sedikit gugup.
"Nggak usah lebai, aku cuma nggak mau kau merepotkanku. Sebagai tamu di rumah ini, kau harus sehat supaya bisa mengerjakan pekerjaan rumah."
Selesai mengatakan kalimatnya, Aksa berlalu dari sana. Perasaan senang yang tadi mula mendominasi kini berganti dengan rasa sedih dan kecewa. Saira sangat berharap Aksa bisa membalas cintanya meskipun ia harus berkorban banyak.
"Kapan sih, Kak. Kamu bisa ngeliat aku di sini. Kenapa kamu amsih mengharapkan kak Izora, jelas-jelas di sini aku istrimu."
Saira hendak ke kamar mandinya untuk membuang air kecil. Namun, ia bingung caranya menuju kamar mandi. Haruskah ia ngesot, pikirnya.
Ia perlahan turun dan mencoba meletakkan kakinya di lantai. Namun, baru saja menyentuh lantai rasa sakit kembali mendominasinya.
"Arg...." ringisnya perlahan. "Sepertinya harus ngesot."
Ia turun dengan penuh perjuangan, menumpukan tangannya pada sisi nakas. Kini ia sudah berada di latai. Dengan pelan ia mengesot. Tepat saat ia sudah di depan pintu kamar mandi. Sosok Aksa terlihat sambil membawa sarapan.
"Kau mau kemana sampai ngesot-ngesot." Aksa bertanya datar sambil meletakkan nampannya.
"Ke kamar mandi, Kak." cicit Saira membuat Aksa menganguk.
"Terus kenapa ngesot?"
"Kakak tidak ligat, kakiku tidak bisa diajak jalan."
"Makanya jadi wanita nggak usah gengsi buat manggil suami sendiri." Aksa segera menyadari ucapannya. Ia sedikit kikuk. Namun, sedetik kemudian ia kembali seperti biasa.
"Nggak usa kegeeran, kau hanya istri di atas kertas dan tidak bersifat selamanya."
Untuk keaekian kalinya Saira dipatahkan dengan argumen Aksa. Pria itu segera mengge dong tubuh Saira menuju kamar mandi dan meletakkan tubuh itu di atas closet duduk.
"Kalau udah selesai, bilang."
Ia langsung keluar dan duduk di ranjang Saira.
Sekitar sepuluh menit Saira sudah selesai dengan aktivitasnya. Ia enggan memanggil Aksa. Perlahan ia mencoba berjalan dan kembali jatuh. Ia meringis kesakitan dan hal itu membuat Aksa berlari ke sana.
"Astaga, Saira!"
"Maaf," isak Saira saat rasa sakitnya kembali menderanya.
"Kita ke rumah sakit sekarang."
Aksa membaw Saira ke rumah sakit agar kaki Saira segera di tangani dengan baik dan benar. Ia tidak mau Saira menjadi beban untuknya jika wanita itu sakit. Siapa yang akan membersihkan rumah mereka kalau bukan Saira. Saira segera mendapatkan perawatan intensif.
Beberapa jam kemudian, Aksa dan Saira sudah diperbolehkan pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 23:11 WIB. Saira sudah sangat mengantuk dan tidak kuat berjalan. Akhirnya Aksa menggendongnya.
"Buruan naik ke punggungku."
"Tapi aku berat, Kak."
"Mau jalan dengan kaki ngesot? Kapan kita sampainya kalau gitu. Aku udah ngantuk. Buruan!"
Saira naik ke ounggung Aksa dengan hati berbunga. Ia merasa betapa beruntungnya Saira memiliki pria seperhatian ini. Kapan ia bisa benar-benar bisa merasakan momen langka tersebut. Ia juga ingin sesekali mencecapi rasanya.
Sesampainya di mobil, Aksa segera mendudukkan Saira di kursi depan. Lalu segera berlari kecil menuju kursi pengemudi dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Sesampainya di rumah, Aksa kembali mengge dong tubuh Saira dan membawanya ke kamar. Setelah selesai ia kembali ke kamarnya. Di sana ia memukul kepalanya karena sudah menjadi pria sok baik dan menjadi suami yang teladan.
"Brengsek! Saira berhasil membuatku khawatir. Tidak, aku hanya sebatas khawatir. Satu-satunya wanita yang kucintai adalah Izora.
Senyum Siara tidak pernah luntur. Apalagi saat membayangkan betapa perhatiannya Aksa padanya.
"Jadi begini rasanya saat Aksa berperan sebagai suami sungguhan." bisiknya pelan.
Ia bahkan sampai merasa musibah yang ia alami adalah sebuah berkah karena Aksa menjadi sangat memperhatikannya layaknya seorang istri.
Ia tersenyum kemudian tidur dalam damai. Ia bahagia karena setidaknya Aksa sudah mulai memperhatikan dirinya meski kata-kata suaminya sangat nyelekit dan nyakitin tapi Saira tahu bahwa Aksa sangat peduli terhadapnya. Saira merasa hal ini akan menjadi pertanda baik untuk hubungannya ke depannya. Namun, ia melupakan satu hal.
"Ini hanya tentang sebuah permainan catur, di mana aku tuannya dan kamu biduk caturnya."
Awal yang Saira pikir adalah awal sumber bebahagiaannya, tidak lain hanyalah awal deritanya.
"Aku semakin penasaran, bagaimana reaksimu saat mengetahui bahwa semua hanya ilusi semata. Sungguh wanita yang malang dan sangat kasihan."
Aksa menampilkan senyum devilnya. Sebuah senyuman yang sudah lama tidak terbit di bibir seksinya. Kini berkat Saira ia kembali memamerkan senyumnya. Ia akan pastikan sampai kapan pun Saira akan mengganti rasa sakitnya.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved