Bab 2 Kehidupan Saira Ophelia
by Hairunnisa Ys
09:06,Dec 09,2020
Aksa membanting makanan yang Saira buat untuknya.
"Berapa kali sudah kukatakan jangan pernah tangan kotormu menyentuh makananku. Aku tidak sudi makan buatan dari perempuan tidak tau malu sepertimu!" bentak Saira kemudian berlalu pergi dengan kemarahan dan meninggalkan Saira dengan perasaan hancur.
Ia lalu mengutip sisa makanan yang kini telah berhamburan di lantai. Membersihkan pecahan piring yang sudah berderai malang. Tanpa ia sengaja kakinya menginjak pecahan beling yang terselip di sela kaki meja makan.
"Auww." Ringisnya pelan. "Jangan menangis Saira, inilah risiko yang harus kamu tanggung," ucapnya menguatkan hati sambil mengusap air matanya.
Hati yang rapuh untuk kesekian kali kembali retak tak terkira. Lagi-lagi penyebabnya masih orang yang sama. Ia sadar bagaimana kebencian sangat kentara ditunjukkan oleh suami yang sangat ia cintai. Saira dengan cinta butanya dengan licik menjadikan Aksa suaminya, yang saat itu berstatus sebagai tunangan kakak kandungnya sendiri. Gadis itu memiliki keluarga. Namun, hidup tak jauh bedanya dari sebatang kara. Kakak yang dulu sangat mencintainya kini beralih membencinya. Ayah dan ibu yang dulu menyayanginya kini diliputi kekecewaan terhadapnya. Sedangkan kakak lelaki mendiaminya tanpa mau berbicara sepatah kata pun padanya.
Ia sangat tahu bahwa kekecewaan tengah menyelimuti keluarganya dan untuk kebencian adalah hal yang setimpal ia dapatkan dari semua orang yang ia sayangi.
Lengkap, itulah satu kata yang menggambarkan penderitaannya saat ini. Ia menyesal pernah menuruti egonya dan berakhir dengan semua orang membencinya. Namun, apa semua sesal itu bisa terhapuskan bila diratapi? Tidakkan. Untuk itu ia akan menjalaninya sampai hati mengatakan cukup dan berhentilah.
"Bik tolong bersihkan kamar tamunya," ucap Saira sopan pada pembantu yang sudah lama mengabdi di keluarga suaminya.
"Baiklah, Saira." Itulah panggilan yang disematkan gadis itu pada dirinya sendiri. Ia lebih nyaman dipanggil nama daripada sebutan yang lain, mengingat Bi Sum lebih tua darinya.
Saira kembali menekuri hidupnya selama dua tahun terakhir ini. Kapan terakhir kali dia tersenyum. Entahlah dia pun lupa. Badan yang dulu berisi kini kian mengurus dimakan perih.
"Saira ayo makan dulu. Kamu belum makan dari tadi pagi," ucap Bik Sum dengan lembut.
"Aku tidak begitu lapar Bik," ucap Saira singkat.
"Tapi kamu bisa sakit." tutur Bik Sum memperingati.
Tak ingin membuat orang yang sudah menyayanginya dengan tulus khawatir. Ia makan meski hanya sedikit. Entahlah Saira tidak ada selera sama sekali. Bik Sum yang melihat itupun merasa iba pada Saira, bagaimana bisa gadis sebaik dia diberikan cobaan sedemikian berat. Ia juga menyadari badan istri dari anak majikannya ini sudah kian menyusut dari minggu ke minggu.
"Kasihan sekali kamu Nak." batin Bik Sumi.
"Kenapa Bibi malah melamun," ucap Saira yang sudah selesai dengan sarapannya.
"Hanya teringat sesuatu saja, Bibik ke dapur dulu ya." pamit Bik Sum.
Saira pergi bersiap menuju kampus dengan menggunakan motor matik Honda merk Beat. Pagi ini ia ada tugas kelompok dan kebetulan dosennya adalah Aksa. Di kampus tidak ada yang tahu bahwa ia istri dari Aksa yang menjadi salah satu dosen favorit di kampus. Karena ketampanan dan kecerdasannya di tambah ia juga masih muda.
"Pagi Saira," ujar Amara sahabat satu-satunya.
"Pagi juga Am," jawab Claudi dengan tersenyum.
"Kamu kurusan ya, lagi diet?" tanya Amara penasaran. Saira hanya menganggukkan kepalanya karena Aksa sudah masuk ke kelas mereka. Ia sadar akhir-akhir ini berat badannya menurun drastis.
"Untuk tugas minggu ini dikumpulkan paling telat minggu depan. Jadi kalian memiliki waktu seminggu untuk mengerjakannya." Aksa kemudian berlalu tanpa melihat ke arah Saira.
Saira hanya bisa menarik napas pelan. Ia sangat lelah dengan semuanya. Namun, pantaskah ia menyerah untuk saat ini. Tidak, ia belum bisa menyerah begitu saja.
****
Hari sudah malam dan jam menunjukkan pukul 20:10 Wib. Saira baru selesai mencari bahan untuk tugasnya di perpustakaan. Ia pun segera bergegas pulang meski ia tahu tidak akan ada orang yang akan menunggu kepulangannya. Saira segera menjalankan motornya dengan kecepatan sedang, ia menaikkan kecepatan motor karena merasa diikuti. Tanpa pikir panjang ia segera melajukan kenderaannya dengan kecepatan tinggi, hingga di perempatan jalan ia tak mampu mengendalikan keseimbangan kemudian oleng hingga membuat tubuhnya terpental beberapa meter di bahu jalan.
Tidak ada luka yang serius hanya saja beberapa bagian tubuhnya terluka cukup dalam termasuk lengan dan lututnya.
Ia tidak merasakan sakit sama sekali. Beberapa orang yang membantunya menyuruh dia ke rumah sakit untuk berobat. Namun, ditolak halus olehnya. Ia kembali melajukan motornya hingga selamat sampai ke rumah. Saira lupa bahwa hari ini keluarganya berkunjung ke rumah, dengan pelan ia membuka pintu. Ia melewati beberapa anghota keluarga yang sedang bercanda tawa tanpa menghiraukan kehadirannya. Tak mau ambil pusing ia segera menaiki tangga dengan langkah pincang.
Sesampainya di kamar, ia segera mengambil kotak P3K dan segera mengobati tubuhnya yang terluka. Meski harus menahan perih yang teramat menyiksa ia tidak menangis. Bahkan ia lupa kapan terakhir kali menangis.
"Aku sudah berteman dengan luka, bagaimana bisa aku menangis." ia mensugesti diri sendiri.
Ia sedang sibuk membersihkan dan mengobati luka. Namun, suara pintu menghentikan kegiatannya. Ia melangkah untuk membuka pintu tersebut dengan langkah tertatih.
"Kau ditunggu Mama sama Papa di bawah," ucap Tya selaku adek iparnya dengan ketus.
Saira hanya menganguk dan segera melangkah menuruni tangga menuju tempat mereka semua berkumpul.
"Malam Ma, Pa," sapa Saira dengan kikuk kepada orang tua serta mertuanya yang hanya dibalas anggukan kecil oleh mereka. Sedangkan di sisi lain ia melihat suaminya sedang bercengkrama dengan Izora yang terlihat sangat serasi dan bahagia. Ia hanya mampu tersenyum pahit saat melihatnya.
"Kenapa kamu pulang malam! Apa kamu selalu keluyuran seperti sekarang dan mengabaikan suamimu di rumah!!" teriak papanya marah.
"Tidak Pa, tadi ada tugas kampus yang harus diselesaikan dengan cepat. Alasan kenapa Saira pulang terlambat karena mampir keperpustakaan," jawabnya dengan pelan sambil menunduk.
"Tidak ada yang lebih penting daripada suami. Apa yang mau kamu kejar dari pendidikanmu hidup saja menyusahkan dan memalukan orang tua!" hardik Andri pedas.
Mendengar nada penuh sindiran tersebut hati Saira kembali merepih. Namun, ia mencoba menahan sekuat tenaga agar tidak menangis karena dalam keramaian nyatanya ia hanyalah seorang diri yang kesepian.
Dengan pelan ia kembali berjalan dan memaksakan lutut yang terluka seolah ia baik-baik saja. Menaiki tangga satu demi satu sambil menahan ringisan saat keringat sudah membanjiri wajahnya, ia tak mampu lagi berjalan karena rasa perih yang teramat sakit pada lututnya. Hingga pada tangga terakhir kaki kanannya oleng dan kehilangan keseimbangan. Tubuh Saira jatuh hingga berguling menuruni tangga.
Bunyi yang keras mengagetkan mereka semua. Namun, ia bangkit perlahan dan mencoba terlihat baik-baik saja karena semua tidak ada artinya bila kebencian sudah mendarah daging di hati mereka semua.
"Lain kali hati-hati, mata jangan di dengkul. Taunya hanya merepotkan!" dengkus Aksa tajam. Pria itu berjalan mendekati Saira sambil menggendong menuju kamar.
"Terima kasih," ucap Saira pelan, hanya dibalas angin lalu karena Aksa sudah berlalu dari sana.
"Melihatku saja ia sudah muak bagaimana nanti bila aku pergi jauh ia pasti akan sangat bahagia." Saira tertawa miris.
Wanita itu berjalan pelan menuju kamarnya. Rasa sakit di di bagian pinggangnya belum ada apa-apanya dibanding sakit di hatinya. Ia tidak menyangka bahwa memiliki Aksa akan semenyakitkan ini. Rasa sesal kerap menghampirinya. Kesombongan yang dulu ia agungkan, nyatanya tidak pernah berarti apa-apa. Jangankan mencintai dirinya, menatap saja sudah membuat Aksa muak. Jika sebuah pit berada di tangan Aksa, mungkin benda itu akan melayang ke wajahnya.
Ia menatap buku diary-nya dengan sendu. Setidaknya ada satu teman yang siap menampung semua keluh kesahnya. Yaitu buku dengan warna biru dipadukan warna emas. Perpaduan yang sangat elegan. Ia membuka pelan sembari mengambil sebua pena. Dengan lancar ia menulis semua yang ia alami pada hari ini. Tak terasa air matanya mengalir membasahi beberapa helai kertas.
"Seluruh deru napasku, hanya kebahagiaan yang ingin kugapai bersama Aksa. Tapi rasanya mustahil terjadi, mengingat kesalahanku di masa lalu sangat kelabu untuk bisa bahagia."
Ia terus menggores penanya ditemani air mata.
"Kebahagiaan suamiku adalah segalanya. Jika aku mencintainya, aku harus bisa membuatnya bahagia. Ada atau tidaknya aku, baginya yang paling berharga adalah Kak Izora."
Ia menutup bukunya setelah selesai menuangkan seluruh isi hatinya hari ini. Ia menatap mata yang menatap dingin ke arah kamera. Poto itu akan selalu menjadi saksi, betapa tidak bahagianya pernikahan yang ia jalani bersama pria yang ia cintai dengan separuh hidupnya.
Di ruangan lain, Aksa sedang menatap poto pertunangannya dengan Izora. Meski awalnya smpat galau, kini mereka sudah kembali menjalin hubungan di belakang Saira. Yang paling ia syukuri adalah baik ibu dan ibu mertuanya mengetahui hubungan mereka. Seolah mendapat lampu hijau dari keduanya.
"Sayang, akan kupastikan wanita itu akan membayar semua yang sudah dia perbuat sama kita. Kamu dan aku harus terpisah karena keegoisannya."
ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Halo, kesayangan! Lagi di mana dan ngapain?"
"Ya udah, aku kesana sekarang ya," ucap Aksa dengan senyum.
Saira yang hendak menuju ruang tamu dan melewati kamar Aksa pun mendengar semuanya. Lagi-lagi hatinya menjerit. Ribuan mata pisau sedang berlomba mengoyak jantungnya. Ia menghapus air mata dan menghampiri Aksa.
"Kak, makan malam udah siap," ucpnya mencoba menguatkan suaranya agar tidak goyah.
Aksa menatap malas, "Aku ada janji dengan kekasihku! Kau makan saja sendiri!"
"Tapi, Kak. Aku sudah menyiapkan semuanya!"
Aksa menatap tajam manik yang kini terlihat tertunduk takut. "Jangan mengurusiku wanita sialan! Kau urusi saja hidupmu yang menjijikkan ini, dasar wanita murahan."
Aksa segera membanting pintu tepat di depan wajah Saira. Gadis itu memegang dadanya yang bergelora nyeri. Ia akan mengikuti Aksa dan bertemu dengan kekasih dari pria itu. Ia tidak akan tinggal diam. Segera ia bergegas ke kamarnya dan bersiap-siap.
Beberap puluh menit kemudian...
Aksa sudah sampai di sebuah restoran mewah. Saira juga sudah sampai, ia memakai hoddie untuk menutupi kepalanya beserta sebuah masker. Ia duduk di meja paling pojok tepatnya menghadap pada Aksa yang sedang menunggu seseorang. Jantungnya sudah bergelora akan menjambak siapa pun wanita itu.
"Hai, sayang." sapa sebuah suara.
Saira yang sedang memilih menu, dikagetkan oleh suara yang sangat ia kenal. Ia mendongak dan jantungnya seolah hendak berhenti berdetak. Wanita itu—selingkuhan suaminya adalah Izora. Ia sudah hendak menangis. Namun, ada kejutan lain yang membutnya tak mampu berkutik. Di sana ia melihat kedatangan ibu dan mertuanya menghampiri dua sejoli yang sedang dimabuk asmara.
Saira menangis dalam diam, ia berjalan pelan ke arah mereka berempat sambil melepas tutup kepala serta maskernya.
"Mama ...," ucapnya dengan suara tercekat.
Mereka berempat yang sedang bersendau gurau dikagetkan oleh sebuah suara. Wina melirik ke sebelah kanannya dan sedikit terkejut. Aksa dan Izora yang sedang berpegangan tangan menatap Saira dengan datar. Tidak ada rasa bersalah sama sekali terpatri di mata keduanya, sedangkan mertuanya menatap sinis.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Wina dengan datar. Ia masih kecewa dengan putri kecilnya. Putri yang ia banggakan sudah menorehkan luka di hatinya serta di hati saudaranya sendiri.
"Lagi menemui teman, Ma."
Wina kembali memusatkan perhatiannya pada makanan yang tersaji di depannya. Kini mertuanya menatap tak suka ke arahnya. Baginya, hanya Izora yang pantas mendampingi putranya bukan Saira. Di mata Melly, Saira tidak lebih dari seorang penganggu.
Di sana, Saira berdiri kikuk. Matanya bertemu pandang dengan Aksa yang menatapnya tajam. Kemudian beralih pada Izora yang menatapnya sinis. Perlahan ia undur diri dari sana tanpa berpamitan. Begitu berbalik arah, air mata langsung merembes membasahi pipinya. Napasnya tercekat, seolah banyak tangan yang mencekiknya dari belakang.
Ia berjalan ke sebuah danau, rasa sakitnya tidak lagi tertahan. Semua yang ia sayangi kini membenci dirinya.
"Ma, gimana kalau Saira ngadu sama Papa," ucap Izora khawatir.
"Papa kamu nggak akan mendengarkan dia. Kamu tenang aja," ucap Wina menenangkan kegusaran putrinya.
Sebagai Ibu dari kedua putrinya, ia sudah jahat pada salah satu putrinya. Namun, semua ia lakukan karena rasa kecewanya yang tidak terbendung. Putrinya Izora bahkan pernah melukai dirinya sendiri setelah pernikahan putri keduanya berlangsung. Untuk itu ia berjanji akan membahagiakan putrinya bagaimana pun caranya.
"Iya, Sayang. Kan Papa benci banget sama Saira. Dia nggak akan berani macam-macam."
Aksa menimpali sambil tersenyum menenangkan.
Dari kejauhan, seorang pria mengepalkan tangan dengan erat. Matanya tampak sedikit merah. Ia memang membenci tindakan adiknya di masa lalu. Tapi ia tidak suka jika keluarganya menyakiti Saira—saudaranya sendiri. Ia pergi dari sana dengan perasaan marah.
Tatapannya tampak kosong, perlahan ia mendekat ke bibir danau. Ia masuk perlahan-lahan masih dengan tatapan kosong. Dinginnya air danau tidak membuatnya mundur. Bahkan tidak terasa sama sekali. Ia hanya ingin pergi sejauh yang ia bisa untuk menghilangkan lukanya.
"Berapa kali sudah kukatakan jangan pernah tangan kotormu menyentuh makananku. Aku tidak sudi makan buatan dari perempuan tidak tau malu sepertimu!" bentak Saira kemudian berlalu pergi dengan kemarahan dan meninggalkan Saira dengan perasaan hancur.
Ia lalu mengutip sisa makanan yang kini telah berhamburan di lantai. Membersihkan pecahan piring yang sudah berderai malang. Tanpa ia sengaja kakinya menginjak pecahan beling yang terselip di sela kaki meja makan.
"Auww." Ringisnya pelan. "Jangan menangis Saira, inilah risiko yang harus kamu tanggung," ucapnya menguatkan hati sambil mengusap air matanya.
Hati yang rapuh untuk kesekian kali kembali retak tak terkira. Lagi-lagi penyebabnya masih orang yang sama. Ia sadar bagaimana kebencian sangat kentara ditunjukkan oleh suami yang sangat ia cintai. Saira dengan cinta butanya dengan licik menjadikan Aksa suaminya, yang saat itu berstatus sebagai tunangan kakak kandungnya sendiri. Gadis itu memiliki keluarga. Namun, hidup tak jauh bedanya dari sebatang kara. Kakak yang dulu sangat mencintainya kini beralih membencinya. Ayah dan ibu yang dulu menyayanginya kini diliputi kekecewaan terhadapnya. Sedangkan kakak lelaki mendiaminya tanpa mau berbicara sepatah kata pun padanya.
Ia sangat tahu bahwa kekecewaan tengah menyelimuti keluarganya dan untuk kebencian adalah hal yang setimpal ia dapatkan dari semua orang yang ia sayangi.
Lengkap, itulah satu kata yang menggambarkan penderitaannya saat ini. Ia menyesal pernah menuruti egonya dan berakhir dengan semua orang membencinya. Namun, apa semua sesal itu bisa terhapuskan bila diratapi? Tidakkan. Untuk itu ia akan menjalaninya sampai hati mengatakan cukup dan berhentilah.
"Bik tolong bersihkan kamar tamunya," ucap Saira sopan pada pembantu yang sudah lama mengabdi di keluarga suaminya.
"Baiklah, Saira." Itulah panggilan yang disematkan gadis itu pada dirinya sendiri. Ia lebih nyaman dipanggil nama daripada sebutan yang lain, mengingat Bi Sum lebih tua darinya.
Saira kembali menekuri hidupnya selama dua tahun terakhir ini. Kapan terakhir kali dia tersenyum. Entahlah dia pun lupa. Badan yang dulu berisi kini kian mengurus dimakan perih.
"Saira ayo makan dulu. Kamu belum makan dari tadi pagi," ucap Bik Sum dengan lembut.
"Aku tidak begitu lapar Bik," ucap Saira singkat.
"Tapi kamu bisa sakit." tutur Bik Sum memperingati.
Tak ingin membuat orang yang sudah menyayanginya dengan tulus khawatir. Ia makan meski hanya sedikit. Entahlah Saira tidak ada selera sama sekali. Bik Sum yang melihat itupun merasa iba pada Saira, bagaimana bisa gadis sebaik dia diberikan cobaan sedemikian berat. Ia juga menyadari badan istri dari anak majikannya ini sudah kian menyusut dari minggu ke minggu.
"Kasihan sekali kamu Nak." batin Bik Sumi.
"Kenapa Bibi malah melamun," ucap Saira yang sudah selesai dengan sarapannya.
"Hanya teringat sesuatu saja, Bibik ke dapur dulu ya." pamit Bik Sum.
Saira pergi bersiap menuju kampus dengan menggunakan motor matik Honda merk Beat. Pagi ini ia ada tugas kelompok dan kebetulan dosennya adalah Aksa. Di kampus tidak ada yang tahu bahwa ia istri dari Aksa yang menjadi salah satu dosen favorit di kampus. Karena ketampanan dan kecerdasannya di tambah ia juga masih muda.
"Pagi Saira," ujar Amara sahabat satu-satunya.
"Pagi juga Am," jawab Claudi dengan tersenyum.
"Kamu kurusan ya, lagi diet?" tanya Amara penasaran. Saira hanya menganggukkan kepalanya karena Aksa sudah masuk ke kelas mereka. Ia sadar akhir-akhir ini berat badannya menurun drastis.
"Untuk tugas minggu ini dikumpulkan paling telat minggu depan. Jadi kalian memiliki waktu seminggu untuk mengerjakannya." Aksa kemudian berlalu tanpa melihat ke arah Saira.
Saira hanya bisa menarik napas pelan. Ia sangat lelah dengan semuanya. Namun, pantaskah ia menyerah untuk saat ini. Tidak, ia belum bisa menyerah begitu saja.
****
Hari sudah malam dan jam menunjukkan pukul 20:10 Wib. Saira baru selesai mencari bahan untuk tugasnya di perpustakaan. Ia pun segera bergegas pulang meski ia tahu tidak akan ada orang yang akan menunggu kepulangannya. Saira segera menjalankan motornya dengan kecepatan sedang, ia menaikkan kecepatan motor karena merasa diikuti. Tanpa pikir panjang ia segera melajukan kenderaannya dengan kecepatan tinggi, hingga di perempatan jalan ia tak mampu mengendalikan keseimbangan kemudian oleng hingga membuat tubuhnya terpental beberapa meter di bahu jalan.
Tidak ada luka yang serius hanya saja beberapa bagian tubuhnya terluka cukup dalam termasuk lengan dan lututnya.
Ia tidak merasakan sakit sama sekali. Beberapa orang yang membantunya menyuruh dia ke rumah sakit untuk berobat. Namun, ditolak halus olehnya. Ia kembali melajukan motornya hingga selamat sampai ke rumah. Saira lupa bahwa hari ini keluarganya berkunjung ke rumah, dengan pelan ia membuka pintu. Ia melewati beberapa anghota keluarga yang sedang bercanda tawa tanpa menghiraukan kehadirannya. Tak mau ambil pusing ia segera menaiki tangga dengan langkah pincang.
Sesampainya di kamar, ia segera mengambil kotak P3K dan segera mengobati tubuhnya yang terluka. Meski harus menahan perih yang teramat menyiksa ia tidak menangis. Bahkan ia lupa kapan terakhir kali menangis.
"Aku sudah berteman dengan luka, bagaimana bisa aku menangis." ia mensugesti diri sendiri.
Ia sedang sibuk membersihkan dan mengobati luka. Namun, suara pintu menghentikan kegiatannya. Ia melangkah untuk membuka pintu tersebut dengan langkah tertatih.
"Kau ditunggu Mama sama Papa di bawah," ucap Tya selaku adek iparnya dengan ketus.
Saira hanya menganguk dan segera melangkah menuruni tangga menuju tempat mereka semua berkumpul.
"Malam Ma, Pa," sapa Saira dengan kikuk kepada orang tua serta mertuanya yang hanya dibalas anggukan kecil oleh mereka. Sedangkan di sisi lain ia melihat suaminya sedang bercengkrama dengan Izora yang terlihat sangat serasi dan bahagia. Ia hanya mampu tersenyum pahit saat melihatnya.
"Kenapa kamu pulang malam! Apa kamu selalu keluyuran seperti sekarang dan mengabaikan suamimu di rumah!!" teriak papanya marah.
"Tidak Pa, tadi ada tugas kampus yang harus diselesaikan dengan cepat. Alasan kenapa Saira pulang terlambat karena mampir keperpustakaan," jawabnya dengan pelan sambil menunduk.
"Tidak ada yang lebih penting daripada suami. Apa yang mau kamu kejar dari pendidikanmu hidup saja menyusahkan dan memalukan orang tua!" hardik Andri pedas.
Mendengar nada penuh sindiran tersebut hati Saira kembali merepih. Namun, ia mencoba menahan sekuat tenaga agar tidak menangis karena dalam keramaian nyatanya ia hanyalah seorang diri yang kesepian.
Dengan pelan ia kembali berjalan dan memaksakan lutut yang terluka seolah ia baik-baik saja. Menaiki tangga satu demi satu sambil menahan ringisan saat keringat sudah membanjiri wajahnya, ia tak mampu lagi berjalan karena rasa perih yang teramat sakit pada lututnya. Hingga pada tangga terakhir kaki kanannya oleng dan kehilangan keseimbangan. Tubuh Saira jatuh hingga berguling menuruni tangga.
Bunyi yang keras mengagetkan mereka semua. Namun, ia bangkit perlahan dan mencoba terlihat baik-baik saja karena semua tidak ada artinya bila kebencian sudah mendarah daging di hati mereka semua.
"Lain kali hati-hati, mata jangan di dengkul. Taunya hanya merepotkan!" dengkus Aksa tajam. Pria itu berjalan mendekati Saira sambil menggendong menuju kamar.
"Terima kasih," ucap Saira pelan, hanya dibalas angin lalu karena Aksa sudah berlalu dari sana.
"Melihatku saja ia sudah muak bagaimana nanti bila aku pergi jauh ia pasti akan sangat bahagia." Saira tertawa miris.
Wanita itu berjalan pelan menuju kamarnya. Rasa sakit di di bagian pinggangnya belum ada apa-apanya dibanding sakit di hatinya. Ia tidak menyangka bahwa memiliki Aksa akan semenyakitkan ini. Rasa sesal kerap menghampirinya. Kesombongan yang dulu ia agungkan, nyatanya tidak pernah berarti apa-apa. Jangankan mencintai dirinya, menatap saja sudah membuat Aksa muak. Jika sebuah pit berada di tangan Aksa, mungkin benda itu akan melayang ke wajahnya.
Ia menatap buku diary-nya dengan sendu. Setidaknya ada satu teman yang siap menampung semua keluh kesahnya. Yaitu buku dengan warna biru dipadukan warna emas. Perpaduan yang sangat elegan. Ia membuka pelan sembari mengambil sebua pena. Dengan lancar ia menulis semua yang ia alami pada hari ini. Tak terasa air matanya mengalir membasahi beberapa helai kertas.
"Seluruh deru napasku, hanya kebahagiaan yang ingin kugapai bersama Aksa. Tapi rasanya mustahil terjadi, mengingat kesalahanku di masa lalu sangat kelabu untuk bisa bahagia."
Ia terus menggores penanya ditemani air mata.
"Kebahagiaan suamiku adalah segalanya. Jika aku mencintainya, aku harus bisa membuatnya bahagia. Ada atau tidaknya aku, baginya yang paling berharga adalah Kak Izora."
Ia menutup bukunya setelah selesai menuangkan seluruh isi hatinya hari ini. Ia menatap mata yang menatap dingin ke arah kamera. Poto itu akan selalu menjadi saksi, betapa tidak bahagianya pernikahan yang ia jalani bersama pria yang ia cintai dengan separuh hidupnya.
Di ruangan lain, Aksa sedang menatap poto pertunangannya dengan Izora. Meski awalnya smpat galau, kini mereka sudah kembali menjalin hubungan di belakang Saira. Yang paling ia syukuri adalah baik ibu dan ibu mertuanya mengetahui hubungan mereka. Seolah mendapat lampu hijau dari keduanya.
"Sayang, akan kupastikan wanita itu akan membayar semua yang sudah dia perbuat sama kita. Kamu dan aku harus terpisah karena keegoisannya."
ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Halo, kesayangan! Lagi di mana dan ngapain?"
"Ya udah, aku kesana sekarang ya," ucap Aksa dengan senyum.
Saira yang hendak menuju ruang tamu dan melewati kamar Aksa pun mendengar semuanya. Lagi-lagi hatinya menjerit. Ribuan mata pisau sedang berlomba mengoyak jantungnya. Ia menghapus air mata dan menghampiri Aksa.
"Kak, makan malam udah siap," ucpnya mencoba menguatkan suaranya agar tidak goyah.
Aksa menatap malas, "Aku ada janji dengan kekasihku! Kau makan saja sendiri!"
"Tapi, Kak. Aku sudah menyiapkan semuanya!"
Aksa menatap tajam manik yang kini terlihat tertunduk takut. "Jangan mengurusiku wanita sialan! Kau urusi saja hidupmu yang menjijikkan ini, dasar wanita murahan."
Aksa segera membanting pintu tepat di depan wajah Saira. Gadis itu memegang dadanya yang bergelora nyeri. Ia akan mengikuti Aksa dan bertemu dengan kekasih dari pria itu. Ia tidak akan tinggal diam. Segera ia bergegas ke kamarnya dan bersiap-siap.
Beberap puluh menit kemudian...
Aksa sudah sampai di sebuah restoran mewah. Saira juga sudah sampai, ia memakai hoddie untuk menutupi kepalanya beserta sebuah masker. Ia duduk di meja paling pojok tepatnya menghadap pada Aksa yang sedang menunggu seseorang. Jantungnya sudah bergelora akan menjambak siapa pun wanita itu.
"Hai, sayang." sapa sebuah suara.
Saira yang sedang memilih menu, dikagetkan oleh suara yang sangat ia kenal. Ia mendongak dan jantungnya seolah hendak berhenti berdetak. Wanita itu—selingkuhan suaminya adalah Izora. Ia sudah hendak menangis. Namun, ada kejutan lain yang membutnya tak mampu berkutik. Di sana ia melihat kedatangan ibu dan mertuanya menghampiri dua sejoli yang sedang dimabuk asmara.
Saira menangis dalam diam, ia berjalan pelan ke arah mereka berempat sambil melepas tutup kepala serta maskernya.
"Mama ...," ucapnya dengan suara tercekat.
Mereka berempat yang sedang bersendau gurau dikagetkan oleh sebuah suara. Wina melirik ke sebelah kanannya dan sedikit terkejut. Aksa dan Izora yang sedang berpegangan tangan menatap Saira dengan datar. Tidak ada rasa bersalah sama sekali terpatri di mata keduanya, sedangkan mertuanya menatap sinis.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Wina dengan datar. Ia masih kecewa dengan putri kecilnya. Putri yang ia banggakan sudah menorehkan luka di hatinya serta di hati saudaranya sendiri.
"Lagi menemui teman, Ma."
Wina kembali memusatkan perhatiannya pada makanan yang tersaji di depannya. Kini mertuanya menatap tak suka ke arahnya. Baginya, hanya Izora yang pantas mendampingi putranya bukan Saira. Di mata Melly, Saira tidak lebih dari seorang penganggu.
Di sana, Saira berdiri kikuk. Matanya bertemu pandang dengan Aksa yang menatapnya tajam. Kemudian beralih pada Izora yang menatapnya sinis. Perlahan ia undur diri dari sana tanpa berpamitan. Begitu berbalik arah, air mata langsung merembes membasahi pipinya. Napasnya tercekat, seolah banyak tangan yang mencekiknya dari belakang.
Ia berjalan ke sebuah danau, rasa sakitnya tidak lagi tertahan. Semua yang ia sayangi kini membenci dirinya.
"Ma, gimana kalau Saira ngadu sama Papa," ucap Izora khawatir.
"Papa kamu nggak akan mendengarkan dia. Kamu tenang aja," ucap Wina menenangkan kegusaran putrinya.
Sebagai Ibu dari kedua putrinya, ia sudah jahat pada salah satu putrinya. Namun, semua ia lakukan karena rasa kecewanya yang tidak terbendung. Putrinya Izora bahkan pernah melukai dirinya sendiri setelah pernikahan putri keduanya berlangsung. Untuk itu ia berjanji akan membahagiakan putrinya bagaimana pun caranya.
"Iya, Sayang. Kan Papa benci banget sama Saira. Dia nggak akan berani macam-macam."
Aksa menimpali sambil tersenyum menenangkan.
Dari kejauhan, seorang pria mengepalkan tangan dengan erat. Matanya tampak sedikit merah. Ia memang membenci tindakan adiknya di masa lalu. Tapi ia tidak suka jika keluarganya menyakiti Saira—saudaranya sendiri. Ia pergi dari sana dengan perasaan marah.
Tatapannya tampak kosong, perlahan ia mendekat ke bibir danau. Ia masuk perlahan-lahan masih dengan tatapan kosong. Dinginnya air danau tidak membuatnya mundur. Bahkan tidak terasa sama sekali. Ia hanya ingin pergi sejauh yang ia bisa untuk menghilangkan lukanya.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved