Bab 4 Awal sebuah Luka

by Hairunnisa Ys 09:17,Dec 09,2020
Saira mengemudikan motor matic yang selalu menjadi teman setia kemana pun ia pergi. Satu-satunya kenderaan yang ia miliki. Namun, sesuatu terjadi pada motornya. Ia lupa mengecek kondisi kenderaannya sehingga tanpa menyadari rem kenderaannya sudah sekarat. Ia yang awalnya mengendarai motornya dengan kecepatan sedang menjadi panik saat remnya tidak berfungsi sama sekali. Baik rem depan maupun rem belakang. Hal itu mmebuatnya terpelanting ke sisi jalan dan mengakibatkan luka pada kakinya. Beberapa orang tampak mengerumuninya. Ia berusaha bangkit dengan perlahan. Banyak mata yang melihatnya dengan khawatir.

“Apa Anda baik-baik saja?” Tanya beberapa dari mereka.

“Saya baik-baik saja, Pak. Hanya sedikit lecet.”

“Lain kali hati-hati ya, Bu.

“Terima kasih, Pak. Saya pulang dulu.”

Saira menelpon bengkel langganannya untuk menjemput motornya. Sedangkan ia akan pulang dengan menaiki taksi online. Sesampainya di rumah, ia disambut galak oleh suaminya. Seperti biasa, ada Izora di sana dan seperti biasa. Tatapannya tajam dan menusuk.

“Dari mana aja lo?” Tanya Izora sinis.

Saira berjalan dengan pelan sambil menahan rasa perih di kakinya. Selain lecet, kakinya juga terkilir dan terlihat bengkak. Ia sedang malas meladeni keduanya karena rasa sakit kian menyiksanya sampai ke kepalanya. Ia sedikit meringis saat kakinya menyentuh lantai. Ia mencoba mengabaikan keduanya dan segera menuju kamar. Namun, ada saja keusilan Izora dan suaminya yang merecokinya.

“Bisakah kalian introgasinya besok saja!” Saira melirik tak suka kearah saudaranya saat keduanya sedang berpegangan tangan dan terlihat mesra. “Bisakah Kakak pulang, ini sudah malam, tidak baik anak gadis bertamu malam-malam ke rumah pria yang sudah beristri. Jagalah kehormatan Kakak sebagai wanita.”

Selesai dengan kalimatnya, Saira pergi meninggalkan keduanya. Izora mengepalkan tangan dan terlihat murung. Tentu saja hal tersebut membuat Aksa marah. Ia tidak terima jika Saira mengatai kekasihnya seperti tadi. Memangnya siapa dia berbicara soal kehormatan. Dengan kemarahan, ia menyusul Saira ke akmarnya.
“Sayang, tunggu di sini, aku akan segera kembali setelah memberinya pelajaran.”

Izora mengangguk sambil tersenyum, ia bahagia mengetahui kehidupan rumah tangga Saira tidak bahagia. Itu artinya, gadis itu secara tidak langsung sudah tersiksa karena ambisinya sendiri. Izora tidak ingin berlaku kejam, hanya saja Saira yang memulainya dan mengajak perang dengannya.

“Well, Saira kita akan lihat sejauh mana kamu mampu bertahan untuk terus berada di sisi suamimu. Pria yang kau ambil paksa dariku!” bisiknya.

Di kamar, Saira sedang mencoba membaringkan tubuhnya, rasa perih dan berdenyut dari kakinya membuat napasnya mendesis beberapa kali menahan sakit. Namun, baru saja akan memejamkan mata, gebrakan kuat terdengar dari pintu. Di sana wajah Aksa sudah merah padam dan menatapnya tajam.saira menghela napas panjang. Sepertinya dia sudah salah berbicara sehingga suaminya muncul dengan wajah mengerikan.

“Ada apa Kak, kalau tidak penting bisakah ditunda? Aku lelah hari ini.”

Aksa menutup pintu kasar dan berjalan mendekati Saira yang sedang berbaring.

“Apa maksudmu mengatakan hal itu pada kekasihku?” Tanya Aksa menuntut penjelasan.

“Oh, soal yang barusan, bisakah kita bahas besok?”

“Saira!” teriak pria itu denagn marah.

“Aku bisa mendengarmu Kak meski berbicara pelan.”

“Kuingatkan sekali lagi siapa dirimu, kamu bukan siapa pun yang bisa berkata soal itu pada Izora! Ingat lagi bagaimana liciknya kamu dalam emdapatkan apa yang kamu inginkan. Jangan jadi orang sok suci. Kau hanya seorang wanita yang murahan, menggadaikan apapun demi memuaskan hasratmu!” maki Aksa dengan marah membara.

Mendengar ucapan Aksa mengenai dirinya yang secara tidak langsung sudah mengatai dirinya sebagai pelacur, membuat darah Saira mendidih. Ia bangkit dari baringnya dan mengabaikan rasa sakit yang mendera kakinya. Bahkan sakit itu tidak seberapa disbanding rasa sakit di hatinya. Ia memang pernah berbuat salah dengan menjebak Aksa. Namun, itu masa lalunya, ia sudah menuai hasil yang ia tanam.

“Jangan pernah berbicara sembarangan, kamu tidak tahu apapun soal diriku.”
“oh, ya? Aku bahkan tahu apa yang ada di otakmu. Kau adalah perempuan yang egois dan hanya mementingkan dirimu sendiri, mengabaikan kebahagiaan orang lain. Kamu tahu? Kamu adalah tipe orang yang sangat kubenci. Kau tahu alas an aku sangat membencimu? Itu karena kau wanita murahan!”

Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi Aksa. Pria itu sampai berpaling ke sisi kanan, matanya menatap tajam manik yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan memerah menahan air mata yang sebentar lagi akan merembes keluar.

“Kamu boleh mengataiku apa pun soal masa laluku, Kak. Tapi kuingatkan sekali lagi, aku bukan seperti yang kamu katakana barusan. Iya! Dulu aku memang bersalah karena sudah menjadikanmu suamiku dengan cara yang picik. Tapi itu masa laluku, tidak bisakah kamu untuk tidak mengungkitnya kembali, Kak.”

Ia mengusap air matanya yang perlahan jatuh mengenai punggung tangannya.

“Beraninya kamu menamparku!” teriak Aksa dengan mata setajam pisau.

“Aku tidak akan menamparmu kalau kamu tahu cara menjaga lisanmu, Kak.”

“Memangnya kamu siapa? Kamu hanya perempuan kotor penuh dosa. Aku sangat tersiksa berada satu rumah dengan wanita yang menyebabkan pernikahan impianku hancur. Kau tahu, aku bahkan berdoa pada Tuhan agar kau segera lenyap dari duniaku!”

Selesai mengatakan kalimat panjangnya yang menusuk hati Saira, pria itu pergi dan membanting pintu. Di sana Saira jatuh terduduk di pinggiran ranjang sambil mengusap air matanya. Di dunia ini bahkan tidak ada lagi yang mengharapkan kehadirannya. Kalimat yang diucapkan Aksa sangat melukai hati dan perasaannya. Rasa sakit kembali menyadarkan dirinya. Ia kembali meringis. Ringisan yang perlahan pelan, kini berubah menjadi tangisan pilu.

“Bahkan, jika aku mati tempo hari yang lalu, tidak aka nada yang merasa kehilangan orang sepertiku.”

Kini rasa sakit tidak hanya berasal dari kakinya. Perut bagian bawahnya terasa ngilu dan ia tahu semua ini disebabkan oleh masalah ginjalnya yang sudah akut. Ia bahkan tidak ingin repot-repot memberitahukan pada siapa pun mengenai maslaah ini.

“Aku tidak akan lagi berusaha melenyapkan diriku sendiri, mungkin aku akan segera mati.”

Ia memejamkan mata menahan luka yang selama ini bersarang di ulu hatinya. Semakin lama kian menjulang tinggi. Luka yang suatu saat nanti akan membawanya pergi sejauh mungkin dari dunia yang membuatnya tidak lagi dibutuhkan oleh siapa pun.

Di luar, Aksa segera menemui kekasihnya. Namun, ternyata Izora sudah tidak ada lagi di sana. Aksa menebak Izora sangat terluka mendnegar ucapan Saira. Lagi-lagi ia mengepalkan tangan menahan gejolak amarah yang kian menghimpitnya. Lagi-lagi ia berjalan ke kamar Saira dan kembali mendobraknya. Di sana ia melihat Saira sedang terlihat berbaring dengan posisi mengenyamping.

“Setelah apa yang dia lakukan, kini dengan santainya ia tidur dengan nyenyak. Brengsek!”

Saira terbangun dengan lemah di tempat terakhir dia jatuh pingsan. Tidak ada siapa pun yang mengetahui bahwa ia pingsan. Terbukti saat ia terbangun masih di tempat yang sama.
Saira segera bersiap menuju kampusnya meski badan terasa sangat lelah. Gadis itu. ke kampus dengan wajahnya yang sangat pucat. Namun, apa pedulinya jika pun ia mati takkan ada yang menangis untuknya.

"Selamat pagi Saira. Hei, wajahmu pucat sekali," ucap Zain, raut wajahnya berubah khawatir saat melihat wajah pucat Saira.

"Pagi Zain, aku hanya sedikit kelelahan." Saira tersenyum singkat.

Aksa memasuki kelas dengan tampang datar seperti biasa. Ingat ia sangat lembut bila bersama orang yang dicintainya tapi tidak dengan Saira selaku istrinya sendiri.

"Kumpulkan tugas Anda yang saya berikan semalam!" Seunya datar tanpa melihat pada Saira. Gadis itu berjalan dengan badan letih untuk mengumpulkan tugasnya ke depan.

Di depan tampak raut wajah Aksa berubah marah.

"Apa menurutmu kelasku sebuah lelucon?” Tanyanya dingin seketika banyak mata yang memandang Saira remeh terlebih kaum wanita.

"Saya sudah mengerjakan seperti yang Anda perintahkan Pak. Di mana letak kesalahannya?" tanya Saira dengan perasaan takut.

"Semua yang Anda tulis tidak lebih dari sampah. Apa-apain ini? Apa kau begitu bodoh! Mengerjakan tugas simpel saja todak becus." Aksa melayangkan kata pedas tanpa memikirkan perasaan Saira yang sudah ditertawakan oleh semua teman kelasnya.

Wajah Saira yang sudah pucat mendadak bertambah pucat saat mendengar cacian itu. Ia tak habis pikir kerja kerasnya hanya dinilai sebagai sampah oleh suaminya sendiri. Jangan tanya bagaimana hancur hati gadis itu. Ia sudah sangat hancur sejak dua tahun yang lalu.

"Maafkan saya Pak, jika saya melakukan kesalahan saya akan memperbaikinya." Saira menarik napas lelah.

"Tidak perlu. Kau tidak usah lagi masuk di kelasku. Aku tidak membutuhkan mahasiswa bodoh sepertimu." putus Aksa dengan sepihak.

Mendengar itu kaki Saira menjadi lemas. Bagaimana mungkin suaminya begitu kejam. Ia masih mematung hingga sebuah suara membuyarkan lamunannya.

"Tunggu apalagi, silakan keluar dari kelas saya! " hardik Aksa dengan suara dinginnya.

Saira keluar dengan perasaan hancur. Lagi-lagi ia tak mampu menangis. Gadis itu hanya duduk termenung di taman yang tak jauh dari kampusnya.

"Begitu dalamkah bencimu padaku Kak. Hingga kau melakukan semua ini, tidak cukupkah pengorbananku selama ini untuk membuka sedikit saja hatimu untukku." Lirihnya dengan tatapan kosong.

Jika boleh meminta ia ingin pergi sejauh mungkin dari dunia yang menyesakkan ini.
Di kediaman Aksa, sudah tampak keluarga besarnya berkumpul di sana. Saira yang baru selesai menenangkan pikirannya pun sudah sampai di depan rumah suaminya

Ia membuka pintu dengan pelan dan memasuki ruang tamu yang sudah diisi penuh oleh keluarga suaminya.

"Baru datang, Ma." tanya Saira mencoba basa basi dengan mertuanya. Namun, hanya dibalas tatapan tajam.

"Kalau begitu Saira ke kamar dulu Ma." Saira berlalu karena merasa tidak dibutuhkan.

Sepasang mata yang melihat itu pun tampak sendu.
"Andai aku diberi kesempatan, aku akan membahagiakanmu Saira."gumamnya dengan lirih.

Dia adalah sepupu dari Aksa yakni Rifki Pramudia dan anak dari adiknya Mama Aksa. Di keluarga Raka yang menerimanya sebagai menantu hanya Rina aka Mama dari Rifki.

"Sayang, Tante kangen banget sama kamu," ucapnya masuk ke kamar Saira. Ia tau benar bagaimana rumah tangga keponakannya ini.

"Saira juga kangen. Tante bagaimana kabarnya?" tanyanya sopan.

"Seperti yang kamu lihat sayang."

"Kenapa tidak turun.?"

"Lagi banyak tugas, kan Tante tau sendiri tidak ada yang menyukai kehadiran Saira."

"Tante sangat menyayangimu sayang, andai kamu jadi menantu Tante, pasti rasanya bahagia sekali. Mereka saja yang terlalu buta sayang. Kamu adalah sebuah permata yang belum terlihat karena hanya yang berhati tuluslah yang bisa melihat betapa berharganya kamu," ucap Rina dengan tulus.

Mendengar itu Saira menjadi haru, ia bersyukur setidaknya masih ada yang menyayanginya di dunia ini.
"Terima kasih Tante." Saira memeluk tubuh wanita cantik itu.

Rina mengelus lembut kepala Saira dengan sayang, ia seperti merasakan kembali pelukan dan elusan hangat seorang ibu.

"Sayang jangan pernah memaksakan diri karena setiap manusia punya batas limitasi. Jika batas itu sudah tak mampu lagi kamu tampung. Ada Tante tempat kamu bersandar, Tante akan selalu ada buat kamu sayang." Rini mengusap kepala Saira lembut. Ia tak sanggup melihat penderitaan Saira walaupun Claudi bukan menantunya tapi dia sangat menyayangi wanita rapuh ini.

"Terima kasih Tante, jika waktunya telah tiba aku pasti akan melakukannya."

Saira turun ke bawah bersama Rina.
Langkahnya masih di tangga. Namun, atmosfernya sudah berbeda.

"Apa sudah ada isinya?" Tanya mertuanya dengan sinis.

Claudi tersentak dalam langkahnya, bagaimana bisa hamil disentuh saja tidak pernah.

"Belum ada rezeki Ma," ucapnya sambil menunduk sedangkan Aksa hanya cuek seperti biasanya.

"Alah palingan juga dia mandul Ma." seru kakak dari suaminya.

Jangan ditanya bagaimana perasaannya, bahkan untuk bernapas pun rasanya amat menyakitkan. ditambah bungkamnya seorang suami saat melihat istrinya dihina dan dipojokkan.

"Itulah azab untuk wanita menjijikkan sepertimu. Dasar wanita murahan." Cerca sepupu suaminya tanpa saringan.
Lagi-lagi mata Saira menatap ke arah Aksa, nihil. Pria itu terlihat bercanda bersama sepupunya.

Lelah mendengar semua hinaan ia melangkah pergi meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya dengan perasaan hancur berkeping-keping. Sedangkan mereka yang berada di ruang tamu hanya tersenyum sinis melihat kepergiannya.

"Sekejam inikah semua orang padaku, apa aku tidak pantas untuk bahagia bersama orang yang aku cintai. Kenapa semua orang memperlakukan aku seperti ini Tuhan." Gumamnya dengan serak.

Ia mengalihkan pandangannya pada benda pipih yang kini bergetar.
"Halo," ucapnya dengan lemah.

"Apa kamu sudah memutuskan?"

"Belum saatnya Kak, aku ingin melihat sejauh mana aku mampu bertahan. Nanti kalau aku sudah menyerah aku akan ikut bersama Kakak."

"Baiklah, jangan membiarkan dirimu menerima cacian. Kakak tidak akan pernah rela melihatmu mati di tangan mereka."

"Tidak akan, Kak. Terima kasih." Ia menghela napas panjang setelah telponnya dimatikan oleh seseorang di seberang sana.

"Haruskah?" Tanyanya pada angin.
Karena tekanan batin yang ia dapatkan hari ini membuat tubuhnya benar-benar lelah. Ia pun membaringkan tubuhnya hingga tertidur.

Seminggu lagi ujian semester akan segera dilaksanakan. Saira disibukkan oleh kegiatan belajar di perpustakaan. Ia tidak ingin mengulang atau pun mendapat nilai jelek saat ujian. Untuk itu, ia mengupayakan belajar meski hanya satu jam. Seperti hari ini, ia di perpustakaan induk kampus sampai malam. Ia melihat jam yang melingkar indah di tangannya sudah menunjukkan pukul delapan.

"Ah, sudah sangat malam ternyata."

Ia segera mengemasi barang-barangnya dan beranjak dari sana.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

124