Bab 7 Kepergian Saira

by Hairunnisa Ys 09:38,Dec 09,2020
Aksa menatap sendu sosok wanita yang kini sudah menutup mata untuk selamanya. Wajah pucatnya yang terlihat damai berhasil membuat sudut hatinya menjerit penuh penyesalan. Segala perlakuannya berputar bagai sebuah film.

Wina tiga kali pingsan. Seperti halnya Aksa—mereka juga tidak luput dari penyesalan. Sebagai seorang ibu, Wina merasa sudah gagal menjadi ibu yang baik untuk putrinya. Ia ingat, terakhir Saira-nya meminta sebuah pelukan. Namun, diabaikan olehnya.

"Sayang jangan tinggalin Mama! Mama janji akan mengulang masa bahagia yang tidak pernah Mama berikan. Sayang buka mata kamu ya Nak. Ayo buka."

Izora terpaksa duduk di kursi roda akibat kondisinya yang masih belum stabil. Sedangkan Danu dan Andri hanya mampu menangis dalam diam. Hati keduanya berteriak nyeri saat tubuh Saira terbaring kaku.

"Pak, jenazahnya sudah bisa di salatkan," ucap seseorang dari belakang.

"Tidak! Anakku masih hidup. Tolong jangan menguburnya, dia akan bangun!" teriaknya keras.

Andri mendekati istrinya. Langkah kaki yang biasanya tegap, raut wajah yang biasanya congkak. Kini yang tersisa hanya kerapuhan. Ia duduk di samping Wina yang masih menangis.

"Ma, ikhlaskan putri kita," ucapnya dengan nada bergetar.

"Tidak, Pa. Putri kita masih hidup. Saira-ku akan segera bangun." ringisnya pelan.

Izora dan Danu tidak sanggup melihat kehancuran ibunya. Wina masih belum bisa menerima kepergian Saira. Ia belum membahagiakan Saira-nya.

"Ma, ikhlaskan Saira." bujuk Danu lembut. Manik hitamnya menatap penuh sesal wajah damai adik yang sudah ia abaikan kehadirannya selama ini hanya karena masalah yang terjadi antara kedua adiknya. Sebagai seorang Kakak, tidak seharusnya ia memihak pada satu orang, seharusnya ia lebih bijak untuk merangkul keduanya..

Jenazah Saira segera diangkat oleh beberapa orang menuju masjid untuk di salatkan. Wina histeris lalu pingsan. Danu segera membawanya ke kamar. Sedangkan Andri pergi menuju masjid tempat putrinya akan di salatkan.

Setiap langkahnya ditemani air mata. Sekali ia menghapusnya dua kali tetesan keluar dari kelopaknya.
Ribuan maaf bahkan tidak bisa menghidupkan kembali putrinya. Andai ia diberi kesempatan kedua. Andri akan mengabulkan permintaan terakhir dari putrinya yang tidak ia indahkan.


Pemakaman Saira telah usai meski penuh dramatis. Namun, baik Aksa dan Andri masih memutuskan berada di sana.

"Sayang, maafkan Papa Nak. Pria tua ini bukan sosok yang baik untuk kamu sebut Ayah." suara bergetar sarat akan kesedihan.

Aksa menahan isakannya agar tidak keluar. Ia ingin berteriak untuk meluapkan penyesalannya. Ia ingin balasan setimpal atas perlakuannya. Namun, bukan sebuah kehilangan seperti ini.

"Pa, jangan menangis lagi. Nanti Papa sakit." peringat Aksa dengan lembut.

Andri mengusap air matanya dengan pelan. Lalu menatap Aksa sekilas. Ia berlalu dari sana setelah pamitan pada menantunya.

"Sayang."

Untuk pertama kali ia memanggil Saira dengan sebutan sayang. Hal yang bahkan tidak pernah ia lakukan semasa istrinya masih hidup.

"Maafkan aku, penyesalan ini sangat menyiksa. Hukumlah aku sayang tapi jangan hukuman seperti ini." Aksa menarik napasnya dengan pelan. Kesesakan mencekal ruang hatinya.

Satu hal yang terlambat ia sadari. Saira sudah bertakhta di hatinya. Namun, dengan angkuh ia menolak kenyataan tersebut. Aksa memeluk gundukan pusara tempat peristirahatan terakhir dari wanita yang ia cintai.

"Maaf karena baru mencintaimu saat takdir memisahkan kita."

-------------

Di belahan benua lainnya, sepasang mata sebiru samudra itu terbuka perlahan. Suster yang bertugas malam itu segera menghubungi dokter yang menangani gadis tersebut.

Kabar bahagia sampai ke telinga keluarga gadis itu. Beberapa saat kemudian, keluarganya sudah berkumpul di sana.

"Ini sebuah keajaiban Bu, pasien berhasil melewati masa kritisnya. Padahal jika dilihat dari kondisinya, kecil kemungkinan untuk sadar dari koma."

Wanita paruh baya dengan rambut sebahu menatap haru tubuh putrinya. Air mata dengan setia mengalir bukan karena sedih. Tapi karena bahagia.

"Apa yang kamu rasakan saat ini?" tanya Dokter tersebut sambil tersenyum.

"Badan saya terasa kaku," jawabnya dengan lemah.

"Hal itu wajar dikarenakan aktivitas tubuhmu sudah beristirahat selama satu tahun."

Wajah cantiknya masih terlihat pucat. Tatapannya sangat lemah. Dokter tersenyum melihat wanita yang semenjak tadi setia menunggu di sana.

"Bu, saya tidak percaya dengan keajaiban Tuhan. Tapi hari ini saya membuktikannya sendiri. Ibu wanita yang hebat dan tidak pernah putus asa." Kagum dokter tersebut.

"Terima kasih Dokter," ucapnya tersenyum bahagia.

"Sama-sama, kalau begitu saya permisi."

Setelah kepergian dokter tersebut, wanita berusia 50 tahun itu menatap putri kesayangannya dengan lembut.

"Sayang," ucapnya sembari mengelus pipi seputih pualam itu.

Kening gadis itu mngernyit heran. Ia sungguh tidak mengenali wanita yang kini duduk di hadapannya.

"Maaf, Anda siapa?" tanyanya dengan suara lemah.

Tatapan syok bercampur sedih terlihat di manik keabuannya. Baru saja kebahagiaan menghampiri kini kembali redup saat dirinya tidak dikenali oleh putrinya sendiri.

"Ini Mama," ucapnya dengan terbata.

"Mama ... tapi saya benar-benar tidak mengetahui Anda." gumamnya lemah.

Selang beberapa menit Dokter kembali memeriksa gadis tersebut. Dokter menghela napas pelan.

"Bu, dia mengalami amnesia ringan jadi tidak ada yang perlu dikhawatitkan."

Halena menarik napas lega meski masih merasa sedih.
"Syukurlah, Dok."

"Apa kamu ingat siapa namamu?" gadis itu menggeleng pelan.

"Sayang, nama kamu Evellyn Ophelia."

"Evellyn Ophelia. Ia mengeja namanya sendiri tapi rasanya sangat aneh, seperti bukan namanya. Gadis itu merasa sudah memiliki nama sebelum ini. Namun, tidak tahu apa.

Dokter tersenyum kecil, "tidak masalah kamu tidak mengingatnya. Nanti secara perlahan kamu akan mengingat kembali."

"Terima kasih," ucapnya pelan.

Lalu matanya menatap manik wanita yang sejak tadi menungguinya dengan setia.
"Bu, kita ada di mana?"

Wanita itu tersenyum lembut menatap putri tunggalnya.
"Kita berada di Australia sayang."

Ia terlihat sedikit syok, ia merasa bukan negara yang pernah ia tinggali.

"Satu lagi, jangan panggil Bu, panggil Mama saja. Kamu itu putrinya Mama."

"Mama," ucapnya.

Halena tersenyum mendengar panggilan dari putrinya.

"Kamu putri Mama satu-satunya Nak."

Evellyn menatap langit-langit kamar dengan sendu. "Terima kasih, Ma," ucapnya tulus.

Ketulusan Halena membuatnya merasa sangat bahagia. Perasaan yang mendamba kasih sayang yang sudah lama hilang dari hidupnya. Namun, satu pertanyaan besar menyelinap di kepalanya. Mengapa ia bisa terdampar di Autralia dan yang paling aneh ia sudah koma selama satu tahun. Seingatnya ia bukan berada di Kanada melainkan Indonesia.

"Sayang, Mama mau ngabarin Papa dulu ya. Papa pasti senang melihat kamu sudah siuman." Halena beranjak keluar dan menelpon suaminya.

Evellyn menganguk sambil tersenyum lemah. Pikirannya kembali berkelana menembus angan yang belum mampu ia gapai. Setitik air lolos dari sudut matanya. Hatinya sangat terasa sakit seperti disayat dengan paksa oleh pisau tumpul. Rasanya sangat menyakitkan. Halena masuk dan kembali duduk di samping putrinya. Ia sangat berharap kondisinya segera membaik, karena ada kabar gembira yang harus diberitahu. Namun, sebelum itu putrinya sudah harus sembuh seutuhnya.

Hari pun berganti minggu. Kini kondisi Evellyn sudah membaik. Ia diperbolehkan pulang. Kabar ini tentu menjadi kabar bagus dan mengembirakan untuk keluarga Halena. Kini kedatangannya disambut oleh sanak saudara yang sudah lama merindukan sosok gadis yang sangat ceria.

"Selamat datang kembali Eve," sambut mereka dengan serentak.

"Kak Eve, aku sangat merindukanmu." salah satu dari mereka menghampiri lalu memeluknya dengan erat.

Eve melihat mereka semua dengan tatapan bingung. Kebahagiaan yang terpancar dari mereka semua terlihat sangat tulus kecuali dua orang yang berada di sisi kanan. Senyuman itu terlihat sangat culas.
Ia kembali melempar tatapan pada seorang gadis muda berkepang dua. Dia terlihat sangat imut dengan pipi tembam.

"Kak Eve, Aku sangat merindukanmu." ia tampak terisak karena masih diberi kesempatan, ia bisa kembali melihat orang yang sangat baik padanya sudah kembali.

Eve hanya tersenyum singkat mendengarnya. Ia tidak tahu harus memberikan reaksi apa pun. Ia memutuskan untuk jadi pemerhati.

"Nenek, Kak Eve kenapa?" tanya gadis dengan pipi tembam dengan sedih.

"Sayang, Kak Eve harus beradaptasi setelah satu tahun tidak sadar. Jadi berikan Kak Eve waktu untuk istirahat ya."

Mereka semua menganguk senang dan memutuskan kembali bermain sambil menikmati beberapa hidangan. Sedangkan dua orang yang sejak tadi jadi pemerhati, memilih pergi dari sana. Mereka akan menyusun strategi baru untuk menyingkirkan sang ahli waris dari muka bumi ini.

"Sayang, Mama antar ke kamar ya," ucap Halena lembut. Ia menuntun Evellyn menuju sebuah kamar yang sangat luas. Nuansa biru laut menyambutnya, suasananya sangat menenangkan, seperti berada di bibir pantai.

"Mama tinggal dulu ya sayang." Halena pergi meninggalkan Evellyn yang masih menatap kamarnya dengan seksama.

Matanya tertuju pada deretan poto yang terpajang rapi di dinding. Gadis dengan senyuman yang menawan. Tatapan teduh dan menyenangkan, bisa ditebak gadia itu penuh kasih sayang. Tapi kenapa dia bisa sampai koma. Pikiran Saira berkelana ke belahan dunia lain, dulu ia juga sangat ceria. Tapi perasaan cinta membuat ia buta dan menggadaikan segalanya. Kehilangan membuat ia banyak belajar bahwa cinta tidak selamanya harus dimiliki.

Kini Saira berjalan ke ranjang besar nan mewah. Ia tidak tahu takdir macam apa yang sedang ia mainkan. Hidup dibelahan dunia lain dengan tubuh dan status yang berbeda. Setidaknya, ia berada dilingkungan golongan berada. Tidak, bahkan keluarga Evellyn sangat kaya raya. Tempat yang ia tinggali adalah sebuah mansion terbesar yang pernah ia lihat selama hidup. Dia merebahkan tubuhnya dan tertidur dengan lelap.

-----------

"Ma, kenapa dia bisa kembali hidup? Harusnya dia sudah mati."

Sayup-sayup suara seseorang terdengar di telinga Saira. Ia menghentikan langkahnya dan mencuri dengar pembicaraan dua orang yang berada di salah satu kamar. Bodohnya mereka tidak mengunci pintu dengan benar.

"Sepertinya kematianmu ada hubungannya dengan mereka Eve." gumam Saira pelan lalu memutuskan pergi dari sana. Ia tahu, Evellyn tidak akan bisa tenang sebelum orang yang menyebabkan dia mengalami kecelakaan ditangkap.

"Karena jiwaku ada pada tubuhmu, aku akan membalas budi untuk itu Eve."

Saira yang dulu lemah lembut, kini sangat berbeda jauh. Sebuah luka dan sengsara yang selama ini menggerogotinya perlahan melebur dan menyatu dengan kemarahan. Ia menjadi sangat dingin, ditambah kenyataan bahwa gadis pemilik tubuh ini meninggal karena perbuatan orang terdekat. Ia harus bisa membalaskan dendam Evellyn.

Saira perlahan menuruni tangga, ia disambut ceria oleh beberapa anak-anak yang berkemungkinan bagian dari sepupunya. Saira tidak ambil pusing dengan mereka. Ia tetap berjalan menuju meja makan yang memanjang. Mirip suasana temu presiden beserta mentri.

"Sayang, sini duduk di samping Mama."

seorang pelayan menarik sebuah kursi di dekat Halena. Saira mendekati kursi tersebut lalu duduk. Ia tidak mengucapkan terima kasih seperti kebiasaan Evellyn. Mereka terlihat kebingungan dengan tingkah laku Evellyn yang tidak seperti biasanya.

"Sayang, bagaimana kondisi kamu sekarang, hm?" tanya William dengan lembut.

"Baik," ucapnya dengan singkat.

Halena tersenyum dan menyodorkan lauk kesukaan Evellyn. Sejujurnya ia tidak menyukai makanan Favorit Evellyn. Tapi demi membuat orang tua Eve bahagia, ia akan melakukannya. Evw menyantap makanan dengan pelan. Makanan Autralia masih belum akrab di lidahnya.

"Kak Eve, bagaimana rasanya sadar setelah satu tahun?" tanya seorang gadis bermata cokelat terang. Saira tahu gadia itu tidak sedang perhatian padanya.

"Kalau kau sangat penasaran,coba saja koma selama yang kau mau, maka kau akan tahu rasanya." balas Eve dingin.

Gadis itu seketika bungkam mendengar jawaban Evellyn. Sedangkan William tampak syok. Putri yang selama ini ia kenal tidak pernah sedikitpun berbicara dengam nada dingin. Gadisnya yang selalu ceria dan sopan pada semua orang.

"Sayang, kenapa berbicara seperti itu?" tanya William tegas.

Saira meletakkan sendoknya pelan lalu bangkit dari sana. Halena melihat dengan tatapan bingung. Lalu ia menatap suaminya yang memberi isyarat untuk melanjutkan makan. Ia menatap tajam pada gadis yang menanyakan pertanyaan bodoh barusan.

"Jangan merusak moodnya dengan menanyakan hal bodoh." tegas William yang diangguki kecil oleh gadis itu.

Wanita yang melihat putrinya diperlakukan tidak baik. Mengepalkan kedua tangan dan berjanji akan membalas semua penghinaan hari ini. Ia melihat putrinya dan menggelengkan kepala pelan. Mereka tidak boleh terlalu menunjukkan niat mereka, jika hal itu terjadi, mereka akan diusir dari mansion ini.

Setelah selesai makan, Halena segera menyusul putrinya ke kamar. Di sana ia melihat Saira sedang membaca sebuah majalah. Halena tersenyum dan menghampiri.

"Itu adalah almarhum Kakak kamu yang meninggal karena kecelakaan," ucap Halena sedih.

"Kecelakaan," gumam Saira pelan.

"Dua tahunn yang lalu saat ia pulang dari luar negeri," ucap Halena sambil tersenyum menatap putranya. Majalah bisnis sering memuat poto putranya karena menjadi pebisnis sukses di usia muda. Kemudian prestasinya juga bukan main-main.

"Sayang, kenapa tadi bersikap seperti itu sama sepupumu, hm?" tanya Halena lembut.

Saira menutup majalah dan meletakkannya kembali ke tempatnya. Ia menatap Halena serius. "Ma, semenjak aku koma, di ambang kematian mengajarkanku sesuatu."

"Apa itu sayang?"

"Saat diberi kesempatan kedua, tidak boleh menyia-nyiakan dengan kembali bersikap sama."

Halena tampak tersentak mendemgar ucapan putrinya. Inikah yang menjadi alasan putrinya menjadi sangat dingin, bahkan pada keluarganya sendiri. Ia ingat, pertama kali siuman, putrinya bahkan tidak tahu dia siapa. Ia paham mungkin ini efek karena sudah lama tertidur.

"Mama, Eve mau istirahat," ucap Saira tersenyum kecil. Halena menganguk dan keluar dari sana.








Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

124