Bab 10 Kehidupan Aksa

by Hairunnisa Ys 09:41,Dec 09,2020
Kaki jenjang dengan menggunakan celana panjang berwarna hitam dan jas yang senada. Dipadukan dengan hills sembilan senti meter. Ditemani seorang gadis cantik yang berjalan di sejajar dengannya memasuki sebuah perusahaan ternama di Indonesia. Mereka disambut hangat saat di lobi. Namun, tidak ada sedikit senyuman pun yang diberikan oleh Saira. Wajahnya tampak sangat dingin saat menatap semuanya.

"Selamat datang, Bu." mereka menyambutnya dengan bahasa inggris.

"Terima kasih," ucap Alyne tersenyum.

Mereka membawa Saira menuju sebuah ruang pimpinan mereka yang terletak di lantai dua puluh lima. Sepanjang perjalanan Saira menjadi pusat perhatian. Apalagi dengan kecantikannya yang mampu membuat semua pria bertekuk lutut di kakinya. Pesona yang tersimpan di auranya yang sedingin kutub utara. Sejauh ini belum ada pria mana pun yang mampu membuatnya terpesona.

"Silakan, Bu. Pak Aksa sudah menunggu di dalam." seorang wanita mempersilakan ia masuk.

Jantung Saira berdegup kencamg saat nama Aksa disebut. Hatinya masih sama, masih mencintai satu pria dalam hidupnya. Pria yang memberinya miliaran luka. Ia menguatkan hati untuk menemuinya. Lagi pula pria itu tidak akan pernah mengenali dirinya lagi.

Di dalam ruangan, Aksa merasa jantungnya semakin berdegup kencang. Entah mengapa ia merasakan perasaan seperti ini. Sebuah ketukan menyadarkannya.

"Pak, nona Evellyn Ophelia—tamu dari Autralia sudah sampai," ucapnya dengan sopan.

"Persilakan mereka masuk!"

"Baik, Pak."

"Silakan, Bu."

Saira memasuki ruang tersebut dan disambut oleh seorang pria yang sangat tampan. Jantungnya berdetak semakin menggila.

"Selamat datang, silakan duduk."

Mata Aksa tidak hentinya menatap manik keabuan yang sangat menenangkan baginya. Sayangnya, tatapan gadis itu sangat dingin. Bahkan tidak ada senyum ramah terlihat di bibirnya. Seperti ada dorongan yang dia sendiri tidak mengerti sama sekali.

"Apa Anda mau minum sesuatu?" tanya Aksa dengan sopan.

Suara yang sangat dirindukan oleh Saira selama ini, kini berada di depannya. Setiap mengingat semuanya, luka semakin menganga. Ia tidak akan pernah terlihat lemah dihadapan siapa pun lagi. Cukup dirinya yang dulu menjadi lemah. Tidak untuk sekarang ini.

"Langsung ke intinya saja, saya tidak suka berbasa-basi!"

Aksa memakluminya dan segera membahas tujuan mereka bertemu. Keduanya segera membahas proyek yang akan mereka kerjakan bersama-sama. Sedangkan sekretaris dari masing-masing mencatat hal yang perlu mereka diskusikan serta mencatat beberapa poin penting lainnya.

"Jika begitu, saya setuju!"

Aksa tersenyum mendengar kalimat yang dilontarkan Saira padanya. Entah mengapa ia merasakan ketertarikan pada wanita yang kini duduk di depannya. Seolah ada bibir tak kasat mata berbisik di telinganya.

"Baiklah, kalau begitu. Kita akan segera melaksanakannya besok. Kami juga sudah menyediakan segala yang diperlukan." Aksa mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Saira melihat semua itu dengan datar.

"Baik, terima kasih Pak Aksa. Kami permisi." Alyne menjabat tangan Aksa dan segera keluar dari sana bersama dengan Saira.

"Mohon maaf, apa saya bisa berbicara dengan nona Evellyn sebentar?" tanya Aksa sopan pada Alyne. Gadis cantik itu mengangguk.

"Bu, saya akan menunggu di luar ruangan." ia segera meninggalkan keduanya di sana.

Aksa menatap lekat wajah yang memiliki daya pikat luar biasa. Entahlah, ia pun bingung memikirkannya. Bagaimana bisa ia sangat betah melihat wajah wanita dingin yang kini berada di hadapannya. Ia sedikit kecewa saat uluran tangannya disambut oleh sekretaris dari gadis ini. Namun, ia menyembunyikannya.

"Ada apa lagi Pak Aksa?"

Sebuah suara yang mampu menggetarkan jiwa Aksa. Ada sesuatu yang meraung di dalam dirinya.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Aksa langsung pada tujuannya. Saira tampak sedikit kaget mendengar ucapan Alsa. Tapi sebisa mungkin ia mengatur raut wajahnya agar tidak kentara.

"Mohon maaf, Pak. Ini pertama kalinya kita bertemu!"

"Entah kenapa, aku seolah sudah bertemu denganmu sejak dulu." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Aksa. Saira sedikit merasa khawatir, ia takut jika Alsa mengenali dirinya. Tapi bagaimana mungkin, pria itu tidak pernah mencintainya.

"Kamu memang benar, ini adalah pertemuan kita yang pertama. Maaf karena sudah bersikap lancang."

Wajah Aksa terlihat sangat sedih. Saira belum sempat menyusuri detail setiap ruangan. Matanya dengan pelan menjamah setiap lekuk sampai ia terpaku pada sebuah foto berukuran sedang, menggantung kokoh di dinding. Ia mengenali siapa sosok yang ada di sana. Aksa menyadari tatapannya dan tersenyum.

"Dia adalah istriku," ucapnya dengan penuh cinta. Bahkan Saira bisa merasakannya.

"Anda pasti sangat mencintai beliau," ucap Saira datar.

Aksa menggeleng, hal itu membuat perasaan Saira terluka. Namun, jawaban Aksa membuat Saira tampak sedikit merasakan kesedihan pria itu.

"Kata sangat belum cukup menggambarkan betapa aku mencintainya. Dia istri yang baik dan selalu memenuhi tanggung jawabnya. Tapi sebagai suami, aku tidak pernah pantas untuknya." kalimat yang sarat mengandung duka.

"Kalau begitu, Anda bisa memberinya bunga segar."

"Setiap hari aku selalu memberinya bunga."

Saira tampak kaget mendengarnya. Apa selama ini Aksa mendatangi makamnya. Pertanyaan yang hanya bisa terjawab jika ia melihatnya secara langsung. Ia sedikit menyunggingkan senyum tipis.

"Maaf, karena menceritakan hal ini padamu. Entah kenapa ada dorongan yang membuatku melakukannya." Aksa tampak mengusap sedikit ujung matanya dan Saira menyadari hal itu.

Ia sendiri tidak ingin mengomentari hal lebih, karena baginya Saira dan Aksa adalah masa lalu yang menyakitkan. Ia harus mampu mengubur semuanya dalam-dalam. Ia teringat akan keluarganya. Ada banyak rindu yang tersimpan di sebuah sudut dalam hatinya. Namun, hatinya selalu merasa sakit saat lagi-lagi mengingat semuanya. Betapa menyakitkan berjuang seorang diri si tengah ramainya sanak saudara. Sakitnya menyembuhkan luka di saat suami berbarung di sampingnya. Betapa menyiksanya saat kehadirannya selalu tidak dianggap ada oleh siapa pun.

Emosinya menjadi tidak stabil karena hal itu, Saira segera permisi dan keluar dari sana dengan perasaan campur aduk. Alyne menghampirinya dan mereka segera turun. Denyut menyakitkan itu masih bergema, kembali luka itu menyerbunya tanpa henti.

"Alyne, temani aku ke makam seseorang."

Meski Alyne merasa heran. Ia tidak menanyakan apa pun pada Saira. Ia tetap mengikuti ke manapun gadis itu membawanya. Saira mengunjungi sebuah makam tempat tubuhnya disemayamkan untuk terakhir kalinya. Kenapa ia bisa mengetahu makamnya sendiri, selama ini ia menghubungi seseorang untuk mencari mengenai hal ini. Saira sudah sampai di depan pemakaman umum, ia memberi perintah pada Alyne agar tetap menunggunya di dalam mobil. Ia pergi sendiri ke sana. Jaraknya juga tidak terlalu jauh.


Alyne melihat dari kejauhan sosok Saira yang terlihat mengunjungi salah satu makam yang dipenuhi bunga segar. Saira sendiri menatap sendu sebuah makam yang ia hampiri. Dipenuhi bunga segar. Dengan tangan gemetar, ia menyentuh batu nisan bertuliskan namanya. Air mata lolos begitu saja, ia tidak menyangka Tuhan masih memberinya kehidupan melalui tubuh orang lain. Bahkan, mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.

"Kamu sangat menderita Saira, bahkan selama kamu menikah, tidak pernah sedikit pun kamu merasa bahagia. Aku janji sama kamu, aku akan membuatmu bahagia Saira."

Ia menghapus air matanya dan perlahan bangkit dari sana. Ia menemui Alyne dan mereka segera pergi dari sana. Alyne sangat penasaran dan dia sudah tidak bisa lagi membendung rasa ingin tahunya.

"Maaf, Bu. Siapa beliau?"

Saira menatap Alyne lalu mengalihkan tatapannya ke lain tempat. "Dia seseorang yang spesial di hati saya."

Alyne mengerti, Saira tidak ingin membicarakan hal lebih lagi mengenai sosok yang membuatnya penasaran. Mereka sudah sampai di kediaman Saira. Gadis itu terlihat memasuki kamarnya dengan tatapan dingin.

"Jangan mengangguku sampai aku sendiri yang keluar!"

Di sana Saira menumpahkan segalanya. Rasa sesak dan tangis tidak mampu ia bendung. Ingatannya pada masa lalu bergema di kepalanya. Kembali, rasa sakit menderanya bertubi-tubi. Bahkan rasanya jauh lebih menyakitkan dari sebelumnya.

"Kenapa aku harus kembali dipertemukan, luka yang coba kukubur selama ini kembali mencuat kepermukaan begitu saja. Bahkan sakitnya lebih parah." isaknya.

"Betapa malang nasibmu Saira, mereka sudah memperlakukanmu dengan tidak adil. Aku berjanji padamu Saira, aku tidak akan pernah memaafkan mereka semua! Tidak akan pernah!"

Ia mengusap air matanya dan berjalan kearah sebuah cermin. "Kamu bukan Saira yang dulu. Kamu adalah Saira yang kuat, kamu tidak akan merasa kesakitan lagi. Aku berjanji padamu Saira, aku berjanji!"

Matanya menatap nyalang langit malam. Rasa sakit dan semua yang pernah ia rasakan, tidak akan pernah membuatnya kembali menjadi seeprti dulu lagi. Sudah cukup ia ditindas oleh orang-orang yang dia sebut sebagai keluarga.

--------

Izora menatap mengiba pada sang langit yang menebar gemintang. Tampak indah, tapi tidak bisa digenggam hanya bisa melihat dengan takjub. Ia melihat foto masa kecilnya bersama Saira. Pernah ia buang dalam kotak usang. Kini bingkai yang ujungnya sedikit retak kembali terpajang di meja riasnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Andri. Kehilangan Saira menjadi pukulan paling berat dalam hidupnya. Tidak pernah sekali pun ia membahagiakan putri kecilnya yang malang.

Entah harus berapa kali ia mengatakan penyelasannya pada sang maha kuasa. Tetap saja, semuanya tidak lagi ada arti. Sang istri sangat terpukul berat atas kepergian Saira. Kesalahan, penyesalan semua ia emban semuanya. Mereka telah menjadi orang tua tidak berguna.

"Sayang, andai Papa diberi keaempatan untuk kembali melihatmu, Papa berjanji akan memperbaiki semuanya. Kesalahan terbesar Papa sebagai seorang ayah adalah, membiarkanmu terluka seorang diri. Apa sekarang Papa pantas disebut sebagai seorang ayah?"

"Keluarga ini, sangat suram tanpamu sayang, berapa kali Papa harus menyesalinya agar rasa ini bisa berganti dengan kedamaian."

Ia menangis sepanjang malam di ruang kerjanya. Keluarganya dulu sangat harmonis, bahkan tetap saat Saira mengecewakan mereka semua. Kehadirannya seperti tidak diharapkan oleh siapa pun. Keluarganya menjadikan Saira pusat kebencian. Seolah tindakannya sangat hina tak termaafkan. Namun, pada kenyataannya, putri yang dia benci memilih pergi untuk selamanya. Menyembunyikan setiap bait luka akibat goresan mulut keluarganya.

"Papa, Izora bawa minuman kesukaan Papa." teriak Izora dari depan pintu.

"Letakkan saja di depan pintu!"

Gadis itu menghela napas dengan lemah. Bagaimana bisa ia memperbaiki semua kondisi ini. Sang Ibu dan Ayahnya masih berkabung dan enggan untuk bangkit. Sejujurnya Izora butuh dikuatkan. Ia juga sangat terluka atas kepergian Saira. Tindakan jahatnya selalu membekas diingatan. Berputar bagai sebuah film.

"Ya udah, Papa minum nanti ya, Izora pergi!"

Gadis itu berjalan memasuki kamarnya, entah pada siapa ia bisa mengadukan segalanya. Ia melihat ponselnya berlayar hitam. Bahkan tidak ada panghilan dari siapa pun. Ia lelah dan merebahkan diri di ranjang king size nya.

---------
Seperti biasa—Aksa menghampiri makam istrinya sambil membawa sebuket bunga mawar. Ia bahkan sampai memiliki langganan. Bunga yang ia bawa juga segar karena langsung dipetik dari batangnya. Kali ini sebuket mawar putih ia letakkan di samping kanan makam istrinya. Rasa rindu seketika menyeruak memenuhi relungnya. Terkadang ia berpikir, mengapa Tuhan ia harus menyadari perasaan saat Tuhan mengambil istrinya.

Raganya yang belum siap kehilangan, seolah dipaksa menerima semuanya. Setiap kesana air mata selalu setia menemani.

"Sayang, kamu pasti sangat bahagia di sana ya kan? Apa kamu pernah sekali saja merindukanku?" ia mengusap pelan air mata yang mulai membasahi pipi.

"Maaf karena aku cengeng, kamu pasti tidak suka melihatnya." ia tertawa pelan.

"Sayang, aku pulang dulu, besok akan ada pertemuan penting denggan tamu penting perusahaan. Aku sangat mencintaimu."

Ia pergi meninggalkan tanah pusara itu menuju sebuah panti asuhan yang ia beri nama Rumah Kasih Saira. Sudah lama ia tidak mengunjungi panti tersebut. Di sana ia seperti merasa sangat damai dan tentram. Semenjak kepergian Saira, ia membangun rumah panti untuk mengenang istri kesayangannya.

"Papa Aksa!" teriak beberapa anak dan berhamburan memeluknya.

Ia tersenyum senang dan melihat mereka semua menghampirinya dngan wajah ceria. Seorang wanita datang dari dalam dan menyambut kedatangan Aksa.

"Anak-anak, Papa Aksa pasti lelah, ayo biarkan beliau istirahat dulu."

Mereka tampak sedih. Namun, langsung senyum kembali saat mendengar kalimat Aksa.
"Tidak apa-apa Bu Azty, saya senang mereka bergelayut manja dan menyerbuku seperti tadi."

"Anak-anak, sekarang ayo kita main bersama." Aksa mengeluarkan sesuatu dari dalam mobil.

"Yey, kita main bola, terima kasih Papa Aksa!" teriak mereka dengan gembira.

Aksa memberikan bolanya dan membiarkan mereka bermain di sana. Pengurus panti menghampiri dirinya.

"Pak Aksa," ucapnya sambil tersenyum.

Aksa tersenyum dan kembali mengedarkan tatapannya pada sekumpulan anak-anak yang bermain dengan gembira.

"Mereka terlihat sangat gembira, dengan hanya memainkan bola itu." Azty tersenyum menatap mereka semuanya.

"Iya, Pak. Saya senang karena mereka sangat nyaman di panti ini. Mungkin karena panti ini didirikan untuk mengenang Bu Saira."

Aksa menatap langit yang mulai berubah jingga, "Ibu benar, mereka semua bisa merasakan kasih sayang yang tidak kasat mata."

"Bu Azty, saya harus kembali karena besok akan ada pertemuan penting." ia pergi dari sana dan memghampiri mereka yang sedang bermain.

"Anak-anak, Papa Aksa harus kembali. Kalian lanjutkan saja bermainnya, ya."

"Papa, terima kasih karena selalu menyempatkan waktu bersama kami. Papa hati-hati di jalan. Kami menyayangi Papa."

Aksa memeluk mereka dengan sayang, "Papa juga sangat menyayangi kalian semuanya. Kalian harus jadi anak yang baik, supaya Papa selalu bersama kalian."

"Siap kapten, Papa harus berjanji, nanti bawakan Mama kemari." salah satu dari mereka mengatakan hal tersebut.

Aksa menatap anak itu dan memegang pundaknya dengan sayang. "Mama pasti akan datang, asal kamu menjadi anak yang baik."

"Ya sudah, Papa kembali dulu ya."

Aksa menjalankan mobilnya keluar dari panti asuhan menuju kediamannya.




----------

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

124