Bab 11 Mengenang secuil masa lalu
by Hairunnisa Ys
18:12,Dec 09,2020
Saira sudah berdiri di depan gedung kebanggaan Aksa—selaku CEO perusahaan tersebut. Hari ini segala perasaan yang sempat mengusiknya kemarin, sudah musnah. Tidak ada lagi apa pun dalam hatinya, yang tersisa hanya kebencian. Alyne mengikuti langkah kakinya menuju lobi.
"Selamat pagi, Bu Evellyn." sapa resepsionis mereka dengan sopan.
Saira tidak memberikan jawaban sama sekali. Semua diwakili oleh Alyne sebagai sekretarisnya. Ia tidak akan pernah menunjukkan siapa sifat ramah tamah. Karena sifat itu pernah membuatnya berada dalam neraka.
"Mari, Bu. Saya akan mengantar keruangan Pak Aksa."
Seorang wanita membawa mereka ke sebuah ruangan yang berbeda dari kemarin. Kini mereka berada di ruangan rapat khusus. Aksa menunggu dengan tenang di ruangannya. Ia tidak sabar ingin melihat wajah wanita yang sudah membuat jantungnya berdetak dua kali lipat. Perasaannya berbeda saat pertama kali bertemu Izora.
"Silakan, Nona Evellyn." wanita dengan setelan baju kuning dipadukan rok span selutut dengan warna hitam. Rambit ikalnya digerai indah dan tertata dengan rapi.
Saira memasuki ruang rapat tersebut. Di sana sudah banyak yang hadir dan Saira menyapa mereka dengan profesional. Hal itu membuat Aksa keheranan. Pasalnya kemarin saat mereka bertemu, Saira tidak seramah seperti sekarang. Padahal di sini dialah pemimpinnya.
"Terima kasih sudah hadir tepat waktu, kita kedatangan tamu dari hotel Azela. Hotel Azela adalah salah satu hotel terkemuka di Autralia. Jadi kita harus menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin untuk menarik minat mereka terhadap perusahaan kita."
Saira tampak diam dan mencerna setiap bait kalimat yang disampaikn oleh Aksa pada bawahannya. Pria itu terlihat sangat berwibawa dengan semua yang dia sampaikan. Bahkan cara berpakaiannya juga terlihat berkelas. Namun, bukan itu poinnya, Saira harus bisa segera menyelesaikan tugasnya di sini lalu kembali ke Autralia. Ia sangat merindukan rumah serta orang tuanya.
"Rapatnya sudah bisa kita mulai, ya. Silakan Mina," ucap Aksa pada seorang wanita yang sudah bersiap di depan. Penamoilannya yang menawan, sangat menunjang, ditambah cara dia menyampaikan setiap kalimat sangat lugas dan mudah dipahami oleh mereka semuanya.
"Saya setuju dengan ide mengenai hotel yang akan dibangun di sini. Hanya saja, saya tidak suka dengan konsepnya. Alih-alih suasana mewah, kenapa tidak kita padukan antara kemewahan dengan alam. Saya rasa jika hanya mematok kemewahan, di sini sudah banyak hotel dengan kemewahan yang beragam. Namun, saya belum melihat yang ada varian nuansa di sini." komentar Saira panjang lebar.
Mereka yang hadir di sana tampak mengangguk setuju dengan apa yang disampaikan oleh Saira. Mereka menatap Aksa yang tamoak sedang menimbang sesuatu.
"Saya juga setuju dengan ide tersebut, tapi bagaimana kita bisa memadukan antara nuansa meqah dengan alam. Bagaimana caranya?" tanya Aksa penasaran.
Saira menatap mereka semua dengan wajah datarnya. Tidak.ada raut keramahan di sana. Baginya pekerjaan tidak ada unsur candaan atau yang melihatnya akan menganggap dia bisa diajak bermain-main.
"Saya sendiri sudah menyiapkan desainnya. Silakan dilihat dulu." Sara menyerahkan hasil desain bawahannya kepada Aksa.
Aksa tampak terpukai saat melihat desain tersebut. Seumur hidup, ia belum pernah melihat desain sebagus ini. Ia menatap Saira dengan wajah senang.
"Menurut saya desainnya sangat menarik dan bisa kita aplikasikan pada hotel ini. apalagi di Jakarta belum ada yang seperti ini."
Aksa menatap puas pada sekumpulan kertas tersebut yang disusun dengan sangat rapi.
"Rapat hari ini selesai, akan dilanjutkan dalam waktu dekat."
Beberapa petinggi lainnya segera keluar dari ruang rapat. Kini hanya tersisa Saira bersama sekretarisnya dan Aksa juga bersama sekretarisnya. Saira bangkit dan hendak meninggalkan ruangan tersebut. Namun, suara bariton Aksa menghentikannya.
"Nona Saira, apa kita bisa makan bersama?" tanya Aksa.
Saira sedikit yerkejut mendengar ajakan itu. Namun, mengingat perlakuan pria itu padanya dulu. Rasa sakit kembali menyelinap masuk ke sanubarinya. Ia menatap datar wajah Aksa yang tampak snagat berharap.
"Mohon maaf Pak Aksa, tapi saya sudah ada janji dengan orang lain! Saya permisi."
Saira segera bangun dari tempat duduknya, "Lusa masih bisa kan?"
Saira tidak menjawabnya. Ia lebih memilih pergi dari sana dengan segera. Amarah sudah merasuki jiwanya. Ia takut jika kemarahannya bisa membongkar semuanya dan ia tidak ingin hal itu terjadi. Di tengah perjalanan, Saira menanyakan sesuatu pada Alyne.
"Apa kerja sama ya tidak bisa dipersingkat, aku sudah merindukan rumah."
"Berdasarkan kesepakatan kerja serta fakta di lapangan, kemungkinan kita akan lebih lama tinggal di sini, Bu."
Saira mendesah, salahnya juga karena tidak teliti melihat kontraknya. Seharusnya dia tidak mengambil langkah yang gegabah. Namun, mau sampai kapan ia berada di bawah naungan kedua orang tuanya.
"Alyne, aku sangat bosan, kita pergi berbelanja saja."
Saira mengajak Alyne pergi ke Grand Indonesia untuk melepas kerinduannya semasa ia belum menikah. Semenjak menikah, tidak pernah sekali pun ia bisa menikmati keseruan mall dan berkumpul bersama teman-temannya. Kebanyakan dari mereka, memilih menjauh seolah dirinya adalah virus mematikan.
"Bu, apa Anda pernah ke Indonesia sebelumnya?" tanya Alyne.
Saira menganguk dan menghentikan langkahnya sejenak. "Dulu sekali."
Alyne menganguk paham dan segera mengambil mobil yang ia parkir di sisi kanan gedung sedangkan jalan keluarnya adalah di sisi kanan. Saira menunggu di depan gedung dengan wajah angkuh luar biasa. Ia segera berjalan mendekat ke arah mobilnya yang dikemudikan oleh Alyne.
"Nona Saira, tunggu!" seseorang berlari kecil dari arah lobi dan memanggilnya.
"Ada apa?" tanya Saira sambil menatap serius gadis tersebut.
"Maaf, Nona. Pak Aksa menyuruh Anda ke ruangannya, ada hal penting yang ingin beliau sampaikan."
Saira menghela napas kasar. Ia menundukkan kepalanya. "Alyne, kamu tunggu di sini sebengar, saya akan segera kembali."
"Baik, Bu."
Setelah itu ia mengikuti langkah kaki gadis tersebut menuju ruangan Aksa.
"Silakan, Bu."
Saira menganguk dan segera masuk ke dalam ruangan Aksa. Pria itu sedang mengerjakan sesuatu yang sangat serius sehingga tidak menyadari kedatangannya. Saira sendiri tidak ingin menghabiskan tenaganya untuk memberitahu kedatangannya. Ia duduk di sofa dengan angkuh dan menatap nyalang pada benda pipih yang sedang ia lihat.
Aksa sendiri masih sibuk dengan pekerjaannya. Ia berharap Saira menegurnya atau sekadar memberitahu kehadirannya. Namun, sudah lima menit lamanya gadis itu masih betah diam di tempatnya. Aksa menghela napas pelan dan menghentikan pekerjaannya. Ia menghampiri Saira yang duduk di sofa.
"Maaf, Nona Saira, saya menganggu Anda."
"Katakan saja apa yang Anda ingin bicarakan dengan saya."
Aksa menatap wajah Saira yang tampak tidak pernah bersahabat. Ia yakin gadis itu memang memiliki watak seperti itu. Ia hendak mengutarakan maksudnya. Namun, seseirang masuk ke dalam ruangan Aksa dengan tatapan marah.
"Maaf, Pak. Nona ini menerobos masuk," ucap sekretarisnya dengan sopan.
"Tidak apa-apa, kamu bisa kembali."
"Baik, Pak."
Saira masih sibuk dengan ponselnya. Ia tidak ingin ambil puding dengan mereka berdua yang seperti kekanakan. Tidak bisakah mereka membedakan antara pekerjaan dengan pribadi. Lalu suara itu membuat Saira mengalihkan tatapannya. Matanya membulat sempurna saat melihat wanit yang kini berdiri di hadapannya dan tampak sedang berbicara dengan Aksa.
"Izora, mengertilah, aku pasti akan ke sana tapi saat ini aku sedang kedatangan tamu."
Izora mengalihkan tatapannya pada Saira yang ditunjuk oleh Aksa. Alisnya mengerut tak suka saat melihat Saira tampak sangat tidak bersahabat. Saira bangun dari sofa dan menghampiri keduanya dengan tatapan datar. Sungguh pemandangan itu membuatnya sangat muak. Rasa sakit yang dulu mereka berikan padanya, tidak akan perna hilang. Ia tahu, dulu pernah berbuat kesalahan fatal dan mungkin Izora ingin membalasnya dengan hal yang sama.
"Maaf Pak Aksa, jika Anda memanggil saya kemari hanya untuk melihat drama murahan ini, maaf saya tidak tertarik. Permisi!"
Saira segera pergi dari sana dengan segala kebenciannya. Memangnya apa yang mau Aksa tunjukjan padanya. Apa dia mau mengejek Saira yang dulu, Saira yang lemah, Saira yang tertindas? Itu tidak akan pernah terjadi karena Saira bukanlah gadis yang sama lagi.
"Apa yang dia katakan barusan, apa dia tidak punya sopan santun?" kesal Izora saat melihat keeprgian Saira.
"Zora, kamu yang nggak punya sopan santun, masuk kemari dengan tiba-tiba." dengkus Aksa.
"Terus aku harus gimana lagi Aksa," ucapnya dan tubuh itu melorot perlahan ke lantai. Aksa menghela napas pelan dan ikut mensejajarkan tingginya dengan Izora.
"Aku harus gimana Aksa, aku sendirian," isaknya terdengar sangat menyakitkan.
"Ssttt, kamu masih punya aku, Tante dan Om. Kenapa bisa kamu merasa sendirian."
"Aku memang sendirian Aksa, semejak kepergoan Saira, tidak ada apa pun lagi yang tersisa di rumah. mama, Papa dan kamu terlena dengan urusan sendiri. Aku sendirian membangun kehidupanku."
Gadis itu terus menangis, Aksa segera memeluknya dan mengajaknya ke sofa. Ia juga tidak tega melihat Izora sekacau ini. Apalagi wanita yang kini di hadapannya, pernah menjadi wanita yang ia cintai. Ia sampai rela menghianati Saira demi bersama Izora. Mengingat hal itu hatinya berdetak tidak tentram. Kesalahannya sungguh tidak bisa termaafkan.
"Ya sudah, aku akan mengantarmu oulang, ayo!"
Mereka berdua segera keluar dari kantor tersebut. Aksa berharap ia masih bisa melihat sosok wanita dingin nan angkuh. Evellyn Ophelia.
Setelah di lantai dasar, Saira segera menghampiri Alyne ke mobil dan mereka segera pergi dari sana. Selang beberapa menit, Aksa sampai di lantai dasar dan matanya liar mencari sosok yang ia cari. Namun, tidak ia temukan.
"Kamu lagi nyari siapa?" tanya Izora penasaran. Pasalnya Aksa tampak sedang melihat ke segala sisi dengan mata tidak fokus.
"Enggak, aku lagi nyari OB tapi sepertinya dia tidak masuk. Mungkin karena sakit. Izora mengangguk dan mereka segera pergi dari sana.
"Apa kita jadi pergi ke Mall, Bu?" tanya Alyne.
"Jadi Alyne, aku sungguh sangat bosan dengan semuanya."
Alyne segera menuju mall yang ditunjukkan oleh gps. Setelah berada di depan gedung besar itu, Saira dan Alyne segera menuju parkiran. Mereka keluar dari mobil dan menuju lantai perbelanjaan. Sudah lama rasanya Saira tidak datang kemari. Terakhir saat ia belum menikah. Alyne dengan setia menemani Saira ke mana pun gadis itu pergi.
Tidak bisa diragukan, bahwa Saira sangat beruntung memiliki sekretaris yang seperti Alyne. Mereka sudah seperti dua saudara yang bertolak belakang. Jika Saira sosok yang dingin dan cuek, maka Alyne sebaliknya. Ia sangat ramah dan perhatian. Jika Saira diajak bicara oleh seseorang maka Alyne yang akan menjawabnya.
"Kamu kalau mau beli apa pun, ambil saja nanti aku yang bayar."
"Saya tidak ingin membeli apa pun, Bu."
"Kita lagi sedang tidak bekerja, panggil Saira saja."
Alyne menganguk patuh, ia tidak suka membantah ucapan atasannya.
Mereka berjalan-jalan ke lantai berikutnya. Saira bernostalgia saat dulu ia dan teman-tannya menghabiskan waktu di sini dengan canda tawa. Bahkan seolah dunia ini milik mereka.
"Alyne, kamu tahu nggak, bagaimana rasanya kalau ada teman yang meninggalkanmy hanya karena sebuah kesalahan. Mungkin memang besar. Tapi apa semua pertemanan seperti itu?" tanya Saira penasaran dengan jawaban apa yang akan diberikan oleh Alyne.
"Menurut saya, pertemanan tidak bisa diukur dari seberapa banyak kesalahan yang diperbuat seorang teman. Sebagai teman, kita harus terus memberinya dukungan. Itulah fungsinya seorang teman."
"Lalu, kalau ada teman yang meninggalkan temannya di saat terpuruk, bagaimana?" tanya Saira sangat penasaran.
"Itu artinya, dia bukan seorang teman. Dia hanya orang yang hadir hanya untuk mengisi kesenagan saja."
Saira menganguk paham sekarang, teman-temannya hanya ingin kesenangan darinya, saat Saira sedih mereka akan menghilang tanpa jejak. Bukankah selama ini dia sudah berteman dengan manusia munafik.
"Terima kasih Alyne," ucap Saira dengan tulus. Bagi Alyne, Saira adalah atasannya yang paling bisa dia abdikan hidupnya. Karena gafis itu selalu mengutamakan pekerjaan tanpa perasaan pribadi seperti atasannya yang sebelumnya.
"Alyne, kamu belum pernah coba makanan Indonesia kan?"
"Belum Ra," ucapnya sedikit keki.
"Kalau begitu kita akan makan masakan Indonesia sepuasnya."
Untuk pertama kalinya Alyne melihat Saira tertawa, untuk pertama kalinya juga Alyne melihat Saira tersenyum tulus. Ia tidak tahu apa yang sudah dialami oleh gafis itu. Tapi Alyne berjanji, apa pun yang terjadi ia akan selalu setia berdiri di samoing Saira. Meski sosoknya terlihat sangat cuek dan dingin. Nyatanya, saat ini Alyne melihat sosok yang lain sedang tertawa lepas.
"Alyne ayo," ucap Saira dan mereka segera menuji sebuah restoran yang menyediakan berbagai macam jenis makanan. Mulai dari makana khas Indonesia sampai western food.
Setelah mereka menunggu lebih dari dua puluh menit, akhirnya makanan sampai juga, di restoran tempat mereka sedang menyantap makanan khas Indonesia memang selalu ramai. Itu semenjak Saira sering datang kemari. Bukan karena kemewahannya. Tapi karena cita rasa uang disajikan sangat berbeda demgan restoran lainnya. Mereka memesan sate kambing, ayam goreng cobek ijo, sup iga, cumi oseng cabe ijo, gurame penyet.
Sudah lama Saira merindukan makanan kesukaannya. Mereka berdua makan dengan lahap.
"Ini pertama kalinya aku mencicipi masakan Indonesia dan rasanya sangat enak." puji Alyne.
"Apa yang paling kamu sukai dari semua ini?" tanya Saira sambil mencomot minumanya.
"Gurame penyet dan sup Iga. Aku menyukai keduanya, terus porsinya juga banyak," ucap Alyne dengan jujur. Saira tertawa mendengar ucapan Alyne yang terlalu jujur mengenai porsi.
Andai Saira memiliki teman seperti Alyne, mungkin gadis itu bisa bertahan dari semua kesedihannya. Namun, dia benar-benar seorang diri.
---------
"Selamat pagi, Bu Evellyn." sapa resepsionis mereka dengan sopan.
Saira tidak memberikan jawaban sama sekali. Semua diwakili oleh Alyne sebagai sekretarisnya. Ia tidak akan pernah menunjukkan siapa sifat ramah tamah. Karena sifat itu pernah membuatnya berada dalam neraka.
"Mari, Bu. Saya akan mengantar keruangan Pak Aksa."
Seorang wanita membawa mereka ke sebuah ruangan yang berbeda dari kemarin. Kini mereka berada di ruangan rapat khusus. Aksa menunggu dengan tenang di ruangannya. Ia tidak sabar ingin melihat wajah wanita yang sudah membuat jantungnya berdetak dua kali lipat. Perasaannya berbeda saat pertama kali bertemu Izora.
"Silakan, Nona Evellyn." wanita dengan setelan baju kuning dipadukan rok span selutut dengan warna hitam. Rambit ikalnya digerai indah dan tertata dengan rapi.
Saira memasuki ruang rapat tersebut. Di sana sudah banyak yang hadir dan Saira menyapa mereka dengan profesional. Hal itu membuat Aksa keheranan. Pasalnya kemarin saat mereka bertemu, Saira tidak seramah seperti sekarang. Padahal di sini dialah pemimpinnya.
"Terima kasih sudah hadir tepat waktu, kita kedatangan tamu dari hotel Azela. Hotel Azela adalah salah satu hotel terkemuka di Autralia. Jadi kita harus menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin untuk menarik minat mereka terhadap perusahaan kita."
Saira tampak diam dan mencerna setiap bait kalimat yang disampaikn oleh Aksa pada bawahannya. Pria itu terlihat sangat berwibawa dengan semua yang dia sampaikan. Bahkan cara berpakaiannya juga terlihat berkelas. Namun, bukan itu poinnya, Saira harus bisa segera menyelesaikan tugasnya di sini lalu kembali ke Autralia. Ia sangat merindukan rumah serta orang tuanya.
"Rapatnya sudah bisa kita mulai, ya. Silakan Mina," ucap Aksa pada seorang wanita yang sudah bersiap di depan. Penamoilannya yang menawan, sangat menunjang, ditambah cara dia menyampaikan setiap kalimat sangat lugas dan mudah dipahami oleh mereka semuanya.
"Saya setuju dengan ide mengenai hotel yang akan dibangun di sini. Hanya saja, saya tidak suka dengan konsepnya. Alih-alih suasana mewah, kenapa tidak kita padukan antara kemewahan dengan alam. Saya rasa jika hanya mematok kemewahan, di sini sudah banyak hotel dengan kemewahan yang beragam. Namun, saya belum melihat yang ada varian nuansa di sini." komentar Saira panjang lebar.
Mereka yang hadir di sana tampak mengangguk setuju dengan apa yang disampaikan oleh Saira. Mereka menatap Aksa yang tamoak sedang menimbang sesuatu.
"Saya juga setuju dengan ide tersebut, tapi bagaimana kita bisa memadukan antara nuansa meqah dengan alam. Bagaimana caranya?" tanya Aksa penasaran.
Saira menatap mereka semua dengan wajah datarnya. Tidak.ada raut keramahan di sana. Baginya pekerjaan tidak ada unsur candaan atau yang melihatnya akan menganggap dia bisa diajak bermain-main.
"Saya sendiri sudah menyiapkan desainnya. Silakan dilihat dulu." Sara menyerahkan hasil desain bawahannya kepada Aksa.
Aksa tampak terpukai saat melihat desain tersebut. Seumur hidup, ia belum pernah melihat desain sebagus ini. Ia menatap Saira dengan wajah senang.
"Menurut saya desainnya sangat menarik dan bisa kita aplikasikan pada hotel ini. apalagi di Jakarta belum ada yang seperti ini."
Aksa menatap puas pada sekumpulan kertas tersebut yang disusun dengan sangat rapi.
"Rapat hari ini selesai, akan dilanjutkan dalam waktu dekat."
Beberapa petinggi lainnya segera keluar dari ruang rapat. Kini hanya tersisa Saira bersama sekretarisnya dan Aksa juga bersama sekretarisnya. Saira bangkit dan hendak meninggalkan ruangan tersebut. Namun, suara bariton Aksa menghentikannya.
"Nona Saira, apa kita bisa makan bersama?" tanya Aksa.
Saira sedikit yerkejut mendengar ajakan itu. Namun, mengingat perlakuan pria itu padanya dulu. Rasa sakit kembali menyelinap masuk ke sanubarinya. Ia menatap datar wajah Aksa yang tampak snagat berharap.
"Mohon maaf Pak Aksa, tapi saya sudah ada janji dengan orang lain! Saya permisi."
Saira segera bangun dari tempat duduknya, "Lusa masih bisa kan?"
Saira tidak menjawabnya. Ia lebih memilih pergi dari sana dengan segera. Amarah sudah merasuki jiwanya. Ia takut jika kemarahannya bisa membongkar semuanya dan ia tidak ingin hal itu terjadi. Di tengah perjalanan, Saira menanyakan sesuatu pada Alyne.
"Apa kerja sama ya tidak bisa dipersingkat, aku sudah merindukan rumah."
"Berdasarkan kesepakatan kerja serta fakta di lapangan, kemungkinan kita akan lebih lama tinggal di sini, Bu."
Saira mendesah, salahnya juga karena tidak teliti melihat kontraknya. Seharusnya dia tidak mengambil langkah yang gegabah. Namun, mau sampai kapan ia berada di bawah naungan kedua orang tuanya.
"Alyne, aku sangat bosan, kita pergi berbelanja saja."
Saira mengajak Alyne pergi ke Grand Indonesia untuk melepas kerinduannya semasa ia belum menikah. Semenjak menikah, tidak pernah sekali pun ia bisa menikmati keseruan mall dan berkumpul bersama teman-temannya. Kebanyakan dari mereka, memilih menjauh seolah dirinya adalah virus mematikan.
"Bu, apa Anda pernah ke Indonesia sebelumnya?" tanya Alyne.
Saira menganguk dan menghentikan langkahnya sejenak. "Dulu sekali."
Alyne menganguk paham dan segera mengambil mobil yang ia parkir di sisi kanan gedung sedangkan jalan keluarnya adalah di sisi kanan. Saira menunggu di depan gedung dengan wajah angkuh luar biasa. Ia segera berjalan mendekat ke arah mobilnya yang dikemudikan oleh Alyne.
"Nona Saira, tunggu!" seseorang berlari kecil dari arah lobi dan memanggilnya.
"Ada apa?" tanya Saira sambil menatap serius gadis tersebut.
"Maaf, Nona. Pak Aksa menyuruh Anda ke ruangannya, ada hal penting yang ingin beliau sampaikan."
Saira menghela napas kasar. Ia menundukkan kepalanya. "Alyne, kamu tunggu di sini sebengar, saya akan segera kembali."
"Baik, Bu."
Setelah itu ia mengikuti langkah kaki gadis tersebut menuju ruangan Aksa.
"Silakan, Bu."
Saira menganguk dan segera masuk ke dalam ruangan Aksa. Pria itu sedang mengerjakan sesuatu yang sangat serius sehingga tidak menyadari kedatangannya. Saira sendiri tidak ingin menghabiskan tenaganya untuk memberitahu kedatangannya. Ia duduk di sofa dengan angkuh dan menatap nyalang pada benda pipih yang sedang ia lihat.
Aksa sendiri masih sibuk dengan pekerjaannya. Ia berharap Saira menegurnya atau sekadar memberitahu kehadirannya. Namun, sudah lima menit lamanya gadis itu masih betah diam di tempatnya. Aksa menghela napas pelan dan menghentikan pekerjaannya. Ia menghampiri Saira yang duduk di sofa.
"Maaf, Nona Saira, saya menganggu Anda."
"Katakan saja apa yang Anda ingin bicarakan dengan saya."
Aksa menatap wajah Saira yang tampak tidak pernah bersahabat. Ia yakin gadis itu memang memiliki watak seperti itu. Ia hendak mengutarakan maksudnya. Namun, seseirang masuk ke dalam ruangan Aksa dengan tatapan marah.
"Maaf, Pak. Nona ini menerobos masuk," ucap sekretarisnya dengan sopan.
"Tidak apa-apa, kamu bisa kembali."
"Baik, Pak."
Saira masih sibuk dengan ponselnya. Ia tidak ingin ambil puding dengan mereka berdua yang seperti kekanakan. Tidak bisakah mereka membedakan antara pekerjaan dengan pribadi. Lalu suara itu membuat Saira mengalihkan tatapannya. Matanya membulat sempurna saat melihat wanit yang kini berdiri di hadapannya dan tampak sedang berbicara dengan Aksa.
"Izora, mengertilah, aku pasti akan ke sana tapi saat ini aku sedang kedatangan tamu."
Izora mengalihkan tatapannya pada Saira yang ditunjuk oleh Aksa. Alisnya mengerut tak suka saat melihat Saira tampak sangat tidak bersahabat. Saira bangun dari sofa dan menghampiri keduanya dengan tatapan datar. Sungguh pemandangan itu membuatnya sangat muak. Rasa sakit yang dulu mereka berikan padanya, tidak akan perna hilang. Ia tahu, dulu pernah berbuat kesalahan fatal dan mungkin Izora ingin membalasnya dengan hal yang sama.
"Maaf Pak Aksa, jika Anda memanggil saya kemari hanya untuk melihat drama murahan ini, maaf saya tidak tertarik. Permisi!"
Saira segera pergi dari sana dengan segala kebenciannya. Memangnya apa yang mau Aksa tunjukjan padanya. Apa dia mau mengejek Saira yang dulu, Saira yang lemah, Saira yang tertindas? Itu tidak akan pernah terjadi karena Saira bukanlah gadis yang sama lagi.
"Apa yang dia katakan barusan, apa dia tidak punya sopan santun?" kesal Izora saat melihat keeprgian Saira.
"Zora, kamu yang nggak punya sopan santun, masuk kemari dengan tiba-tiba." dengkus Aksa.
"Terus aku harus gimana lagi Aksa," ucapnya dan tubuh itu melorot perlahan ke lantai. Aksa menghela napas pelan dan ikut mensejajarkan tingginya dengan Izora.
"Aku harus gimana Aksa, aku sendirian," isaknya terdengar sangat menyakitkan.
"Ssttt, kamu masih punya aku, Tante dan Om. Kenapa bisa kamu merasa sendirian."
"Aku memang sendirian Aksa, semejak kepergoan Saira, tidak ada apa pun lagi yang tersisa di rumah. mama, Papa dan kamu terlena dengan urusan sendiri. Aku sendirian membangun kehidupanku."
Gadis itu terus menangis, Aksa segera memeluknya dan mengajaknya ke sofa. Ia juga tidak tega melihat Izora sekacau ini. Apalagi wanita yang kini di hadapannya, pernah menjadi wanita yang ia cintai. Ia sampai rela menghianati Saira demi bersama Izora. Mengingat hal itu hatinya berdetak tidak tentram. Kesalahannya sungguh tidak bisa termaafkan.
"Ya sudah, aku akan mengantarmu oulang, ayo!"
Mereka berdua segera keluar dari kantor tersebut. Aksa berharap ia masih bisa melihat sosok wanita dingin nan angkuh. Evellyn Ophelia.
Setelah di lantai dasar, Saira segera menghampiri Alyne ke mobil dan mereka segera pergi dari sana. Selang beberapa menit, Aksa sampai di lantai dasar dan matanya liar mencari sosok yang ia cari. Namun, tidak ia temukan.
"Kamu lagi nyari siapa?" tanya Izora penasaran. Pasalnya Aksa tampak sedang melihat ke segala sisi dengan mata tidak fokus.
"Enggak, aku lagi nyari OB tapi sepertinya dia tidak masuk. Mungkin karena sakit. Izora mengangguk dan mereka segera pergi dari sana.
"Apa kita jadi pergi ke Mall, Bu?" tanya Alyne.
"Jadi Alyne, aku sungguh sangat bosan dengan semuanya."
Alyne segera menuju mall yang ditunjukkan oleh gps. Setelah berada di depan gedung besar itu, Saira dan Alyne segera menuju parkiran. Mereka keluar dari mobil dan menuju lantai perbelanjaan. Sudah lama rasanya Saira tidak datang kemari. Terakhir saat ia belum menikah. Alyne dengan setia menemani Saira ke mana pun gadis itu pergi.
Tidak bisa diragukan, bahwa Saira sangat beruntung memiliki sekretaris yang seperti Alyne. Mereka sudah seperti dua saudara yang bertolak belakang. Jika Saira sosok yang dingin dan cuek, maka Alyne sebaliknya. Ia sangat ramah dan perhatian. Jika Saira diajak bicara oleh seseorang maka Alyne yang akan menjawabnya.
"Kamu kalau mau beli apa pun, ambil saja nanti aku yang bayar."
"Saya tidak ingin membeli apa pun, Bu."
"Kita lagi sedang tidak bekerja, panggil Saira saja."
Alyne menganguk patuh, ia tidak suka membantah ucapan atasannya.
Mereka berjalan-jalan ke lantai berikutnya. Saira bernostalgia saat dulu ia dan teman-tannya menghabiskan waktu di sini dengan canda tawa. Bahkan seolah dunia ini milik mereka.
"Alyne, kamu tahu nggak, bagaimana rasanya kalau ada teman yang meninggalkanmy hanya karena sebuah kesalahan. Mungkin memang besar. Tapi apa semua pertemanan seperti itu?" tanya Saira penasaran dengan jawaban apa yang akan diberikan oleh Alyne.
"Menurut saya, pertemanan tidak bisa diukur dari seberapa banyak kesalahan yang diperbuat seorang teman. Sebagai teman, kita harus terus memberinya dukungan. Itulah fungsinya seorang teman."
"Lalu, kalau ada teman yang meninggalkan temannya di saat terpuruk, bagaimana?" tanya Saira sangat penasaran.
"Itu artinya, dia bukan seorang teman. Dia hanya orang yang hadir hanya untuk mengisi kesenagan saja."
Saira menganguk paham sekarang, teman-temannya hanya ingin kesenangan darinya, saat Saira sedih mereka akan menghilang tanpa jejak. Bukankah selama ini dia sudah berteman dengan manusia munafik.
"Terima kasih Alyne," ucap Saira dengan tulus. Bagi Alyne, Saira adalah atasannya yang paling bisa dia abdikan hidupnya. Karena gafis itu selalu mengutamakan pekerjaan tanpa perasaan pribadi seperti atasannya yang sebelumnya.
"Alyne, kamu belum pernah coba makanan Indonesia kan?"
"Belum Ra," ucapnya sedikit keki.
"Kalau begitu kita akan makan masakan Indonesia sepuasnya."
Untuk pertama kalinya Alyne melihat Saira tertawa, untuk pertama kalinya juga Alyne melihat Saira tersenyum tulus. Ia tidak tahu apa yang sudah dialami oleh gafis itu. Tapi Alyne berjanji, apa pun yang terjadi ia akan selalu setia berdiri di samoing Saira. Meski sosoknya terlihat sangat cuek dan dingin. Nyatanya, saat ini Alyne melihat sosok yang lain sedang tertawa lepas.
"Alyne ayo," ucap Saira dan mereka segera menuji sebuah restoran yang menyediakan berbagai macam jenis makanan. Mulai dari makana khas Indonesia sampai western food.
Setelah mereka menunggu lebih dari dua puluh menit, akhirnya makanan sampai juga, di restoran tempat mereka sedang menyantap makanan khas Indonesia memang selalu ramai. Itu semenjak Saira sering datang kemari. Bukan karena kemewahannya. Tapi karena cita rasa uang disajikan sangat berbeda demgan restoran lainnya. Mereka memesan sate kambing, ayam goreng cobek ijo, sup iga, cumi oseng cabe ijo, gurame penyet.
Sudah lama Saira merindukan makanan kesukaannya. Mereka berdua makan dengan lahap.
"Ini pertama kalinya aku mencicipi masakan Indonesia dan rasanya sangat enak." puji Alyne.
"Apa yang paling kamu sukai dari semua ini?" tanya Saira sambil mencomot minumanya.
"Gurame penyet dan sup Iga. Aku menyukai keduanya, terus porsinya juga banyak," ucap Alyne dengan jujur. Saira tertawa mendengar ucapan Alyne yang terlalu jujur mengenai porsi.
Andai Saira memiliki teman seperti Alyne, mungkin gadis itu bisa bertahan dari semua kesedihannya. Namun, dia benar-benar seorang diri.
---------
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved