Bab 9 Kerinduan Semu
by Hairunnisa Ys
09:40,Dec 09,2020
Aksa menggebrak meja dengan kasar. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa memiliki karyawan yang tidak kompeten sama sekali. Dengan jabatan setinggi itu, tapi tidak ada masalah satu pun yang beres di tangannya. Kini mereka harus kehilangan salah satu investor yang menjadi incaran para pengusaha. Itu semua karena kelalaian bawahannya.
"Bagaimana bisa ini terjadi, hah!" teriaknya lantang di meja rapat. "Kalian tidak bisa menangani masalah seperti ini!"
Semua yang berada di sana tertunduk diam menerima amukan Aksa. Ini semua memang kelalaian mereka yang salah memprediksi kedatangan investor tersebut. Uniknya, investor tersebut selalu menyamar untuk kengetahui bagaimana citra perusahaan tempat ia akan menanam modal. Lalu kemarin, investor itu datang dengan pakaian sederhana dan diusir dari lobi oleh resepsionisnya dengan kasar.
"Kau!" tunjuknya pada pria dengan kumis tebal. "Apa kau tidak bisa melihat sikap seorang pekerja, sampai menerimanya bekerja di sini hah!"
"Maaf, Pak. Ini tidak akan terulang lagi," ucapnya dengan takut-takut.
"Tentu saja, sekarang kau pecat resepsionis itu atau karirmu yang akan kuhancurkan!"
"Ba ... baik, Pak."
"Saya tidak mau lagi mendengar ada kesalahan di perusahaan ini. Kalian di sini dibayar mahal, kerja yang becus!"
Selesai dengan kalimatnya, ia segera meninggalkan ruang rapat dengan kemarahan yang sudah di puncak ubun-ubunnya. Ia bahkan menutup pintu ruangannya dengan kasar. Sektetarisnya sampai dibuat menggigil. Aksa duduk di kursi kebesarannya, lalu menutup sejenak kedua matanya. Tawa dan tangisan istrinya selalu terngiang di telinganya.
"Saira, aku kangen sama kamu," ucapnya lirih.
Hanya saat sendirian ia akan menghabiskan waktu untuk mengenang sang istri. Ia akan menangis sampai semalaman jika sedang libur. Bahkan tidak ada siapa pun yang bisa menganggunya. Semenjak kepergian Saira, ia menjadi pria tertutup dan gila akan pekerjaannya. Siang dan malam ia habiskan waktu untuk bekerja. Jika dulu Izora adalah prioritasnya, maka saat ini pekerjaan adalah nomor satu. Ia bahkan sudah lupa dengan rencana pernikahan mereka.
"Sayang, setidaknya kunjungi aku melalui mimpi. Apa sebegitu bencinya kamu sampai tidak ingin menghampiriku?" tanya Aksa lirih.
Yang paling menyakitkan dari semua itu adalah, tidak ada kenangan apa pun yang tertinggal. Jika ada sepotong baju, ia akan memeluknya setiap malam. Ia sangat merindukan Saira. Hanya sepotong poto yang tersisa. Itu juga diambil tanpa sengaja dan bentuknya sangat buram. Itu dia cetak dengan ukuran besar dan digantung di ruangannya.
Sebuah ketukan mengalihkan atensinya, ia segera menghapus air matanya lalu kembali memasang wajah dingin.
"Masum!" perintahnya tegas.
Seorang gadis dengan pakaian yang terbilang sopan, lalu kaca mata besar bertengger di sana. Ia membawa sebuah berkas.
"Maaf, Pak. Ini berkas yang Bapak minta tadi pagi," ucapnya sambil menyerahkan berkas tersebut.
"Ada lagi?" Tanyanya datar tanpa ekspresi.
"Minggu depan, kita akan kedatangan tamu istimew dari Autralia. Perusahaan beliau bergerak di bidang perhotelan. Namun, mereka tertarik dengan konsep perusahaan kita Pak."
"Baik, kau boleh pergi."
Gadis itu pergi dengan jantung berdegup kencang. Bukan karena terpikat ketampanan Aksa, melainkan ia sedang berusaha agar tidak membuat kesalahan. Di antara semua pekerjanya, bagi Aksa hanya sekretarisnya yang bekerja dngan becus. Ia juga sengaja memilih sekretaris yang biasa saja. Ia tidak suka melihat sekretaris dengan label wanita malam.
--------
Hari pertama Saira bertugas, ia membuat sebuah peraturan yang ketat. Hal ini sengaja dia terapkan untuk meminimalisir kesalahan bawahannya. Saat pertama dia memasuki hotel ini, banyak karyawan yang tidak memiliki attitide yang sesuai dengan pelayanan prima. Sebagai pelayan, harus bisa bersikap selayaknya.
Terbukti, ada beberapa karyawan yang diketahui bermasalah dengan waktu dan selama ini ditutupi oleh manajernya. Lantaran mereka berdua memiliki kecantikan di atas rata-rata. Namun, bagi Saira yang paling utama adalah sikap dan melayani tamu dengan baik. Tapi Saura masih memberikan kesempatan ada keduanya, ia akan melihat sejauh mana mereka akan bertindak.
"Alyne, apa jadwal saya selanjutnya?" Saira masih terlihat sibuk memeriksa beberapa berkas dengan jeli.
"Akan ada meeting bersama Tuan Alex dari hotel Acia pukul empat sore, Bu. Tempatnya di Manise Cafe," ucapnya dengan sopan.
"Kau boleh pergi," ucapnya dan Alyne segera keluar dan melanjutkan kembali tugasnya.
Saira merebahkan diri di kursi kebesarannya. Ingatan kembali berkelana menuju Indonesia. Jantungnya masih berdetak abnormal saat mengingat nama negara kelahirannya. Banyak teraimpan luka yang tidak akan pernah sembuh oleh apa pun. Dua minggu lagi ia akan terbang ke sana untuk menjalin kerja sama dia ngan perusahaan mantan suaminya. Ia sebenarnya tidak ingin melakukannya. Namun, sebagai seorang pebisnis, ia harus bersikap profesional.
"Ini akan sangat melelahkan," gumamnya sambil menutup mata pelan. Ia ingin sekali menghapus semua memori yang tersangkut di kepalanya.
Hari sudah menjelang malam dan Saira memutuskan untuk segera kembali ke rumahnya. Ia menemui sekretarisnya yang masih berada di sana. Prinsip gadia itu, baru akan pulang setelah bos besarnya pulang.
"Kamu belum pulang Alyne?" tanya Saira.
"Saya menunggu Ibu pulang terlebih dahulu," ucapnya sopan.
"Ya sudah kalau begitu, ayo kita pulang. Di mana rumahmu? Aku akan mengantarnya."
"Tidak perlu Bu, saya bisa pulang sendiri."
"Kalau begitu saya duluan."
Saira segera pergi keninggalkan sekretarisnya sambil menggelengkan kepala. Ia juga tidak mau ambil pusing mengenai gadis itu. Dengan mengendarai mobil kesayangannya ia kini suda sampai di mansionnya. Seorang pembantu segera membuka pintu. Sesampainya di ruang tamu, ia disambut oleh sebuah drama yang sangat membuatnya muak.
"Ada apa ini?" tanya Saira dingin. Matanya menatap tajam pada dua sosok yang kini sedang menangis.
"Sayang, katakan sama Tantemu kalau kamu tidak pernah membencinya." Halena terdengar memohon dan hal itu memuat Saira tidak senang.
"Aku memang tidak pernah menyukai semua orang yang tinggal di rumah ini." begitu dingin dan menusuknya kalimat yang Saira ucapkan dengan satu tarikan napas.
"Kau lihat Kakak, putrimu memang tidak pernah menyukaiku. Apa salahku selama ini padanya."
William tampak menghampiri Saira dengan tatapan tajam, akan tetapi bukan Saira namanya jika tidak bisa melakukan hal yang sama. Ayahnya sudah salah memihak orang yang menyebabkan putrinya meninggal.
"Cepat minta maaf sama Bibimu!"
"Aku akan meminta maaf jika sudah berbuat salah. Tapi Pa, aku sama sekali tidak melakukan apa pun pada mereka."
Hal itu semakin membuat William marah besar, bagaimana bisa putrinya yang sangat lemah lembut, berubah menjadi orang yang keras kepala.
"Kalau kamu keras kepala, Papa akan membuatmu menyesal. Cepat minta maaf pada Bibimu!" peringat William dengan tegas. Terlihat dari nadanya ia tidak suka dibantah.
Halena menghampiri putrinya dan menatap memohon agar mengalah dengan ayahnya. Namun, sebuah senyuman sinis terukir dari bibir ranum miliknya. Ia mendekati William dan tersenyum mematikan.
"Jika ada yang akan menyesal, itu bukan aku tapi Papa. Jika Papa terus memaksaku melakukannya, aku akan pergi jauh meninggalkan kalian semuanya!"
Ancaman Saira tampaknya membuat Willian terdiam dan Halena menangis. "Tidak, Mama tidak akan membiarkan hal itu terjadi, kamu anaknya Mama satu-satunya."
"Kalau begitu, Mama harus bisa pilih aku atau Bibi Tasma."
Mata Tasma membulat sempurna, ia sudah salah mengambil jalan kali ini. Ia harus bisa memutar keadaan agar tidak merugikan mereka. Ia dengan cepat berjalan ke arah Saira dengan mata berkaca-kaca.
Kali ini berkat orang tuanya, ia kembali selamat saat Saira memaafkan Tasma karena melihat ayahnya terlihat memohon. Entahlah, bagi Saira orang tua Evellyn terlalu gampang dibodohi. Tidak heran nyawa putriny sendiri bisa dilenyapkan dengan mudah tanpa menimbulkan kecurigaan. Saira harus membalaskan kematian Evellyn agar gadis itu tenang di alamnya. Ia tidak akan menjadi pembunuh untuk melakukan itu semua. Bukankah, permainan licik dibalas dengan licik?
"Bu, rapatnya akan segera dimulai," ucap Alyne dengan sopan.
Saira menganguk dan segera berjalan menuju ruang rapat. Selama ia menjabat sebagai pemimpin di hotel ini. Semua karyawan yang bersikap tidak sopan tidak ada lagi. Bukan ia mengatakan ayahnya tidak becus mengurus hotel ini, hanya saja hotel ini dipimpin oleh orang yang salah. Yaitu orang kepercayaan ayahnya.
Ia memasuki ruang rapat dengan wajah andalannya. Mata tajamnya menyusuri setiap kursi dan matanya terpaku pada sebuah kursi kosong di ujung ruangan. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Keluarkan kursi dari ruang rapat setelah saya selesai meeting!"
Suara yang menusuk sampai ketulang, terdengar sangat mengerikan di setiap telinga mereka yang hadir di sana.
"Saya tidak akan mentolerir siapa pun yang bekerja sesuka hati. Ini perusahaan besar, bukan kedai kaki lima yang bisa datang sesuka hati!"
"Alyne, rapatnya bisa kita mulai!"
Selama sepuluh menit, wanita dengan lipstik merah menyala menjelaskan sesuatu yang membuat Saira mengurut pelipisnya. Tatapan tajam tampak mengikuti wanita yang diperkirakan sudah berusia tiga puluh tahun itu.
"Apa hanya ini yang bisa kau presentasikan?" tanya Saira datar.
Semua yang hadir di sana tampak gemetar dengan proposal yang sedang mereka pegang saat ini.
"Apa kamu pikir metode yang coba kamu terapkan bisaenguntungkan hotel ini?"
"Bisa Bu, metode saya belum pernah dipakai oleh hotel mana pun," ucapnya dengan bangga.
"Kalau begitu, katakan dari mana ide itu mulanya tercetus sampai kamu berani menyampaikannya."
Tampak bibirnya sedikit mulai mengering. Bagaimana bisa ia menjawab sesuatu yang bukan hasil dari pemikirannya. Saira tersenyum dan menggebrak meja dengan kasar. Semua yang hadir di sana tampak sangat kaget melihat reaksi yang diberikan olehnya.
"Jika kau terus melakukan hal seperti ini, maka hari ini juga aku bisa memecatmu!"
"Tidak, Bu, jangan pecat saya." pintanya dengan permohonan.
"Kalian bekerja di bawah kepemimpinanku, segala peraturan yang kuterapkan harus kalian patuhi, mengerti!"
Gadis itu menjawab dengan nada bergetar. Air mata hampir tumpah saat dirinya dipermalukan oleh Saira. Namun, ia hanya mampu memendam semuanya dengan rapat.
"Rapat hari ini selesai! Jika bahannya masih sampah seperti ini maka kalian semua akan saya pecat!"
Setelah selesai, Saira keluar diikuti oleh Alyne. Sesampainya di ruang rapat, Saira duduk di sofanya dan mengurut pelipis. Matanya melihat sebuah kalender kecil yang selalu ia letakkan di samping mejanya. Ia bangkit perlahan lalu mengambilnya.
"Besok aku akan pergi ke Indonesia, tempat yang memberiku banyak luka." desahnya.
Ia menekan tombol telpon "Apa tiketku untuk besok sudah dapat?"
"Sudah, Bu."
"Terima kasih Alyne."
"Sama-sama, Bu."
-----------
"Sayang, Mama belum pernah berpisah sejauh ini sama kamu. Apalagi kamu mengunjungi Indonesia selama dua bulan lamanya." Halena tampak sangat sedih mengetahui kepergian putrinya.
"Ma, Eve kesana untuk urusan kerja," ucap Saira pelan.
"Tapi tetap saja Mama tidak akan tenang selama kamu jauh sama Mama."
"Pa, lihatlah Mama. Usianya sudah tidak lagi muda tapi masih suka merengek seperti ini." Saira mengejek ibunya dengan candaan renyah. Bibir ibunya sampai merengut seperti anak kecil.
"Sayang, putri kita ke Indonesia hanya du minggu dan tidak akan lama di sana. Apa yang harus kamu khawatirkan. Lagi pula dia kesana karena urusan pekerjaan."
"Tapi tetap aja Pa, bagaimana ia akan makan nantinya, siapa yang akan menyediakan sarapannya."
William menghela napas panjang melihat rengekan istrinya. Ia menelpon seseorang.
"Jason, Belikan rumah di Indonesia yang paling nyaman beserta pembantunya."
"Papa, kenapa sampai harus membeli rumah, aku hanya sebentar di sana."
"Tidak apa-apa sayang, mana tahu nanti kita masih ke sana kan?"
Jantung Saira berdetak menggila. Mendengar nama Indonesia saja sudah membuatnya gelisah. Ditambah ayahnya sudah membeli rumah di sana. Ia tidak tahu apa takdir berperan di sini.
"Sayang, seperti yang Papamu katakan, kita mungkin akan kesana lagi kapan-kapan. Bukankah Papamu sangat romantis sebagai suami dan sebagai seorang ayah."
Setelah mengatakan hal itu, Halena tampak senang dan memeluk suaminya dengan sayang.
"Aku sangat mencintaimu."
"Aku tahu itu." William tersenyum sambil menjawil hidung istri tercintanya.
Keduanya tertawa dan Saira sangat bahagia melihat semua itu. "Eve, kamu sangat beruntung karena memiliki orang tua seperti mereka. Namun, nasibmu sungguh sial karena memiliki bibi seperti dia." batinnya.
"Sayang, kamu hati-hati di sana ya, jangan lupa mengabari Mama."
"Alyne, jaga Eve ya. Jangan sampai dia sakit."
"Baik, Nyonya."
Saira tersenyum dan memeluk Halena dan William. Setelah itu ia melambaikan tangan pada keduanya. Alyne dengan setia menemani Saira.
Kini Saira sudah berada di bandara Soekarno hatta setelah perjalanan yang memakan waktu selama belasan jam. Ia melihat papan nama yang menjemput mereka ke sana. Padahal ia tidak memerlukan itu semua, karena Saira hapal seluk beluk Jakarta.
"Selamat datang, Nona." sapa pria tersebut dengan sopan.
"Terima kasih," ucap Alyne. Mereka berdua mengikuti pria itu menuju tempat parkir dan segera meluncur menuju kediaman Saira yang baru saja dibeli oleh ayahnya. Mereka segera merehatkan tubuh yang terasa sangat melelahkan.
Di sudut rumah lainnya, Aksa merasakan jantungnya berdegup kenjang semenjak kemarin. Ia bahkan sempat memeriksa jantungnya, takut mengalami gagal jantung. Namun, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan sama sekali. Hingga saat ini jantungnya masih betah berdegup kencang. Ia ingat, besok akan kedatangan tamu dari Autralia.
"Sayang, dalam hidupku, aku hanya berharap Tuhan memberiku sebuah keajaiban." matanya tersenyum menatap pigura satu-satunya yang ia miliki.
"Apa ini salah satu hukuman darimu, kamu bahkan tidak menyisakan satu hal pun tentangmu untuk bisa kuingat dan kukenang."
Ingatannya selalu kembali pada saat sosok tubuh kaki dimasukkan ke dalam liang lahat. Wajah yang terlihat damai dan bibir tersenyum. Seolah ia sangat bahagia meninggalkan dunia ini.
"Sayang, aku sangat merindukan kamu."
-------
"Bagaimana bisa ini terjadi, hah!" teriaknya lantang di meja rapat. "Kalian tidak bisa menangani masalah seperti ini!"
Semua yang berada di sana tertunduk diam menerima amukan Aksa. Ini semua memang kelalaian mereka yang salah memprediksi kedatangan investor tersebut. Uniknya, investor tersebut selalu menyamar untuk kengetahui bagaimana citra perusahaan tempat ia akan menanam modal. Lalu kemarin, investor itu datang dengan pakaian sederhana dan diusir dari lobi oleh resepsionisnya dengan kasar.
"Kau!" tunjuknya pada pria dengan kumis tebal. "Apa kau tidak bisa melihat sikap seorang pekerja, sampai menerimanya bekerja di sini hah!"
"Maaf, Pak. Ini tidak akan terulang lagi," ucapnya dengan takut-takut.
"Tentu saja, sekarang kau pecat resepsionis itu atau karirmu yang akan kuhancurkan!"
"Ba ... baik, Pak."
"Saya tidak mau lagi mendengar ada kesalahan di perusahaan ini. Kalian di sini dibayar mahal, kerja yang becus!"
Selesai dengan kalimatnya, ia segera meninggalkan ruang rapat dengan kemarahan yang sudah di puncak ubun-ubunnya. Ia bahkan menutup pintu ruangannya dengan kasar. Sektetarisnya sampai dibuat menggigil. Aksa duduk di kursi kebesarannya, lalu menutup sejenak kedua matanya. Tawa dan tangisan istrinya selalu terngiang di telinganya.
"Saira, aku kangen sama kamu," ucapnya lirih.
Hanya saat sendirian ia akan menghabiskan waktu untuk mengenang sang istri. Ia akan menangis sampai semalaman jika sedang libur. Bahkan tidak ada siapa pun yang bisa menganggunya. Semenjak kepergian Saira, ia menjadi pria tertutup dan gila akan pekerjaannya. Siang dan malam ia habiskan waktu untuk bekerja. Jika dulu Izora adalah prioritasnya, maka saat ini pekerjaan adalah nomor satu. Ia bahkan sudah lupa dengan rencana pernikahan mereka.
"Sayang, setidaknya kunjungi aku melalui mimpi. Apa sebegitu bencinya kamu sampai tidak ingin menghampiriku?" tanya Aksa lirih.
Yang paling menyakitkan dari semua itu adalah, tidak ada kenangan apa pun yang tertinggal. Jika ada sepotong baju, ia akan memeluknya setiap malam. Ia sangat merindukan Saira. Hanya sepotong poto yang tersisa. Itu juga diambil tanpa sengaja dan bentuknya sangat buram. Itu dia cetak dengan ukuran besar dan digantung di ruangannya.
Sebuah ketukan mengalihkan atensinya, ia segera menghapus air matanya lalu kembali memasang wajah dingin.
"Masum!" perintahnya tegas.
Seorang gadis dengan pakaian yang terbilang sopan, lalu kaca mata besar bertengger di sana. Ia membawa sebuah berkas.
"Maaf, Pak. Ini berkas yang Bapak minta tadi pagi," ucapnya sambil menyerahkan berkas tersebut.
"Ada lagi?" Tanyanya datar tanpa ekspresi.
"Minggu depan, kita akan kedatangan tamu istimew dari Autralia. Perusahaan beliau bergerak di bidang perhotelan. Namun, mereka tertarik dengan konsep perusahaan kita Pak."
"Baik, kau boleh pergi."
Gadis itu pergi dengan jantung berdegup kencang. Bukan karena terpikat ketampanan Aksa, melainkan ia sedang berusaha agar tidak membuat kesalahan. Di antara semua pekerjanya, bagi Aksa hanya sekretarisnya yang bekerja dngan becus. Ia juga sengaja memilih sekretaris yang biasa saja. Ia tidak suka melihat sekretaris dengan label wanita malam.
--------
Hari pertama Saira bertugas, ia membuat sebuah peraturan yang ketat. Hal ini sengaja dia terapkan untuk meminimalisir kesalahan bawahannya. Saat pertama dia memasuki hotel ini, banyak karyawan yang tidak memiliki attitide yang sesuai dengan pelayanan prima. Sebagai pelayan, harus bisa bersikap selayaknya.
Terbukti, ada beberapa karyawan yang diketahui bermasalah dengan waktu dan selama ini ditutupi oleh manajernya. Lantaran mereka berdua memiliki kecantikan di atas rata-rata. Namun, bagi Saira yang paling utama adalah sikap dan melayani tamu dengan baik. Tapi Saura masih memberikan kesempatan ada keduanya, ia akan melihat sejauh mana mereka akan bertindak.
"Alyne, apa jadwal saya selanjutnya?" Saira masih terlihat sibuk memeriksa beberapa berkas dengan jeli.
"Akan ada meeting bersama Tuan Alex dari hotel Acia pukul empat sore, Bu. Tempatnya di Manise Cafe," ucapnya dengan sopan.
"Kau boleh pergi," ucapnya dan Alyne segera keluar dan melanjutkan kembali tugasnya.
Saira merebahkan diri di kursi kebesarannya. Ingatan kembali berkelana menuju Indonesia. Jantungnya masih berdetak abnormal saat mengingat nama negara kelahirannya. Banyak teraimpan luka yang tidak akan pernah sembuh oleh apa pun. Dua minggu lagi ia akan terbang ke sana untuk menjalin kerja sama dia ngan perusahaan mantan suaminya. Ia sebenarnya tidak ingin melakukannya. Namun, sebagai seorang pebisnis, ia harus bersikap profesional.
"Ini akan sangat melelahkan," gumamnya sambil menutup mata pelan. Ia ingin sekali menghapus semua memori yang tersangkut di kepalanya.
Hari sudah menjelang malam dan Saira memutuskan untuk segera kembali ke rumahnya. Ia menemui sekretarisnya yang masih berada di sana. Prinsip gadia itu, baru akan pulang setelah bos besarnya pulang.
"Kamu belum pulang Alyne?" tanya Saira.
"Saya menunggu Ibu pulang terlebih dahulu," ucapnya sopan.
"Ya sudah kalau begitu, ayo kita pulang. Di mana rumahmu? Aku akan mengantarnya."
"Tidak perlu Bu, saya bisa pulang sendiri."
"Kalau begitu saya duluan."
Saira segera pergi keninggalkan sekretarisnya sambil menggelengkan kepala. Ia juga tidak mau ambil pusing mengenai gadis itu. Dengan mengendarai mobil kesayangannya ia kini suda sampai di mansionnya. Seorang pembantu segera membuka pintu. Sesampainya di ruang tamu, ia disambut oleh sebuah drama yang sangat membuatnya muak.
"Ada apa ini?" tanya Saira dingin. Matanya menatap tajam pada dua sosok yang kini sedang menangis.
"Sayang, katakan sama Tantemu kalau kamu tidak pernah membencinya." Halena terdengar memohon dan hal itu memuat Saira tidak senang.
"Aku memang tidak pernah menyukai semua orang yang tinggal di rumah ini." begitu dingin dan menusuknya kalimat yang Saira ucapkan dengan satu tarikan napas.
"Kau lihat Kakak, putrimu memang tidak pernah menyukaiku. Apa salahku selama ini padanya."
William tampak menghampiri Saira dengan tatapan tajam, akan tetapi bukan Saira namanya jika tidak bisa melakukan hal yang sama. Ayahnya sudah salah memihak orang yang menyebabkan putrinya meninggal.
"Cepat minta maaf sama Bibimu!"
"Aku akan meminta maaf jika sudah berbuat salah. Tapi Pa, aku sama sekali tidak melakukan apa pun pada mereka."
Hal itu semakin membuat William marah besar, bagaimana bisa putrinya yang sangat lemah lembut, berubah menjadi orang yang keras kepala.
"Kalau kamu keras kepala, Papa akan membuatmu menyesal. Cepat minta maaf pada Bibimu!" peringat William dengan tegas. Terlihat dari nadanya ia tidak suka dibantah.
Halena menghampiri putrinya dan menatap memohon agar mengalah dengan ayahnya. Namun, sebuah senyuman sinis terukir dari bibir ranum miliknya. Ia mendekati William dan tersenyum mematikan.
"Jika ada yang akan menyesal, itu bukan aku tapi Papa. Jika Papa terus memaksaku melakukannya, aku akan pergi jauh meninggalkan kalian semuanya!"
Ancaman Saira tampaknya membuat Willian terdiam dan Halena menangis. "Tidak, Mama tidak akan membiarkan hal itu terjadi, kamu anaknya Mama satu-satunya."
"Kalau begitu, Mama harus bisa pilih aku atau Bibi Tasma."
Mata Tasma membulat sempurna, ia sudah salah mengambil jalan kali ini. Ia harus bisa memutar keadaan agar tidak merugikan mereka. Ia dengan cepat berjalan ke arah Saira dengan mata berkaca-kaca.
Kali ini berkat orang tuanya, ia kembali selamat saat Saira memaafkan Tasma karena melihat ayahnya terlihat memohon. Entahlah, bagi Saira orang tua Evellyn terlalu gampang dibodohi. Tidak heran nyawa putriny sendiri bisa dilenyapkan dengan mudah tanpa menimbulkan kecurigaan. Saira harus membalaskan kematian Evellyn agar gadis itu tenang di alamnya. Ia tidak akan menjadi pembunuh untuk melakukan itu semua. Bukankah, permainan licik dibalas dengan licik?
"Bu, rapatnya akan segera dimulai," ucap Alyne dengan sopan.
Saira menganguk dan segera berjalan menuju ruang rapat. Selama ia menjabat sebagai pemimpin di hotel ini. Semua karyawan yang bersikap tidak sopan tidak ada lagi. Bukan ia mengatakan ayahnya tidak becus mengurus hotel ini, hanya saja hotel ini dipimpin oleh orang yang salah. Yaitu orang kepercayaan ayahnya.
Ia memasuki ruang rapat dengan wajah andalannya. Mata tajamnya menyusuri setiap kursi dan matanya terpaku pada sebuah kursi kosong di ujung ruangan. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Keluarkan kursi dari ruang rapat setelah saya selesai meeting!"
Suara yang menusuk sampai ketulang, terdengar sangat mengerikan di setiap telinga mereka yang hadir di sana.
"Saya tidak akan mentolerir siapa pun yang bekerja sesuka hati. Ini perusahaan besar, bukan kedai kaki lima yang bisa datang sesuka hati!"
"Alyne, rapatnya bisa kita mulai!"
Selama sepuluh menit, wanita dengan lipstik merah menyala menjelaskan sesuatu yang membuat Saira mengurut pelipisnya. Tatapan tajam tampak mengikuti wanita yang diperkirakan sudah berusia tiga puluh tahun itu.
"Apa hanya ini yang bisa kau presentasikan?" tanya Saira datar.
Semua yang hadir di sana tampak gemetar dengan proposal yang sedang mereka pegang saat ini.
"Apa kamu pikir metode yang coba kamu terapkan bisaenguntungkan hotel ini?"
"Bisa Bu, metode saya belum pernah dipakai oleh hotel mana pun," ucapnya dengan bangga.
"Kalau begitu, katakan dari mana ide itu mulanya tercetus sampai kamu berani menyampaikannya."
Tampak bibirnya sedikit mulai mengering. Bagaimana bisa ia menjawab sesuatu yang bukan hasil dari pemikirannya. Saira tersenyum dan menggebrak meja dengan kasar. Semua yang hadir di sana tampak sangat kaget melihat reaksi yang diberikan olehnya.
"Jika kau terus melakukan hal seperti ini, maka hari ini juga aku bisa memecatmu!"
"Tidak, Bu, jangan pecat saya." pintanya dengan permohonan.
"Kalian bekerja di bawah kepemimpinanku, segala peraturan yang kuterapkan harus kalian patuhi, mengerti!"
Gadis itu menjawab dengan nada bergetar. Air mata hampir tumpah saat dirinya dipermalukan oleh Saira. Namun, ia hanya mampu memendam semuanya dengan rapat.
"Rapat hari ini selesai! Jika bahannya masih sampah seperti ini maka kalian semua akan saya pecat!"
Setelah selesai, Saira keluar diikuti oleh Alyne. Sesampainya di ruang rapat, Saira duduk di sofanya dan mengurut pelipis. Matanya melihat sebuah kalender kecil yang selalu ia letakkan di samping mejanya. Ia bangkit perlahan lalu mengambilnya.
"Besok aku akan pergi ke Indonesia, tempat yang memberiku banyak luka." desahnya.
Ia menekan tombol telpon "Apa tiketku untuk besok sudah dapat?"
"Sudah, Bu."
"Terima kasih Alyne."
"Sama-sama, Bu."
-----------
"Sayang, Mama belum pernah berpisah sejauh ini sama kamu. Apalagi kamu mengunjungi Indonesia selama dua bulan lamanya." Halena tampak sangat sedih mengetahui kepergian putrinya.
"Ma, Eve kesana untuk urusan kerja," ucap Saira pelan.
"Tapi tetap saja Mama tidak akan tenang selama kamu jauh sama Mama."
"Pa, lihatlah Mama. Usianya sudah tidak lagi muda tapi masih suka merengek seperti ini." Saira mengejek ibunya dengan candaan renyah. Bibir ibunya sampai merengut seperti anak kecil.
"Sayang, putri kita ke Indonesia hanya du minggu dan tidak akan lama di sana. Apa yang harus kamu khawatirkan. Lagi pula dia kesana karena urusan pekerjaan."
"Tapi tetap aja Pa, bagaimana ia akan makan nantinya, siapa yang akan menyediakan sarapannya."
William menghela napas panjang melihat rengekan istrinya. Ia menelpon seseorang.
"Jason, Belikan rumah di Indonesia yang paling nyaman beserta pembantunya."
"Papa, kenapa sampai harus membeli rumah, aku hanya sebentar di sana."
"Tidak apa-apa sayang, mana tahu nanti kita masih ke sana kan?"
Jantung Saira berdetak menggila. Mendengar nama Indonesia saja sudah membuatnya gelisah. Ditambah ayahnya sudah membeli rumah di sana. Ia tidak tahu apa takdir berperan di sini.
"Sayang, seperti yang Papamu katakan, kita mungkin akan kesana lagi kapan-kapan. Bukankah Papamu sangat romantis sebagai suami dan sebagai seorang ayah."
Setelah mengatakan hal itu, Halena tampak senang dan memeluk suaminya dengan sayang.
"Aku sangat mencintaimu."
"Aku tahu itu." William tersenyum sambil menjawil hidung istri tercintanya.
Keduanya tertawa dan Saira sangat bahagia melihat semua itu. "Eve, kamu sangat beruntung karena memiliki orang tua seperti mereka. Namun, nasibmu sungguh sial karena memiliki bibi seperti dia." batinnya.
"Sayang, kamu hati-hati di sana ya, jangan lupa mengabari Mama."
"Alyne, jaga Eve ya. Jangan sampai dia sakit."
"Baik, Nyonya."
Saira tersenyum dan memeluk Halena dan William. Setelah itu ia melambaikan tangan pada keduanya. Alyne dengan setia menemani Saira.
Kini Saira sudah berada di bandara Soekarno hatta setelah perjalanan yang memakan waktu selama belasan jam. Ia melihat papan nama yang menjemput mereka ke sana. Padahal ia tidak memerlukan itu semua, karena Saira hapal seluk beluk Jakarta.
"Selamat datang, Nona." sapa pria tersebut dengan sopan.
"Terima kasih," ucap Alyne. Mereka berdua mengikuti pria itu menuju tempat parkir dan segera meluncur menuju kediaman Saira yang baru saja dibeli oleh ayahnya. Mereka segera merehatkan tubuh yang terasa sangat melelahkan.
Di sudut rumah lainnya, Aksa merasakan jantungnya berdegup kenjang semenjak kemarin. Ia bahkan sempat memeriksa jantungnya, takut mengalami gagal jantung. Namun, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan sama sekali. Hingga saat ini jantungnya masih betah berdegup kencang. Ia ingat, besok akan kedatangan tamu dari Autralia.
"Sayang, dalam hidupku, aku hanya berharap Tuhan memberiku sebuah keajaiban." matanya tersenyum menatap pigura satu-satunya yang ia miliki.
"Apa ini salah satu hukuman darimu, kamu bahkan tidak menyisakan satu hal pun tentangmu untuk bisa kuingat dan kukenang."
Ingatannya selalu kembali pada saat sosok tubuh kaki dimasukkan ke dalam liang lahat. Wajah yang terlihat damai dan bibir tersenyum. Seolah ia sangat bahagia meninggalkan dunia ini.
"Sayang, aku sangat merindukan kamu."
-------
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved