Bab 9 Gangguan sang Devil

by Princess Kinan 10:57,Aug 03,2023
“Bagaimana pekerjaanmu, Davero?” tanya ayah Aiden saat mereka tengah menikmati santapan.
“Jangan diragukan lagi, Papa. Perusahaan kami sekarang sudah mendunia,” sahut Aiden dengan penuh semangat. “Benar 'kan, Davero?”
Davero hanya mengangguk.
“Tentu saja. Ayah selalu yakin dengan kinerja kalian berdua,” ucap ayah Aiden dengan bangga.
“Kamu bekerja di kantor mereka juga, Agneta?” tanya ibu Aiden sementara Agneta hanya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban.
“Kalau begitu, kau lulusan universitas mana? Bisnis management? Atau Hukum, mungkin?” lanjut ibu Aiden menyelidiki.
Agneta melirik ke arah Aiden sesaat sebelum akhirnya menjawab. “Saya hanya lulusan SMK, Tante.”
Seketika ibu Aiden tersedak makanannya sendiri dan lekas minum. Semua orang melihat reaksi wanita itu.
“Kau lulusan SMK?” tanya ibu Aiden memastikan kalau pendengarannya tidak salah.
“Iya. Saya hanya lulusan SMK,” ucap Agneta sambil menunduk.
“Kamu asli Jakarta?” tanya ayah Aiden menyela Ibu Aiden supaya tidak mencecar Agneta.
“Bukan, Om. Saya dari Semarang,” jawab Agneta mengalihkan pandangannya kepada Ayah Aiden.
“Bekerja apa ayah dan ibumu?” tanya ibu Aiden dan sekali lagi Agneta menelan ludah karena gugup.
Agneta bingung harus menjawab apa, kenyataannya dia dan kedua orang tuanya sudah sekian lama tak bertemu.
“Mereka hanya seorang pedagang dan petani,” ujarnya.
“Aiden, ikut kami!” perintah ibu Aiden dengan tegas sambil beranjak dari duduknya dan berjalan menjauhi meja mereka.
Aiden dan ayahnya kemudian menyusul. Sebenarnya Agneta kesal harus ditinggalkan berdua saja dengan Davero. Ia melirik Davero yang tampak santai meneguk minumannya dan tampak seulas senyuman di bibirnya.
“Aku tidak menyangka kau bersama dengan Aiden,” ujar Davero memulai pembicaraan.
Agneta memalingkan wajahnya, tak ingin mendengarkan apa pun. Sungguh setiap hal yang dilontarkan dari bibir Davero itu semua tak ada yang penting dan menarik untuknya.
“Aiden memang pria yang baik dan kau tidak salah menggaet seorang pria. Selain tampan dan baik, dia juga sangat kaya raya.”
“Aku tahu,” sahut Agneta dengan sinis. “Aku berharap Aiden tidak sebrengsek pria yang kutemui lima tahun lalu!”
“Tapi aku tahu kau hanya menginginkan pria lima tahun lalumu itu, bahkan sekarang pun masih demikian,” bisik Dave dengan sengaja melirihkan suaranya membuat Agneta bergidik.
Agneta tak memungkiri dirinya seperti zat cair saat bersama Davero.
“Bagaimana kabar, Regan?” tanya Davero sekadar berbasa-basi saat melihat wajah muram Agneta. Ia memotong kembali daging miliknya hingga potongan kecil dan menyuapkan ke dalam mulut.
“Bukan urusanmu!” ujar Agneta dengan sangat ketus.
“Aku sangat merindukannya. Entahlah, tetapi dia berbeda dengan anak-anak lainnya.” Dave mengakui perasaannya dan masih santai untuk melirik ke arah Agneta. “Hanya dia anak kecil yang bisa membuatku tak bisa berhenti memikirkannya, bahkan merindukannya.”
Hati Agneta hancur berkeping-keping mendengar apa yang baru saja diucapkan Davero. Mungkinkah ada sebuah ikatan batin antara seorang ayah dengan anaknya? Sebelum berangkat pun, Regan sempat menanyakan Davero yang tak kunjung datang setelah hampir seminggu berlalu. Agneta tidak begitu paham sebenarnya, tetapi sungguh dia tak bermaksud jahat memisahkan mereka. Keadaan membuat mereka jadi seperti ini dan Agneta sama sekali tak ingin mengambil risiko dengan menceritakan ikatan Davero dengan Regan sebenarnya.
“Kamu pintar mendidik anak,” puji Davero terdengar tulus membuat Agneta menatap ke arahnya, terlihat sekilas tatapan melembut di matanya. “Yah, mereka serius sekali sampai menghabiskan waktu lima belas menit,” desah Davero sambil melirik jam tangannya, itu menyadarkan Agneta dari keterpakuannya menatap Devaro.
Agneta langsung memalingkan wajah untuk melirik ke arah pintu di mana tak kunjung datang sosok Aiden maupun orang tua kekasihnya. Ia gelisah sehingga meremas kedua tangannya sendiri tanpa sadar.
“Sebaiknya aku pulang saja,” ucap Agneta beranjak dengan menyambar tasnya.
“Tidakkah kau ingin aku mengantarmu?” tanya Dave.
“Tidak perlu!” tolak Agneta dengan keras.
Agneta hendak berlalu, tetapi keluarga Aiden sudah kembali ke dalam ruangan. Jadi mau tidak mau Agneta harus kembali duduk dan melihat Aiden tampak berjalan lesu mendekatinya.
“Dave sayang, kami pulang duluan ya. Seringlah main ke rumah,” ucap ibu Aiden berpamitan.
Davero beranjak dari duduknya untuk peluk perpisahan dan mencium pipi ibu Aiden. Ayah Aiden berpamitan kepada Agneta tanpa sang istri yang berlalu begitu saja. Agneta sadar kalau ibu Aiden tak menerimanya.
Terdengar helaan napas panjang dari Aiden, ia duduk di samping Agneta dan meneguk minuman miliknya.
“Maaf, Agneta," gumam Aiden.
“Aku paham,” ucap Agneta. “Bisakah kau mengantarku pulang?”
“Aku ingin, tetapi aku harus menemui ibuku. Bagaimana kalau kamu pulang diantar sopir pribadiku?” tanya Aiden membuat Agneta mengangguk.
“Tidak perlu. Biar aku saja yang mengantarnya,” sela Davero seakan-akan menunjukkan bahwa ia masih ada dalam drama percintaan yang sulit itu.
“Benarkah?” tanya Aiden merasa malu atas kemelut yang terjadi di dalam keluarganya sendiri. “Apa tidak masalah?”
“It’s Okay. Rasanya menyedihkan juga kalau dia pulang diantar sopir dalam situasi seperti ini, bagaimana kalau kuantar saja,” ungkap Davero dengan simpatik.
“Tidak perlu Pak Davero. Saya bisa pulang diantar sopir atau menggunakan taxi,” tolak Agneta karena tahu alasan di balik rasa simpatik jahat Davero.
“Jangan taxi, Agneta. Aku khawatir terjadi sesuatu,” cegah Aiden.
“Jangan berlebihan, Aiden.” Agneta mulai kesal. “Aku bukan anak kecil dan aku akan baik-baik saja," lanjutnya.
“Tidak ada yang direpotkan. Kalau kau mau aku akan mengantarmu,” ucap Davero dengan sangat santai dan meyakinkan sehingga tidak membuat Aiden curiga.
Dave selalu bisa memainkan perannya, pikir Agneta.
“Agneta, aku sedang terburu-buru. Kau pulang bersama Dave saja, ya?” Aiden memastikan Agneta untuk diantar Davero.
“Tapi—”
“Ayolah, kau aman bersamanya. Dia sepupuku.”
Kau tidak tahu siapa sepupumu itu, Aiden. Dia pria paling brengsek di dunia ini. Agneta membatin.
“Brother, titip Agneta.”
Davero hanya mengangguk samar. Aiden kemudian berpamitan kepada Agneta dengan mengecupnya singkat, sekilas sebelum Aiden pergi. Davero hanya memalingkan wajahnya ketika melihat kemesraan yang baru saja terjadi.
Seketika senyuman Davero hilang berganti dengan wajah dingin, sangat dingin dan membuat Agneta tidak nyaman. Davero beranjak diikuti Agneta, keduanya berjalan beriringan menuju lift tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sudah jelas Agneta tak pernah berniat sedikit pun untuk membuka suaranya dan mengajak Davero berbincang. Itu adalah hal terakhir yang dipikirkannya. Ia hanya berjalan membuntuti Davero menuju keluar restoran.
Di dalam mobil pun masih begitu sunyi sejak mereka memasukinya. Agneta tampak lelah dan hanya menyandarkan kepalanya ke belakang kursi. Tak bisa dipungkiri dia memikirkan sikap ibu Aiden. Ia tak bodoh, ia tahu kalau ibu Aiden tak menyukainya sedikit pun. Agneta menghela napas panjang dan terlalu keras sehingga membuat Davero menoleh.
“Kau memikirkan sikap ibu Aiden?” tanya Davero tepat sasaran, tetapi Agneta enggan untuk menjawab dan hanya melirik sedikit ke arah Davero yang fokus menyetir. “Aku tidak suka diacuhkan, Agneta!” ujarnya lagi, tetapi sekali lagi Agneta hanya membisu. “Kau menantangku, ya?”
“Apa maumu?” tanya Agneta kesal.
“Aku tidak akan berbasa-basi. Tinggalkan Aiden!”
“Apa?” pekik Agneta.
Davero mengarahkan mobilnya di jalanan yang sepi dan melepaskan sabuk pengamannya, kemudian merubah posisi duduk untuk menghadap ke arah Agneta.
“Tinggalkan dia atau aku akan memaksamu meninggalkannya!” pinta Davero sambil melotot marah.
“Kau tidak berhak mencampuri kehidupanku, DAVERO!” bantah Agneta dengan sengit.
Dave semakin mencondongkan diri ke hadapan Agneta yang menghindar dan terpojok ke pintu.
“Kau lupa, Agneta. Kau adalah milikku! Hanya milikku! Baik dulu maupun sekarang dan nanti. Selamanya kau adalah milikku.”
“Aku bukan milikmu dan tak akan pernah menjadi milikhmmmm!” ucapan Agneta terhenti karena Dave langsung membekap bibir Agneta.
Agneta terus berontak dari ciuman rakus Davero dengan memukuli punggungnya untuk melepaskan diri, tetapi ciuman itu melembut dan membuat Agneta terhipnotis. Tak dipungkiri jauh di dalam hatinya yang terdalam, dia merindukan sentuhan ini. Sentuhan yang selalu berhasil menghipnotisnya dan membuat seluruh organ tubuhnya melunak dan mengikuti perintah Davero.
“Kau ingat, kau adalah zat cair dan aku zat padat. Kau akan terus mengikutiku Agneta, kau akan selalu mengisi dan tak mampu keluar dari diriku. Layaknya air di dalam akuarium,” bisik Davero lirih membuat Agneta terengah pelan. “Aku akan melakukan segala cara agar kau kembali padaku, pada pemilikmu!”
Dave menjauhkan tubuhnya dari Agneta, tatapan tajamnya beradu dengan mata sayu Agneta yang masih berusaha mengatur napasnya.
“Kenapa?” tanya Agneta begitu lirih. Davero diam dan terus memperhatikannya. “Kenapa kamu harus kembali mengusik kehidupanku, Davero? Lima tahun lalu kau mengusik hidupku yang damai hingga akhirnya hancur dan sekarang kau ingin melakukannya lagi? Apa salahku padamu, Davero? Kenapa kau ingin menghancurkan hidupku!” jerit Agneta dengan mata yang memerah menahan air mata dan dada yang naik turun karena emosi yang menggebu. “Kau benar, aku memang zat cair yang tak bisa melakukan apa pun di dalam kungkunganmu. Aku memang zat cair yang hanya bisa mengikutimu, tapi aku tidak sudi terus dikurung dalam akuarium sialanmu. Aku ingin kembali ke lautan luas tanpa ada pembatas, aku ingin ke kehidupanku yang bahagia, tentunya tanpa ada iblis sepertimu, DAVERO ANDERSON! Baik dulu maupun sekarang!” ungkap Agneta sebelum akhirnya beranjak keluar dari mobil dan meninggalkan Davero yang termangu sendiri di tempat duduknya.
“Kau belum mengenal iblis ini, Agneta,” gumam Davero mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

57