Bab 3 My Son

by Princess Kinan 10:51,Aug 03,2023
Malam ini aku baru saja selesai memasak untuk Regan. Aku segera duduk di sampingnya yang asyik belajar menulis.
“Wah, anaknya Bunda sudah bisa menulis huruf A, ya. Regan pinter sekali,” pujiku sambil mengusap kepalanya.
“Iya, Bunda. Kata Bu Gulu, Egan sudah pintal menulis,” ucap Regan dengan cadelnya, itu membuatku tak ingin melewatkan untuk selalu mencium pipi tembamnya.
“Prince-nya Bunda lapar, tidak?” tanyaku.
“Lapal banget-banget, Bunda. Egan mau makan,” ucapnya dengan bersemangat.
“Kalau begitu, ayo kita terbang ke meja makan!” Aku mengangkat tubuh mungil Regan dan mendudukkannya di kursi meja makan. “Pendaratan berhasil,” ucapku membuatnya terkekeh.
“Bunda masak apa?” tanyanya menatap makanan di atas meja.
“Bunda masak ayam goreng kesukaannya Egan,” ucapku mengambilkan nasi dan paha ayam kesukaannya.
“Asyik! Soalnya kalau di lumah tante Ilen, Egan nggak makan ayam goleng,” ucapnya.
Aku tersenyum dan menyodorkan makanan kepadanya. “Makan yang banyak ya, Sayangnya Bunda.”
Aku belum kasih tahu siapa itu Iren. Iren adalah adik kandung Sonya. Keluarga Sonya begitu baik kepadaku dan Regan. Mereka membantuku mengurusi Regan selama aku bekerja. Setelah keluargaku membuangku, keluarga lain merangkulku. Ya, Ironis memang. Lima tahun sudah berlalu, tetapi aku masih belum tahu bagaimana keadaan keluargaku di Semarang saat ini. Aku berharap mereka mencariku. Meski itu tampak mustahil setelah apa yang terjadi.
“Bunda, kenapa tidak makan juga?” Suara Regan menyadarkanku.
Aku tersenyum padanya.
“Bunda senang lihat Egan makan. Mau tambah lagi?” tanyaku padanya dan dibalas anggukan antusias.
Aku mengambilkan nasi dan lauk pauknya untuk Regan. Regan kembali memakannya, tetapi seketika dia menyodorkan makanan ke arahku.
“Aaaaak, Bunda!” bujuk Regan.
Aku membuka mulut untuk menerima suapan darinya dan Regan berkata lagi, “Bunda halus makan yang banyak, bial Bunda kuat. Bunda kan halus kelja buat bayal sekolah Egan.”
Sungguh kepolosannya membuatku berkaca-kaca. Ya Tuhan, terima kasih karena Engkau sudah memberiku seorang malaikat kecil yang mampu menguatkan hatiku. Kumohon jangan pisahkan kami berdua, Tuhan. Sungguh, tak pernah kubayangkan jika itu terjadi. Aku meneteskan air mata.
“Bunda, kenapa nangis? Apa makanannya tidak enak?” tanya Egan.
“Tidak, Sayang. Ini sangatlah enak. Bunda hanya terharu saja melihat perhatianmu,” ucapku.
“Kalena Egan sayang Bunda. Bunda jangan nangis ya!” Regan menghapus air mata di pipiku. Aku mengangguk dan memeluk tubuh Regan.
Aku tidak boleh terlihat lemah di depan Regan. Aku harus menjadi seorang wanita kuat untuk malaikat kecilku ini.
***
Keesokan harinya aku sibuk mengerjakan beberapa laporan yang diminta Pak Wildan.
“Sibuk, ya?” Sonya sudah berdiri di luar kubikelku.
“Hmm. Ini harus selesai sore ini,” ucapku masih sibuk mengerjakan pekerjaanku.
“Eh, Ta, Pak Dave ternyata masih single lho. Dia belum memiliki tunangan dan belum juga menikah. Kemarin gue ketemu dengan sekretarisnya dan dia bilang semua itu. Bahkan di kantor langsung ada grup Dave Lovers. Gue seneng bisa gabung di grup itu.”
Celotehannya membuatku muak untuk mendengarnya.
“Apa tidak ada hal yang lebih menarik lagi yang bisa lo ceritakan selain bos kesukaan lo itu?” ucapku meliriknya sekilas.
“Oh, ayolah, Agneta sayang. Lo nggak kepikiran buat pindah haluan, 'kan?” ucapnya membuatku menghentikan pekerjaanku dan menatap tajam ke arahnya.
“Oh, ayolah, Nona Sonya yang cantik. Bisakah kau mengubah topik pembicaraan? Telingaku berasa mau pecah mendengarkanmu yang terus mengoceh mengenai bos baru itu,” ucapku dengan nada bercanda padahal hatiku sudah sangat kesal.
Dia terkekeh kepadaku.
“Kalo gitu, bagaimana kalau kita bahas Pak Aiden? Bagaimana sekarang kelanjutan hubungan lo sama dia. Lo kangen dia karena dia ada pekerjaan di luar kantor beberapa hari ini, 'kan?” ucapnya membuatku menghela napas.
“Apaan sih, Lo?,” ucapku.
“Apaan, tapi pipinya blushing, cieee!” ejeknya membuatku memutar bola mataku malas.
Aku merapikan laporan yang baru saja aku print-out dan memasukannya ke dalam map biru.
“Sudahlah. Jangan berceloteh terus, gue mau ke ruangan Pak Wildan dulu,” ucapku sambil bergegas meninggalkan Sonya yang masih saja meledekku seperti anak remaja.
Aku memasuki ruangan Pak Wildan setelah ada izin dan segera menyerahkan dokumen yang baru saja diselesaikan kepadanya.
“Good,” pujinya saat dia memeriksa berkas laporan.
Aku tersenyum dan merasa puas mendengar komentar tersebut. Tentu saja karena aku selalu berusaha bekerja sebaik mungkin tanpa ingin mengecewakan siapa pun.
“Neta, tolong kamu berikan laporan ini langsung ke ruangan Pak Dave, ya!” perintah Pak Wildan, membuatku membeku di tempat.
“Sa-saya, Pak?” gumamku tercekat.
“Ya, Pak Dave ingin memeriksanya langsung. Apa ada masalah?” tanya Pak Wildan menatapku curiga.
Aku segera menggeleng, tak ingin Pak Wildan menaruh kecurigaan apa pun.
“Baiklah, Pak. Saya akan antar dokumen ini ke ruangan Pak Davero,” ucapku sambil mengambil kembali dokumen itu.
“Neta,” panggil Pak Wildan ketika aku hendak beranjak pergi. “Kamu baik-baik saja, 'kan?”
“Iya, Pak. Saya baik-baik saja,” ucapku dan bergegas pergi.
Aku menaiki lift dan menekan tombol 29 untuk menuju ruangannya kemudian meremas-remas tangan karena gugup dan rasa takut.
Kamu bisa, Agneta. Kuatkan dirimu, pasti bisa untuk melakukannya. Itu yang kuucapkan pada sendiri sambil menunggu pintu lift terbuka.
Ting!
Lamunanku buyar saat pintu lift terbuka dan menampakan karpet beludru merah nan mewah. Aku berjalan menyusuri karpet itu hingga bertemu dengan ruangan cukup luas dan di sana ada Rachel, sekretaris Davero. Dia tersenyum hangat menyambutku.
“Ingin bertemu Pak Dave, ya?” tanyanya dan aku mengangguk sebagai jawaban. “Masuklah, dia sudah menunggu,” ucapnya membuatku tersenyum miris.
Apa yang diinginkan pria brengsek ini?
Aku masuk ke dalam ruangannya setelah diizinkan. Di sana merupakan sebuah ruangan mewah dan luas dan ini kali pertamanya aku memasuki ruangan CEO, sang bos besar. Sebelumnya mana pernah karyawan rendahan sepertiku memasuki area bos besar seperti ini. Sekarang, di sinilah aku. Terlihat berbagai piala dan penghargaan yang diraih oleh perusahaan ini di ruangan yang baru pertama kali kumasuki selama bekerja dua tahun di sini. Pandanganku mengarah kepada sosok yang begitu kubenci. Dia tengah mengetik sesuatu di laptopnya ketika aku berjalan mendekati meja kebesarannya.
“Ini laporan yang Anda minta, Pak,” ucapku seraya menyodorkan dokumen itu di atas mejanya.
“Hmm,” jawabnya.
“Kalau begitu, saya permisi.” Aku mundur hendak berbalik untuk keluar.
“Agneta, tunggu!”
Ucapannya menghentikan gerakanku yang sudah berbalik. Dia berdiri dari kursinya dan menatap tajam ke arahku. Tatapan itu selalu membuatku membeku dan melemahkan. Dia meraih dokumen yang kuberikan dan membukanya sambil kemudian duduk di sisi mejanya untuk membaca dokumen itu.
Lima tahun berlalu, tetapi tak ada yang berubah darinya. Dia tetaplah iblis tampan yang sudah menghancurkan hidupku. Wajahnya terlihat semakin tampan dan jauh lebih dewasa, apalagi ditambah bulu-bulu halus yang memenuhi rahangnya. Bulu matanya tetap lentik, mata abunya yang tajam dan penuh intimidasi, sudah kukatakan untuk kesekian kalinya. Dia memang tetaplah Dave yang kukenal.
“Good,” ucapnya sambil melirik ke arahku.
Aku masih menatapnya dengan dingin.
“Ternyata benar adanya bahwa kau memang karyawan terbaik di sini. Pantas saja manajermu itu selalu membanggakanmu. Pekerjaanmu patut diberi pujian,” ucapnya.
“Terima kasih,” jawabku.
Dia masih menatapku. “Lima tahun sudah berlalu. Cukup lama, 'kan?”
Tentu saja ucapannya tidak membutuhkan tanggapanku. Dia kembali berdiri dan berjalan mendekatiku. Itu membuatku mundur beberapa langkah dan terus berjalan mundur hingga pantatku menabrak kepala sofa di belakang. Dia mengungkung tubuhku dengan kedua tangannya yang berpegangan ke kepala sofa membuatku tak dapat berkutik dan menahan napasku.
“Maaf, Pak. Saya harus segera pergi. Pekerjaanku masih banyak,” ucapku sambil berusaha beranjak, tetapi dia tidak bergerak sedikit pun.
Tangannya yang kotor membelai pipiku, lalu jempolnya mengusap bibir merah.mudaku.
“Aku merindukanmu,” ucapnya masih terus mengusap bibirku.
Dia hendak menciumku, tetapi aku langsung mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga.
Plak!
“Tolong jaga sikap Anda, Tuan Davero yang terhormat!” pekikku yang terus berusaha beranjak.
Dia kembali menahan pergelangan tanganku dan menarikku hingga tubuh kami merapat satu sama lain.
“Aku senang bisa bertemu denganmu lagi, Agneta. Selama ini aku mencarimu, hingga seluruh kota Semarang kutelusuri untuk mencarimu!” ucapnya penuh penekanan.
Untuk apa dia mencariku? Tidak cukupkah luka yang selama ini ditorehkan di hatiku olehnya?
Sekuat tenaga aku kembali mencoba menjauhkan tubuhnya dan berlalu pergi meninggalkan ruangannya dengan kesal. Rachel menatapku dengan kebingungan, tetapi biar sajalah. Aku mempercepat langkah menuju memasuki lift. Tubuhku bergetar hebat di dalam lift. Sentuhannya. Aku ingin melupakan kejadian menakutkan itu. Tolong jauhkanlah dia dariku, ya Tuhan.
Tubuhku merosot ke lantai lift dan menangis sejadi-jadinya di sana. Aku mengingat bagaimana dia menciumku dengan paksa, bagaimana dia merusak masa depanku.
Aku membencinya! Aku sangat membencinya!
Tolong beri aku kekuatan. Tolong beri aku kekuatan untuk tetap berpijak dan tetap melangkah di hadapan iblis itu. Ya Tuhan, kumohon kuatkan aku.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

57