Bab 7 Menghabiskan Waktu Bersama Regan

by Princess Kinan 10:55,Aug 03,2023
Davero baru saja selesai meeting dengan salah seorang klien di luar kantor. Kini ia berada di mobil limusinnya dalam perjalanan pulang. Matanya menatap keluar jendela mobil, jalanan dikenalinya melalui rumah Agneta dan tidak sengaja menangkap sosok anak kecil yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya, Regan. Anak itu tampak duduk di sebuah ayunan yang ada di taman yang sepi. Davero segera meminta sopir menghentikan mobilnya. Ia segera merapikan jas bagian depan sebelum beranjak turun untuk menghampiri Regan.
“Belum dijemput?”
Regan menoleh, mata bulatnya yang begitu lucu dan menggemaskan menatap Davero.
“Om?” Regan mencoba untuk mengingat sebuah nama.
“Davero, masih ingat?” tanya Dave membuat anak itu mengangguk antusias.
“Om teman kelja Bunda,” ucap Regan dengan cadel, itu membuat Davero tersenyum.
“Kenapa sendirian?” tanya Davero dengan masih tersenyum.
Ini adalah sebuah kejadian langka, bahkan sangat langka. Sosok Davero tersenyum pada seorang anak kecil mengingat fakta bahwa Davero tidak pernah menyukai anak kecil mana pun.
“Tante Ilen belum jemput Egan,” jawabnya dengan polos.
“Ayo, ikut Om! Biar Om yang antar kamu pulang,” ajak Davero
“Tidak, Om. Egan tidak mau melepotkan. Kata Bunda, Egan nggak boleh ngelepotin orang lain.”
Davero berjongkok dengan bertumpu pada sebelah lututnya. Matanya menatap lekat ke arah mata hitam Regan yang polos dan lembut.
“Om adalah teman kantor Bunda dan sudah pernah ke rumah Egan. Jadi Egan tidak akan merepotkan Om. Ayo Om antar,” ajak Dave sambil meraih tangan Regan.
“Tidak bisa, Om,” tolak Regan dengan sedikit takut.
“Egan mau Om ikut tunggu Tante Iren jemput di sini?” tanya Dave.
“Egan punya uang koin,” ucap Regan seraya mengeluarkan uang koin seribu rupiah dari saku celananya. “Bagaimana kalau ini buat bayal Om kalena mau antal Egan pulang?” tanya Regan tampak ragu-ragu menatap Dave yang diam, tidak menjawab apa-apa.
“Kalau ini kulang, nanti Egan bayal kalau Egan sudah ketemu Bunda,” kata Regan lagi.
Davero bertanya-tanya di dalam hatinnya mengenai Regan. Siapa ayahnya? Davero tak beranjak karena perasaannya yang campur aduk. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi dengan perasaannya. Namun, pada akhirnya dia berbicara.
“Baiklah, aku terima bayaran ini. Ini sudah cukup untukku,” ucap Davero menerima uang koin itu. Regan tersenyum lebar dan menulari Dave untuk membalas senyuman bocah polos itu.
Davero mengendong Regan dan membawanya untuk menaiki limosin yang terparkir tak jauh di pinggir taman. Setelah mendudukkan Regan di samping tempat duduknya, ia lalu menyusul naik. Devaro meminta sang sopir untuk melajukan mobilnya setelah pintu ditutup. Regan menatap sekeliling bagian interior mobil dengan perasaan takjub, itu pengalaman pertama kalinya naik mobil mewah bagi Regan. Sungguh dibuat heran dalam mobil itu tempat duduknya berupa sofa empuk berwarna keemasan dengan meja sudut yang berbentuk memanjang dengan berbagai jenis minuman bermerek, mahal dan mewah berjajar di sana.
“Di sini banyak sekali minuman,” ujar Regan lugu dan membuat Davero tersenyum padanya.
Davero mengangguk setuju dan berujar, “Iya, banyak. Sayangnya, Om tidak akan memberikannya padamu, Jagoan Kecil.”
Regan cemberut lucu. Devaro merasakan keanehan dirinya saat berada di samping Regan. Ia menjadi sosok yang lebih banyak tersenyum dan itu adalah sesuatu hal yang amat langka.
“Om tau enggak, Egan menunggu tante Ilen di taman lama sekali jadi Egan sangat haus sekalang. Sekalang Om malah pelit, tidak belbagi minuman-minuman itu untuk Egan,” ucapnya dengan begitu lucu dan itu membuat Dave tertawa mendengarnya.
Tertawa? Bahkan sang sopir pun tercengang mendengar tawa ringan yang tak pernah terdengar dari sosok Davero. Selama puluhan tahun mengabdi di keluarga Wiratama, tetapi baru kali ini ia mendengar tawa seperti itu.
“Hemm. Kau merajuk?” Davero mengusap kepala Regan dengan gemas. “Baiklah, bagaimana kalau kita makan bento sebelum pulang ke rumah?”
“Benalkah?” tanya Regan dengan mata yang berbinar penuh harap.
“Tentu saja,” ujar Davero yang kemudian meminta kepada sopir untuk menuju restoran.
Setelah sampai, Davero menggendong Regan turun dari mobil dan memasuki restoran. Mereka memilih salah satu meja di dekat jendela besar yang menjadi dinding pembatas tempat makan itu dan segera memesan dua menu bento untuk dirinya dan Regan.
Setelah menunggu, pesanan pun datang.
“Ini untukmu, Jagoan!” ucap Davero menyodorkan pesanan ke hadapan Regan yang berbinar menatap makanannya. “Jadi berhenti mengatakan kalau Om pelit.”
“Tidak pelit sekalang. Om sangatlah baik,” ujar Regan yang kemudian mulai menyuapkan makanannya dengan lahap.
“Kau sangat pintar bicara ternyata,” ucap Dave ikut menikmati makanannya sambil melihat Regan makan dengan begitu lahap sehingga membuat cemong.
. “Regan,” panggil Davero.
“Iya, Om?” Regan berhenti makan dan menatap Davero.
“Om boleh bertanya sesuatu?” ucap Dave yang diangguki Regan.
“Apa Ayah Regan bekerja di luar kota?”
Pertanyaan Davero membuat Regan mengernyitkan dahinya seolah berpikir. Ia sedikit bingung harus menjawab apa, tetapi akhirnya mengatakan apa yang diingatnya.
“Kata Bunda, Egan tidak punya Ayah karena Ayah sudah pelgi meninggalkan kami,” ucap Regan.
Dave merenung sejenak, lalu bertanya untuk memastikan. “Benarkah?”
Regan mengangguk dan menjawab, “Egan belum pelnah beltemu Ayah Egan.”
Dave menatapnya dengan prihatin dan berujar, “Sudahlah. Bunda Egan sudah bisa merawat dan mendidik Egan dengan baik sampai sekarang tanpa bantuan Ayah.”
Mendengar penuturan Regan, Davero melihat secercah harapan untuk mengambil Agneta kembali. Wanita yang sudah membuatnya tersiksa selama lima tahun terakhir dalam hidupnya, membuat dirinya menjadi semakin tertutup dan hampir gila karena tak menemukan Agneta. Sekarang dia bertekad untuk tidak akan melepaskannya lagi. Tidak akan pernah.
“Egan tidak sedih. Om. Egan punya banyak kelualga dan Ayah Ai—” Ucapan Regan terhenti karena Davero menerima panggilan masuk. Davero tampak sibuk dengan seseorang di seberang telepon dan Egan memilih kembali melanjutkan makan makanannya yang begitu menggugah sampai tandas.
“Regan, apa kau sudah selesai makan?” tanya Dave yang diangguki Regan. “Kita pulang yah, Om ada sedikit pekerjaan.”
“Iya Om,” ucap Regan.
Tangan Dave terulur mengambil salah satu tisu dan mengusap pipi Regan yang tampak cemong. Setelahnya Dave kembali menggendong tubuh Regan dan membawanya keluar dari tempat makan itu.
***
Agneta sedang resah di rumahnya. Ia sudah lelah menangis sejak mendengar kabar terakhir dari Iren. Ia terpaksa izin pulang cepat dari kantor ketika mendengar kabar Iren tak menemukan Regan di sekolah. Iren memang terlambat menjemput karena ojek yang biasa mengantarnya datang terlambat, tetapi saat sampai di sana ternyata sekolah sudah kosong pun Regan tak ada di sekitar sana. Agneta bahkan sudah pergi ke sana dan mencarinya, tetapi tetap tak berhasil menemukan Regan. Agneta juga sempat menghubungi Aiden, tetapi Aiden sedang melakukan pertemuan dengan Tuan Oktavio dan berkata ia akan segera datang ketika meeting selesai.
“Regan, di mana kamu sekarang?” isak Agneta.
Hatinya berdebar sakit. Ia tidak pernah kehilangan Regan seperti ini. Pikiran buruk terus bergelayut di pikirannya, apalagi sekarang sedang marak kasus penculikan anak kecil sehingga membuat Agneta semakin khawatir dan lemah.
Napas Agneta tertahan saat mendengar tawa Regan. Ia berlari keluar rumah sambil berseru memanggil nama buah hatinya. Namun, matanya membelalak saat melihat Regan datang bersama Davero. Regan terus tertawa riang dalam gendongan Davero yang juga tersenyum.
“Bunda!” teriak Regan.
Davero menurunkan Regan yang kemudian berlari ke arah Agneta untuk memeluknya. Ada rasa takut di hati Agneta bahwa mungkin Davero sudah menyadari siapa Regan. Ada ketidakrelaan di dalam hatinya melihat Regan dekat dengan Davero.
“Masuk, Regan!” perintah Agneta.
“Bunda, maafkan Egan. Egan sudah membayal Om Vero untuk biaya mengantalkan Egan pulang, kok.” Regan menunduk.
“Masuk dan ganti baju! Ada Tante Iren menunggu,” perintah Agneta membuat Regan akhirnya masuk ke dalam rumah.
Agneta menatap Dave dengan hasrat membunuh sedangkan Davero tampak santai berdiri kedua tangan dikantongi ke dalam saku celana hitamnya yang berkilau.
“Tolong Pak Wiratama yang terhormat, jangan usik lagi kehidupan saya!” usir Agneta.
Agneta terpaksa memperingatkan Davero karena terlalu takut jika semua orang mulai menyadari suatu dan kalau Davero sampai tahu bahwa Regan adalah putra kandungnya, bisa saja terjadi sesuatu yang mengerikan. Hal yang paling Agneta takutkan adalah Davero akan memisahkan Regan dengan dirinya. Sungguh semua kemungkinan buruk tidak pernah ingin terbayang akan terjadi di dalam hidup Agneta. Regan adalah kehidupan dan nyawanya. Segalanya adalah Regan. Jika sampai ia kehilangan Regan, Agneta merasa tak yakin mampu bertahan hidup lebih lama lagi.
“Ada apa, Agneta? Kau tampak takut sekali. Tenanglah, aku tidak berniat menculik putramu dan menjualnya,” ujar Davero dengan nada geli karena melihat ketakutan yang begitu jelas di mata Agneta.
“Anda tidak perlu repot-repot lagi mengantarnya pulang atau menemuinya lagi. Terima kasih untuk bantuan Anda, Pak Wiratama.” Agneta mengatakannya dengan penuh penekanan dan memalingkan wajahnya saat mengingat kejadian kemarin di mana Davero menciumnya. “Maaf, saya harus mengurusi putra saya. Permisi.”
Agneta beranjak memasuki rumahnya, meninggalkan Davero yang bergeming di tempatnya. Davero ingin sekali menerjang Agneta dan memerintah Agneta untuk berhenti bersikap formal padanya. Ia tidak suka cara tatap Agneta padanya. Namun, dirinya sadar semuanya perlu waktu dan ia tidak akan merusak segalanya. Akhirnya, ia memilih pergi meninggalkan tempat itu.
Tiga puluh menit kemudian, sebuah mobil mewah lainnya berwarna silver tiba di depan rumah Agneta. Aiden keluar dengan tergesa-gesa, wajahnya tampak khawatir dan lelah.
“Agneta!” panggil Aiden saat Agneta membukakan pintu rumahnya. “Apakaha Regan sudah ditemukan?”
“Dia sudah pulang dan sekarang bersama Iren. Tadi temanku yang mengantarnya pulang,” ucap Agneta menutupi kebenaran bahwa Davero-lah yang mengantarkan.
“Syukurlah. Aku sangat khawatir,” ucap Aiden sambil menarik Agneta ke dalam pelukannya kemudian masuk ke dalam rumah.
Ketika adegan itu terjadi, Kay dan Key sudah mengawasi dari beberapa jam lalu dari tempat persembunyian. Bahkan mereka sudah di sana sebelum Davero datang bersama Regan.
“Shit!” umpat Kay.
“Permainan kotor tampaknya,” sahut Key mengangguk.
“Wanita yang Davero sukai adalah kekasih Aiden,” kata Kay menggeleng-geleng.
“Kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti saat mereka tahu akan hal ini,” ucap Key mengangguk-angguk lagi.
“Nanti kau yang laporkan ini,” kata Kay.
“Kenapa harus aku, Kay?” pekiknya.
“Karena kau seorang kakak!” seru Kay.
“Saat kondisi seperti ini baru kau mengakuiku sebagai kakakmu, dasar sialan!” umpat Key sambil memukul bahu kakaknya.
“Karena di saat seperti inilah sosok Kakak diperlukan,” ucap Kay dengan senyuman paling menyebalkan.
“Kita sebaiknya mencari tahu lagi lebih banyak karena aku penasaran dengan ayah kandung bocah itu,” ucap Kay mengusap jambangnya dengan tangan.
“Apa tidak lihat Bos sudah mulai gila dengan panggilan dan pesan masuk untuk menanyakan hasil penyelidikan kita?” Key mendengus.
“Ayolah, Key. Jangan bodoh!” ucap Kay.
“Kau benar-benar seorang adik durhaka!”
“Ngomong-ngomong kau lihat wajah bocah tadi?” tanya Kay dengan nada serius.
“Ya. Ada apa dengan wajahnya?” tanya Key tampak malas menyahuti.
Key sedang resah memikirkan cara untuk melaporkan hasil penyelidikan kepada Davero. Bahkan ia dan kembarannya melihat langsung Davero datang tanpa sambutan apa pun sedangkan Aiden disambut hangat oleh Agneta.
“Wajah bocah itu mengingatkanku pada Davero waktu masih kecil,” ucap Kay membuat Key menengok.
“Benarkah?” ujar Key tidak terlalu percaya. “Mungkin karena Bocah itu digendong Davero. Jadi kau melihatnya demikian.”
“Ke mana saja matamu sejak tadi, Key? Kau bahkan tidak menyadari detail penting seperti itu, dasar detektif payah!” gerutu Kay yang kemudian beranjak dari persembunyian mereka.
Ia berjalan menuju ke depan di mana mobilnya di parkir diikuti Key.
“Terima kasih atas pujianmu, Adikku yang manis,” sungut Key yang kini berjalan sejajar di samping Kay.
“Kita harus tahu apa yang terjadi di masa lalu antara Agneta dan Davero. Kita mungkin akan tahu siapa ayah kandung bocah itu,” ucap Kay.
Dia sangat mengenal Davero dan tahu kalau sahabat sekaligus bosnya itu tidak menyukai anak kecil. Setelah melihat kedekatan tadi dengan Regan, sudah pasti bukan untuk mencuri perhatian Agneta. Semua itu karena Davero memang benar-benar menyukai bocah itu. Tidak dipungkiri pula wajah bocah itu, wajahnya begitu mirip dengan Davero kecil.
“Kau tidak berniat menjatuhkan diri ke selokan, 'kan? Hanya karena frustasi mendapat kebenaran hari ini.” Key menyadarkan Kay saat ujung kakinya sudah menyentuh ujung daratan menuju selokan.
“Persiapkan dirimu untuk laporan hasilnya, Kakak!”
“Kita berdua yang akan melapor,” ucap Key.
“Tidak!”
“Kita saudara kembar. Jadi kalau aku terkena amukan maka kau juga. Itulah takdir dari saudara kembar,” ucap Key dengan senyuman lebarnya.
Ia senang karena mendapatkan jalan keluar dari keresahannya.
“Kau mengakuiku sebagai saudara kembar. Sungguh sebuah keajaiban,” gerutu Kay untuk kesekian kalinya sebelum memasuki mobilnya diikuti Key.
“Mari kita berdoa sebelum mendapatkan amukan dari Lucifer!” saran Key tabah.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

57