Bab 6 Pelecehan

by Princess Kinan 10:54,Aug 03,2023
“Apa kau yakin kalau dia adalah gadis di masa lalumu, Dave?” tanya Kay saat sudah berada di ruangan atasannya.
“Apa kau meragukanku, Kay?” tanya Davero dengan nada dingin.
“Bukan begitu, tapi ....” Key tidak melanjutkan ucapannya.
“Apa kalian berdua sudah tidak betah bekerja denganku?” tanya Davero kesal.
“Kau terlalu mengambil hati, Bos!” jawab Key sambil tersenyum masam.
“Ya, jangan terlalu diambil hati, Bos!” timpal Kay kalem, semuanya membuat sudut bibir Dave terangkat.
“Cari tahu tentang kehidupan Agneta, siapa suaminya dan ayah kandung anaknya, mengerti?” tanya Dave memastikan sekali lagi dan membuat kedua temannya mengangguk.
“Ya, baiklah. Kami akan segera memulainya, Bos. Jadi tenang saja, semua urusan ditangani para ahli.” Kay dan Key tersenyum saling memandangi.
“Melihat kalian seperti itu sebenarnya terlihat begitu manis dan menggemaskan,” komentar Davero sambil menyeringai.
“Kalau begitu kami permisi,” ucap Kay yang diangguki Key, mereka tersenyum masam.
Mereka berdua pun melangkah keluar dari ruangan dan tak sengaja berpapasan dengan Aiden yang ruangannya tak jauh dari ruangan Davero.
“Halo, kita bertemu lagi.” Aiden menyapa diiringi senyum ramah.
“Hai juga,” sapa Key dengan senyumannya sambil me dekat untuk berjabat tangan.
“Ada tugas lagi, ya?” tanya Aiden.
“Begitulah, sepertinya dia sedang tak bisa diajak berkompromi,” ucap Key sedikit sebal.
“Sepertinya wanita itu sangat spesial hingga mampu membuat dunianya berubah seperti itu. Dia seperti singa kelaparan, 'kan?” ledek Aiden.
“Ya, bukan main. Bahkan beberapa kali kami disemprot olehnya, padahal kemarin tugas kami tuntas tanpa cela.” Kay ikut menimpali.
“Aku menggaji kalian bertiga bukan untuk bergosip di depan pintu ruanganku!” tegur Davero melongok dari pintu membuat Kay dan Key terlonjak kaget dan langsung berbalik ke sumber suara. “Sungguh tidak patut terang-terangan membicarakan aku!”
“Kami hanya—”
“Aku tak menyangka kalau kalian bertiga punya hobi menggosipkan atasan sendiri,” ucap Dave sambil menggeleng-geleng.
“Kau terlalu menanggapi dengan serius,” sanggah Aiden. “Kami membicarakanmu karena begitu menyayangimu, Brother.”
“Ck, manis sekali kata-katamu, Kakak Sepupu!” sindir Dave membuat Aiden semakin tersenyum.
Kay dan Key menyelinap diam-diam untuk menjauh dari amarah yang mungkin akan segera pecah.
“Sudahlah, aku ada perlu denganmu. Ini masalah kerja sama kita dengan perusahaan Mahya,” ucap Aiden sambil merangkul Davero.
“Itu urusanmu, Aiden. Kau yang sudah menyetujuinya. Saat ini aku ingin pergi keluar.” Dave menjawab dengan tenang seraya melenggang pergi.
“Tuan Okta ingin bertemu denganmu langsung, Dave. Ayolah, mana tanggung jawabmu?” tanya Aiden yang menghentikan langkah kaki Dave.
“Apa dia memiliki anak perempuan?” tanya Dave.
“Aku tidak tahu. Memangnya kenapa?” tanya Aiden.
“Kalau begitu lebih baik kau saja yang menemuinya. Aku sudah sering bertemu klien seperti itu dan ujung-ujungnya memintaku untuk mendekati putri mereka,” ujar Davero dengan percaya diri.
“Kau terlalu percaya diri,” ucap Aiden maklum.
“Aku memang selalu percaya diri,” ucap Dave masih sama tenangnya dan membuat Aiden mencibirkan bibirnya samar.
“Baiklah, setelah dipikirkan mungkin aku akan menemuinya nanti,” ucap Aiden.
“Itu lebih baik.”
Dave berlalu pergi meninggalkan Aiden. Ia berjalan memasuki lift, matanya menatap satu titik kecil sementara pikirannya melayang memikirkan anak Agneta yang entah kenapa terus mengusiknya.
***
Agneta baru saja menyelesaikan pekerjaannya, hari itu pekerjaannya begitu banyak sampai ia melupakan makan siangnya, jam tangannya sudah menunjukkan pukul dua siang. Agneta masuk ke toilet dan membasuh wajahnya supaya tampak lebih segar.
“Ke kantin di bawah tidak apa-apa kali ya,” gumamnya pada diri sendiri sambil mengeluarkan handphone untuk mengirim pesan kepada Sonya.
Aku akan pergi mencari makan dulu.
Begitulah isi pesan yang dikirimkan. Kemudian Agneta berjalan keluar dari toilet dan memekik saat keningnya menabrak sesuatu yang keras saat membuka pintu kamar mandi.
“Aduh,” ujar Agneta sambil mengusap keningnya sendiri.
“Apa keningmu tidak apa-apa?” tanya seseorang.
Pertanyaan itu membuat Agneta membelalak lebar dan menengadahkan kepalanya. Matanya melotot sempurna saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya dan tertabrak.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Agneta dengan ketakutan.
“Mencarimu,” ucapnya sambil mengedikkan bahunya.
“Apa ada pekerjaan yang harus saya selesaikan, Pak Davero?” tanya Agneta ketus.
“Banyak,” ucapnya dan mendorong Agneta masuk kembali ke dalam toilet.
“Ini toilet perempuan. Apa yang Anda lakukan!?” pekik Agneta saat Davero mencengkeram kedua lengan dan menyudutkan tubuh Agneta ke balik pintu kamar mandi yang sudah tertutup kembali.
“Aku tahu dan tidak akan ada yang menegurku di sini,” jawabnya dengan seringaian yang membuat Agneta semakin ketakutan.
“Apa maumu, Davero?”
“Kau! Sudah aku katakan aku menginginkanmu!” jawab Davero penuh penekanan.
“Aku bukan barang!” bentak Agneta sambil terus berusaha melepaskan diri.
“Aku tahu dan aku tetap menginginkanmu,” ucapnya menahan kedua tangan Agneta yang terus mendorong dadanya dengan satu cekalan.
Ia menyimpan tangan Agneta di atas kepala dan menekannya ke dinding untuk membuat Agneta kesulitan untuk bergerak. Kedua kakinya juga sudah menahan kedua kaki Agneta supaya tidak mampu berontak.
“Lepaskan aku!” Agneta terus berusaha berontak. “Lepaskan aku atau aku akan berteriak!” ancamnya.
“Cobalah!” tantang Davero.
“Tolmmmmmpppp,” Agneta membelalak lebar saat Dave mencium dengan kasar dan makin lama makin melembut.
“Aku menemukan kembali morfinku, akhirnya!” bisik Dave kembali mencium Agneta.
Makin lama Agneta makin lemas oleh permainan panas dari Dave. Sesuatu yang sudah lama tak dirasakan, tetapi begitu dirindukan. Ciuman pertamanya yang sungguh memabukkan sekaligus menyakitkan. Kedua lutut Agneta melemas, hampir luruh jika Davero tak menekan tubuhnya. Sementara itu, Davero semakin menggila.
Plak!
“Brengsek!” maki Agneta dalam tangisannya.
Setelah menampar, ia pun beranjak keluar dari toilet, meninggalkan Davero yang masih mematung di tempatnya. Agneta berlari menyusuri lorong kantor dengan menutup mulutnya, air matanya terus membasahi pipi.
Agneta bertanya-tanya kenapa pria itu masih terus menyakitinya, selalu memaksakan kehendak yang tak diinginkan Agneta. Ia bersembunyi di tangga darurat dan duduk di salah satu undakan tangga. Ia menangis sejadi-jadinya di sana. Luka itu masih menganga lebar, rasa sakit itu masih terasa dan semuanya belum sembuh sempurna. Terlebih parah sekarang harus ditambah lagi dengan luka yang baru. Agneta semakin membenci Davero, sangat membencinya.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

57