Bab 4 Bertemu Regan

by Princess Kinan 10:51,Aug 03,2023
Setelah membersihkan wajahku dari kamar mandi dan lekas kembali menuju ruanganku.
Dugh!
Aku meringis karena menabrak seseorang. Menunduk saat berjalan memang tidak baik dan kening jadi terasa sakit ketika diusap-usap.
“Kamu tidak apa-apa?” Suara bass itu membuatku menengadah, suara familiar Aiden.
Dia menatap dengan khawatir sementara aku segera memeluknya. Tak peduli ini masih di kantor, sungguh tak sanggup lagi diri ini menompang rasa sakit.
“Ada apa, Neta?” bisiknya sambil mengusap punggungku.
Tak lagi mampu berkata-kata, aku hanya menangis dalam pelukannya.
“Ada apa, Sayang?” ucapnya lagi dengan lembut.
Aku melepaskan pelukannya untuk mengusap air mata. Saat ini wajahku sudah tak keruan lagi. Tangan lembut Aiden mengusap pipiku yang basah.
“Tenanglah. Semuanya baik-baik saja,” ucapnya membuatku tersenyum manis.
“Maafkan aku, Pak Aiden,” ucapku saat sadar di mana posisi kami saat ini.
Aku segera menjauhkan tubuhku dari Aiden dan memohon izin untuk pergi menuju ruanganku. Aiden masih menatapku dengan kebingungannya, tetapi sudahlah. Tidak mungkin pula untuk mengatakan semuanya padanya apa yang terjadi. Akhirnya sampai juga di kursi kebesaranku dan sedikit memperbaiki riasan wajah yang sudah terhapus air mata.
“Hey, Lo kenapa?” Sonya menyembulkan kepalanya dari balik kubikelnya yang kebetulan berdampingan denganku.
“Aku tidak apa-apa, Sonya. Hanya sedikit kecapaian,” jawabku.
“Lo sakit?” tanyanya terdengar khawatir.
“Tidak, bukan begitu. Hanya sedikit capei hari ini,” jawabku secepat mungkin sebelum dia menggemparkan divisi marketing dengan kekhawatirannya.
“Lebih baik Lo istirahat atau mungkin Lo mau teh hangat?”
Aku menggeleng dan mengucapkan terima kasih atas perhatiannya. Sonya akhirnya memilih kembali duduk di kursinya.
Bayangan itu kembali teringat. Dia mengungkungku, tangannya menyentuh wajah, kata-kata dari suaranya yang selalu mengusik pendengaranku.
Ya Tuhan, kenapa harus seperti ini? Kenapa dia datang kembali di saat hidupku sudah tenteram bersama Aiden dan Regan? Kenapa dia dengan mudahnya kembali untuk mengambil alih dan mendominasi segalanya? Tuhan, aku sungguh tak sanggup lagi dengan semua ini.
Aku mengusap wajah dengan gusar hingga lamunanku buyar saat mendengar suara pesan masuk ke handphone-ku.
Aiden
Kamu baik-baik saja, 'kan?
Sungguh aku tidak tenang dan mengkhawatirkanmu karena pergi begitu saja.
Aku sadar tadi sungguh keterlaluan hingga membuat Aiden khawatir. Aku segera membalas pesan Aiden dan mengatakan kalau aku baik-baik saja, tadi hanya teringat Regan saja. Setelah membalas pesan dari Aiden, aku kembali fokus pada pekerjaan yang menunggu dan berusaha menepis semua bayangan tadi dari pikiran.
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, itu tandanya sudah boleh pulang. Semua peralatan yang berserakan di atas meja dibereskan dan aku segera menyambar tas. Sebuah pesan masuk. Pesan dari Aiden, dia lembur karena ada meeting pukul setengah tujuh bersama beberapa pemegang saham perusahaan. Aku pun mengerti dan akan pulang sendirian. Akhir-akhir ini Aiden akan sangat sibuk. Jadi tidak heran dia jarang datang ke rumah atau mengantarku pulang.
Setelah beberapa saat aku juga menyadari tak melihat Sonya. Dia ke mana? Biasanya kalau aku tidak pulang bersama Aiden, dia yang akan langsung mengajakku pulang bersama menggunakan bus atau taxi. Namun, entah ke mana anak itu sekarang. Aku bergegas masuk lift yang terbukan untuk turun, menunggu sejenak sambil berpikir, semua terlewati begitu cepat, kemudian pintu lift terbuka. Aku berjalan di lobi kantor menuju pintu. Namun, langkahku terhenti saat melihat hujan begitu deras di luar sana. Aku tak tahu harus bagaimana karena aku tidak membawa payung dan tidak mungkin menunggu hujan reda karena Regan pasti sedang menungguku.
Aku terpaksa menerobos hujan dengan menggunakan tas sebagai pelindung kepala. Namun, tetap saja terguyur karena terus berlari menyusuri trotoar untuk mencapai halte di bawah hujan deras yang tersapu angin.
“Ahh!”
Belum sampai ke halte bus, aku terpekik karena sebuah mobil mewah mencipratkan genangan air berlumpur mengenai seluruh pakaianku. Mobil mewah itu berhenti di depanku dan tak lama si pengemudi turun dari mobil menggunakan payung hitam. Tanganku semakin mengepal kuat saat melihat Davero mendekat.
“Ups. Sorry, Agneta. Aku benar-benar tak sengaja,” ucapnya dengan polos saat sudah berdiri di depanku.
Aku hanya mendengus kesal karena tak ingin menanggapi apa pun dan memilih segera beranjak pergi.
“Agneta!” ucap Davero sementara aku tersentak saat pergelangan tanganku dicekal olehnya. “Masuklah! Aku akan mengantarmu.”
Kukibaskan tanganku dengan kuat untuk menolak dan berkata, “Tidak perlu, Pak. Terima kasih. Saya permisi.”
Aku bergegas pergi, tetapi lagi-lagi dia menggamit lenganku. “Sebagai bosmu, aku memerintahmu untuk masuk mobil, Agneta!” kata Davero penuh tekanan yang membuatku sulit untuk sekadar menelan ludah.
Mau tidak mau, kuturuti perintahnya dengan segera memasuki mobil. Dia menyusul dan melempar payungnya ke kursi belakang, lekas bersiap mengemudikan mobil. Jantung ini terasa berdetak sangat cepat, bahkan terasa sangat menyesakkan. Entah apa yang terasa, tetapi segalanya tetap sama seperti lima tahun yang lalu. Segalanya tetap berdetak cepat dan darahku berdesir hebat dan tentu saja aku begitu membencinya. Ya, aku membencinya!
“Eh?”
Aku tersentak, tiba-tiba Davero hendak mengusap pipiku dengan tisu.
“Sorry. Sejak tadi kamu melamun. Aku hanya ingin membersihkan noda di leher dan pipimu,” ucapnya.
Segera kuambil tisu yang baru dan membersihkan noda sendiri. Davero menghela napas dan membuang tisu yang dipegangnya sembarangan.
“So, ke mana aku harus mengantarmu?” tanya Davero memecah keheningan.
“Sampai perempatan depan saja.”
“Bukan jalannya, tapi rumahmu. Aku tidak suka menurunkan seorang wanita di pinggir jalan,” Davero berkelit.
Ucapannya itu membuatku jijik. Bilang saja kau ingin tidur bersama wanita yang kauantar, Sialan!
“Sekarang ke mana lagi?”
“Aku turun di sini saja,” ujarku.
“Baiklah kalau kamu tidak mau mengatakannya. Itu berarti kamu ikut pulang ke apartemenku.”
“Apa!” Aku terpekik kaget akibat penuturannya yang sangat tidak masuk akal.
“Cepat katakan, Agneta!” Dia melirik ke arahku dengan menaikkan sebelah alisnya.
“Kanan,” jawabku sinis.
Sial, dia menyeringai puas membuatku muak. Semoga Regan masih di rumah Sonya sehingga Davero tidak menemuinya. Aku belum siap.
“Sekarang ke mana?”
“Masuk gapura di depan,”
“Kamu tinggal di pemukiman?” tanya Davero sambil mengernyitkan dahinya saat memgemudi melalui gapura.
“Kamu pikir di mana aku akan tinggal? Apartemen atau perumahan mewah, 'kan?” sindirku.
Davero semakin mengernyit menatap jalanan yang becek, rusak dan kotor. Aku tahu dia tidak akan mau ke tempat seperti ini jadi tentu saja kuberharap dia kapok mengantarku pulang.
“Berhenti di rumah bercat cokelat itu!” kataku sambil menunjuk ke arah rumah yang kusewa.
Davero menghentikan mobilnya dan bertanya, “Kamu tinggal di rumah ini?”
“Iya, Tuan Davero. Ini rumah saya. Istana saya,” ucapku sambil bergegas menuruni mobil tanpa mengucapkan terima kasih. Toh dia sendiri yang memaksaku.
Aku berjalan menuju pintu rumah dan memasukkan kunci ke lubangnya.
“Di sini sangat kotor.”
Komentar itu membuatku kaget dan segera berbalik, ternyata manusia gila itu mengikutiku.
“Mau apa lagi sekarang?”
“Aku?” tanya Davero sambil menunjuk dirinya sendiri, itu membuatku memutar bola mata.
“Tentu saja Anda, Tuan Davero. Kenapa mengikutiku? Lebih baik Anda langsung pergi saja,” ucapku kesal.
“Aku sudah mengantarmu jauh-jauh. Apa tidak ada ucapan terima kasih dan tawaran minum teh untukku?” tanya Davero sambil santai memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
“Terima kasih. Sekarang pulanglah. Aku tidak punya stok teh di rumah,” ucapku berusaha mengusirnya secara halus.
“Air putih pun tak masalah. Tidak mungkin tidak ada stok air putih, 'kan?” ucapnya lebih santai dan menyebalkan.
Apa boleh buat, aku kalah telak. Bajingan ini membuatku ingin menjambaknya, selalu saja semaunya.
“Apa kita hanya akan mengobrol di luar seperti ini?”
Aku mendengus kesal dan membuka pintu, meladeni manusia satu ini hanya akan membuat emosiku naik.
Dia ikut menerobos masuk dan duduk di sofa. Ia berkata sambil mulai menumpangkan kakinya satu sama lain, “Di sini lebih segar dan wangi daripada di luar rumah.”
Aku tak menanggapi dan terus berjalan menuju dapur untuk mengambil air untuknya. Sempat terpikir untuk menyuguhkan air keran saja agar dia sakit perut dan kapok ke sini lagi. Akan tetapi, bagaimana kalau menyebabkan infeksi ke ususnya dan malah aku juga yang dituntut atas motif meracuni seseorang? Kuurungkan niatku soal air keran.
Akhirnya aku memilih air galon untuk disuguhkan kepadanya. Tak ada teh untuk dia kecuali dia memetik sendiri pucuk tehnya.
“Ini. Cepat habiskan dan pulang,” ucapku menyimpan gelas di atas meja di depan Davero
“Oke. Aku akan pergi setelah minuman ini habis,” ucapnya kemudian menyeringai. “Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kamu tinggal di sini? Kenapa pindah dari Semarang?”
“Bukan urusanmu,”ucapku sinis masih tetap berdiri.
“Aku ini atasanmu. Sudah sewajarnya aku mengetahui tentang karyawanku sendiri. Aku tidak mau mempunyai karyawan yang tidak jelas seperti teroris. Nanti yang ada perusahaanku akan bangkrut,” katanya acuh tak acuh sambil mengambil gelas untuk disesap sedikit, sangat sedikit.
Aku melongo mendengar penuturannya. Adakah yang bisa membantuku menjambak pria satu ini dan menendangnya dari rumahku? Sialnya tidak ada.
“Anda bisa menanyakan itu langsung ke bagian menejerial SDM,” ucapku.
“Aku ingin menanyakannya langsung pada setiap karyawan. Data bisa saja dimanipulasi.”
Ya Tuhan, aku lelah berbicara dengan pria menyebalkan ini. Aku hanya bisa menjawabnya.
“Saya tinggal di sini sudah selama lima tahun, tetapi baru bergabung di perusahaan Anda sekitar tiga tahun yang lalu. Alasan saya pindah dari Semarang bukan urusan Anda.”
“Kamu tidak berubah ya, Neta.”
Aku hanya diam saja.
“Aku selalu suka melihatmu berbicara panjang lebar. Kamu terlihat sangat menggemaskan.” Ucapannya memuakkan dan membuatku gugup.
Kenapa seperti ini, sih?
“Bundaaa!”
Degh!
Regan pulang.
“Bunda!” Aku melihat Regan berlari ke arahku dan memelukku.
“Ha-hai, Sayang.” Aku membalas pelukannya dan melirik Dave yang tengah memperhatikan kami.
“Bunda, Tante Ilen nggak ikut masuk kalena ada mobil di depan. Jadi Tante ngantel Egan sampe depan aja,” celotehnya.
“Anakmu?” Davero memecahkan kecanggungan.
Regan menoleh ke arah Davero, mereka saling menatap dan saling mengamati.
“Egan.” Aku segera mengalihkan perhatian anakku. “Ayo beri salam ke Om Dave!”
“Iya, Bunda.” Regan berjalan mendekati Davero yang masih menatap Regan dengan intens. Jelas itu membuat jantung ini berdetak lebih kencang dan hendak meloncat keluar dari tempatnya.
“Halo, Om Dave. Namaku Egan.” Regan mengucapnya dengan cengiran lebar khas anak kecil dengan pipi gembilnya.
Davero bergeming di tempatnya, masih menatap Regan dan begitu kaku saat Regan menyentuh tangannya untuk dicium.
“Kau sudah menikah?” tanya Dave, itu membuatku lega karena tampaknya Davero tak menyadari sesuatu kemiripan apa pun.
“Sepertinya itu bukan urusan Anda,” ucapku dengan tegas.
“Bunda, Egan ke kamal ya,” kata Regan.
Aku mengangguk dan membiarkan Regan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Itu lebih baik daripada dia terus berada di sini dan membuat pria itu menaruh curiga dan menyadari sesuatu.
“Agneta, apa kau sudah menikah?” tanya Davero terdengar menggeram.
“Bukan urusan Anda!” jawabku yang heran atas reaksinya. “Sepertinya Anda harus pulang, Pak Wiratama, karena saya harus mengurus putra saya.”
Dia menatapku hingga akhirnya memalingkan wajahnya ketika mengatakan akan pulang. Aku menatap pergerakannya bangkit dari sofa dan berjalan keluar dari rumah ini. Akhirnya napas lega bisa kuembuskan saat mendengar suara deru mobil menjauh. Aku merasa jantungku hampir keluar dari mulutku dan nyawaku hilang setengah, terasa lemas sekali.
Sampai kapan segalanya akan bertahan? Lambat laun dia akan sadar siapa Regan. Aku belum siap untuk itu, Tuhan!

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

57