Bab 2 Trauma Masa Lalu

by Princess Kinan 10:48,Aug 03,2023
“Selamat datang, Pak Wiratama,” ucap Pak Wildan menyadarkanku kalau ini bukanlah mimpi atau halusinasiku.
“Panggil saya Dave,” ucapnya tetap datar tanpa ekspresi, tatapannya mengarah kepadaku. Aku mampu merasakan kalau tatapan tajamnya menyusuri seluruh tubuhku seperti menelanjangiku. Ya Tuhan, pria brengsek ini, beraninya dia.
“Oh iya, Pak Dave, saya Wildan Handiansyah. Saya manajer di Divisi Marketing dan ini Agneta Laurinda Aretina, dia pegawai terbaik di divisi marketing di perusahaan ini,” jelas Pak Wildan.
Aku masih menatapnya penuh kebencian, bahkan aku mengepalkan kedua tanganku di kedua sisi tubuhku. Luka yang sudah lama aku kubur, kini kembali mencuat ke permukaan. Ada rasa sakit yang begitu membekas di relung hatiku. Luka yang teramat sakit karena pria di hadapanku ini.
Dia membalas tatapanku dengan tatapan tajam penuh intimidasi miliknya. Sama sekali tak ada yang berubah, dia tetaplah Dave yang sama seperti lima tahun yang lalu. Dia berjalan ke arahku, membuatku mundur selangkah untuk memberi jarak di antara kami. Dia terus mendekatiku seakan ingin menghapus jarak di antara kami. Aku segera menundukkan kepalaku karena tak sanggup lagi membalas tatapannya yang menakutkan dan juga mampu meluluhkan hatiku.
“Lama tak jumpa, Neta!” bisiknya membuatku meremang dan menelan ludahku sendiri.
Aku masih tak ingin membalas tatapannya yang mengintimidasi itu. Sungguh aku membenci pertemuan ini, aku membencinya, sangat membencinya.
“Aku merindukanmu,” bisiknya tepat di telingaku dan beranjak pergi. Membuat napasku berhenti sesaat.
Setelah kepergiannya, kali ini Pak Wildan yang menatapku penuh tanda tanya. Sepertinya dia penasaran atas perilaku Davero barusan.
“Saya permisi, Pak!” ucapku karena tak ingin membahas apa pun tentang Davero kepada Pak Wildan.
***
Saat ini aku tengah duduk di kursi yang ada di kafetaria kantor. Aku tengah menikmati makananku. Untunglah Aiden sedang ada pekerjaan, jadi dia tidak bisa makan siang bersamaku. Tidak, lebih tepatnya aku tengah mengaduk-aduk makananku sendiri tanpa selera. Pikiranku melayang memikirkan pria itu. Bagaimana bisa dia datang kembali? Pria yang sangat ingin kumusnahkan dari muka bumi ini, tetapi berada satu kantor sebagai atasanku. Apa aku harus keluar dari kantor ini? Apa itu tidak terdengar berlebihan? Sungguh, aku sangat sangat membencinya. Pria yang bahkan untuk menyebut namanya saja aku tak sudi.
“Woy! Malah melamun. Lagi mikirin abang Aiden, ya?” goda Sonya, itu menyadarkanku. Aku pun segera memperbaiki posisi dudukku dan raut wajahku.
“Tidak,” jawabku.
“Lo kenapa sih, Ta? Apa lo lagi marahan sama Aiden?” tanya Sonya.
Aku hanya menggelengkan kepalaku tak bersemangat.
“Apa ini ada hubungannya dengan Regan? Regan baik-baik saja, 'kan?” tanyanya lagi, Sonya tampak khawatir.
“Dia baik-baik saja, Sonya.”
“Terus lo kenapa?” Dia menyentuh keningku, membuatku mengernyit. “Enggak panas,” ucapnya.
“Gue baik-baik saja, Sonya sayang,” ucapku meyakinkannya.
Sonya adalah sahabatku sekaligus tetanggaku, dia yang paling dekat denganku. Setelah insiden itu terjadi, aku tidak pernah mau lagi memiliki teman ataupun sahabat karena semuanya hanya manis di depan. Sonya pun tak tahu mengenai kehidupan di masa laluku; Sonya tau aku adalah seorang single parent yang ditinggalkan oleh suamiku dan membesarkan Regan seorang diri. Dia juga yang membantuku masuk ke perusahaan besar ini hingga aku mampu bertemu dengan Aiden. Aiden tahu kisahku, tetapi dia tak meninggalkanku. Dia masih menerimaku apa adanya walau aku belum mengatakan semuanya. Hubungan kami sudah memasuki satu tahun, tetapi aku berkali-kali menolak niat baik Aiden untuk menikahiku. Entah apa yang aku pertimbangkan lagi, tetapi yang pasti hatiku belum sepenuhnya untuk Aiden.
Masih ada dia. Pria yang menjadi cinta pertamaku. Pria yang kucintai sekaligus kubenci. Pria yang tidak pernah ingin aku temui seumur hidupku, tetapi sekarang dia menjadi atasanku dan sialnya dialah pewaris tunggal dari perusahaan besar ini. Kenyataan pahit lainnya adalah dia sepupu dari Aiden kekasihku. Ya Tuhan, apa maksud dari semua ini?
“Malah ngelamun lagi, mood lo lagi jelek banget, ya, sekarang,” ucap Sonya membuatku sadar kembali bahwa dia masih berada di depanku.
“Iya. Hancur banget malahan,” jawabku asal.
“Tetapi setidaknya tetap makan dong,” ucapnya dan aku mengangguk.
Tatapanku mengarah keluar jendela kafetaria, di sana terlihat jelas pria itu tengah berjalan menuju lobi kantor.
“Lihatlah bos baru kita! Tampan sekali, 'kan? Inilah yang disebut pengeran sempurna, sudah tampan dia juga seorang miliuner. Perusahaannya ada di beberapa negara maju, pastinya banyak sekali wanita yang rela merendahkan diri hanya untuk bisa tidur bersamanya,” ucap Sonya berlebihan, entah kenapa itu membuat dadaku terasa terhantam dan merasa nyeri.
“Tidak semua wanita seperti itu,” ucapku kesal. Tersinggung dengan ucapannya.
“Heh, Lo kenapa, kok kayak emosi gitu? Apa kesan dia nggak baik buat Lo? Tapi memang sih dia agak cuek, bahkan buat senyum aja dia nggak bisa,” kata Sonya panjang lebar dan aku hanya bisa mendengus.
Bagaimana bisa pria tak berperasaan itu disebut pangeran sempurna. Yang benar saja!
***
Keesokan hari aku datang terlambat ke kantor karena Regan entah kenapa pagi tadi rewel sekali dan tak ingin kutinggalkan di sekolah. Aiden juga tidak bisa mengantarkan karena sedang ada meeting di luar kota. Terpaksa aku menungguinya dulu selama satu jam sampai dia kembali membaik dan membaur bersama teman-temannya. Setelah masuk ke lobi, aku tergesa-gesa menuju lift tanpa memperhatikan sekitar agar bisa masuk ke dalam lift yang nyaris tertutup rapat. Aku segera menekan tombol angka tujuh untuk menuju ke ruanganku, tetapi aku mencium parfum maskulin yang tak asing di indra penciumanku. Parfum? Aku menengok ke belakang dan damn it! Aku tak sadar telah masuk ke dalam lift khusus untuk para pejabat tinggi dan pria brengsek itu berdiri tepat di belakangku dengan tatapannya seperti biasa, tajam penuh intimidasi. Aku segera menekan tombol lift berkali-kali untuk menghentikan lift dan segera keluar dari ruangan sempit dan menyeramkan ini.
“Aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi setelah sekian lama,” ucapnya dengan angkuh.
Aku tak ingin meresponnya sama sekali dan terus mencoba menekan tombol lift sambil melafalkan doa-doa agar setan di belakangku lenyap dan hilang dari peradaban dunia. Aku tersentak saat dia menarik lenganku dan menghimpit tubuhku ke dinding lift. Mau apa dia? Takut? Yah, itulah yang saat ini aku rasakan. Bayangan lima tahun lalu kembali mengusik pikiranku. Insiden menyakitkan yang berhasil memorak-porandakan kehidupanku.
“Apa yang mau kamu lakukan?” tanyaku dengan sinis
“Ada apa?” Dia menunjukkan seringainya, sebelah alisnya terangkat. Masih terlihat sama seperti dulu, tak ada yang berubah.
“Menyingkirlah!” ucapku tajam.
Dia mungkin berpikir aku masih Agneta lima tahun lalu yang dengan mudahnya dia tipu dan bodohi. Sekarang aku adalah Agneta yang tak akan pernah kalah lagi. Cinta? Cih, aku tak ingin mengenal kata cinta itu lagi. Sudah cukup semua rasa sakit itu!
“Kau terlihat semakin cantik saja. Di mana kacamata tebalmu itu?”
Ucapannya membuatku membuang muka karena tak ingin menatapnya lagi. “Maaf, Pak Davero yang terhormat. Bisakah Anda menyingkir? Kalau orang lain melihat kita seperti ini maka gosip tak sedap akan menyebar dengan cepat. Anda tak ingin digosipkan sampai masuk majalah dan koran karena tepergok berlaku tak senonoh pada bawahannya,” ucapku dengan tegas tanpa ingin menunjukkan ketakutanku
Tentu saja, dia hanya tersenyum manis padaku, bukan senyum manis seperti orang biasanya. Itu adalah senyuman manis yang menyimpan sebuah racun mematikan di dalamnya, senyum penuh misteri yang malah membuatku bergidik ngeri.
“Aku tidak peduli,” ucapnya.
Ia semakin mendekatiku, bahkan sedikit saja aku bergerak, mungkin hidung kami akan bersentuhan. Napas mint-nya menerpa wajahku, menggelitik kulitku. Ya Tuhan, tolong aku. Sekarang aku merasa sangat takut, keringat dingin memenuhi sekujur tubuhku. Kepingan bayangan di masa lalu kembali memenuhi pikiran, otak yang sebelumnya sudah aku hapus dan menggantinya dengan kenangan indah bersama Regan dan Aiden, kembali terserang virus dari pria ini. Aku menunduk takut, tak ingin melihat sorot mata yang mampu memperdaya. Seluruh tubuhku terasa membeku dan merinding,
Aarghhh! Lepaskan! Sakitt! Tolong jangan lakukan ini, kumohonnn! Hiks. Jeritan demi jeritan mengusik ingatanku kembali.
Ting!
Syukurlah, pintu lift terbuka tepat waktu. Sekuat tenaga kudorong tubuh besar Davero dan segera berlari keluar dari lift tanpa ingin menoleh lagi ke belakang. Aku langsung menuju toilet yang berada dekat ruanganku dan menangis di salah satu kubikel. Dadaku terasa terhimpit, rasanya sangat sesak. Kepingan menyakitkan itu sedikit demi sedikit mencuat ke permukaan.
Kenapa? Kenapa Tuhan tak mengabulkan doaku? Kenapa dia harus kembali? Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku keluar dari sini dan memilih pergi sejauh mungkin?
Tidak, Agneta. Kamu sangat sulit masuk ke perusahaan ini, bahkan hanya mengandalkan ijazah SMA-mu. Kamu harus kuat, Agneta. Kalau kamu lemah, bagaimana dengan Regan? Mau diberi makan apa kalau kamu sampai keluar dari pekerjaan yang sudah membantu kelangsungan hidupmu dan Regan selama ini. Kamu bukan lagi wanita lemah seperti lima tahun yang lalu, Agneta. Kamu wanita kuat dan kamu harus kuat demi Regan.
Ya, semuanya hanya demi Regan seorang. Hanya dia dan untuk dia! Putra semata wayangku. Itu yang kupikirkan ketika menangisi segalanya.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

57