Bab 13 Sudah Melihat Hantu

by Leony Abrey 09:59,May 23,2020
“Ibu, aku masih belum selesai bicara.” Emily sedikit mengangkat alis, “masalahnya adalah begini, pagi hari ini, aku, Nona Carmine dan Merisa Darwanti sedang diruang istirahat minum kopi. Nona Carmine bilang kopi Nescafe yang aku minum adalah orang miskin yang minum, mereka orang kaya semua minum kopi Luwak. Aku tidak tahu kopi Luwak itu apa, tetapi mendengar nama merasa aneh, langsung aku cari di Google. Aku adalah orang miskin, melihat penjelasan sangat terkejut, langsung bertanya Nona Carmine, apakah kopi begini benar-benar enak? Nona Carmine menertawakan aku adalah kuno, aku mengaku, aku memang adalah kuno.”

Dia berhenti sebentar, menelan air ludah sebentar, “sebenarnya kita juga saling menyindir, tidak ada apa-apa. Tetapi Merisa Darwanti tidak mengira begini, dia orang itu apapun bagus, adalah suka memanfaatkan kelebihan orang lain mendapatkan keuntungan, menyanjung, ini tidak terlalu bagus. Dia ingin membuat Nona Carmine senang, merasa Nona Carmine sangat membenci aku, langsung menyerbu kemari, lalu menabrak tumpah kopi didalam tangan aku.”

Dia mengangkat lengan tangan, “anda lihat, lengan tangan aku terbakar semuanya muncul lepuh.”

Nyonya Besar Adelin melihat sekilas, melihat benar-benar kebakar lumayan parah, langsung mengoles-oles mulut, tidak bicara.

Emily melanjutkan berkata lagi, “aku pada awalnya adalah ingin menyelesaikan masalah dengan baik-baik, tidak ingin perhitungan dengan Merisa Darwanti, tidak kepikiran kelihatan oleh Direktur Austin. Dia sangat marah, bilang peraturan Keluarga Wijaya adalah timbal balik, aku disiram oleh orang, langsung kabur begitu saja, adalah seorang pengecut, memalukan wajah Keluarga Wijaya, merusak nama baik dia. Dia mau aku menyiram balik, tetapi aku tidak berani, aku benar-benar sudah takut. Akhirnya, dia mewakili aku timbal balik. Merisa Darwanti memeluk paha Nona Carmine, Nona Carmine juga dilibatkan.”

Ujung mulut Nyonya Besar Adelin bergerak sebentar, “jika tidak ada hubungan dengan kamu, kamu mengapa mau mengaku salah?”

“Aku sudah salah, aku sudah memalukan wajah Keluarga Wijaya, aku menjadi pengecut. Aku adalah menantu perempuan Keluarga Wijaya, mereka memukul wajah aku, adalah memukul wajah Keluarga Wijaya, aku tidak bisa melindungi wajah Keluarga Wijaya, aku sudah merusak nama baik Keluarga Wijaya, mohon anda menghukum aku saja.” Emily menundukkan kepala, sebuah rupa mengaku salah.

“Jika Austin sudah mengurus, masalah ini aku sudah tidak mengusut lagi. Kelak kamu harus perhatikan perkataan dan gerakan diri sendiri, jangan membawa kebiasaan buruk diKeluarga Tasmania itu sampai disini.”

Dia menunjukkan rupa mengurus masalah dengan adil.

“Aku sudah tahu, ibu, aku pasti tahu kesalahan dan memperbaiki.” Emily dalam hati menghela nafas.

Austin berturut-turut dua hari tidak pulang, baru muncul lagi adalah hari sabtu.

Periode pengobatan Nyonya Tua Laila sudah berakhir, dia tidak sabar ingin bertemu cucu menantu perempuan.

Austin memutuskan membawa Emily pergi melihat Nyonya Tua Laila.

“Apakah sudah tahu sampai rumah sakit seharusnya apa yang kamu lakukan?”

“Apa yang harus aku lakukan?” Emily dengan bingung mengangkat alis.

Dia mengulurkan tangan besar, memeluk bahu dia.

Tangan dia adalah hangat, hati adalah dingin, tidak ada kehangatan, lebih tidak ada perasaan.

Tetapi Emily sudah mengerti maksud dia.

Harus menunjukkan kemesraan!

“Sudah jelas, aku akan kerjasama dengan kamu.”

Saat mobil menyetir sampai jalan perempatan, mata dia melewati jendela mobil, jatuh diatas peron yang tidak jauh dari perjalanan.

Disana berdiri seorang lelaki yang tinggi, T-shrit berwarna putih, celana jeans berwarna biru, berdandan sembarangan tetapi ganteng.

Kulit putih dia seperti kulit telur yang baru selesai mengupas, panca indera ada sedikit kegantengan, keanggunan muncul sedikit pesona jahat.

Dia berdiri tegak diantara orang-orang, meskipun diatas jalanan, masih ada sangat banyak orang, tetapi dia sekali lihat langsung sudah kelihatan dia.

Wajah itu sudah sangat kenal, sudah mengukir masuk kedalam jiwa dia.

Sebuah kejang yang keras melewati badan dia, mata dia melotot lebih besar daripada bel tembaga, tidak berani percaya yang dilihat diri sendiri.

Lampu hijau sudah terang, supir menyalakan mesin.

Dia sudah gelisah, memukul jendela mobil, dengan gelisah memanggil kencang, “berhenti mobil, aku mau turun mobil, aku mau turun mobil!”

Austin mengerutkan alis, “Apa yang ingin kamu lakukan?”

Dia tidak mendengar, pendengaran dia sudah tertutup, semua perhatian tertuju diatas badan lelaki luar itu.

“Berhenti, aku mau turun mobil, aku mau turun mobil……”

“Nyonya muda, disini tidak boleh berhenti mobil.”

“Aku tidak peduli, aku mau turun mobil, mohon kamu, aku mau turun mobil.” Dia tidak peduli semuanya menarik pintu mobil terbuka.

Pemikiran dia sudah sangat kacau balau, akal sehat sudah dimusnahkan, dalam hati hanya berpikir satu hal, pergi mencari Tommy.

Pada saat dia mau meloncat turun dari mobil, gerakan Austin sangat cepat, menarik dia kembali, “Emily, apakah kamu sudah gila?”

“Kamu melepaskan aku, aku mau turun mobil!” dia menarik tenggorokan berteriak kencang, menendang satu tendangan terhadap Austin, ingin melepas dari dia.

Austin sudah marah, dengan kencang berteriak, “Berhenti!”

Supir tidak ada cara, terpaksa berhenti mobil dipinggir jalan.

“Pergi!” Alis Austin mengerut menjadi satu garis, suara perkataan masih belum selesai, Emily sudah mendorong buka pintu menyerbu keluar, diatas jalan raya berlari dengan gila, sedikitpun tidak peduli mobil yang berlalu-lalang.

Tommy! Tommy! Dia tidak berhenti didalam hati memanggil nama itu.

“Tuan muda, apa yang terjadi dengan nyonya muda?” supir dengan wajah yang bingung, tempat duduk dibelakang terus sangat tenang, dia tidak mendengar dia bertengkar dengan tuan muda.

Dalam mata Austin muncul kemarahan.

Dia hanya bisa kepikiran satu macam penjelasan, wanita bodoh ada saatnya gila, sudah kambuh penyakitnya.

“Turun lihat.” dia menggigit gigi dan memerintahkan.

Nenek masih sedang menunggu mereka, jika wanita ini hilang ditengah jalan, nenek pasti sangat kecewa, bisa jadi penyakitnya kambuh lagi.

Emily langsung berlari sampai tempat lelaki yang barusan lihat, disana sudah tidak ada orang.

“Tommy——Tommy——“ dia berteriak kencang, sangat gelisah melihat sekitar, matanya sudah melihat sangat jelas.

Orang yang berlalu-lalang, mobil yang melewati seperti siluet berwarna-warni melewati hadapan mata dia, menghilang lagi.

Tiba-tiba, pandangan mata dia berhenti didepan pintu mall, sebuah bayangan yang besar dengan cepat berjalan lewat.

Bayangan itu adalah yang dia kenal, masih ada T-shirt berwarna putih dan celana jeans berwarna biru.

Adalah Tommy, adalah Tommy!

“Tommy——“ dia bergairah berlari kearah mall.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

60