Bab 9 Memberinya Sedikit Pelajaran
by Leony Abrey
09:58,May 23,2020
"Di sini tidak ada yang tahu identitasku, aku yakin kamu juga tidak ingin ada orang lain yang tahu, kan?" Emily mengangkat bahunya.
Ucapan ini mengenai dasar hati Carmine.
Ia terus memamerkan hubungannya dengan Austin.
Tak sedikit orang di Departemen Desain yang mengira ia akan menjadi Nyonya CEO di masa depan sehingga menghormatinya. Kalau sampai mereka tahu Austin sudah menikah, ia bisa menjadi lelucon besar.
Ia sedang berpikir bagaimana caranya membuat Emily tutup mulut dan menyembunyikan identitasnya, tak disangka ia malah berinisiatif menyebutnya.
"Baiklah kalau kamu punya kesadaran itu. Jvlear Jewelry adalah tempat untuk bicara berdasarkan kekuatan, paling benci kalau ada orang yang punya relasi."
"Nona Carmine, semoga selanjutnya kita bisa berhubungan dengan baik," Emily tersenyum.
Carmine mengamatinya dari atas sampai bawah.
Meskipun ia amat menolak, dan merasa kalau dirinya lebih cantik, lebih fashionable daripada Emily, tapi kecantikan Emily memang tak bisa ditutupi. Kecantikannya luar biasa, manis tapi tak genit, murni dan tak semarak, tak perlu dihias oleh perhiasan apa pun.
Kesalahan yang bisa diungkapnya hanyalah pakaian itu.
"Nona Emily, pakaian yang kamu kenakan ini adalah model Chanel 2 tahun yang lalu. Bagaimana seorang desainer yang mengenakan pakaian out-of-date bisa merancang karya yang bagus?"
Demi menghemat uang, Emily memang membeli model lama Chanel yang murah, itu pun dibelinya tangan kedua dari Shopee.
Di bawah negosiasi ayahnya, keluarga Paman akhirnya menghapus setengah hadiah pertunangan. Setelah menuntaskan kewajiban finansial, walaupun masih tersisa 3miliarlebih, tapi masih jauh dari cukup untuk mengirim Jeffry berobat ke luar negeri.
Setiap bulan ia hanya punya uang saku sebesar 30juta, jadi ia menghematnya sebisa mungkin, sampai memodifikasi pakaian lamanya yang sudah ketinggalan zaman.
"Nona Carmine, kalau di matamu ini out-of-date, di mataku ini retro. Fashion adalah sebuah roda. Sebagai desainer, kita tidak seharusnya mengikuti tren, melainkan menciptakan tren. Lihat lagi pakaianku dengan lebih teliti, ini bukanlah model Chanel 2 tahun yang lalu, model itu tidak ada batu turquoise-nya."
Ia memasang pose keren. Berhubung ada orang yang memaksanya membereskan ketidakberuntungan, maka ia pun tidak perlu sungkan lagi.
"Wah, ornamen turquoise ini sangat cantik," sebuah suara terdengar dari belakang.
Ia menoleh dan melihat seorang wanita elegan berambut cokelat dan bermata hijau sedang berjalan mendekat. Dia adalah Direktur Departemen Desain, Cherly.
Dia orang Prancis asli, dan merupakan salah satu desainer perhiasan terkenal di dunia.
"Hello, Cherly!" Emily menyapanya sambil tersenyum. Dia adalah orang terakhir yang mewawancarainya waktu itu.
"Emily, kamu sangat berbakat, berusahalah dengan tekun," Cherly tersenyum hangat sambil berjalan masuk ke kantor.
Carmine mencibirkan bibirnya. Anak dusun miskin ini, yang berlian saja mungkin belum pernah dilihatnya, bisa merancang suatu karya yang bagus?
Hari pertama, Carmine mulai menarik orang-orang Departemen Desain untuk menjauhi Emily.
Politik kantor sangat tidak kekurangan penjilat dan antek.
Tidak ada yang mengacuhkan Emily seharian. Dia berinisiatif menyapa mereka, tapi mereka tidak menanggapinya. Ia sudah seperti dewa wabah.
Merisa Darwanti, karyawan magang yang baru datang, paling menonjol. Demi bisa menjadi anggota penuh, ia menjilat Carmine dengan berbagai cara, fokus menjadi anteknya.
Demi menyenangkan Carmine, ia memutuskan untuk menghukum sejenak Emily yang tak bisa membedakan baik-buruk.
Saat jam istirahat, Emily pergi ke ruang teh untuk menyeduh kopi. Carmine dan Merisa juga datang.
"Carmine, kopi luwakmu ini enak sekali, pantas saja kalau termasuk kopi unggulan," kata Merisa dengan sengaja.
"Tentu saja, ini bukan kopi yang mampu diminum orang biasa. Orang miskin sih, cuma bisa minum kopi instan," ujar Carmine sambil melirik Emily.
Sementara itu, Emily sedang memegang sebungkus kopi instan Nestle dan bersiap menyeduh.
Ia hanya butuh kopi sebagai penyegar, sehingga tidak terlalu banyak permintaan khusus.
Melihatnya tidak bereaksi, Carmine pun berjalan mendekat, "Emily, mau aku bagi sedikit biji kopi?"
"Tidak perlu, terima kasih," Emily menolak dengan halus. Dia sangat tahu kalau Carmine hendak mencari keributan.
"Iya juga, kalau kuberikan kepadamu, kamu juga tidak tahu cara menyeduhnya, nanti jadi mubazir, buang-buang sumber daya," Carmine tersenyum sinis.
Emily sangat tenang. Ia mengaduk kopinya, "Aku tidak biasa minum biji kopi yang dipungut dari kotoran musang."
"Kamu anak dusun dari kampung, tahu apa, benar-benar kampungan," Merisa memelototinya tajam.
"Bukannya kopi luwak itu berasal dari buah kopi yang dimakankan ke luwak, lalu dari kotorannya dipilih biji kopi yang belum dicerna, setelah itu dijual untuk dibuat minuman?" kata Emily pelan tapi pasti.
Begitu mendengarnya, Merisa langsung merasa jijik.
"Emily, kamu itu orang baru, tidak tahukah kalau kamu seharusnya menghormati senior?"
"Aku hanya mengatakan fakta, bukan tidak menghormati siapa pun. Kalau kamu merasa kata-kataku salah, silakan cari tahu sendiri," Emily mengangkat bahu, lalu meneguk kopinya.
Sekelebat mendung tampak di mata Carmine. Dia mendorong Merisa sedikit. Merisa mengerti. Ia berjalan mendekati Emily dan menabraknya tiba-tiba.
Kopi panas itu pun tumpah. Meskipun Emily melepasnya tepat waktu, tapi tetap saja menumpahi separuh tangannya.
Kulitnya yang putih itu pun seketika memerah dan melepuh.
Rasanya sangat sakit dan panas seakan dikuliti hidup-hidup.
"Apa kamu gila?" Emily buru-buru membuka kran air dan menyiram tangannya.
"Ini hanyalah pelajaran kecil. Di Departemen Desain, yang paling besar adalah Direktur Carmine. Kalau kamu tidak menghormati Carmine, maka seluruh Departemen Desain akan memusuhimu."
Merisa dan Carmine bertatap-tatapan. Nada bicaranya tajam dan kejam, tak ada sedikit pun rasa bersalah di dalamnya.
Kebetulan, Austin yang lewat diam-diam melihat semuanya ini.
Emily menyiram lukanya selama beberapa saat, tapi rasa sakitnya tidak kunjung berkurang, Sepertinya ia harus membeli salep pereda luka bakar.
Carmine melihatnya dengan sangat puas.
Kalau saja kopi itu menumpahi wajah si anak dusun itu, pasti akan lebih bagus. Dengan wajah hancur, lihat bagaimana ia akan menggoda Austin.
Emily menutup kran dan memungut gelas kopinya dari atas karpet.
Tanpa banyak bicara, ia bersiap pergi.
Dua lawan satu, dia berada di posisi yang merugikan.
Begitu sampai di pintu, kepalanya terbentur tembok badan yang kokoh.
Ia mendongak, dan melihat wajah Austin yang tegas dan dingin. Dengan kaget, Emily terlonjak mundur beberapa langkah, "Aus ... Aus ...."
Hampir saja ia meneriakkan nama Austin, dalam seketika, lidahnya berubah, mengucapkan "Direktur Austin" dengan kaku dan tidak jelas.
Carmine terkesiap, ia tak menyangka kalau Austin akan muncul tiba-tiba.
"Kak Austin!" Carmine tersenyum manis. Panggilannya sangat akrab.
Austin tidak menjawabnya, matanya tertuju pada tangan Emily yang melepuh, "Kenapa tanganmu?"
"Tertumpahi kopi panas," jawab Emily hati-hati.
"Siapa yang menumpahimu?" tanyanya dengan alis sedikit terangkat.
Ucapan ini mengenai dasar hati Carmine.
Ia terus memamerkan hubungannya dengan Austin.
Tak sedikit orang di Departemen Desain yang mengira ia akan menjadi Nyonya CEO di masa depan sehingga menghormatinya. Kalau sampai mereka tahu Austin sudah menikah, ia bisa menjadi lelucon besar.
Ia sedang berpikir bagaimana caranya membuat Emily tutup mulut dan menyembunyikan identitasnya, tak disangka ia malah berinisiatif menyebutnya.
"Baiklah kalau kamu punya kesadaran itu. Jvlear Jewelry adalah tempat untuk bicara berdasarkan kekuatan, paling benci kalau ada orang yang punya relasi."
"Nona Carmine, semoga selanjutnya kita bisa berhubungan dengan baik," Emily tersenyum.
Carmine mengamatinya dari atas sampai bawah.
Meskipun ia amat menolak, dan merasa kalau dirinya lebih cantik, lebih fashionable daripada Emily, tapi kecantikan Emily memang tak bisa ditutupi. Kecantikannya luar biasa, manis tapi tak genit, murni dan tak semarak, tak perlu dihias oleh perhiasan apa pun.
Kesalahan yang bisa diungkapnya hanyalah pakaian itu.
"Nona Emily, pakaian yang kamu kenakan ini adalah model Chanel 2 tahun yang lalu. Bagaimana seorang desainer yang mengenakan pakaian out-of-date bisa merancang karya yang bagus?"
Demi menghemat uang, Emily memang membeli model lama Chanel yang murah, itu pun dibelinya tangan kedua dari Shopee.
Di bawah negosiasi ayahnya, keluarga Paman akhirnya menghapus setengah hadiah pertunangan. Setelah menuntaskan kewajiban finansial, walaupun masih tersisa 3miliarlebih, tapi masih jauh dari cukup untuk mengirim Jeffry berobat ke luar negeri.
Setiap bulan ia hanya punya uang saku sebesar 30juta, jadi ia menghematnya sebisa mungkin, sampai memodifikasi pakaian lamanya yang sudah ketinggalan zaman.
"Nona Carmine, kalau di matamu ini out-of-date, di mataku ini retro. Fashion adalah sebuah roda. Sebagai desainer, kita tidak seharusnya mengikuti tren, melainkan menciptakan tren. Lihat lagi pakaianku dengan lebih teliti, ini bukanlah model Chanel 2 tahun yang lalu, model itu tidak ada batu turquoise-nya."
Ia memasang pose keren. Berhubung ada orang yang memaksanya membereskan ketidakberuntungan, maka ia pun tidak perlu sungkan lagi.
"Wah, ornamen turquoise ini sangat cantik," sebuah suara terdengar dari belakang.
Ia menoleh dan melihat seorang wanita elegan berambut cokelat dan bermata hijau sedang berjalan mendekat. Dia adalah Direktur Departemen Desain, Cherly.
Dia orang Prancis asli, dan merupakan salah satu desainer perhiasan terkenal di dunia.
"Hello, Cherly!" Emily menyapanya sambil tersenyum. Dia adalah orang terakhir yang mewawancarainya waktu itu.
"Emily, kamu sangat berbakat, berusahalah dengan tekun," Cherly tersenyum hangat sambil berjalan masuk ke kantor.
Carmine mencibirkan bibirnya. Anak dusun miskin ini, yang berlian saja mungkin belum pernah dilihatnya, bisa merancang suatu karya yang bagus?
Hari pertama, Carmine mulai menarik orang-orang Departemen Desain untuk menjauhi Emily.
Politik kantor sangat tidak kekurangan penjilat dan antek.
Tidak ada yang mengacuhkan Emily seharian. Dia berinisiatif menyapa mereka, tapi mereka tidak menanggapinya. Ia sudah seperti dewa wabah.
Merisa Darwanti, karyawan magang yang baru datang, paling menonjol. Demi bisa menjadi anggota penuh, ia menjilat Carmine dengan berbagai cara, fokus menjadi anteknya.
Demi menyenangkan Carmine, ia memutuskan untuk menghukum sejenak Emily yang tak bisa membedakan baik-buruk.
Saat jam istirahat, Emily pergi ke ruang teh untuk menyeduh kopi. Carmine dan Merisa juga datang.
"Carmine, kopi luwakmu ini enak sekali, pantas saja kalau termasuk kopi unggulan," kata Merisa dengan sengaja.
"Tentu saja, ini bukan kopi yang mampu diminum orang biasa. Orang miskin sih, cuma bisa minum kopi instan," ujar Carmine sambil melirik Emily.
Sementara itu, Emily sedang memegang sebungkus kopi instan Nestle dan bersiap menyeduh.
Ia hanya butuh kopi sebagai penyegar, sehingga tidak terlalu banyak permintaan khusus.
Melihatnya tidak bereaksi, Carmine pun berjalan mendekat, "Emily, mau aku bagi sedikit biji kopi?"
"Tidak perlu, terima kasih," Emily menolak dengan halus. Dia sangat tahu kalau Carmine hendak mencari keributan.
"Iya juga, kalau kuberikan kepadamu, kamu juga tidak tahu cara menyeduhnya, nanti jadi mubazir, buang-buang sumber daya," Carmine tersenyum sinis.
Emily sangat tenang. Ia mengaduk kopinya, "Aku tidak biasa minum biji kopi yang dipungut dari kotoran musang."
"Kamu anak dusun dari kampung, tahu apa, benar-benar kampungan," Merisa memelototinya tajam.
"Bukannya kopi luwak itu berasal dari buah kopi yang dimakankan ke luwak, lalu dari kotorannya dipilih biji kopi yang belum dicerna, setelah itu dijual untuk dibuat minuman?" kata Emily pelan tapi pasti.
Begitu mendengarnya, Merisa langsung merasa jijik.
"Emily, kamu itu orang baru, tidak tahukah kalau kamu seharusnya menghormati senior?"
"Aku hanya mengatakan fakta, bukan tidak menghormati siapa pun. Kalau kamu merasa kata-kataku salah, silakan cari tahu sendiri," Emily mengangkat bahu, lalu meneguk kopinya.
Sekelebat mendung tampak di mata Carmine. Dia mendorong Merisa sedikit. Merisa mengerti. Ia berjalan mendekati Emily dan menabraknya tiba-tiba.
Kopi panas itu pun tumpah. Meskipun Emily melepasnya tepat waktu, tapi tetap saja menumpahi separuh tangannya.
Kulitnya yang putih itu pun seketika memerah dan melepuh.
Rasanya sangat sakit dan panas seakan dikuliti hidup-hidup.
"Apa kamu gila?" Emily buru-buru membuka kran air dan menyiram tangannya.
"Ini hanyalah pelajaran kecil. Di Departemen Desain, yang paling besar adalah Direktur Carmine. Kalau kamu tidak menghormati Carmine, maka seluruh Departemen Desain akan memusuhimu."
Merisa dan Carmine bertatap-tatapan. Nada bicaranya tajam dan kejam, tak ada sedikit pun rasa bersalah di dalamnya.
Kebetulan, Austin yang lewat diam-diam melihat semuanya ini.
Emily menyiram lukanya selama beberapa saat, tapi rasa sakitnya tidak kunjung berkurang, Sepertinya ia harus membeli salep pereda luka bakar.
Carmine melihatnya dengan sangat puas.
Kalau saja kopi itu menumpahi wajah si anak dusun itu, pasti akan lebih bagus. Dengan wajah hancur, lihat bagaimana ia akan menggoda Austin.
Emily menutup kran dan memungut gelas kopinya dari atas karpet.
Tanpa banyak bicara, ia bersiap pergi.
Dua lawan satu, dia berada di posisi yang merugikan.
Begitu sampai di pintu, kepalanya terbentur tembok badan yang kokoh.
Ia mendongak, dan melihat wajah Austin yang tegas dan dingin. Dengan kaget, Emily terlonjak mundur beberapa langkah, "Aus ... Aus ...."
Hampir saja ia meneriakkan nama Austin, dalam seketika, lidahnya berubah, mengucapkan "Direktur Austin" dengan kaku dan tidak jelas.
Carmine terkesiap, ia tak menyangka kalau Austin akan muncul tiba-tiba.
"Kak Austin!" Carmine tersenyum manis. Panggilannya sangat akrab.
Austin tidak menjawabnya, matanya tertuju pada tangan Emily yang melepuh, "Kenapa tanganmu?"
"Tertumpahi kopi panas," jawab Emily hati-hati.
"Siapa yang menumpahimu?" tanyanya dengan alis sedikit terangkat.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved