Bab 10 Membalas adalah Peraturan Keluarga Lu
by Leony Abrey
09:59,May 23,2020
Emily menundukkan kepalanya. Untuk sesaat ia tak tahu harus berkata jujur atau tidak.
"Katakan!" Nada bicara Austin mengandung ketidaksabaran.
Emily menelan ludah, perlahan mendongak menatap pria itu. Wajah pria itu tanpa ekspresi, tak ada gejolak perasaan sama sekali. Sepasang matanya begitu kelam, seperti sumur berusia ribuan tahun, tak terlihat dasarnya.
"Itu ..." Baru saja Emily membuka mulut, Merisa menyelanya, "Dia sendiri yang melakukannya. Tadi dia sombong sekali. Dia mempermalukan Carmine, katanya kopi yang diminum Carmine adalah kotoran musang. Sama sekali tak tahu sopan santun."
Dia kira dengan begini bisa memperoleh kepercayaan Austin.
Carmine adalah pacar Austin. Dengan membantu Carmine, ia sama saja menjilat Austin.
Carmine menampakkan ekspresi malu, "Merisa, jangan begitu, tidak apa-apa. Aku tidak mempermasalahkan hal kecil begini."
Sorot mata Austin seketika berubah jadi dingin, "Aku paling benci orang yang berbohong."
Wajah Merisa sedikit memucat.
Carmine si kartu as ini tampaknya tidak seberguna yang diperkirakan.
"Cepat katakan sejujurnya, jangan buang-buang waktu Presdir. Masa hal sekecil ini juga harus memanggil satpam untuk memeriksa CCTV?" sahut Finn di belakang.
Melihat keadaan ini, Emily menebak kalau Austin pasti sudah melihat, hanya saja berpura-pura tidak tahu.
"Direktur Austin, hanya masalah kecil saja, saya sudah tidak apa-apa. Waktu sudah larut, kita harus kembali bekerja."
Emily tidak ingin memperbesar masalah. Bagaimanapun dia adalah orang baru, juga dikucilkan oleh mereka, jadi lebih baik merendah sedikit.
Emily baru berjalan satu langkah ketika ia ditarik dengan kasar oleh Austin, "Kuberi 3 detik, katakan siapa, atau kau otomatis dipecat."
Suaranya amat ringan, namun kata-katanya seberat timbal.
Emily gemetar. Apakah Austin sedang mencari alasan untuk memecatnya?
Tidak, ia tidak boleh memberinya kesempatan.
"... itu dia!" Emily menunjuk Merisa. Melindungi pekerjaannya adalah yang terpenting, ia tidak sempat memedulikan yang lain.
"Bukan aku, kamu sembarangan bicara, kamu menuduhku."
Merisa seketika panik. Ia menatap Carmine untuk meminta pertolongan.
Carmine tak menyangka kalau Austin tidak menyerah. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya.
"Kak Austin, ini hanya kecelakaan, Merisa tidak sengaja. Ia hanya ingin memperingatkan Emily sedikit begitu mendengar kata-katanya yang tidak senonoh. Bagaimanapun ini adalah perusahaan, bukan pasar, jadi tidak sembarang kata-kata kasar boleh diucapkan. Tidak disangka, respons Emily agak berlebihan. Keduanya pun bersenggolan, hingga kopi Emily tumpah."
Ucapannya terdengar sedang membela Merisa, namun kenyataannya ia lagi-lagi menyerang Emily.
Emily tertawa sinis, "Nona Carmine, aku hanya menjelaskan kalau kopi luwak berasal dari kotoran yang keluar dari pantat musang. Sangat mudah dimengerti. Tidak kasar, kan?"
Austin memunculkan ekspresi aneh, seperti ingin tertawa namun ditahan.
Memang mudah dimengerti.
Kata-kata ini hanya gadis bodoh yang bisa mengucapkannya.
Jari telunjuknya yang lentik mengetuk meja dua kali. Matanya yang dingin berkedip, tak menunjukkan penghiburan diri, "Baiklah, dia menumpahimu, kamu tumpahi dia balik, dengan begini akan impas."
Kata-kata yang pelan itu bak berton-ton bom yang meledak tiba-tiba di dalam ruang teh.
Merisa terkejut hingga kakinya lemas. Ia terjatuh di pinggir kaki Carmine. Kesombongannya hilang tanpa jejak.
"Saya salah, Direktur Austin, saya salah, tolong maafkan saya. Saya tidak akan berani melakukannya lagi," Merisa menangis. Wajahnya pucat pasi, bahkan bibirnya pun kehilangan warna.
Emily tidak menyangka Austin akan menggunakan cara seperti ini.
Dia bukannya tidak ingin membalas, melainkan tidak ingin menyebabkan pergolakan yang berakibat buruk padanya hanya karena seorang karyawan magang mem-bully-nya di hari pertama bekerja.
"Direktur Austin, biarkan dia meminta maaf pada saya, dan masalah ini saya anggap selesai, bolehkah?"
"Baik, aku minta maaf, aku minta maaf. Maaf, Emily, maaf!" ujar Merisa bertubi-tubi. Seluruh tubuhnya bergetar.
Muncul segaris sorot haus darah pada mata Austin. Ia mencondongkan tubuhnya. Bibirnya yang memesona menyentuh telinga Emily, "Membalas adalah peraturan Keluarga Wijaya, apa kamu ingin merusaknya?"
Suara yang berat itu keluar dari mulutnya, dan masuk ke telinga Emily. Suaranya dingin, membekukan napas hangat yang dimuntahkannya.
"Aku hanya ...." Emily ingin menjelaskan, namun kata-katanya terhenti di bawah sorot mata dingin Austin yang mengintimidasi.
"Finn, tuangkan air panas. 100 derajat, tidak boleh kurang sedikit pun."
"Katakan!" Nada bicara Austin mengandung ketidaksabaran.
Emily menelan ludah, perlahan mendongak menatap pria itu. Wajah pria itu tanpa ekspresi, tak ada gejolak perasaan sama sekali. Sepasang matanya begitu kelam, seperti sumur berusia ribuan tahun, tak terlihat dasarnya.
"Itu ..." Baru saja Emily membuka mulut, Merisa menyelanya, "Dia sendiri yang melakukannya. Tadi dia sombong sekali. Dia mempermalukan Carmine, katanya kopi yang diminum Carmine adalah kotoran musang. Sama sekali tak tahu sopan santun."
Dia kira dengan begini bisa memperoleh kepercayaan Austin.
Carmine adalah pacar Austin. Dengan membantu Carmine, ia sama saja menjilat Austin.
Carmine menampakkan ekspresi malu, "Merisa, jangan begitu, tidak apa-apa. Aku tidak mempermasalahkan hal kecil begini."
Sorot mata Austin seketika berubah jadi dingin, "Aku paling benci orang yang berbohong."
Wajah Merisa sedikit memucat.
Carmine si kartu as ini tampaknya tidak seberguna yang diperkirakan.
"Cepat katakan sejujurnya, jangan buang-buang waktu Presdir. Masa hal sekecil ini juga harus memanggil satpam untuk memeriksa CCTV?" sahut Finn di belakang.
Melihat keadaan ini, Emily menebak kalau Austin pasti sudah melihat, hanya saja berpura-pura tidak tahu.
"Direktur Austin, hanya masalah kecil saja, saya sudah tidak apa-apa. Waktu sudah larut, kita harus kembali bekerja."
Emily tidak ingin memperbesar masalah. Bagaimanapun dia adalah orang baru, juga dikucilkan oleh mereka, jadi lebih baik merendah sedikit.
Emily baru berjalan satu langkah ketika ia ditarik dengan kasar oleh Austin, "Kuberi 3 detik, katakan siapa, atau kau otomatis dipecat."
Suaranya amat ringan, namun kata-katanya seberat timbal.
Emily gemetar. Apakah Austin sedang mencari alasan untuk memecatnya?
Tidak, ia tidak boleh memberinya kesempatan.
"... itu dia!" Emily menunjuk Merisa. Melindungi pekerjaannya adalah yang terpenting, ia tidak sempat memedulikan yang lain.
"Bukan aku, kamu sembarangan bicara, kamu menuduhku."
Merisa seketika panik. Ia menatap Carmine untuk meminta pertolongan.
Carmine tak menyangka kalau Austin tidak menyerah. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya.
"Kak Austin, ini hanya kecelakaan, Merisa tidak sengaja. Ia hanya ingin memperingatkan Emily sedikit begitu mendengar kata-katanya yang tidak senonoh. Bagaimanapun ini adalah perusahaan, bukan pasar, jadi tidak sembarang kata-kata kasar boleh diucapkan. Tidak disangka, respons Emily agak berlebihan. Keduanya pun bersenggolan, hingga kopi Emily tumpah."
Ucapannya terdengar sedang membela Merisa, namun kenyataannya ia lagi-lagi menyerang Emily.
Emily tertawa sinis, "Nona Carmine, aku hanya menjelaskan kalau kopi luwak berasal dari kotoran yang keluar dari pantat musang. Sangat mudah dimengerti. Tidak kasar, kan?"
Austin memunculkan ekspresi aneh, seperti ingin tertawa namun ditahan.
Memang mudah dimengerti.
Kata-kata ini hanya gadis bodoh yang bisa mengucapkannya.
Jari telunjuknya yang lentik mengetuk meja dua kali. Matanya yang dingin berkedip, tak menunjukkan penghiburan diri, "Baiklah, dia menumpahimu, kamu tumpahi dia balik, dengan begini akan impas."
Kata-kata yang pelan itu bak berton-ton bom yang meledak tiba-tiba di dalam ruang teh.
Merisa terkejut hingga kakinya lemas. Ia terjatuh di pinggir kaki Carmine. Kesombongannya hilang tanpa jejak.
"Saya salah, Direktur Austin, saya salah, tolong maafkan saya. Saya tidak akan berani melakukannya lagi," Merisa menangis. Wajahnya pucat pasi, bahkan bibirnya pun kehilangan warna.
Emily tidak menyangka Austin akan menggunakan cara seperti ini.
Dia bukannya tidak ingin membalas, melainkan tidak ingin menyebabkan pergolakan yang berakibat buruk padanya hanya karena seorang karyawan magang mem-bully-nya di hari pertama bekerja.
"Direktur Austin, biarkan dia meminta maaf pada saya, dan masalah ini saya anggap selesai, bolehkah?"
"Baik, aku minta maaf, aku minta maaf. Maaf, Emily, maaf!" ujar Merisa bertubi-tubi. Seluruh tubuhnya bergetar.
Muncul segaris sorot haus darah pada mata Austin. Ia mencondongkan tubuhnya. Bibirnya yang memesona menyentuh telinga Emily, "Membalas adalah peraturan Keluarga Wijaya, apa kamu ingin merusaknya?"
Suara yang berat itu keluar dari mulutnya, dan masuk ke telinga Emily. Suaranya dingin, membekukan napas hangat yang dimuntahkannya.
"Aku hanya ...." Emily ingin menjelaskan, namun kata-katanya terhenti di bawah sorot mata dingin Austin yang mengintimidasi.
"Finn, tuangkan air panas. 100 derajat, tidak boleh kurang sedikit pun."
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved