Bab 4 Sebaik Mungkin Menjadi Seorang Manusia Yang Transparan

by Tatiana Angelique 16:36,Aug 19,2021
Tania menelepon Mbok Minah, meminta bantuan untuk membelikannya beberapa pakaian.

Mbok Minah memberitahunya bahwa keluarga Dalmian sudah mengirimkan barang-barangnya kemarin.

Dia tiba di kamar tamu dan melihat kopernya yang berisi semua barangnya.

Cuaca baru saja memasuki musim gugur, perbedaan suhu antara pagi dan malam sangat terasa. Ditambah lagi dia masuk angin. Dia mengenakan sweter wol halus berwarna abu-abu muda dan menggunakan celana jeans pensil, dengan tubuh yang ideal yang dimilikinya, pakaian sesederhana itu pun menjadi sangat menarik.

Tania cantik sejak kecil, menjadi lebih cantik lagi ketika dia dewasa. Dia memiliki rambut hitam yang panjang, kulit putih seputih salju, apalagi sepasang matanya yang berbentuk aprikot dan berkilau, seperti dapat berbicara.

Dia turun dari lantai dua dan melihat Aswin duduk di meja makan, mengenakan kemeja hitam buatan tangan, terlihat sangat mahal dan memiliki aura yang sangat kuat.

Tania duduk tidak jauh dari pria itu.

Dia harus memperlakukan pria dengan penyakit mental dengan hati-hati, tidak terlalu dekat atau terlalu jauh, tetap berada dijarak aman.

"Selamat pagi Tuan Raharja."

Aswin berkata dengan dingin, "Pagi."

Tania melihat sandwich di depannya, mengambil pisau dan garpu, bersiap untuk makan. Dia tidak sengaja mengetuk tepi piring dan mengeluarkan suara "ting tang", yang tampaknya sangat keras di pagi yang tenang.

Jantungnya hampir menyentuh tenggorokannya.

Aswin yang sedang makan dengan elegan pun berhenti sejenak, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Asisten Indro juga ikut pergi mengikutinya.

"Tuan Muda Raharja, Nona Dalmian adalah wanita muda yang duduk di sebelah kamu di pesawat."

Aswin menyipitkan alisnya dan berkata, " Segera selidiki, siapa sebenarnya dia."

Setelah sarapan Tania pergi keluar.

Area sekitar Bay Garden adalah area vila, agak jauh dari transportasi umum, perlu berjalan kaki lumayan jauh untuk kesana.

Cuaca musim gugur di Tateyama sangat tidak menentu, tiba-tiba mendung, cerah dan tiba-tiba hujan turun. Dia keluar dengan tergesa-gesa, tidak membawa payung, dia terus berjalan menerobosi hujan.

Indro baru saja keluar dari gerbang vila, melihat bahwa orang yang berjalan di depan adalah Tania, "Tuan Muda Raharja, apakah kamu ingin membiarkan Nona Dalmian masuk ke dalam mobil?"

Aswin yang duduk di kursi belakang, melirik ke luar jendela dengan datar berkata, "Tidak perlu."

Tania akhirnya sampai di stasiun bus. Sekarang adalah jam sibuk pagi, bus penuh dan sesak, dia berusaha menerobos masuk kehiruk pikuk keramaian sebelum bus berangkat.

Setelah tiba di rumah sakit, terlihat perawat Isma yang sedang berdiri dan mondar-mandir di luar pintu kamar pasien. Setelah dia melihatnya Tania, dia berlari dan berkata, "Nona Dalmian, kamu akhirnya datang. Aku baru saja meneleponmu, tapi tidak ada yang menjawab."

Dia sangat berhati-hati di rumah Raharja, bahkan ponselnya disetel bergetar, tadi karena dia sibuk di jalan, ditambah lagi keadaan luar yang berisik, dia tidak mendengar suara telepon.

Dia bertanya sambil menangis, "Apakah keadaan nenek tidak baik?"

Isma berkata, " Dokter di dalam sedang mencoba menyelamatkan."

Wajah Tania langsung memucat dan pikirannya gelisah.

Akhirnya, pintu ruang pasien dibuka.

Dia berlari ke depan, "Dokter, apa yang terjadi dengan nenek aku?"

Dokter yang berkeringat, melepas maskernya, "Nona Dalmian, datang ke kantor aku sebentar."

Tania seperti mati rasa, duduk dengan pikiran kosong.

"Kami menemukan bahwa tubuh pasien memiliki komplikasi penyakit darah. Tempat terbaik untuk mengobati penyakit ini adalah Rumah Sakit Raharja. Tentu saja, Rumah Sakit Raharja adalah rumah sakit swasta dan biayanya akan lebih mahal. Pihak keluarga dapat mempertimbangkannya."

Ketika Tania mendengarnya, dia menangis kegirangan, "Terima kasih dokter."

Dia segera naik taksi ke Grup Dalmian dan meminta uang kepada Hartono.

Hartono melihat Tania yang bergebu-gebu datang, bertanya dengan datar: "Apa yang ingin kamu lakukan di sini?"

"Ayah, terakhir kali kamu berjanji padaku untuk memberikan nenek sumber daya medis terbaik. Sekarang aku menikah dengan Aswin, tolong tepati janjimu."

"Bukankah aku sudah memberimu 1 miliar? Kamu sungguh serakah, dikasih hati minta jantung" bentak Hartono.

"Sekarang kondisi nenek menunjukkan tanda-tanda memburuk, dokter menyarankan agar nenekku dipindahkan ke rumah sakit swasta."

Dia tidak ingin mengatakan bahwa rumah sakit swasta yang dia tuju adalah Rumah Sakit Raharja, dia takut Hartono akan mencari alasan lain untuk mengabaikannya.

"Rumah Sakit Raharja adalah rumah sakit swasta terbaik. Jika kamu ingin pindah ke sana, kamu seharusnya pergi mencari suamimu Aswin, bukannya datang kepadaku."

Dia menganggap rendah ketidakmaluan Hartono, tidak disangka dia mengucapkan kata-kata itu untuk mengelak dengan sangat percaya diri.

"Dia tidak berutang apa pun padaku, mengapa aku harus mencarinya? Kamu yang berjanji padaku untuk membantu nenek."

"Bukankah aku sudah membantumu, menikahkanmu dengan keluarga Raharja, kamu pikir keluarga Raharja akan menikahi sembarangan orang? Jika kamu tidak memiliki kemampuan untuk memintanya membantumu, itu urusanmu sendiri, kamu tidak seharusnya datang kepadaku. "

Tania mengepalkan tinjunya, kukunya menusuk kedalam telapak tangannya, ujung jarinya mencekam erat.

" Hartono."

Tania tidak bisa menahan amarah di hatinya, langsung meneriakkan namanya, "Tidak peduli apa yang telah kamu lakukan padaku, aku bisa menahannya. Namun sekarang adalah waktu paling kritis untuk menyelamatkan nenek. Kamu sekarang mengacuhkan permintaan ku, apakah kamu masih manusia?"

Hartono mengambil cangkir air di atas meja dan melemparkannya ke arah Tania, "Kamu bajingan, berani sekali berbicara seperti ini kepadaku."

Dahi Tania terluka, pecahan kaca berserakan dilantai.

"Apakah kamu pikir kamu pantas menyuruhku berbicara dengan baik padamu?"

"Keluar." Hartono membentaknya dengan keras.

Tania berjalan keluar meninggalkan Grup Dalmian, di luar hujan deras, darah di dahinya bersih tersapu oleh hujan.

Dia tidak tahu siapa lagi yang bisa dia cari, apa dia benar-benar harus memohon Aswin.

Tania yang tidak pernah mengeluh tentang Aswin cacat dan tidak normal saja sudah dihukum tidur di lantai. Jika dia benar-benar meminta bantuan Aswin, tidak tahu siksaan seperti apa lagi yang akan dihadapinya.

Kembali ke rumah sakit, nenek belum juga bangun. Dia duduk di sebelah tempat tidur nenek dan bergumam: "Nenek, selama masih ada kesempatan, aku akan membuatmu tetap hidup."

Sampai malam tiba, dia kembali ke Bay Garden, pria itu belum juga kembali.

Dia bertanya kepada Mbok Minah, " Apa Tuan muda pulang untuk makan malam?"

" Malam ini Tuan muda ada perjamuan, mungkin dia akan pulang larut."

"Apakah Tuan Muda minum alkohol pada saat perjamuan?

"Jika dia minum, dia akan memberitahu bagian dapur untuk menyiapkan sup pereda mabuk terlebih dahulu."

"Jika Asisten Indromenelepon, tolong beri tahu aku, aku akan menyiapkan sup pereda mabuk."

Tania berada di dapur sepanjang malam untuk belajar memasak sup pereda mabuk.

Melihat kembalinya Aswin, dia mengeluarkan sup pereda mabuk dari dapur dan hendak memberikannya, tetapi ketika Aswin mengangkat tangannya, sup pereda mabuk pun tumpah kelantai.

Tania kebingungan.

Aswin meliriknya, mata pria yang dalam itu bersinar dengan cahaya redup, yang membuat orang benar-benar tidak bisa mengerti.

“Jika kamu ingin minum, aku akan meminta Mbok Minah membuatkannya lagi untukmu.” Setelah selesai berbicara, Tania membungkuk dan membersihkan pecahan kaca dilantai, tanpa sengaja menyentuh luka di telapak tangannya. Darah yang bernoda merah menodai tangannya yang halus dan putih.

“Kelak, jangan menanyakan kegiatanku, sebaik mungkin menjadi seorang manusia yang transparan.” Aswin dengan Suara datar dan acuh tak acuh memperingatkannya hal yang tidak boleh diabaikan.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

1119