Bab 14 14. Aku Juga Akan Menikah

by Irma W 00:00,Jun 01,2021
Saat semua orang rumah sedang berkumpul di ruang tengah, Gery datang. Awalnya Gery hendak langsung nyelonong masuk ke kamar, tapi ayah buru-buru mencegahnya.

“Kau baru pulang? Duduklah dulu kemari.”

Memutar bola mata malas dan mendesah, Gery akhirnya ikut duduk. Sepertinya Belva sudah pulang. Gery sempat mengedarkan pandangan tapi memang tidak menemukan sosok Belva.

Perlu diketahui, yang tahu tentang hubungan Gery dan Belva di masa lalu hanyalah Theo. Ayah dan ibu hanya tahu kalau Gery dan Belva sempat satu kampus dan dekat saat masa SMA.

“Ada apa, Ayah?” tanya Gery malas. Gery duduk di samping ibunya yang langsung mengusap bagian pundak.

“Ikut kita ngobrol,” jawab Wenda. “Kakakmu kan sebentar lagi menikah, kau harus ikut bersiap-siap.”

Gery mendengkus lirih. “Aku juga akan menikah, Bu,” kata Gery kemudian.

Ketiga orang di sini sontak menoleh menatap Gery penuh tanya.

“Apa dengan wanita yang kemarin malam kau ajak ke sini?” tanya Wenda.

Gery mengangguk. “Tentu saja. Aku bahkan sudah pesan baju pengantin.”

“Sungguh?” Wenda membelalak. “Kau tidak bercanda kan?”

Gery menggeleng. Theo yang pura-pura fokus menonton TV kemudian ikut bicara. “Kau sedang tidak main-main kan? Aku bahkan tahu kalau kau baru saja kehilangan. Masa iya, kau sudah segampang itu jatuh cinta dengan wanita lain.”

“Kau tidak tahu karena kau ada di luar negeri. Memang apa salahnya aku jatuh cinta dengan wanita lain. Toh aku dan Tania sebenarnya sudah putus.”

Tak ada yang menyahuti perkataan Gery. Ayah dan ibu memang tahu kalau sebelum terjadi kecelakaan, Gery dan Tania sempat bertengkar. Tidak salah juga kalau memang Gery sudah menemukan wanita lain.

“Kau yakin mau menikah dengan wanita itu?” tanya Wenda. Dari raut wajahnya menunjukkan seolah Wenda kurang tertarik dengan tipe wanita seperti Amora.

Tidak sederajat dengan Belva. Mungkin seperti itu yang dipikirkan Wenda.

“Aku sangat yakin. Satu minggu lagi aku akan menikah.”

“Apa!” Wenda dan Abraham terperanjat secara bersamaan. Pun dengan Theo.

“Kau yakin?” Wenda memastikan lagi. “Please Gery, kau jangan main-main. Theo saja belum beres.”

“Aku yang akan urus semuanya. Aku biasa melakukan semuanya sendiri bukan?” Gery berdiri. Perkataannya itu terdengar seperti sebuah sindiran. “Ayah dan Ibu urus saja pernikahan Theo dan Belva.”

Gery tersenyum pias sebelum beranjak pergi. Ayah, ibu dan Theo diam dan saling pandang.

“Aku tidak peduli kalau pernikahan ini di anggap terlalu buru-buru. Aku hanya tidak mau dianggap selalu nomor dua.” Gery membanting pintu kamar sambil mengoceh tanpa henti.

“Dari dulu semuanya Theo yang diutamakan!”

Perasaan cemburu pada Theo kini mengalahkan semua rencana. Yang ada pada otak Gery saat ini adalah, dirinya tak mau kalah lagi dari Theo. Gery juga tak mau merasa kalah karena Belva akan menjadi milik Theo.

“Apa aku masih suka pada Belva?” batin Gery. Ia duduk termenung usai menyelendokkan handuk di lehernya.

Gery kembali termenung memikirkan masa-masa bersama Belva. Masa-masa di mana pernah bahagia bersama sebelum akhirnya Belva memutuskan untuk pergi dengan alasan meneruskan study di luar negeri.

Tok, tok, tok!

Gery mendongak ke arah pintu. Dia sesaat, pintu itu kembali terdengar diketuk.

“Ini Ibu. Boleh masuk?”

Gery membuang napas kasar kemudian duduk bersandar pada dinding ranjang. “Ya, masuk saja.”

Wenda membuka pintu secara perlahan. Setelah badannya masuk, Wenda tersenyum ke arah Gery. “Kau belum mau tidur kan?” tanya Wenda.

Gery berdehem pelan. Hal itu menandakan halau Gery sedang malas untuk diajak bicara.

“Ada apa ibu ke sini?” tanya Gery malas.

Wenda meraih kursi lalu duduk menghadap ke arah Gery. “Tidak ada apa-apa. Ibu hanya ingin bertanya tentang keputusanmu untuk menikah.”

“Kenapa memangnya?”

Wenda menatap Gery dalam-dalam. Jika Gery menganggap Wenda tak peduli, itu salah. Wenda sejujurnya lebih sayang pada Gery, tapi sayangnya terkadang sang suami yang membuat perasaannya goyah. Abraham memang lebih menyayangi Theo karena dia anak pertama, dan anak laki-laki pertama adalah takhta keluarga menurut para sesepuh keluarga ini.

“Pernikahan tidak untuk main-main, Ger,” kata Wenda.

“Memangnya siapa yang main-main?” sahut Gery. “Aku tidak mungkin main-main, Bu. Apa kalian pikir aku masih bocah kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa?”

Wenda mendesis pelan dan mengerjapkan mata untuk sesaat. Bicara pada Gery memang harus menyiapkan kata-kata yang sesuai supaya tidak salah tangkap.

“Siapa yang bilang begitu? Tidak ada.”

Gery mendengkus setengah tertawa getir. “Sudahlah, Bu. Ini hidupku. Biarkan aku yang urus. Ayah dan ibu urus saja anak kesayangan kalian!” Gery membuang muka lalu berbaring.

Dalam posisi sudah memunggungi ibunya, Gery menarik selimut hingga menutupi seluruh badannya. Wenda menepuk pelan kedua pahanya sambil menghela napas. Wenda berdiri kemudian beranjak pergi dari kamar Gery.

Sementara di rumah sederhana yang cukup jauh dari kediaman keluarga Abraham, Amora juga sama halnya sedang di intimidasi oleh keluarganya. Ayah, ibu dan juga putri, mereka tengah mengerubungi sosok Amora yang terduduk.

“Kau tahu kalau Andy sangat mencintaimu kan?” tanya Ayah. “Dia seharian menunggumu dan kau baru pulang.”

Atmaja tak biasanya menghardik Amora sekeras ini. Namun, melihat bagaimana raut wajah Andy tadi siang, Atmaja sungguh ingin marah pada Amora.

“Aku tahu, Ayah. Aku juga sangat mencintai Andy.”

“Bohong!” potong Putri. “Kalau kau memang mencintainya, kau tak mungkin mengabaikannya.”

Semua mendadak termenung untuk sesaat.

“Oh, atau jangan-jangan ...” tiba-tiba bola mata Ambar membulat sempurna. Semua mata segera memutar pandangan kearahnya. “Jangan katakan kalau kau jadi wanita simpanan pria kaya itu!”

Jedwar! Amora kembali merasa ada petir yang menyambar tubuhnya.

“Apa maksud ibu?” tanya Amora nanar.

“Jangan sembarangan kalau bicara!” hardik Atmaja pada Ambar. “Amora tidak seperti itu!”

Amora berdiri dan menatap lurus ke arah ayahnya. “Ayah, aku hanya minta ayah percaya padaku. Apapun yang aku lakukan, semua karena aku ingin keluarga ini tetap bisa berkumpul.”

Atmaja teringat akan kebebasan dirinya dari tahanan. Semua memang berubah sejak dirinya dinyatakan bebas. Amora mulai bertingkah aneh setelah itu.

“Katakan pada ayah, apa yang akan kau lakukan sebenarnya?” tanya ayah.

Ambar dan Putri sudah menatap sinis pada Amora. Di manapun, yang namanya saudara tiri memang selalu digambarkan sebagai sosok yang tidak mengenakkan. Itu juga terjadi pada kehidupan Amora.

“Aku akan menikah dengan Tuan Gery.”

“APA!” ketiga orang di hadapan Amora berteriak secara bersamaan membuat Amora mengatupkan kedua mata sesaat.

“Me-menikah?” tanya Ambar. “Ka-kau ...”

“Amora, kau tidak serius kan?” Atmaja meraih kedua pundak Amora setengah mengguncang pelan.

Amora hanya terbengong beberapa detik sebelum kemudian mundur dan pergi masuk ke dalam kamarnya tanpa penjelasan lagi. Atmaja masih melongo tidak percaya. Satu tangannya menahan dada lalu menghempas begitu saja jatuh di sofa.

“Ayah,” jerit Ambar dan Putri.

Atmaja menarik napas dalam-dalam. “Aku baik-baik saja.”
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

89