Bab 10 10. Ternyata saling mengenal

by Irma W 00:00,Jun 01,2021
Di ruang makan belum ada siapapun. Abraham dan Wenda sepertinya masih bersiap di dalam kamar. Kalau Theo dan Belva, Gery tadi sempat melihat mereka berdua masuk ke kamar. Entah apa yang mereka lakukan, Gery tak mau membayangkannya.

“Kau duduk dulu di sana.” Gery menunjuk ke arah meja makan. “Aku mau ambil ponselku dulu.”

Amora menurut saja dan melangkah sendiri menuju ruang makan. Di sana, di atas meja tentunya, sudah tersedia berbagai hidangan makanan berbeda-beda. Mulai dari makanan pembuka, pencuci mulut hingga makanan penutup. Semua sudah tertata rapi.

Dari ruang belakang yang tak jauh dari ruang makan, Amora merasa ada seseorang yang tengah mengamatinya. Sepertinya dua pelayan berbaju putih dengan celemek biru yang sedang memandangi Amora.

“Hai,” tegur Wenda saat sudah datang ke ruang makan. “Kau siapa?” tanya Wenda kemudian.

Sambil menari kursi mundur, Wenda menoleh ke arah suaminya yang berjalan di belakangnya. Satu tangannya melambai supaya sang suami cepat mendekat.

Amora yang merasa gugup, menyatukan kedua tangan lalu berdiri. “Selamat malam, Bibi?” sapa Amora sesopan mungkin.

“Kau itu siapa?” tanya Wenda lagi. Setahu dia, tidak ada wanita dengan wajah seperti Amora yang Gery maupun Theo kenal.

Bingung harus menjawab apa, tangan Amora terasa gemetaran. Amora masih gugup dan menggigit bibir bawah, membuat Wenda dan Abraham saling pandang.

“Amora?” kata seseorang yang baru muncul. “Kau Amora kan?”

Belva yang muncul bersama Theo menatap Amora keheranan. Pun dengan Amora sendiri. Wanita yang Amora lihat tadi tak lain adalah orang yang pernah menghancurkan hidupnya dulu. Dia adalah Belva. Ya, Amora yakin, dia memang Belva.

“Belva, jadi dia temanmu?” tanya Wenda.

Dugaan Amora benar. Dia memang Belva. Wanita licik yang selalu mengusik kehidupannya waktu masa SMA. Belva tidak sendirian mengerjai Amora, tapi dibantu Cindy yang tak lain adalah sepupu Amora yang entah di mana keberadaannya sekarang.

Amora yang sudah melupakan masa lalunya itu, mendadak muncul kembali setelah tanpa disengaja bertemu dengan Belva.

“Benar dia temanmu, Belva?” tanya Wenda sekali lagi.

Wenda tersenyum. Sebuah senyum yang dibuat-buat. “Dia teman masa sekolahku.”

“Jadi, kau yang mengajaknya kemari?” tanya Theo.

Belva lantas menggeleng cepat, membuktikan kalau watak yang dulu dan sekarang tidak jauh berbeda. Masih Belva yang sangat tidak menyukai Amora. “Aku bahkan sudah lama tidak bertemu dengannya.”

“Aku yang mengajaknya. Apa ada masalah?” Gery muncul dan langsung merangkul pundak Amora.

Amora tak bisa berbuat apa-apa selain menunduk karena bingung.

“Itu sungguh Gery?” batin Belva saat matanya menangkap sosok Gery yang berbeda. “Dia tidak seperti Gery yang kukenal.”

“Kita obrolkan sambil duduk,” ajak Abraham. “Sepertinya kedua putra Ayah sudah mau memperkenalkan calonnya masing-masing.” Senyum senang tergambar jelas di wajah Abraham.

Mereka semua duduk sesuai dengan pasangan masing-masing. Sudah cukup lama tidak bertemu dengan Belva, jujur saja Gery agak gugup dan grogi. Belva terlihat begitu cantik malam ini. Gery tidak bisa pungkiri akan hal tersebut. Sedangkan Amora, dia terlihat biasa saja.

“Aku seperti orang bodoh di sini,” batin Amora.

“Jadi, apa ini kekasihmu, Gery?” tanya Wenda. Sebelum bertanya, Wenda sempat melirik antara Belva dan Amora.

Memaksakan wajahnya mencoba tersenyum, Gery meraih telapak tangan Amora lantas menjawab, “Ya, dia kekasihku.”

Amora tersenyum saat Gery mengajaknya tersenyum.

“Namamu Amora?” tanya Wenda lagi.

Amora merasa dari nada bicara ibu Gery terdengar sedikit sinis. Mungkin ibu Gery merasa risih melihat kedatangan Amora di sini.

“Iya, Bibi. Namaku Amora.”

Abraham yang merasa tidak asing dengan nama itu, kemudian ikut bertanya. “Amora siapa?”

“Amora Setiana Atmaja.”

“Atmaja?” kata Abraham setengah terkejut.

“Apa kau mengenalnya?” tanya Wenda pada sang suami.

Buru-buru Abraham langsung menggeleng. “Tidak. Aku hanya pernah dengar nama itu.”

Di dalam hati Gery tengah berkata. “Ayah mungkin dengar karena waktu itu aku pernah menyebut nama Atmaja sebagai pelaku kecelakaan yang menewaskan Tania.”

Suasana ruang makan memang sedikit canggung. Abraham dan Wenda bingung harus mengakrabi pembicaraan pada siapa dulu. Theo dan Belva ataukah Gery dan Amora.

“Oh iya sayang,” panggil Wenda pada Belva. Panggilan itu membuat Amora kian menunduk. “Kau tidak akan balik ke Singapura kan?”

Belva yang sudah mulai menikmati makan malamnya menoleh lebih dulu ke arah Theo. “Aku ikut Theo saja, Bibi. Kita datang kesini juga karena akan membahas pernikahan kita.”

Wenda seketika tersenyum lebar dan sedikit mengguncang lengan sang suami yang ada di atas meja. Lengan yang sedang bersiku menghadap piring makan malam.

“Lalu, kapan kalian akan melangsungkan pernikahan?” tanya Wenda lagi.

Dalam situasi seperti ini, Gery merasa sebagai anak yang terasingkan. Apapun, selalu saja Theo yang diutamakan. Gery sadar, Theo memang segalanya lebih tinggi darinya. Dia bahkan bisa membangun perusahaan di luar negeri. Meskipun perusahaan Gery berkembang pesat, tapi ayah dan ibu tidak pernah membanggakannya.

Pembicaraan pun beralih tatkala mendadak mereka teringat akan sosok Tania.

“Oh iya, Ger. Bukankah kau baru saja berkabung?” tanya Theo. “Cepat sekali sudah mendapatkan kekasih baru?”

Gery tak peduli kalau lirikan semua orang di sini menatapnya seolah sedang mengintimidasi.

“Aku dan Tania kan sudah putus beberapa bulan yang lalu,” jawab Gery santai.

“Kudengar kau sering mabuk-mabukkan lagi karena Tania.”

Perkataan Theo sepertinya memancing amarah pada diri Gery. Wenda yang menyadari akan hal itu, buru-buru mengalihkan pembicaraan.

“Setelah punya kekasih baru, mungkin Gery akan berubah lebih baik. Iya kan, Gery?” Wenda menatap Gery masih dengan seutas senyum.

Yang diajak bicara justru acuh. “Aku permisi dulu.” Gery tiba-tiba berdiri lalu meraih tangan Amora.

Amora yang baru saja hendak memasukkan sesuap pasta ke dalam mulut, terjatuh bersamaan dengan sendok di atas piring. Mereka semua saling pandang dan membiarkan Gery pergi bersama Amora.

“Kenapa mendadak pergi?” tanya Amora. Ia mendesis karena Gery terus menyeret lengannya dengan kuat.

“Tidak usah banyak tanya!” hardik Gery.

Sama sekali tak memperdulikan Amora yang sudah meringis kesakitan, Gery kemudian memaksa Amora masuk ke dalam mobil. Karena terus didesak dan didorong, lutut Amora sampai tidak sengaja membentur pintu mobil.

Grep! Gery kemudian ikut masuk ke dalam mobil.

Amora yang merasa takut, memilih membuang muka ke arah lain. Wajah Gery saat ini sungguh terlihat mengerikan. Dari yang Amora sempat lihat tadi, mungkin Gery tidak terlalu akrab dengan mereka. Meskipun satu keluarga, sepertinya Gery merasa tidak nyaman.

“Mungkinkah hidupnya tidak jauh denganku?” Amora membatin.

Perlahan Amora memutar pandangan melirik ke sebagian wajah Gery. Dia tampan. Amora tak bisa pungkiri itu. Tampan dan terlihat kejam. Namun, mungkinkah dia menyimpan banyak masalah?

Mobil pun berhenti di sebuah tempat yang hanya dihiasi beberapa bohlam lampu. Amora termenung memandangi keadaan di luar sana dari balik kaca mobil. Ada satu lampu kelap-kelip yang menjalar di satu pohon palem. Di bawahnya ada satu kursi besi dan tak jauh dari pohon itu ada sebuah ayunan yang tidak terlalu jelas dipandang.

Grep! Gery sudah turun dan meninggalkan Amora sendirian di dalam mobil.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

89