Bab 12 12. Dua Wanita Masa Lalu
by Irma W
00:00,Jun 01,2021
Sampai di dalam kamar, Gery segera merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Kepalanya terasa berat dan begitu penat. Gery mana tahu kalau setelah kepergian Tania ternyata akan muncul Belva dalam kehidupannya. Mereka adalah dua wanita yang pernah mengisi hidup Gery penuh tawa dan penuh tangis juga.
Memejamkan mata, kepala Gery tengah terbayan-bayang akan masa lalu. Mulai dari yang paling indah, hingga ada dua kata yang sangat menusuk hati. “Kita Selesai.”
“Aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan kita,” kata Belva dengan wajah penuh sesal. “Aku harus pergi.”
Saat itu, Gery sedang dalam keadaan bahagia karena tepat saat hari ulang tahunnya. Sayangnya, bahagia itu berubah kesedihan dan kekecewaan.
“Apa maksudmu?” Gery balik bertanya. Dua tangan Belva ia genggam dengan erat dan memandangnya penuh nanar.
“Aku harus meneruskan sekolahku di singapura,” jelas Belva.
“Tapi kita bisa berhubungan jarak jauh. Kita bisa komunikasi lewat ponsel atau apapun itu.” Gery mulai panik.
Belva mendesah lalu mengibas genggaman Gery. “Tidak Gery. Aku mau kita sudahi hubungan ini.”
Setelah pertemuan di hari ulang tahunnya itu, Gery tak lagi bertemu dengan Belva lagi. Malam itu adalah pertemuan terakhir untuk mereka berdua hingga keduanya bertemu kembali tanpa disangka-sangka.
Gery berguling-guling di atas kasur sambil memaki-maki tidak jelas. Bayang-bayang masa lalu itu sangat mengganggu pikirannya. Belum lagi, Gery teringat akan berakhirnya hubungan dengan Tania yang sekarang benar-benar sudah meninggalkannya sangat jauh.
“Aku sudah tak mencintaimu lagi.” Hanya itu yang Tania katakan saat menyudahi hubungannya dengan Gery.
Semua meminta menyudahi hubungan saat Geru sudah berharap dengan hubungan yang jauh lebih serius. Mereka menyerah pada Gery tanpa alasan. Banyak yang berkata, tak ada wanita yang mau dengan Gery karena pernah memiliki pengalaman buruk.
Gery orang yang urakan, dia suka klabing. Mabuk-mabukkan sudah menjadi kesehariannya. Soal pekerjaan dia tak pernah becus. Gery begitu karena ada alasan.
“Kalian sama sekali tidak mengerti Aku! Aaaarrgg!” Gery melompat dari atas ranjang dan membungkuk dengan kedua tangan mencengkeram rambutnya sendiri.
“Brengsek!” Kali ini Gery melempar bantal dan menarik selimut hingga berserakan di atas lantai.
Gery masih tersadar untuk tidak mengamuk berlebihan hingga membuat kamar ini hancur bak terkena dentuman bom atom. Gery juga tak mau membangunkan penghuni rumah ini yang pada dasarnya memang tidak terlalu mementingkan dirinya.
Gery terlelap hingga fajar dari balik tirai tipis yang menutupi jendela kaca membuatnya menggeliat. Mengerjap-kerjapkan mata, perlahan Gery mengangkat tubuhnya hingga terduduk. Gery mengedarkan pandangan sambil menguap dan meregangkan otot-ototnya yang entah kenapa terasa pegal.
Sudah seperti biasanya, pelayan telah menyiapkan pakaian dan segelas susu hangat di atas meja yang tak jauh dari rak TV.
Terhuyung-huyung Gery melangkahkan kaki mendekati cermin. Berdiri cukup lama di sana sambil mengucek-ucek matanya yang masih berat untuk dibuka.
“Aku tak mau lagi dianggap kalah dari Theo,” kata Gery.
Gery menyambar ponsel di atas meja rias dan langsung menghubungi seseorang.
“Bersiaplah, aku jemput kau lima belas menit lagi.”
Tut! Sambungan terputus sebelum seseorang di seberang sana sempat menyahut.
Klak! Gery melempar ponselnya kembali di atas meja hingga menabrak sudut. Setelahnya Gery menjambret handuk dan menghilang masuk ke dalam kamar mandi.
Sementara seseorang yang baru saja Gery hubungi sedang berada dalam keadaan kebingungan. Baru juga Amora meletakkan ponselnya dan hendak keluar dari kamar, dari luar—tanpa rasa sopan santun—Putri menggedor pintu sangat keras.
“Bangun kau! Andy menunggumu di luar!”
“Andy?” pekik Amora saat itu juga. Amora lantas mondar-mandir sambil meremas-remas jemari dan menggigit bibir bergantian.
“Bagaimana aku bisa tenang bertemu Andy?” Amora terus saja mondar-mandi dan mendesis. “Pasti dia akan banyak tanya nanti. Apa yang harus aku lakukan?”
“Kau budeg ya!” teriak Putri lagi. Pintu digedor kian keras.
Suara gedoran itu mendadak lenyap saat Amora mendengar ada suara ibu tirinya membentak Putri.
“Kau itu sedang apa? Masih pagi sudah berisik!”
Putri menggedor pintu sekali lagi sambil menjawab. “Amora kupanggil tapi tidak menjawab. Mati mungkin dia!”
Astaga! Amora ternganga tatkala menangkap perkataan Putri. Putri tidak tahu saja kalau saat ini keadaan sedang sangat runyam. Bertemu Andy, sama saja akan membuat hidup Amora mulai dihantui rasa bersalah.
Merasa paginya terganggu, Ambar segera bergantian menggedor pintu kamar Amora. Bahkan cara Ambar menggedor pintu lebih bertenaga dari yang Putri lakukan. Atmaja yang kala itu sedang di ruang makan menikmati sarapannya, sampai tersedak dan buru-buru meneguk minumannya.
Merasa sebagai pusat masalah penyebab pagi rumah ini gaduh, sosok Andy hanya meringis getir dalam kesendirian di ruang tamu.
“I-iya, Bu! Aku baru selesai mandi!” sahut Amora akhirnya. “Aku akan segera keluar.”
“Dasar bocah kurang ajar!” maki Ambar sebelum memutar tumit dan kembali ke ruang makan. Pun dengan Putri yang sudah kelaparan.
Sebelum beranjak keluar, Amora menarik napas dalam-dalam lebih dulu. Mengusap dada supaya perasaannya lebih relaks. Barulah saat desahan berhembus pelan, Amora melangkahkan kaki keluar dari kamar.
“Maaf, sudah membuatmu menunggu lama,” kata Amora saat sampai di ruang tamu.
Andy yang sejujurnya sudah mulai bosan dan terasa pegal karena menunggu, memaksakan diri untuk tersenyum. “Tidak juga. Aku baru saja datang.”
Amora membalas senyuman itu kemudian duduk. “Ada perlu apa menemuiku?”
“Ada apa? Apa maksudnya ada apa?” Amora bertanya dalam hatinya sendiri. Amora ingin sekali menimpuk kepalanya sendiri karena sudah melontarkan pertanyaan yang sungguh pasti membuat Andy merasa tidak enak hati.
Dan benar saja, wajah Andy yang tadi sempat menunjukkan senyum, mendadak datar. “Tentu saja aku merindukanmu. Akhir-akhir ini kau sangat sulit ditemui dan dihubungi. Kenapa?”
Amora menggigit bibir dan membuang muka. Memandang wajah Andy yang tampan, sungguh Amora jadi merasa bersalah.
“Aku, aku hanya sedang ada urusan,” jawab Amora.
“Urusan apa? Tidak bisakah kau cerita padaku. Aku sangat khawatir.” Intonasi Andy saat bicara terdengar mulai membentak.
Amora merasa kalau dirinya saat ini seperti seorang tawanan yang sedang di intimidasi karena tak mau mengakui kesalahannya.
“Kau tahu, semalam aku bahkan datang mencarimu,” kata Andy lagi. “Tapi ... putri bilang kau sudah pergi untuk menemuiku. Kau bohong Amora?”
Degh! Amora baru teringat akan hal itu. Dan Amora tidak menyangka kalau ternyata Andy sudah mengunjunginya semalam. Semalam, ya ... Amora ingat kalau dirinya sedang menghadiri acara makan malam di rumah Gery.
“Permisi!”
Baru saja Amora menyebut nama itu di dalam hati, orang itu muncul dan sudah bertengger di ambang pintu yang memang sedari tadi terbuka lebar.
Alamak! Amora ingin menjerit sekeras-kerasnya dalam situasi seperti ini. Belum beres dengan urusan menjelaskan pada Andy permasalahannya, kini muncul orang yang berdiri di paling puncak masalah yang ada.
“Tu-Tuan? Kau sudah datang?” kata Amora gemetaran.
Wajah Andy sudah terlihat pias. Ia sebelumnya sempat berbicara dengan Gery di jalan waktu itu. “Ada hubungan apa antara dia dan Amora?” batin Gery.
“Kan aku sudah bilang. Hari ini kita bertemu!” sahut Gery. “Kau tidak amnesia kan?”
“Ti-tidak, Tuan.”
***
Memejamkan mata, kepala Gery tengah terbayan-bayang akan masa lalu. Mulai dari yang paling indah, hingga ada dua kata yang sangat menusuk hati. “Kita Selesai.”
“Aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan kita,” kata Belva dengan wajah penuh sesal. “Aku harus pergi.”
Saat itu, Gery sedang dalam keadaan bahagia karena tepat saat hari ulang tahunnya. Sayangnya, bahagia itu berubah kesedihan dan kekecewaan.
“Apa maksudmu?” Gery balik bertanya. Dua tangan Belva ia genggam dengan erat dan memandangnya penuh nanar.
“Aku harus meneruskan sekolahku di singapura,” jelas Belva.
“Tapi kita bisa berhubungan jarak jauh. Kita bisa komunikasi lewat ponsel atau apapun itu.” Gery mulai panik.
Belva mendesah lalu mengibas genggaman Gery. “Tidak Gery. Aku mau kita sudahi hubungan ini.”
Setelah pertemuan di hari ulang tahunnya itu, Gery tak lagi bertemu dengan Belva lagi. Malam itu adalah pertemuan terakhir untuk mereka berdua hingga keduanya bertemu kembali tanpa disangka-sangka.
Gery berguling-guling di atas kasur sambil memaki-maki tidak jelas. Bayang-bayang masa lalu itu sangat mengganggu pikirannya. Belum lagi, Gery teringat akan berakhirnya hubungan dengan Tania yang sekarang benar-benar sudah meninggalkannya sangat jauh.
“Aku sudah tak mencintaimu lagi.” Hanya itu yang Tania katakan saat menyudahi hubungannya dengan Gery.
Semua meminta menyudahi hubungan saat Geru sudah berharap dengan hubungan yang jauh lebih serius. Mereka menyerah pada Gery tanpa alasan. Banyak yang berkata, tak ada wanita yang mau dengan Gery karena pernah memiliki pengalaman buruk.
Gery orang yang urakan, dia suka klabing. Mabuk-mabukkan sudah menjadi kesehariannya. Soal pekerjaan dia tak pernah becus. Gery begitu karena ada alasan.
“Kalian sama sekali tidak mengerti Aku! Aaaarrgg!” Gery melompat dari atas ranjang dan membungkuk dengan kedua tangan mencengkeram rambutnya sendiri.
“Brengsek!” Kali ini Gery melempar bantal dan menarik selimut hingga berserakan di atas lantai.
Gery masih tersadar untuk tidak mengamuk berlebihan hingga membuat kamar ini hancur bak terkena dentuman bom atom. Gery juga tak mau membangunkan penghuni rumah ini yang pada dasarnya memang tidak terlalu mementingkan dirinya.
Gery terlelap hingga fajar dari balik tirai tipis yang menutupi jendela kaca membuatnya menggeliat. Mengerjap-kerjapkan mata, perlahan Gery mengangkat tubuhnya hingga terduduk. Gery mengedarkan pandangan sambil menguap dan meregangkan otot-ototnya yang entah kenapa terasa pegal.
Sudah seperti biasanya, pelayan telah menyiapkan pakaian dan segelas susu hangat di atas meja yang tak jauh dari rak TV.
Terhuyung-huyung Gery melangkahkan kaki mendekati cermin. Berdiri cukup lama di sana sambil mengucek-ucek matanya yang masih berat untuk dibuka.
“Aku tak mau lagi dianggap kalah dari Theo,” kata Gery.
Gery menyambar ponsel di atas meja rias dan langsung menghubungi seseorang.
“Bersiaplah, aku jemput kau lima belas menit lagi.”
Tut! Sambungan terputus sebelum seseorang di seberang sana sempat menyahut.
Klak! Gery melempar ponselnya kembali di atas meja hingga menabrak sudut. Setelahnya Gery menjambret handuk dan menghilang masuk ke dalam kamar mandi.
Sementara seseorang yang baru saja Gery hubungi sedang berada dalam keadaan kebingungan. Baru juga Amora meletakkan ponselnya dan hendak keluar dari kamar, dari luar—tanpa rasa sopan santun—Putri menggedor pintu sangat keras.
“Bangun kau! Andy menunggumu di luar!”
“Andy?” pekik Amora saat itu juga. Amora lantas mondar-mandir sambil meremas-remas jemari dan menggigit bibir bergantian.
“Bagaimana aku bisa tenang bertemu Andy?” Amora terus saja mondar-mandi dan mendesis. “Pasti dia akan banyak tanya nanti. Apa yang harus aku lakukan?”
“Kau budeg ya!” teriak Putri lagi. Pintu digedor kian keras.
Suara gedoran itu mendadak lenyap saat Amora mendengar ada suara ibu tirinya membentak Putri.
“Kau itu sedang apa? Masih pagi sudah berisik!”
Putri menggedor pintu sekali lagi sambil menjawab. “Amora kupanggil tapi tidak menjawab. Mati mungkin dia!”
Astaga! Amora ternganga tatkala menangkap perkataan Putri. Putri tidak tahu saja kalau saat ini keadaan sedang sangat runyam. Bertemu Andy, sama saja akan membuat hidup Amora mulai dihantui rasa bersalah.
Merasa paginya terganggu, Ambar segera bergantian menggedor pintu kamar Amora. Bahkan cara Ambar menggedor pintu lebih bertenaga dari yang Putri lakukan. Atmaja yang kala itu sedang di ruang makan menikmati sarapannya, sampai tersedak dan buru-buru meneguk minumannya.
Merasa sebagai pusat masalah penyebab pagi rumah ini gaduh, sosok Andy hanya meringis getir dalam kesendirian di ruang tamu.
“I-iya, Bu! Aku baru selesai mandi!” sahut Amora akhirnya. “Aku akan segera keluar.”
“Dasar bocah kurang ajar!” maki Ambar sebelum memutar tumit dan kembali ke ruang makan. Pun dengan Putri yang sudah kelaparan.
Sebelum beranjak keluar, Amora menarik napas dalam-dalam lebih dulu. Mengusap dada supaya perasaannya lebih relaks. Barulah saat desahan berhembus pelan, Amora melangkahkan kaki keluar dari kamar.
“Maaf, sudah membuatmu menunggu lama,” kata Amora saat sampai di ruang tamu.
Andy yang sejujurnya sudah mulai bosan dan terasa pegal karena menunggu, memaksakan diri untuk tersenyum. “Tidak juga. Aku baru saja datang.”
Amora membalas senyuman itu kemudian duduk. “Ada perlu apa menemuiku?”
“Ada apa? Apa maksudnya ada apa?” Amora bertanya dalam hatinya sendiri. Amora ingin sekali menimpuk kepalanya sendiri karena sudah melontarkan pertanyaan yang sungguh pasti membuat Andy merasa tidak enak hati.
Dan benar saja, wajah Andy yang tadi sempat menunjukkan senyum, mendadak datar. “Tentu saja aku merindukanmu. Akhir-akhir ini kau sangat sulit ditemui dan dihubungi. Kenapa?”
Amora menggigit bibir dan membuang muka. Memandang wajah Andy yang tampan, sungguh Amora jadi merasa bersalah.
“Aku, aku hanya sedang ada urusan,” jawab Amora.
“Urusan apa? Tidak bisakah kau cerita padaku. Aku sangat khawatir.” Intonasi Andy saat bicara terdengar mulai membentak.
Amora merasa kalau dirinya saat ini seperti seorang tawanan yang sedang di intimidasi karena tak mau mengakui kesalahannya.
“Kau tahu, semalam aku bahkan datang mencarimu,” kata Andy lagi. “Tapi ... putri bilang kau sudah pergi untuk menemuiku. Kau bohong Amora?”
Degh! Amora baru teringat akan hal itu. Dan Amora tidak menyangka kalau ternyata Andy sudah mengunjunginya semalam. Semalam, ya ... Amora ingat kalau dirinya sedang menghadiri acara makan malam di rumah Gery.
“Permisi!”
Baru saja Amora menyebut nama itu di dalam hati, orang itu muncul dan sudah bertengger di ambang pintu yang memang sedari tadi terbuka lebar.
Alamak! Amora ingin menjerit sekeras-kerasnya dalam situasi seperti ini. Belum beres dengan urusan menjelaskan pada Andy permasalahannya, kini muncul orang yang berdiri di paling puncak masalah yang ada.
“Tu-Tuan? Kau sudah datang?” kata Amora gemetaran.
Wajah Andy sudah terlihat pias. Ia sebelumnya sempat berbicara dengan Gery di jalan waktu itu. “Ada hubungan apa antara dia dan Amora?” batin Gery.
“Kan aku sudah bilang. Hari ini kita bertemu!” sahut Gery. “Kau tidak amnesia kan?”
“Ti-tidak, Tuan.”
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved