Bab 9 9. Balas demdam yang teralihkan
by Irma W
00:00,Jun 01,2021
Rencana Gery untuk balas dendam pada Amora benar-benar berubah haluan. Rencana menghancurkan Amora karena ayahnya telah menabrak sang kekasih hingga tiada, kini malah berujung membutuhkan sebuah bantuan dari Amora.
Benar kata Dion. Gery mendadak berpikir untuk apa balas dendam tidak penting? Toh bisa jadi apa yang dilakukan Gery hanya akan membuat Tania merasa sedih di alam sana. Namun, bukan berarti rencana itu urung dan Gery melepaskan Amora. Namun, Gery akan memanfaatkan Amora karena dalam kesehariannya sebentar lagi akan ada Theo dan Belva. Dua orang yang pernah membuat Gery merasa sakit hati.
“Kau di mana?” tanya Gery dengan seseorang di balik telpon.
“Aku masih di rumah, Tuan,” sahut Amora. Ia sendiri sedang sibuk dengan rambutnya yang basah karena baru saja keramas.
“Berpakaianlah yang bagus. Setelah itu datanglah ke rumahku,” kata Gery. “Ingat, jangan berkata apapun sebelum aku yang memulai.”
Glek! Amora menjatuhkan handuk bersamaan dengan saliva yang lolos masuk ke dalam tenggorokan. Sambungan terputus, Amora kembali memungut handuk tersebut kemudian terbengong sendiri.
“Untuk apa dia menyuruhku datang sore-sore begini?” Amora bertanya-tanya. “Sebenarnya apa yang dia mau dariku?”
Amora berdecak kemudian bergidik cepat. Membuang pikiran negatif, Amora buru-buru berpakaian. Dan sesuai dengan permintaan Gery, Amora pun mencari pakaian yang menurutnya terlihat bagus. Bagus menurut Amora, tapi entah untuk Gery.
Wajah Amora yang memang sudah dari sananya mulus bersih, kuning langsat, tidak lagi memerlukan segala macam make up untuk merias. Cukup krim pelembab dan sedikit polesan lipbalm, aura cantik alami pun sudah terpampang nyata.
“Kau mau kemana?” tanya Putri. Baru saja menutup pintu kamar, Putri sudah berkacak pinggang menghalangi jalan. “Jangan bilang kau mau kencan dengan Andy?”
“Oh, astaga!” Amora terhenyak dalam hati. Amora mulai berpikir tentang Andy yang sedari kemarin ia acuhkan.
Amora belum menghubunginya lagi setelah obrolan kemarin. Karena terlalu memikirkan urusannya bersama Tuan muda angkuh, Amora sampai tidak mengurusi urusannya sendiri.
Dan apa ini? Kenapa aku berdandan? Amora sedang mengutuki dirinya.
“Hei!” tegur Putri sambil menjentikkan dua jari tepat di depan wajah Amora. Membuat Amora berkedip cepat dan mendengkus.
“Apa sih?” sembur Amora. “Aku memang mau kencan dengan Andy. Memangnya kenapa? Awas minggir! Jangan menghalangi jalanku.
Amora melotot lalu menyerempet Putri begitu saja dan melangkah cepat keluar dari rumah.
“Awas kau! Kalau ada ibu, kau tidak akan berani padaku kan?” gerutu Putri sambil mengangkat kepalan tangan. “Huh! Menyebalkan!” menghentakkan kaki, Putri pun masuk ke dalam kamar.
Sekitar sepuluh menit dari kepergian Amora, ada seseorang mengetuk pintu di depan rumah. Putri yang semula hendak berbaring sambil membaca majalah, sontak berdecak sebal hingga menendang-nendang kaki di atas kasur.
“Siapa sih?” keluh Putri. “Bari juga mau rebahan.”
Pintu di luar sana pun diketuk kembali. Putri yang tidak tahan dengan suara ketukan pintu pun beranjak berdiri. Wajahnya yang merengut sepanjang menuju pintu ruang tamu, mendadak tersenyum saat bola matanya bertatap dengan seseorang yang sudah berdiri di depan pintu.
“Andy?” kata Putri dengan senyum centil. “Yuk, masuk!” Putri menarik lengan Andy begitu saja.
Andy yang memang berencana menemui Amora pun menurut saja saat Putri mengajaknya masuk. Putri menyuruh Andy duduk kemudian dirinya juga ikut duduk.
Baru saja duduk, Putri teringat akan Amora yang tadi berkata kalau akan berkencan dengan Andy. Kalau memang begitu, lalu kenapa Andy ada di sini.
“Bukannya kau pergi dengan Amora?” tanya Putri.
“Pergi? Dengan Amora?” Andy terbengong. “Tidak. Aku tidak pergi dengan Amora. Aku datang untuk menemuinya di sini. Dia di rumah kan?”
Dengan wajah heran, Putri menggeleng. “Dia baru saja pergi. Katanya mau bertemu denganmu. Dia terlihat rapi.”
“Benarkah?” wajah Andy nampak terkejut. “Tapi dia tidak bilang kalau akan menemuiku.”
“Hah, jangan-jangan ...” Putri membulatkan bola mata dengan mulut terbuka. Ia seolah tengah menebak-nebak apa yang terjadi. “Mungkinkah Amora sedang berkencan dengan pria lain?”
“A-apa?” kali ini Andy yang ternganga. “Mana mungkin? Dia tidak begitu.”
Melihat bagaimana wajah Andy mulai gelisah, Putri justru kian melancarkan aksinya. “Bisa jadi kan? Ini hanya tebakanku.”
Tebakan Putri memang tidak salah. Amora memang akan menemui seseorang yang tak lain adalah tuannya saat ini. Apapun yang Tuannya katakan dan minta, Amora sama sekali tidak boleh membantah. Termasuk menemuinya tanpa tahu untuk apa.
Amora yang datang diantar mobil taksi, turun di depan pintu gerbang yang masih tertutup. Tak selang lama setelah mobil taksi kembali melaju, sebuah mobil mewah datang dengan dua bola mata lampu bagian depan menyorot tepat ke arah Amora. Amora yang merasa silaupun segera menutupi wajah dengan lengannya.
Pintu gerbang terbuka, mobil pun dipersilahkan masuk. Masih terbengong di depan pintu gerbang, Amora tengah memandangi dua orang yang muncul bergantian dari dalam mobil.
“Itu kan? Em ...” Amora tengah mengingat sesuatu tentang seorang wanita yang saat ini sudah masuk ke dalam rumah. Amora merasa pernah mengenalnya.
“Maaf, Nona. Anda siapa ya?” tanya seorang sekuriti pada Amora.
Amora terkesiap lalu menoleh. “Oh, aku Amora. Aku mau bertemu Tuan Gery.”
Sekuriti itu memandangi Amora mulai dari pucuk kepala hingga ke ujung moncong sepatu yang Amora kenakan. Sekuriti tersebut tahu kalau wanita di hadapannya ini berasal dari kalangan kelas bawah.
“Apa sudah membuat janji?” tanya sekuriti lagi.
Amora lantas mendesah berat. Amora berpikir seperti inikah kalau hendak menemui orang kaya? Selalu saja yang ditanyakan adalah apakah sudah buat janji atau belum.
“Tuan Gery yang menyuruhku datang kemari,” kata Amora.
Sekuriti tersebut masih mengamati Amora dengan saksama. “Nona tunggu dulu di sini. Saya akan tanyakan terlebih dulu pada Tuan Gery.”
Tersenyum terpaksa, Amora mempersilahkan sekuriti menyebalkan itu pergi memanggil Gery.
“Sekedar mau bertemu saja susah sekali!” gerutu Amora. “Macam mau bertemu pimpinan negara saja!”
Saat Amora tengah menggerutu sambil menendang-nendang paving block, seseorang yang sedang ditunggunya pun muncul.
“Kenapa tidak masuk?” tanya Gery acuh.
Tidak menjawab, Amora hanya mengalihkan pandangan ke arah sekuriti yang berdiri di belakang Gery. Merasa ditatap, sekuriti tersebut segera membungkuk pada Gery.
“Maaf, Tuan. Aku tidak tahu kali Nona ini tamu Tuan Gery?” ujar sekuriti bernama Anto
“Tidak apa-apa. Lain kali kalau dia datang lagi, biarkan langsung masuk saja,” jelas Gery. Anto mengangguk cepat.
“Ikut aku!” Gery menarik lengan Amora dan mengajaknya masuk.
Sampai di teras rumah, Gery berhenti melangkah. Pun dengan Amora.
“Dengar ...” Gery menuding tepat di depan wajah Amora. “Ikuti apa yang aku katakan nanti di dalam sana. Berpura-puralah menjadi kekasihku.”
“E ... Apa Tuan?” Amora terlihat bingung.
“Jangan banyak tanya dan lakukan saja!” Gery memperingatkan. “Jangan gugup ataupun grogi. Aku mau kau bersikap tenang.”
Amora menelan saliva dan terpaksa mengangguk. “Ba-baik, Tuan. Akan aku lakukan.”
“Dan tunggu dulu,” Gery mendorong kedua pundak Amora. “Tidak adakah pakaian yang lebih modis?”
Wajah Gery terlihat merengut jijik ketika menyadari tampilan Amora yang terbilang biasa saja. Rok wiru di bawah lutut, lalu blus dengan model kuno yang Amora kenakan saat ini.
“Hanya ini yang menurutku paling bagus, Tuan,” jawab Amora ragu.
Gery mendesis sebelum akhirnya menghela napas. “Terserah lah! Janji kau bisa berakting dengan baik aku tidak mempermasalahkan tampilanmu dulu.”
“Satu lagi!” Gery menatap tajam. “Jangan panggil aku ‘Tuan’. Panggil saja Gery.”
Amora mengangguk lagi.
“Ya Tuhan ... sebenarnya ada apa ini? Apa yang sedang terjadi?” Amora tengah menghawatirkan dirinya di dalam hati.
***
Benar kata Dion. Gery mendadak berpikir untuk apa balas dendam tidak penting? Toh bisa jadi apa yang dilakukan Gery hanya akan membuat Tania merasa sedih di alam sana. Namun, bukan berarti rencana itu urung dan Gery melepaskan Amora. Namun, Gery akan memanfaatkan Amora karena dalam kesehariannya sebentar lagi akan ada Theo dan Belva. Dua orang yang pernah membuat Gery merasa sakit hati.
“Kau di mana?” tanya Gery dengan seseorang di balik telpon.
“Aku masih di rumah, Tuan,” sahut Amora. Ia sendiri sedang sibuk dengan rambutnya yang basah karena baru saja keramas.
“Berpakaianlah yang bagus. Setelah itu datanglah ke rumahku,” kata Gery. “Ingat, jangan berkata apapun sebelum aku yang memulai.”
Glek! Amora menjatuhkan handuk bersamaan dengan saliva yang lolos masuk ke dalam tenggorokan. Sambungan terputus, Amora kembali memungut handuk tersebut kemudian terbengong sendiri.
“Untuk apa dia menyuruhku datang sore-sore begini?” Amora bertanya-tanya. “Sebenarnya apa yang dia mau dariku?”
Amora berdecak kemudian bergidik cepat. Membuang pikiran negatif, Amora buru-buru berpakaian. Dan sesuai dengan permintaan Gery, Amora pun mencari pakaian yang menurutnya terlihat bagus. Bagus menurut Amora, tapi entah untuk Gery.
Wajah Amora yang memang sudah dari sananya mulus bersih, kuning langsat, tidak lagi memerlukan segala macam make up untuk merias. Cukup krim pelembab dan sedikit polesan lipbalm, aura cantik alami pun sudah terpampang nyata.
“Kau mau kemana?” tanya Putri. Baru saja menutup pintu kamar, Putri sudah berkacak pinggang menghalangi jalan. “Jangan bilang kau mau kencan dengan Andy?”
“Oh, astaga!” Amora terhenyak dalam hati. Amora mulai berpikir tentang Andy yang sedari kemarin ia acuhkan.
Amora belum menghubunginya lagi setelah obrolan kemarin. Karena terlalu memikirkan urusannya bersama Tuan muda angkuh, Amora sampai tidak mengurusi urusannya sendiri.
Dan apa ini? Kenapa aku berdandan? Amora sedang mengutuki dirinya.
“Hei!” tegur Putri sambil menjentikkan dua jari tepat di depan wajah Amora. Membuat Amora berkedip cepat dan mendengkus.
“Apa sih?” sembur Amora. “Aku memang mau kencan dengan Andy. Memangnya kenapa? Awas minggir! Jangan menghalangi jalanku.
Amora melotot lalu menyerempet Putri begitu saja dan melangkah cepat keluar dari rumah.
“Awas kau! Kalau ada ibu, kau tidak akan berani padaku kan?” gerutu Putri sambil mengangkat kepalan tangan. “Huh! Menyebalkan!” menghentakkan kaki, Putri pun masuk ke dalam kamar.
Sekitar sepuluh menit dari kepergian Amora, ada seseorang mengetuk pintu di depan rumah. Putri yang semula hendak berbaring sambil membaca majalah, sontak berdecak sebal hingga menendang-nendang kaki di atas kasur.
“Siapa sih?” keluh Putri. “Bari juga mau rebahan.”
Pintu di luar sana pun diketuk kembali. Putri yang tidak tahan dengan suara ketukan pintu pun beranjak berdiri. Wajahnya yang merengut sepanjang menuju pintu ruang tamu, mendadak tersenyum saat bola matanya bertatap dengan seseorang yang sudah berdiri di depan pintu.
“Andy?” kata Putri dengan senyum centil. “Yuk, masuk!” Putri menarik lengan Andy begitu saja.
Andy yang memang berencana menemui Amora pun menurut saja saat Putri mengajaknya masuk. Putri menyuruh Andy duduk kemudian dirinya juga ikut duduk.
Baru saja duduk, Putri teringat akan Amora yang tadi berkata kalau akan berkencan dengan Andy. Kalau memang begitu, lalu kenapa Andy ada di sini.
“Bukannya kau pergi dengan Amora?” tanya Putri.
“Pergi? Dengan Amora?” Andy terbengong. “Tidak. Aku tidak pergi dengan Amora. Aku datang untuk menemuinya di sini. Dia di rumah kan?”
Dengan wajah heran, Putri menggeleng. “Dia baru saja pergi. Katanya mau bertemu denganmu. Dia terlihat rapi.”
“Benarkah?” wajah Andy nampak terkejut. “Tapi dia tidak bilang kalau akan menemuiku.”
“Hah, jangan-jangan ...” Putri membulatkan bola mata dengan mulut terbuka. Ia seolah tengah menebak-nebak apa yang terjadi. “Mungkinkah Amora sedang berkencan dengan pria lain?”
“A-apa?” kali ini Andy yang ternganga. “Mana mungkin? Dia tidak begitu.”
Melihat bagaimana wajah Andy mulai gelisah, Putri justru kian melancarkan aksinya. “Bisa jadi kan? Ini hanya tebakanku.”
Tebakan Putri memang tidak salah. Amora memang akan menemui seseorang yang tak lain adalah tuannya saat ini. Apapun yang Tuannya katakan dan minta, Amora sama sekali tidak boleh membantah. Termasuk menemuinya tanpa tahu untuk apa.
Amora yang datang diantar mobil taksi, turun di depan pintu gerbang yang masih tertutup. Tak selang lama setelah mobil taksi kembali melaju, sebuah mobil mewah datang dengan dua bola mata lampu bagian depan menyorot tepat ke arah Amora. Amora yang merasa silaupun segera menutupi wajah dengan lengannya.
Pintu gerbang terbuka, mobil pun dipersilahkan masuk. Masih terbengong di depan pintu gerbang, Amora tengah memandangi dua orang yang muncul bergantian dari dalam mobil.
“Itu kan? Em ...” Amora tengah mengingat sesuatu tentang seorang wanita yang saat ini sudah masuk ke dalam rumah. Amora merasa pernah mengenalnya.
“Maaf, Nona. Anda siapa ya?” tanya seorang sekuriti pada Amora.
Amora terkesiap lalu menoleh. “Oh, aku Amora. Aku mau bertemu Tuan Gery.”
Sekuriti itu memandangi Amora mulai dari pucuk kepala hingga ke ujung moncong sepatu yang Amora kenakan. Sekuriti tersebut tahu kalau wanita di hadapannya ini berasal dari kalangan kelas bawah.
“Apa sudah membuat janji?” tanya sekuriti lagi.
Amora lantas mendesah berat. Amora berpikir seperti inikah kalau hendak menemui orang kaya? Selalu saja yang ditanyakan adalah apakah sudah buat janji atau belum.
“Tuan Gery yang menyuruhku datang kemari,” kata Amora.
Sekuriti tersebut masih mengamati Amora dengan saksama. “Nona tunggu dulu di sini. Saya akan tanyakan terlebih dulu pada Tuan Gery.”
Tersenyum terpaksa, Amora mempersilahkan sekuriti menyebalkan itu pergi memanggil Gery.
“Sekedar mau bertemu saja susah sekali!” gerutu Amora. “Macam mau bertemu pimpinan negara saja!”
Saat Amora tengah menggerutu sambil menendang-nendang paving block, seseorang yang sedang ditunggunya pun muncul.
“Kenapa tidak masuk?” tanya Gery acuh.
Tidak menjawab, Amora hanya mengalihkan pandangan ke arah sekuriti yang berdiri di belakang Gery. Merasa ditatap, sekuriti tersebut segera membungkuk pada Gery.
“Maaf, Tuan. Aku tidak tahu kali Nona ini tamu Tuan Gery?” ujar sekuriti bernama Anto
“Tidak apa-apa. Lain kali kalau dia datang lagi, biarkan langsung masuk saja,” jelas Gery. Anto mengangguk cepat.
“Ikut aku!” Gery menarik lengan Amora dan mengajaknya masuk.
Sampai di teras rumah, Gery berhenti melangkah. Pun dengan Amora.
“Dengar ...” Gery menuding tepat di depan wajah Amora. “Ikuti apa yang aku katakan nanti di dalam sana. Berpura-puralah menjadi kekasihku.”
“E ... Apa Tuan?” Amora terlihat bingung.
“Jangan banyak tanya dan lakukan saja!” Gery memperingatkan. “Jangan gugup ataupun grogi. Aku mau kau bersikap tenang.”
Amora menelan saliva dan terpaksa mengangguk. “Ba-baik, Tuan. Akan aku lakukan.”
“Dan tunggu dulu,” Gery mendorong kedua pundak Amora. “Tidak adakah pakaian yang lebih modis?”
Wajah Gery terlihat merengut jijik ketika menyadari tampilan Amora yang terbilang biasa saja. Rok wiru di bawah lutut, lalu blus dengan model kuno yang Amora kenakan saat ini.
“Hanya ini yang menurutku paling bagus, Tuan,” jawab Amora ragu.
Gery mendesis sebelum akhirnya menghela napas. “Terserah lah! Janji kau bisa berakting dengan baik aku tidak mempermasalahkan tampilanmu dulu.”
“Satu lagi!” Gery menatap tajam. “Jangan panggil aku ‘Tuan’. Panggil saja Gery.”
Amora mengangguk lagi.
“Ya Tuhan ... sebenarnya ada apa ini? Apa yang sedang terjadi?” Amora tengah menghawatirkan dirinya di dalam hati.
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved