Bab 13 13. Lelaki Itu Kekasihku
by Irma W
00:00,Jun 01,2021
“Hei tunggu!” teriak Andy saat menarik lengan Amora dengan paksa. “Aku sedang bicara dengan Amora. Kau sangat tidak sopan menyeretnya begitu!”
Bukan Gery namanya jika tidak acuh. “Masuk!” perintah Gery pada Amora.
Amora yang memang tak berani melawan Gery tentunya menurut saja dan segera masuk ke dalam mobil.
“Aku akan jelaskan nanti,” kata Amora sebelum pintu di tutup oleh Gery.
“Tunggu Amora!” Andy masih berteriak dan mencoba meraih gagang pintu. Sayangnya tangan Gery lebih cepat menangkis.
“Sudahlah! Kau menyingkir dulu. Aku ada urusan dengan Amora.” Gery mendorong tubuh Andy hingga terjengkang.
Amora yang kaget, hanya bisa menjerit tanpa bisa membantu karena Gery sudah masuk ke dalam mobil. Mobil melaju, Amora memandangi Andy yang juga sedang memandangnya.
Di luar sana, Andy sudah berdiri dibantu oleh Atmaja dan Putri yang mungkin mereka mendengar karena ada keributan. Setelah itu, Amora tak tahu lagi apa yang terjadi di sana karena mobil sudah melesat jauh.
“Tuan kan tidak perlu mendorongnya tadi,” kata Amora. Amora menunduk dengan wajah sedih.
“Dia yang salah,” sahut Gery. “Kenapa pula dia menghalangiku. Dan lagi urusan apa kau dengannya?”
“Dia itu kekasihku.” Suara Amora terdengar parau. Mungkin Amora menangis.
Gery terdiam sesaat sambil mendengkus. “Jadi benar yang dikatakan pria itu beberapa hari yang lalu.”
“Apa maksud, Tuan?” Amora mengisap buliran yang hampir menetes di matanya.
“Kau tahu, pacarmu itu sudah dengan tidak sopan melabrakku di jalan!”
Amora terbengong lalu kembali memutar pandangan seperti semula. Diam dan menggigit bibir dengan kedua tangan gemetaran.
“Jangan sangkut pautkan dia. Dia tidak tahu apa-apa. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan padanya.”
“Untuk apa?” salak Gery. “Putuskan dia secepatnya!”
“Apa!” Amora spontan menoleh. Matanya yang nanar berubah memerah. “Putus?”
Gery mendengkus lagi sebelum kembali berbicara. “Kau lupa kalau kita akan menikah?”
Degh! Amora seperti mendapat sambaran listrik. Serasa mendapat pukulan yang begitu keras di dadanya. Bagaimana mungkin Amora sampai melupakan hal itu? Tanpa terasa air mata yang sempat Amora tahanpun akhirnya terjatuh juga.
“Menikah? Jadi ... dia itu sungguhan atau bagaimana?” batin Amora.
Gery yang terkejut melihat Amora menangis terpaksa menepikan mobilnya di tepi jalan. “Kenapa kau menangis?” tanya Gery setengah membentak.
“Ja-jadi ... kita sungguh akan menikah?” tanya Amora gagap. Isak tangis kian membuat dada terasa sesak.
“Kau pikir aku main-main, ha?” salak Gery lagi. “Tentu saja aku serius. Itu sebabnya, kau putuskan saja kekasihmu itu!”
Bukankah itu sangat tidak berperasaan? Amora menangis kian menjadi hingga seluruh tubuhnya bergetar. Ini juga kesalahannya sendiri karena tidak berpikir sebelum menyetujui akan melakukan apapun yang Gery minta. Tapi ayah? Amora mendadak terpaku diam.
“Baiklah, Tuan. Kalau itu memang mau Tuan, aku siap. Biarkan aku bicara dengan kekasihku besok,” kata Amora akhirnya.
Amora yang hidup sederhana dan tidak tahu menahu soal hukum, memang hanya bisa berpasrah dengan keadaan. Saat itu juga, kedua ujung bibir Gery tertarik membentuk sebuah senyuman. Sebuah senyuman yang berasal dari kesedihan hari orang lain.
“Kenapa kau lama sekali!” seseorang mengetuk-ngetuk kaca mobil saat mobil sudah sampai di tempat tujuan.
Amora yang wajahnya masih sedikit basah, buru-buru ia usap dan mencoba merapikan kembali tampilannya yang sempat berantakan. Itupun karena Amora sudah di ancam Gery terlebih dulu.
“Ayo keluar!” ajak Gery.
Gery keluar lebih dulu dan menemui wanita cantik di luar sana. Amora sempat melihat mereka berbincang sebelum kemudian ikut turun. Karena melihat wajah Amora yang sendu, Lina menatap ke Arah Amora sambil memiringkan kepala.
“Kau baik-baik saja?” tanya Lina. Satu tangannya mendarat di bahu Amora.
“I-iya,” jawab Amora singkat.
“Tenang saja, Gery tidak akan memakanmu,” kata Lina sambil terkekeh. Ia menarik lengan Amora dan membawanya masuk ke dalam sebuah butik.
Amora tahu kalau ini adalah butik yang menyediakan berbagai gaun pesta dan gaun pengantin. Amora menebaknya saat bola matanya menangkap beberapa manekin bergaun putih di depan jendela kaca yang luas.
Sampai di dalam, Lina langsung membawa Amora ke ruang VIP. Di dalam sana sudah ada dua orang yang menunggu. Beberapa gaun yang cantik dan mewah juga sudah dipersiapkan untuk Amora coba satu persatu.
Gery hanya masih tetap acuh, kini sedang duduk di gazebo sambil memainkan ponselnya.
“Tenang ...” kata Lina saat Amora sedang melirik ke arah Gery. “Dia orangnya baik. Kau hanya cukup harus terbiasa dengannya.”
“Apa maksudnya terbiasa?” batin Amora. “Kenapa juga harus terbiasa?”
Amora akhirnya tersenyum kecut sebelum masuk ke ruang ganti bersama salah satu karyawan yang sedari tadi sudah menunggu.
“Apa kau membuatnya menangis?” tanya Lina yang kini duduk di samping Gery.
Gery memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia menoleh menatap Lina. “Dia yang tiba-tiba menangis.”
“Kau tidak berpikir kenapa semua wanita tidak ada yang betah denganmu?” tanya Lina acuh.
“Untuk apa?” dengkus Gery. “Kalau sudah pergi ya sudah, untuk apa aku memikirkan mengapa mereka pergi? Tidak penting!”
“Kau memang keras kepala!” sembur Lina.
Tak berapa lama kemudian, Amora muncul dari balik tirai sudah mengenakan gaun pengantin berwarna putih semi abu-abu. Lina yang terpana lantas berdiri dengan dua bola mata membulat dan bibir terbuka. Amora terlihat cantik dan anggun mengenakan gaun tersebut. Rambutnya yang semula tergerai dan hanya di jepit ke belakang, kini digulung hingga menampilkan lehernya yang jenjang.
Saat Lina menoleh ke arah Gery, ternyata pria itu tengah terpukau sampai tak berkedip. Sebelum akhirnya berkedip ketika Lina berdehem dan menendang betis Gery.
“Cantik ya?” kata Lina bernada meledek.
Gery pura-pura membuang muka. “Biasa saja.”
Lina lantas mendengus dan memilih menghampiri Amora. “Kau cantik.”
Tersipu malu, Amora tersenyum sebisanya. “Tidak juga.”
Meskipun dikatakan cantik, toh ini tidak ada gunanya karena bukan menikah dengan pria yang ia cintai. Ini hanya pernikahan yang akan berlangsung karena sebuah balas dendam ataupun rasa sakit hati. Balas dendam untuk Amora atau Gery sedang menghindar dari Belva.
“Bagaimana menurutmu Gery?” tanya Lina sambil melebarkan kedua tangan ke arah Amora.
Amora menunduk dengan jemari saling meremas.
“Terserah. Aku tidak peduli, yang penting pantas dipakai,” ucap Gery acuh.
Lina mendecih sebelum kembali terfokus pada Amora. “Jangan pedulikan dia. Dia itu sedikit tidak waras!”
Tanpa sadar ujung bibir Amora tertarik membentuk seutas senyum. Tak sengaja melirik, Gery merasa ada sesuatu yang menyentuh hati. Senyum tipis itu sangat manis dan tidak dibuat-buat.
Semua sudah beres, mereka pun pergi keluar dari butik. Sementara Lina pergi kembali ke tempat kerjanya, Gery mengantar Amora pulang.
“Ingat, putuskan kekasihmu bagaimanapun caranya.” Gery kembali mengingatkan.
“Tapi, Tuan. Bagaimana caranya? Bagaimana dengan perasaanku?”
“Oh, jadi kau lebih memilih pria itu dari pada ayahmu?”
Kalau sudah begini, tiada pilihan lain untuk Amora. Mengorbankan cintanya yang mungkin akan membuat terluka salah satu pihak. Amora tidak ingin terjadi, sayangnya sudah terlanjur masuk ke jurang.
***
Bukan Gery namanya jika tidak acuh. “Masuk!” perintah Gery pada Amora.
Amora yang memang tak berani melawan Gery tentunya menurut saja dan segera masuk ke dalam mobil.
“Aku akan jelaskan nanti,” kata Amora sebelum pintu di tutup oleh Gery.
“Tunggu Amora!” Andy masih berteriak dan mencoba meraih gagang pintu. Sayangnya tangan Gery lebih cepat menangkis.
“Sudahlah! Kau menyingkir dulu. Aku ada urusan dengan Amora.” Gery mendorong tubuh Andy hingga terjengkang.
Amora yang kaget, hanya bisa menjerit tanpa bisa membantu karena Gery sudah masuk ke dalam mobil. Mobil melaju, Amora memandangi Andy yang juga sedang memandangnya.
Di luar sana, Andy sudah berdiri dibantu oleh Atmaja dan Putri yang mungkin mereka mendengar karena ada keributan. Setelah itu, Amora tak tahu lagi apa yang terjadi di sana karena mobil sudah melesat jauh.
“Tuan kan tidak perlu mendorongnya tadi,” kata Amora. Amora menunduk dengan wajah sedih.
“Dia yang salah,” sahut Gery. “Kenapa pula dia menghalangiku. Dan lagi urusan apa kau dengannya?”
“Dia itu kekasihku.” Suara Amora terdengar parau. Mungkin Amora menangis.
Gery terdiam sesaat sambil mendengkus. “Jadi benar yang dikatakan pria itu beberapa hari yang lalu.”
“Apa maksud, Tuan?” Amora mengisap buliran yang hampir menetes di matanya.
“Kau tahu, pacarmu itu sudah dengan tidak sopan melabrakku di jalan!”
Amora terbengong lalu kembali memutar pandangan seperti semula. Diam dan menggigit bibir dengan kedua tangan gemetaran.
“Jangan sangkut pautkan dia. Dia tidak tahu apa-apa. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan padanya.”
“Untuk apa?” salak Gery. “Putuskan dia secepatnya!”
“Apa!” Amora spontan menoleh. Matanya yang nanar berubah memerah. “Putus?”
Gery mendengkus lagi sebelum kembali berbicara. “Kau lupa kalau kita akan menikah?”
Degh! Amora seperti mendapat sambaran listrik. Serasa mendapat pukulan yang begitu keras di dadanya. Bagaimana mungkin Amora sampai melupakan hal itu? Tanpa terasa air mata yang sempat Amora tahanpun akhirnya terjatuh juga.
“Menikah? Jadi ... dia itu sungguhan atau bagaimana?” batin Amora.
Gery yang terkejut melihat Amora menangis terpaksa menepikan mobilnya di tepi jalan. “Kenapa kau menangis?” tanya Gery setengah membentak.
“Ja-jadi ... kita sungguh akan menikah?” tanya Amora gagap. Isak tangis kian membuat dada terasa sesak.
“Kau pikir aku main-main, ha?” salak Gery lagi. “Tentu saja aku serius. Itu sebabnya, kau putuskan saja kekasihmu itu!”
Bukankah itu sangat tidak berperasaan? Amora menangis kian menjadi hingga seluruh tubuhnya bergetar. Ini juga kesalahannya sendiri karena tidak berpikir sebelum menyetujui akan melakukan apapun yang Gery minta. Tapi ayah? Amora mendadak terpaku diam.
“Baiklah, Tuan. Kalau itu memang mau Tuan, aku siap. Biarkan aku bicara dengan kekasihku besok,” kata Amora akhirnya.
Amora yang hidup sederhana dan tidak tahu menahu soal hukum, memang hanya bisa berpasrah dengan keadaan. Saat itu juga, kedua ujung bibir Gery tertarik membentuk sebuah senyuman. Sebuah senyuman yang berasal dari kesedihan hari orang lain.
“Kenapa kau lama sekali!” seseorang mengetuk-ngetuk kaca mobil saat mobil sudah sampai di tempat tujuan.
Amora yang wajahnya masih sedikit basah, buru-buru ia usap dan mencoba merapikan kembali tampilannya yang sempat berantakan. Itupun karena Amora sudah di ancam Gery terlebih dulu.
“Ayo keluar!” ajak Gery.
Gery keluar lebih dulu dan menemui wanita cantik di luar sana. Amora sempat melihat mereka berbincang sebelum kemudian ikut turun. Karena melihat wajah Amora yang sendu, Lina menatap ke Arah Amora sambil memiringkan kepala.
“Kau baik-baik saja?” tanya Lina. Satu tangannya mendarat di bahu Amora.
“I-iya,” jawab Amora singkat.
“Tenang saja, Gery tidak akan memakanmu,” kata Lina sambil terkekeh. Ia menarik lengan Amora dan membawanya masuk ke dalam sebuah butik.
Amora tahu kalau ini adalah butik yang menyediakan berbagai gaun pesta dan gaun pengantin. Amora menebaknya saat bola matanya menangkap beberapa manekin bergaun putih di depan jendela kaca yang luas.
Sampai di dalam, Lina langsung membawa Amora ke ruang VIP. Di dalam sana sudah ada dua orang yang menunggu. Beberapa gaun yang cantik dan mewah juga sudah dipersiapkan untuk Amora coba satu persatu.
Gery hanya masih tetap acuh, kini sedang duduk di gazebo sambil memainkan ponselnya.
“Tenang ...” kata Lina saat Amora sedang melirik ke arah Gery. “Dia orangnya baik. Kau hanya cukup harus terbiasa dengannya.”
“Apa maksudnya terbiasa?” batin Amora. “Kenapa juga harus terbiasa?”
Amora akhirnya tersenyum kecut sebelum masuk ke ruang ganti bersama salah satu karyawan yang sedari tadi sudah menunggu.
“Apa kau membuatnya menangis?” tanya Lina yang kini duduk di samping Gery.
Gery memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia menoleh menatap Lina. “Dia yang tiba-tiba menangis.”
“Kau tidak berpikir kenapa semua wanita tidak ada yang betah denganmu?” tanya Lina acuh.
“Untuk apa?” dengkus Gery. “Kalau sudah pergi ya sudah, untuk apa aku memikirkan mengapa mereka pergi? Tidak penting!”
“Kau memang keras kepala!” sembur Lina.
Tak berapa lama kemudian, Amora muncul dari balik tirai sudah mengenakan gaun pengantin berwarna putih semi abu-abu. Lina yang terpana lantas berdiri dengan dua bola mata membulat dan bibir terbuka. Amora terlihat cantik dan anggun mengenakan gaun tersebut. Rambutnya yang semula tergerai dan hanya di jepit ke belakang, kini digulung hingga menampilkan lehernya yang jenjang.
Saat Lina menoleh ke arah Gery, ternyata pria itu tengah terpukau sampai tak berkedip. Sebelum akhirnya berkedip ketika Lina berdehem dan menendang betis Gery.
“Cantik ya?” kata Lina bernada meledek.
Gery pura-pura membuang muka. “Biasa saja.”
Lina lantas mendengus dan memilih menghampiri Amora. “Kau cantik.”
Tersipu malu, Amora tersenyum sebisanya. “Tidak juga.”
Meskipun dikatakan cantik, toh ini tidak ada gunanya karena bukan menikah dengan pria yang ia cintai. Ini hanya pernikahan yang akan berlangsung karena sebuah balas dendam ataupun rasa sakit hati. Balas dendam untuk Amora atau Gery sedang menghindar dari Belva.
“Bagaimana menurutmu Gery?” tanya Lina sambil melebarkan kedua tangan ke arah Amora.
Amora menunduk dengan jemari saling meremas.
“Terserah. Aku tidak peduli, yang penting pantas dipakai,” ucap Gery acuh.
Lina mendecih sebelum kembali terfokus pada Amora. “Jangan pedulikan dia. Dia itu sedikit tidak waras!”
Tanpa sadar ujung bibir Amora tertarik membentuk seutas senyum. Tak sengaja melirik, Gery merasa ada sesuatu yang menyentuh hati. Senyum tipis itu sangat manis dan tidak dibuat-buat.
Semua sudah beres, mereka pun pergi keluar dari butik. Sementara Lina pergi kembali ke tempat kerjanya, Gery mengantar Amora pulang.
“Ingat, putuskan kekasihmu bagaimanapun caranya.” Gery kembali mengingatkan.
“Tapi, Tuan. Bagaimana caranya? Bagaimana dengan perasaanku?”
“Oh, jadi kau lebih memilih pria itu dari pada ayahmu?”
Kalau sudah begini, tiada pilihan lain untuk Amora. Mengorbankan cintanya yang mungkin akan membuat terluka salah satu pihak. Amora tidak ingin terjadi, sayangnya sudah terlanjur masuk ke jurang.
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved