Bab 8: Graha Medika
by Kael Draven
14:53,Feb 28,2025
Adrian berlutut dengan satu kaki, menggenggam buket mawar biru di tangannya. Dengan penuh perasaan, ia berkata, "Aria, sejak pertama kali melihatmu, aku tahu bahwa hatiku telah sepenuhnya terpaut padamu."
"Dalam hidup ini, hanya namamulah yang mengisi pikiranku. Aku tak akan pernah melirik wanita lain selain dirimu. Maukah kau menjadi kekasihku?"
Begitu kata-katanya selesai, orang-orang di sekitar kembali berseru dengan penuh semangat, "Bersama... bersama... bersama!"
Merasa situasi ini semakin sulit dihadapi, Aria menoleh ke arah Lucian, berharap mendapatkan bantuan darinya.
Lucian tertawa lepas dan berkomentar dengan nada bercanda, "Bakat aktingmu luar biasa. Sayang sekali jika kau tidak menjadi aktor."
Adrian, yang merasa dipermalukan, langsung membentak dengan nada marah, "Apa yang kau bicarakan? Semua orang tahu betapa tulusnya perasaanku terhadap Aria! Jika aku berbohong, biarlah petir menyambarku saat ini juga!"
"Benarkah begitu? Kalau begitu, mari kita lihat seberapa tulus dirimu," jawab Lucian dengan senyum tipis.
Tanpa memberi Adrian kesempatan untuk bereaksi, Lucian dengan cepat menyelipkan tangannya ke dalam saku pria itu dan menarik keluar sebuah benda putih yang tampak begitu mencolok. Saat dilihat lebih jelas, ternyata itu adalah sepotong pakaian dalam wanita yang berpotongan kecil dan terbuat dari renda transparan.
Sambil mengangkat benda tersebut, Lucian berkata dengan nada mengejek, "Tuan Adrian, bolehkah kamu menjelaskan ini?"
"Kalau kamu begitu mencintai Aria dan mengaku tidak pernah melirik wanita lain selama setengah tahun terakhir, dari mana asal benda ini? Atau ... jangan-jangan ini milikmu sendiri?"
"A-Aku..."
Adrian tertegun, wajahnya seketika pucat. Kenyataannya, ia memang tidak pernah bisa hidup tanpa wanita. Setiap kali ia tidur dengan seorang wanita, ia selalu menyimpan pakaian dalam mereka sebagai kenang-kenangan.
Benda ini adalah sisa dari pertemuannya tadi malam, dan ia belum sempat membuangnya.
Namun, pakaian dalam tersebut begitu kecil, bahkan lebih kecil dari sapu tangan, sehingga ia yakin tidak ada seorang pun yang bisa menemukannya di dalam sakunya. Bagaimana mungkin Lucian dapat menemukannya dengan begitu mudah?
Para penonton yang menyaksikan kejadian ini langsung heboh.
"Astaga! Hampir saja aku tertipu oleh bajingan ini! Berani-beraninya ia mengungkapkan cinta dengan barang seperti itu di sakunya!"
"Tak tahu malu! Begitu teganya dia mengumbar kata-kata manis padahal membawa barang wanita lain bersamanya!"
"Bukankah dia sendiri yang bilang akan disambar petir jika berbohong? Kalau begitu, Tuhan seharusnya segera menurunkan hukumannya!"
Merasa panik, Adrian buru-buru mencari alasan, "Aria, jangan salah paham! Ini bukan milikku! Seorang teman meminjam jas ini dariku untuk pergi kencan kemarin."
"Aku yakin benda ini miliknya, bukan milikku!"
"Kalau begitu, bagaimana dengan yang satu ini? Apakah ini juga bukan milikmu?"
Dengan gerakan santai, Lucian melemparkan celana dalam tersebut, lalu dengan cekatan merogoh saku celana Adrian dan mengeluarkan sebuah benda berwarna merah muda.
Gerakannya begitu cepat hingga Adrian tidak sempat bereaksi sama sekali.
"Tuan Adrian, kalau aku tidak salah, benda ini bernama Durex, 'kan? Dari mana asalnya? Atau jangan-jangan kamu juga meminjamkan celanamu ke temanmu?"
"A-Aku ..."
Adrian merasa agak salah tingkah. Sebagai seorang pria yang sering berkencan, Durex adalah barang wajib yang selalu ia bawa.
Namun, di balik rasa malu itu, kebingungan juga menyelimutinya. Dibandingkan dengan pakaian dalam kecil tadi, Durex berukuran lebih kecil. Bagaimana mungkin pemuda di hadapannya mengetahui keberadaan benda tersebut? Apakah dia memiliki penglihatan tembus pandang?
"Aria, jangan salah paham. Aku benar-benar tidak tahu dari mana benda ini berasal. Mungkin saja ini hanya lelucon dari temanku. Aku sama sekali tidak mengetahui apa pun tentang barang ini."
Dalam situasi seperti ini, Adrian hanya bisa berusaha menyangkal. Jika tidak, semua rencananya akan berakhir sia-sia.
"Benarkah? Kalau begitu, bagaimana dengan ini?"
Lucian merogoh saku lain Adrian dan mengeluarkan dua butir pil putih kecil.
"Tuan Adrian, kalau aku tidak keliru, ini adalah obat yang dikenal sebagai pil kontrasepsi, 'kan? Peralatan yang kamu miliki tampaknya sangat lengkap. Apakah ini juga bagian dari lelucon teman-temanmu?"
Aria yang menyaksikan semua kejadian itu langsung menatap Adrian dengan rasa jijik dan berkata, "Adrian, pergi! Aku tak ingin melihatmu lagi!"
Melihat rencana yang telah ia susun dengan matang berantakan, emosi Adrian memuncak. Dengan wajah memerah karena amarah, ia berteriak, "Dasar bajingan! Aku akan membunuhmu!"
Tanpa memedulikan citranya lagi, ia mengayunkan tinjunya ke arah wajah Lucian.
Sayangnya, tubuhnya yang melemah akibat alkohol dan gaya hidupnya yang berlebihan tidak sebanding dengan Lucian. Dalam sekejap, Lucian menendang perutnya, membuatnya terlempar ke arah sembilan ratus sembilan puluh sembilan mawar yang tersusun di sekitar tempat itu.
"Ah!"
Teriakan memilukan terdengar dari mulut Adrian.
Meskipun jatuhnya tidak terlalu fatal, duri-duri mawar yang tajam menusuk ke seluruh tubuhnya. Saat ia berusaha bangkit, kulitnya terluka oleh duri-duri tersebut.
"Kamu berani merebut kekasihku! Tunggu saja, aku akan membalasnya!"
Dengan penuh amarah, Adrian melontarkan ancaman lalu berusaha melarikan diri. Namun, baru beberapa langkah, penutup lubang got di bawah kakinya mendadak bergeser, membuatnya terjatuh ke dalam dengan suara cipratan air yang keras.
Kini, keadaannya benar-benar menyedihkan. Ketika akhirnya berhasil keluar dari lubang got, tubuhnya penuh dengan sampah dan bau tak sedap menyengat dari dirinya.
Dalam kepanikan, anak buahnya yang berada di kerumunan segera bergegas untuk membantunya pergi.
Melihat Tuan Adrian yang sebelumnya begitu arogan, kini berada dalam kondisi yang begitu mengenaskan, orang-orang di sekitar tidak bisa menahan tawa mereka.
"Anak muda, kau memang luar biasa. Aku akan menaruh rasa hormat padamu, bukan pada orang lain ..."
"Nona, kau punya mata yang tajam. Pria yang kau pilih memang luar biasa ..."
Para penonton memberikan pujian kepada Lucian.
Mereka yang selama ini hanya bisa menahan kekesalan terhadap Adrian, akhirnya merasa puas karena ada seseorang yang mampu menghadapinya.
Aria menarik Lucian ke samping dan menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Bagaimana kau melakukannya?"
Penampilannya tadi sungguh di luar dugaan, bahkan bisa dikatakan mengesankan. Ia telah mengalahkan putra tertua Keluarga Fairmont.
Aria berpikir bahwa setelah insiden ini, Adrian tidak akan lagi memiliki keberanian untuk mendekatinya.
Lucian tersenyum santai. "Bukankah kau melihat semuanya sendiri?"
Aria tersipu, lalu berkata, "Maksudku, bagaimana kau tahu bahwa Adrian memiliki benda semacam itu di sakunya?"
Lucian tidak ingin mengungkapkan rahasia tentang kesadaran spiritualnya, sehingga ia menjawab dengan ringan, "Aku seorang praktisi pengobatan tradisional. Dari awal, aku sudah melihat bahwa dia memiliki masalah serius pada ginjalnya. Jadi, tidak sulit bagiku untuk menebaknya."
Aria tidak bertanya lebih lanjut dan hanya berkata, "Terima kasih atas bantuanmu. Aku akan mentraktirmu makan malam setelah pulang kerja."
Usai mengucapkan itu, ia berbalik dan berjalan menuju gedung kantor Vaughn Group. Setelah semua kejadian ini, ia hampir terlambat untuk bekerja.
Lucian pun meninggalkan tempat itu dan tak lama kemudian tiba di klinik pengobatan tradisional terbesar di Kota Oakhaven. Graha Medika.
Bangunan itu memiliki dekorasi khas klasik dengan nuansa kuno yang megah.
Di gerbang utama, tergantung sebuah syair. Baris atas bertuliskan "Tidak seorang pun melihat pekerjaan yang dilakukan", sementara baris bawah bertuliskan "Tuhan mengetahui niatku".
Saat memasuki klinik, Lucian memperhatikan sekeliling. Di sisi kiri terdapat apotek, sementara di sisi kanan adalah ruang praktik pengobatan tradisional.
Karena masih pagi, toko itu belum terlalu ramai. Para pekerja bahkan belum mulai menyiapkan obat. Di apotek, hanya ada satu orang yang tampak asyik bermain ponsel di balik meja kasir.
Saat melihat Lucian masuk, pria itu hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan ponselnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Lucian melangkah ke konter dan berkata, "Aku ingin membeli obat."
Tanpa mengangkat kepalanya, pria itu menjawab dengan nada malas, "Tunggu sebentar. Tidak lihat aku sedang sibuk?"
Lucian terdiam. Bermain King of Glory termasuk kesibukan?
Toko ini benar-benar memperlakukan pelanggan dengan buruk! Awalnya, Lucian ingin berbalik dan pergi, tetapi mengingat ia membutuhkan banyak bahan obat untuk meramu Pil Pembangunan Fondasi, ia pun mengurungkan niatnya. Beberapa bahan bakunya cukup langka dan tidak tersedia di apotek kecil lainnya.
"Dalam hidup ini, hanya namamulah yang mengisi pikiranku. Aku tak akan pernah melirik wanita lain selain dirimu. Maukah kau menjadi kekasihku?"
Begitu kata-katanya selesai, orang-orang di sekitar kembali berseru dengan penuh semangat, "Bersama... bersama... bersama!"
Merasa situasi ini semakin sulit dihadapi, Aria menoleh ke arah Lucian, berharap mendapatkan bantuan darinya.
Lucian tertawa lepas dan berkomentar dengan nada bercanda, "Bakat aktingmu luar biasa. Sayang sekali jika kau tidak menjadi aktor."
Adrian, yang merasa dipermalukan, langsung membentak dengan nada marah, "Apa yang kau bicarakan? Semua orang tahu betapa tulusnya perasaanku terhadap Aria! Jika aku berbohong, biarlah petir menyambarku saat ini juga!"
"Benarkah begitu? Kalau begitu, mari kita lihat seberapa tulus dirimu," jawab Lucian dengan senyum tipis.
Tanpa memberi Adrian kesempatan untuk bereaksi, Lucian dengan cepat menyelipkan tangannya ke dalam saku pria itu dan menarik keluar sebuah benda putih yang tampak begitu mencolok. Saat dilihat lebih jelas, ternyata itu adalah sepotong pakaian dalam wanita yang berpotongan kecil dan terbuat dari renda transparan.
Sambil mengangkat benda tersebut, Lucian berkata dengan nada mengejek, "Tuan Adrian, bolehkah kamu menjelaskan ini?"
"Kalau kamu begitu mencintai Aria dan mengaku tidak pernah melirik wanita lain selama setengah tahun terakhir, dari mana asal benda ini? Atau ... jangan-jangan ini milikmu sendiri?"
"A-Aku..."
Adrian tertegun, wajahnya seketika pucat. Kenyataannya, ia memang tidak pernah bisa hidup tanpa wanita. Setiap kali ia tidur dengan seorang wanita, ia selalu menyimpan pakaian dalam mereka sebagai kenang-kenangan.
Benda ini adalah sisa dari pertemuannya tadi malam, dan ia belum sempat membuangnya.
Namun, pakaian dalam tersebut begitu kecil, bahkan lebih kecil dari sapu tangan, sehingga ia yakin tidak ada seorang pun yang bisa menemukannya di dalam sakunya. Bagaimana mungkin Lucian dapat menemukannya dengan begitu mudah?
Para penonton yang menyaksikan kejadian ini langsung heboh.
"Astaga! Hampir saja aku tertipu oleh bajingan ini! Berani-beraninya ia mengungkapkan cinta dengan barang seperti itu di sakunya!"
"Tak tahu malu! Begitu teganya dia mengumbar kata-kata manis padahal membawa barang wanita lain bersamanya!"
"Bukankah dia sendiri yang bilang akan disambar petir jika berbohong? Kalau begitu, Tuhan seharusnya segera menurunkan hukumannya!"
Merasa panik, Adrian buru-buru mencari alasan, "Aria, jangan salah paham! Ini bukan milikku! Seorang teman meminjam jas ini dariku untuk pergi kencan kemarin."
"Aku yakin benda ini miliknya, bukan milikku!"
"Kalau begitu, bagaimana dengan yang satu ini? Apakah ini juga bukan milikmu?"
Dengan gerakan santai, Lucian melemparkan celana dalam tersebut, lalu dengan cekatan merogoh saku celana Adrian dan mengeluarkan sebuah benda berwarna merah muda.
Gerakannya begitu cepat hingga Adrian tidak sempat bereaksi sama sekali.
"Tuan Adrian, kalau aku tidak salah, benda ini bernama Durex, 'kan? Dari mana asalnya? Atau jangan-jangan kamu juga meminjamkan celanamu ke temanmu?"
"A-Aku ..."
Adrian merasa agak salah tingkah. Sebagai seorang pria yang sering berkencan, Durex adalah barang wajib yang selalu ia bawa.
Namun, di balik rasa malu itu, kebingungan juga menyelimutinya. Dibandingkan dengan pakaian dalam kecil tadi, Durex berukuran lebih kecil. Bagaimana mungkin pemuda di hadapannya mengetahui keberadaan benda tersebut? Apakah dia memiliki penglihatan tembus pandang?
"Aria, jangan salah paham. Aku benar-benar tidak tahu dari mana benda ini berasal. Mungkin saja ini hanya lelucon dari temanku. Aku sama sekali tidak mengetahui apa pun tentang barang ini."
Dalam situasi seperti ini, Adrian hanya bisa berusaha menyangkal. Jika tidak, semua rencananya akan berakhir sia-sia.
"Benarkah? Kalau begitu, bagaimana dengan ini?"
Lucian merogoh saku lain Adrian dan mengeluarkan dua butir pil putih kecil.
"Tuan Adrian, kalau aku tidak keliru, ini adalah obat yang dikenal sebagai pil kontrasepsi, 'kan? Peralatan yang kamu miliki tampaknya sangat lengkap. Apakah ini juga bagian dari lelucon teman-temanmu?"
Aria yang menyaksikan semua kejadian itu langsung menatap Adrian dengan rasa jijik dan berkata, "Adrian, pergi! Aku tak ingin melihatmu lagi!"
Melihat rencana yang telah ia susun dengan matang berantakan, emosi Adrian memuncak. Dengan wajah memerah karena amarah, ia berteriak, "Dasar bajingan! Aku akan membunuhmu!"
Tanpa memedulikan citranya lagi, ia mengayunkan tinjunya ke arah wajah Lucian.
Sayangnya, tubuhnya yang melemah akibat alkohol dan gaya hidupnya yang berlebihan tidak sebanding dengan Lucian. Dalam sekejap, Lucian menendang perutnya, membuatnya terlempar ke arah sembilan ratus sembilan puluh sembilan mawar yang tersusun di sekitar tempat itu.
"Ah!"
Teriakan memilukan terdengar dari mulut Adrian.
Meskipun jatuhnya tidak terlalu fatal, duri-duri mawar yang tajam menusuk ke seluruh tubuhnya. Saat ia berusaha bangkit, kulitnya terluka oleh duri-duri tersebut.
"Kamu berani merebut kekasihku! Tunggu saja, aku akan membalasnya!"
Dengan penuh amarah, Adrian melontarkan ancaman lalu berusaha melarikan diri. Namun, baru beberapa langkah, penutup lubang got di bawah kakinya mendadak bergeser, membuatnya terjatuh ke dalam dengan suara cipratan air yang keras.
Kini, keadaannya benar-benar menyedihkan. Ketika akhirnya berhasil keluar dari lubang got, tubuhnya penuh dengan sampah dan bau tak sedap menyengat dari dirinya.
Dalam kepanikan, anak buahnya yang berada di kerumunan segera bergegas untuk membantunya pergi.
Melihat Tuan Adrian yang sebelumnya begitu arogan, kini berada dalam kondisi yang begitu mengenaskan, orang-orang di sekitar tidak bisa menahan tawa mereka.
"Anak muda, kau memang luar biasa. Aku akan menaruh rasa hormat padamu, bukan pada orang lain ..."
"Nona, kau punya mata yang tajam. Pria yang kau pilih memang luar biasa ..."
Para penonton memberikan pujian kepada Lucian.
Mereka yang selama ini hanya bisa menahan kekesalan terhadap Adrian, akhirnya merasa puas karena ada seseorang yang mampu menghadapinya.
Aria menarik Lucian ke samping dan menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Bagaimana kau melakukannya?"
Penampilannya tadi sungguh di luar dugaan, bahkan bisa dikatakan mengesankan. Ia telah mengalahkan putra tertua Keluarga Fairmont.
Aria berpikir bahwa setelah insiden ini, Adrian tidak akan lagi memiliki keberanian untuk mendekatinya.
Lucian tersenyum santai. "Bukankah kau melihat semuanya sendiri?"
Aria tersipu, lalu berkata, "Maksudku, bagaimana kau tahu bahwa Adrian memiliki benda semacam itu di sakunya?"
Lucian tidak ingin mengungkapkan rahasia tentang kesadaran spiritualnya, sehingga ia menjawab dengan ringan, "Aku seorang praktisi pengobatan tradisional. Dari awal, aku sudah melihat bahwa dia memiliki masalah serius pada ginjalnya. Jadi, tidak sulit bagiku untuk menebaknya."
Aria tidak bertanya lebih lanjut dan hanya berkata, "Terima kasih atas bantuanmu. Aku akan mentraktirmu makan malam setelah pulang kerja."
Usai mengucapkan itu, ia berbalik dan berjalan menuju gedung kantor Vaughn Group. Setelah semua kejadian ini, ia hampir terlambat untuk bekerja.
Lucian pun meninggalkan tempat itu dan tak lama kemudian tiba di klinik pengobatan tradisional terbesar di Kota Oakhaven. Graha Medika.
Bangunan itu memiliki dekorasi khas klasik dengan nuansa kuno yang megah.
Di gerbang utama, tergantung sebuah syair. Baris atas bertuliskan "Tidak seorang pun melihat pekerjaan yang dilakukan", sementara baris bawah bertuliskan "Tuhan mengetahui niatku".
Saat memasuki klinik, Lucian memperhatikan sekeliling. Di sisi kiri terdapat apotek, sementara di sisi kanan adalah ruang praktik pengobatan tradisional.
Karena masih pagi, toko itu belum terlalu ramai. Para pekerja bahkan belum mulai menyiapkan obat. Di apotek, hanya ada satu orang yang tampak asyik bermain ponsel di balik meja kasir.
Saat melihat Lucian masuk, pria itu hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan ponselnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Lucian melangkah ke konter dan berkata, "Aku ingin membeli obat."
Tanpa mengangkat kepalanya, pria itu menjawab dengan nada malas, "Tunggu sebentar. Tidak lihat aku sedang sibuk?"
Lucian terdiam. Bermain King of Glory termasuk kesibukan?
Toko ini benar-benar memperlakukan pelanggan dengan buruk! Awalnya, Lucian ingin berbalik dan pergi, tetapi mengingat ia membutuhkan banyak bahan obat untuk meramu Pil Pembangunan Fondasi, ia pun mengurungkan niatnya. Beberapa bahan bakunya cukup langka dan tidak tersedia di apotek kecil lainnya.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved