Bab 2: Tagihan Rumah Sakit yang Mengejutkan

by Kael Draven 14:53,Feb 28,2025
Victor terperangah melihat tindakan Lucian. Setelah mengenali pemuda itu, dia berteriak, "Nak, pasien sudah meninggal. Apa yang masih kamu lakukan di sini?"

"Apa kamu hanya berpura-pura berbakti kepada orang tua? Jika memang peduli, seharusnya kamu sudah membawa seratus juta untuk operasi sebelumnya. Ibumu tidak akan meninggal. Kamu tidak punya uang, tapi suka berpura-pura. Orang seperti kamu sungguh menjijikkan ..."

Victor terus berbicara tanpa henti, namun Lucian tetap tidak memperdulikannya, tetap fokus melakukan akupunktur pada Diana.

"Nak, aku sedang berbicara denganmu! Apa kamu tidak mendengarku?"

Melihat bahwa Lucian tidak menghiraukannya, kemarahan Victor semakin memuncak. Dia kembali berteriak, "Apa kamu dokter? Menyuntikkan jarum yang tidak ada gunanya, apa kamu ingin ibumu tidak tenang meskipun sudah meninggal?"

"Ini IGD, biaya dihitung per jam. Tagihan sebelumnya bahkan belum dilunasi. Lalu, apa yang kamu lakukan di sini?"

"Hentikan sekarang juga!"

Lucian akhirnya menyelesaikan prosedur akupunktur dengan memasukkan jarum terakhir, lalu menghela napas panjang.

Ibunya mengalami pendarahan otak yang mendadak. Bagi praktisi pengobatan kuno, ini bukanlah kasus yang sulit ditangani. Beruntung, Lucian kembali tepat waktu. Seandainya terlambat sedikit saja, semuanya akan terlambat.

Victor berteriak, "Nak, apakah kamu sudah cukup mengacaukan keadaan? Waktu yang kamu buang tadi juga dihitung dalam tagihan!"

Kemudian, ia berbalik kepada Karina dan berkata, "Hubungi rumah duka dan minta mereka membawa mayat ini."

Lucian menjawab dengan nada dingin, "Kamu penipu, apa omong kosong yang kamu katakan? Ibuku masih hidup!"

Victor mencibir, "Hidup? Apa kamu gila? Kalau ibumu hidup kembali, saya akan menyerahkan posisi saya sebagai kepala dokter!"

Baru saja dia selesai berbicara, monitor yang terpasang di dekat tempat tidur tiba-tiba mengeluarkan bunyi bip tajam. Mesin yang sebelumnya mati itu kini menyala kembali. Detak jantung Diana muncul lagi.

Satu kali, dua kali ... Awalnya sangat lemah, tetapi segera menjadi stabil.

"Ini ... apa yang terjadi?"

Victor dan Karina tertegun. Beberapa saat lalu, wanita ini tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan sama sekali. Bagaimana bisa dia tiba-tiba hidup kembali? Jika ini bukan IGD, mereka pasti mengira dia telah bangkit dari kematian.

Melihat kesempatan yang tepat, Lucian langsung mencabut semua jarum dari tubuh ibunya, lalu melepas semua perangkat pemantauan satu per satu.

Setelah selesai, Diana tiba-tiba duduk dari tempat tidurnya. Dia memandang sekeliling dan bertanya, "Nak, Ibu ada di mana?"

"Ibu, akhirnya Ibu bangun!"

Lucian memegang tangan ibunya dengan penuh kegembiraan. Seandainya dia tidak mewarisi ilmu pengobatan kuno, ibu dan dirinya mungkin sudah terpisah oleh hidup dan mati.

Mata Victor membelalak tak percaya. Dia mengenal kondisi Diana dengan sangat baik. Meskipun wanita ini tidak meninggal, tidak mungkin dia bisa pulih dengan begitu cepat.

Diana mengerutkan dahi dan bertanya, "Nak, apa yang terjadi? Ibu ingat, tiba-tiba Ibu pingsan. Apa Ibu sakit? Apa biayanya sangat mahal?"

"Semua sudah baik-baik saja, Bu. Ibu sudah sembuh. Kita akan pulang sekarang."

Lucian tidak hanya menyembuhkan pendarahan otak ibunya, tapi juga mengatasi masalah kesehatan lainnya.

Sekarang, Diana jauh lebih sehat dibandingkan kebanyakan orang, jadi tidak ada alasan untuk tinggal lebih lama di rumah sakit.

"Baiklah, ayo pergi. Ibu selalu bilang, penyakit ringan tidak perlu ke rumah sakit. Istirahat saja sudah cukup."

Diana membesarkan anak-anaknya sendirian dalam kondisi sulit, Jadi, dia sangat menghindari biaya rumah sakit.

Setelah menyelesaikan ucapannya, Diana bangkit dari tempat tidur dan bersiap untuk pergi bersama Lucian.

"Berhenti! Kalian tidak bisa pergi sekarang."

Victor berdiri di depan mereka, menghalangi jalan.

Lucian mengernyit. "Apa lagi yang kamu inginkan?"

Victor menjawab, "Kalian bisa pergi, tapi harus melunasi tagihan rumah sakit terlebih dahulu."

Diana mengangguk. "Oh, tentu. Berapa biayanya, Dokter?"

"Delapan puluh juta," jawab Victor.

"Apa? Sebanyak itu?"

Diana terkejut. Jika Lucian tidak menyembuhkan penyakitnya barusan, dia mungkin akan pingsan lagi di ranjang rumah sakit.

Wajah Lucian berubah muram. "Aku yang menyelamatkan ibuku. Mengapa kami harus membayar jumlah sebesar itu?"

"Biaya perawatan di IGD dihitung berdasarkan waktu dan obat-obatan yang digunakan, termasuk obat-obatan resusitasi."

Victor melemparkan setumpuk tagihan medis kepada Diana. "Lihat sendiri," katanya dengan nada marah. "Kami telah menghabiskan banyak usaha dan sumber daya untuk menyelamatkanmu. Tanpa itu, kamu sudah mati."

Diana melihat tagihan tersebut, tetapi dia tidak mengerti banyak tentang medis. Hanya jumlah total yang sangat tinggi yang bisa dipahaminya.

Lucian memeriksa tagihan itu, dan wajahnya langsung berubah suram. "Apa kamu yakin semua obat-obatan ini digunakan untuk ibuku?"

Meskipun masih berstatus sebagai mahasiswa kedokteran tahun ketiga di Universitas Kedokteran Oakhaven, Lucian memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang obat-obatan standar.

"Tentu saja. Cepat bayar!" desak Victor.

Kemarahan Lucian memuncak. Dia mencengkeram leher Victor dan menekannya ke dinding.

"Orang sepertimu memang berengsek. Sudah tidak kompeten, tidak punya hati pula! Kamu berani menyebut dirimu seorang dokter?"

Victor terengah-engah. Dia berusaha melawan, tetapi cengkraman Lucian begitu kuat, bagaikan penjepit besi.

Diana dan Karina terkejut. Mereka tidak mengerti mengapa Lucian begitu marah dan segera berusaha untuk melerai.

Karina mencoba menarik lengan Lucian, tapi lengan yang tampak ramping itu terasa sekuat gunung.

"Nak, lepaskan! Menyakiti orang lain itu melanggar hukum," kata Diana dengan cemas.

Barulah saat itu Lucian melepaskan cengkeramannya.

"Hah, hah, hah ..." Victor akhirnya bisa bernapas lega, terengah-engah.

Diana memandang anaknya dengan kebingungan. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu begitu marah?"

Lucian menjawab dengan penuh emosi, "Dokter tanpa hati ini menuntut seratus juta untuk operasi. Ketika kita tidak bisa membayar, dia membiarkan Ibu mati."

"Tadi dia salah mendiagnosis Ibu dan menyatakan bahwa Ibu sudah meninggal, ini jelas-jelas kelalaian medis!"

"Tidak hanya itu," lanjut Lucian dengan nada geram, "sekarang dia mencoba menipu kita dengan tagihan medis palsu! Obat-obatan yang bahkan tidak diberikan pada Ibu juga ditagih. Bagaimana bisa orang seperti itu berani menyebut dirinya dokter?"

Victor menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Omong kosong!" serunya kemudian. "Semua obat itu digunakan untuk menyelamatkan ibumu dalam kondisi darurat! Kamu harus bayar, atau aku akan lapor polisi!"

Lucian mengangkat tagihan itu tinggi-tinggi. "Apa kamu pikir kami bodoh?" serunya. "Ibuku mengalami pendarahan otak parah, tapi di daftar ini ada obat untuk melarutkan gumpalan darah. Bagaimana mungkin? Lalu, ginseng dan tanduk rusa ini untuk apa?"

"Dan lagi," Lucian menambahkan dengan nada curiga, "total cairan infus yang digunakan melebihi 25 kilogram! Bagaimana mungkin cairan sebanyak itu dimasukkan ke tubuh ibuku?"

"Dua puluh lima kilogram cairan infus dalam waktu kurang dari 24 jam, bahkan gajah pun tidak akan bertahan hidup!"

"Aku ..."

Victor benar-benar kehilangan kata-kata.

Dia menyangka ibu dan anak ini tidak tahu apa-apa, jadi dia menambah-nambahkan obat yang tidak diperlukan dalam tagihan.

Victor memang oportunis. Dia memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan keuntungan ganda, baik dari uang suap rumah sakit maupun penjualan obat-obatan. Namun, kali ini aksinya terbongkar.

Saat dia kebingungan, pintu ruang gawat darurat tiba-tiba terbuka lebar. Seorang pria paruh baya berlari masuk, membawa seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun di punggungnya.

Pria itu berteriak, "Dokter! Tolong, bantu anak saya!"

"Dokter Victor!" seru seorang perawat sambil berlari kecil menghampiri Victor. "Kita punya pasien prioritas dari Dinas Kesehatan, rujukan Pak Elias. Pasien ini harus segera ditangani!"

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

263