Bab 2 Part 2

by Neng Gemoy 19:40,Dec 05,2023
Rumah Danke berada di kompleks perumahan kaum menengah ke bawah. Sementara wanita yang harus selalu dipanggil Mamih itu berada di kompleks perumahan elit, yang letaknya nyaris berseberangan dengan kompleks perumahan Danke.
Ternyata rumah Mamih itu ada salonnya segala. Ketika aku dan Danke masuk ke dalamnya, Danke langsung menemui seorang lelaki yang bertugas sebagai kasir salon. Danke berbicara sebentar dengan lelaki itu. Kemudian lelaki itu menyerahkan sebuah amplop yang entah berisi apa.
Danke pun menghampiriku sambil berkata setengah berbisik, “Ayo ke laboratorium dulu. Untuk pemeriksaan kondisi darah loe. “
Aku mengangguk. Lalu mengikuti langkah Danke menuju mobilnya. Di dalam mobil Danke menyerahkan amplop itu sambil berkata, “Sebenarnya isi amplop ini rujukan dokter langganan Mamih untuk laboratorium. Ada beberapa hal yang harus diperiksa di laboratorium nanti. Kita hanya akan menunggu dua jam di laboratorium, lalu langsung keluar hasilnya. “
“Setelah keluar hasilnya, harus diserahkan kepada dokter yang mengeluarkan surat rujukan ini ?” tanyaku.
“Nggak usah. Mamih sudah mengerti arti semua yang tertera di hasil laboratorium itu nanti. Soal pembayaran di laboratorium, gak usah dipikirin. Gue yang akan bayarin. “
“Terima kasih Dank. Gue jadi ngerepotin terus sama loe ya. “
“Jangan mikir gitu. Kita kan temenan sejak kecil. Bukan baru kenal sehari dua hari. “
Di laboratorium ... setelah diambil darah dan menjalani pemeriksaan dengan beberapa alat, Danke membayar biayanya, kemudian mengajakku makan di sebuah rumah makan yang letaknya di sebelah barat gedung laboratorium itu.
Di rumah makan itu Danke berkata, “Nanti setelah berada di dalam ruang kerja Mamih, ikutilah apa pun yang dikatakan olehnya. Jangan berbicara kalau tidak ditanya. “
“Iya, “ sahutku, “Tadi Mamih gak kelihatan. Apakah dia sedang keluar ?”
“Dia di lantai atas, di ruang kerjanya. Dia memang jarang muncul di salon. Ohya ... pasien salon itu pada umumnya wanita yang suka memesan brondong pada Mamih. Jadi di salon itu pula tante - tante pada dirias, sambil bertukar pengalaman. “
“Tadi belum ada pasiennya ya Dank. “
“Kan masih pagi. Ohya, nanti setelah mempertemukan loe sama Mamih, gue langsung cabut ya. Gue udah janjian mau kencan sama pelanggan gue yang paling setia. “
“Iya. Gue bisa pulang sendiri kok. Gampang ngingetinnya. Perumahan Mamih berseberangan dengan perumahan loe kan ? “
“Iya. Perumahan Mamih dan perumahan gue cuma dibatasi jalan raya aja. Jalan kaki juga bisa. Tapi kalau males jalan, pakai ojek aja. Nih buat naik ojek nanti, “ kata Danke sambil memberikan selembar uang seratusribuan.
“Makasih Dank, “ ucapku sambil memasukkan duit itu ke saku celana jeansku. Celana pemberian Danke beberapa hari yang lalu. Baju kaus biru muda yang kukenakan pun pemberian Danke.
Di rumah makan itu kami ngobrol banyak. Danke mengkhususkan diri untuk menceritakan Mamih, sebagai boss di dalam “bisnis jasa” itu.
“Jadi nanti loe akan difoto dari semua arah, dalam pakaian lengkap mau pun telanjang. Loe jangan susah kalau disuruh telanjang nanti kan. Soalnya pelanggan Mamih suka minta foto telanjang kita, “ kata Danke setelah kami cukup lama nongkrong di rumah makan itu.
Aku cuma mengangguk saja. Padahal aku belum pernah difoto dalam keadaan telanjang.
Tak lama kemudian, kami tinggalkan rumah makan itu, kembali ke laboratorium. Ternyata hasil pemeriksaan laboratorium itu sudah selesai dan diberikan padaku dalam sebuah amplop bertuliskan nama perusahaan laboratorium itu.
Sambil melangkah ke arah mobilnya yang terparkir di depan laboratorium itu, Danke membuka amplop itu dan mengamati hasil pemeriksaan laboratorium itu.
“Kelihatannya bagus semua Sep, “ kata Danke, ”Loe pasti diterima sama Mamih. “
“Mudah - mudahan aja diterima. “
“Ohya, loe bisa nyetir ?” tanyanya.
“Bisa. SIM juga punya. “
“Kalau gitu loe aja yang nyetir. Biar gue buktiin sehalus apa loe bawa mobil, “ kata Danke sambil menyerahkan kunci sedannya. Sebenarnya sedan Danke tidak ada kuncinya, hanya ada remote control bergantelan dompet kecil berisi STNK. Kebetulan aku pernah nyoba mobil sejenis ini di kampungku. Sehingga aku tidak bingung setelah duduk di belakang sedan matic ini. Cukup dengan menekan tombol di dekat batang setir, kemudian memijatnya lagi sambil menginjak pedal rem.
Ketika sedan itu mulai kularikan di jalan besar, Danke yang duduk di samping kiriku berkata, “Gak nyangka ... loe bisa nyetir sehalus ini. Bagus Sep. Nanti kalau sekali - sekali kita ke luar kota, kita bisa gantian nyetir. “
Aku memang punya bakat nyetir dan hafalin jalan. Dengan sekali jalan saja, tak mungkin tersesat. Maka ketika aku nyetir dari laboratorium ke rumah Mamih, aku tahu pasti jalan mana yang harus dilalui, tanpa harus dibimbing oleh Danke.
Hanya butuh setengah jam aku berhasil menghentikan sedan Danke di depan rumah Mamih.
“Loe nyetirnya meyakinkan. Gue suka cara loe bawa mobil Sep, “ kata Danke sebelum turun dari mobilnya.
Kulihat banyak mobil diparkir di depan rumah Mamih.
Untuk mencapai ruang kerja Mamih ternyata harus melewati salon dulu. Ibu - ibu yang sedang ngobrol di salon, spontan berhenti bicara. Karena memperhatikan kedatanganku bersama Danke. Pandangan mereka semua tertuju padaku. Mungkin karena aku orang baru di lingkungan mereka.
Aku pun mengangguk sopan ke arah mereka. Yang mereka sambut dengan senyum di bibir masing - masing. Kemudian kuikuti langkah Danke menuju lantai dua.
Setelah mengetuk sebuah pintu di lantai dua, terdengar suara dari dalam ruangan itu, “Siapa ?”
“Danke Mam !” seru Danke.
“Masuklah. “
Danke membuka pintu dan masuk ke dalam. Aku mengikutinya dari belakang.
Setelah masuk ke dalam ruangan kerja itu, kulihat seorang wanita mengenakan gaun berwarna hijau tosca yang mengkilap, dengan belahan cukup panjang di kanan - kirinya. Ia berdiri di belakang meja tulisnya ketika melihatku. Lalu menjabat tanganku tanpa menyebutkan namanya. Lalu ia duduk lagi sambil menoleh ke arah Danke.
“Mamih ... Ini calon yang saya sebutkan tempo hari itu, “ kata Danke.
Wanita setengah baya yang dipanggil Mamih itu mengangguk, “Siapa namanya ?”
“Nama aslinya Asep, nama aliasnya Yosef, “ sahut Dadang alias Danke.
“Bagusan pakai nama Yosef, “ kata Mamih.
“Iya, ini hasil pemeriksaan dari laboratorium Mam, “kata Danke sambil menyerahkan amplop dari laboratorium itu.
Mamih membuka amplop itu, lalu mengeluarkan selembar kertas berisi hasil pemeriksaan laboratorium. Ia memperhatikan hasil pemeriksaanku itu dengan seksama.
Mamih mengangguk - angguk. Lalu menoleh ke arah Danke yang masih berdiri di sampingku. “Bagus semua hasilnya, “ kata Mamih, “Tinggalkan saja Yosef di sini. Kamu ada janji dengan Bu Nina kan ?”
“Betul, “Danke mengangguk, “Saya tinggalkan Yosef ya Mam. “
Mamih mengangguk. Danke menepuk bahuku sambil berkata, “Gue pergi dulu ya. “
“Iya, “ sahutku.
Setelah Danke keluar, Mamih mengunci pintu keluar, lalu kembali ke kursi ala direktur yang bisa berputar itu. “Duduklah Sef, “ katanya sambil duduk di kursi itu.
Aku pun duduk di kursi depan meja tulis Mamih. Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu.
“Umurmu berapa ?” tanya Mamih
“Delapanbelas, “ sahutku.
“Sudah punya pengalaman dalam sex ?” tanyanya dengan tatapan menyelidik.
“Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... “
“Dengan perempuan nakal ?”
“Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. “
“Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?”
“Dengan ... dengan saudara sepupu, “ sahutku jujur.
Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. “Kamu benar - benar berniat untuk menjadi gigolo ?”
“Iya, saya berminat. “
“Apa yang mendorongmu ingin menjadi gigolo ?”
“Pertama karena saya butuh uang. “
“Kedua ?”
“Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. “
“Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. “
“Saya siap Mam. “
“Coba kamu berdiri dan perlihatkan kontolmu seperti apa. “
Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
“Hmm ... kelihatannya panjang juga kontolmu meski dalam keadaan lemas begitu. Coba berdirinya di sini, “ kata Mamih sambil menunjuk ke sebelah kanan meja tulisnya.
Aku pun melangkah ke sebelah kanan meja tulis Mamih. Sambil memegang kontolku yang masih lemas ini.
Mamih memutar kursinya, jadi menghadap padaku. Dan memegang kontolku, sambil meremasnya perlahan. Kontolku tetap lemas. Mungkin karena masih punya perasaan segan kepada Mamih. Dan jadi panik ketika kontolku dipegang olehnya.
“Bagaimana cara kamu supaya kontolmu ini ngaceng ?”
“Bi ... biasanya sih kalau melihat foto wanita telanjang atau nonton bokep, “ sahutku jujur.
Mamih berdiri. Lalu duduk di pinggiran kanan meja tulisnya, sambil menurunkan celana dalamnya yang putih bersih. Aku cuma berdiri canggung dan bertanya - tanya, apa yang akan Mamih lakukan ? Wooow ... dia menyingkapkan gaunnya, lalu memamerkan memeknya yang bersih dari bulu ... !
“Nah ... pandanglah memekku ... supaya kontolmu bisa ngaceng ... “ kata Mamih sambil mengusap - usap memeknya.
Jelas aku sangat terangsang menyaksikan memek Mamih itu. Tapi batinku masih linglung, sehingga kontolku hanya memanjang dan membesar, namun belum ngaceng full.
Tampaknya Mamih benar - benar ingin menyaksikan seperti apa kalau kontolku sudah ngaceng. Lalu ia duduk mengangkang di pinggiran meja tulisnya, sambil menarik kontolku. Dan mengoles- oleskan moncong kontolku ke memeknya ... !
Kini kontolku benar - benar ngaceng dibuatnya. Terlebih setelah terasa memek Mamih jadi basah dan licin dan hangat.
“Wow ... setelah ngaceng kontolmu gagah sekali Yosef. Gede dan panjang sekali. Coba dorong sampai masuk ke dalam memekku, “ kata Mamih sambil mengangakan memeknya dengan tangan kiri dan tetap memegang kontolku dengan tangan kanannya.
Aku menurut saja apa yang diperintahkan oleh Mamih. Kudorong kontolku sekuat tenaga. Tapi sulit masuknya.
“Uuuughhhh ... susah masuknya ya .... sebentar ... kita pindah ke kamarku aja yuk, “ Mamih menjauhkan kontolku dari memeknya, lalu turun dari meja tulis sambil meraih celana dalam putihnya dan menuntun tanganku menuju pintu yang di dekat sofa itu.
Aku mengikuti apa pun yang Mamih katakan, bukan semata - mata karena teringat pesan Danke. Tapi juga karena diam - diam aku merasa suka kepada Mamih yang bertubuh tinggi langsing tapi tidak kurus, Mamih yang berwajah manis dan berkulit putih bersih (menurut ukuran bangsaku).
Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

318