Bab 6 Rencana Sudah di Depan Mata

by Bae Suah 08:01,Oct 30,2023
Pria kurus tinggi itu jatuh ke lantai beton dengan suara keras. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa kali, kakinya mengentak-hentak. Matanya terpejam dan darah merah perlahan-lahan mengalir dari bagian bawah kepalanya.

Anjing-anjing di halaman menggonggong dengan marah.

Pria botak itu memanfaatkan kekacauan untuk melarikan diri, tetapi polisi dengan sigap menerkamnya, menjatuhkannya ke tanah, merampas lukisan itu dan memborgolnya.

Kim Hyejin, dengan tangan masih mencengkeram jendela, menatap lurus ke arah Lee Seungjae yang telah melakukan tembakan.

Menikah dengannya selama tiga tahun, dia tidak tahu bahwa suaminya bisa menembak dengan sangat akurat.

Tadi, kalau tembakan itu tidak ditembakkan di saat yang tepat, atau jika sedikit salah sasaran, itu akan berakibat fatal baginya.

Lee Seungjae melemparkan pistol di tangannya. Dengan langkah jenjang, dia berjalan ke arah Kim Hyejin dan menggendongnya turun dari ambang jendela.

Dengan hati-hati, dia merawat luka di lehernya.

Lee Seungjae memeluknya dengan erat. Tangannya yang dingin mengusap wajah kecilnya yang ketakutan sambil bertanya dengan hangat, "Kamu ketakutan?"

Kim Hyejin mengiakan pelan.

Tadi, dia mengira dia sudah mati. Namun, dia tidak menyangka kalau dia lepas dari belenggu kematian.

Jantungnya berdegup kencang, telinganya berdenging. Ledakan pistol barusan masih terdengar jelas di telinganya.

Seluruh prosesnya seperti sebuah film dan sangat mendebarkan.

Dia berkeringat dingin.

Lukisan kuno itu dengan hati-hati disimpan oleh polisi, dimasukkan ke dalam tas pelindung, kemudian dimasukkan ke dalam brankas.

Kim Hyejin bekerja sama dengan polisi untuk memberikan pernyataannya dan masuk ke dalam mobil Lee Seungjae.

Hingga saat ini, kakinya masih lemas dan kepalanya berdengung.

Malam itu sangat gelap dan jalan desa cukup sempit.

Sopir menyalakan mobil dan melaju ke arah kota.

Kim Hyejin digendong dalam pelukan Lee Seungjae.

Dia membelai tulang punggungnya yang kurus berulang kali, menghiburnya, "Tidak apa-apa. Sudah tidak apa-apa, jangan takut."

Pelukannya hangat. Kim Hyejin membenamkan tubuhnya ke dalam pelukannya. Hatinya terasa asam, sepat dan terselip sedikit rasa manis.

Lee Seungjae ternyata masih memperlakukannya layaknya seorang istri.

Merasakan responsnya, Lee Seungjae memeluknya lebih erat dan suaranya yang lembut terdengar di telinganya dengan sedikit omelan, ''Kenapa kamu tidak meneleponku saat terjadi sesuatu? Ibu sedikit bingung dan baru kemarin menyadari ada sesuatu yang salah. Ibu meneleponku dan memberitahuku."

Tenggorokannya tercekat, rahangnya tertutup oleh rambut Kim Hyejin. Tangannya mencengkeram baju Kim Hyejin, lalu kembali berbisik, "Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu?"

Kim Hyejin sedikit tertegun.

Pada saat itu, dia merasa bahwa pria itu peduli pada dirinya lebih dari yang dia kira.

Dia mengangkat tangannya dan perlahan memeluknya erat di pinggang, membenamkan wajahnya ke lekukan leher pria itu.

Pria itu memiliki aroma yang dapat dia andalkan, aroma itu membuat hatinya tenang.

Kehangatan muncul di dalam hatinya dan matanya memerah.

Di tengah perjalanan, ponsel Lee Seungjae berdering.

Dia melihatnya sejenak, kemudian menutup telepon.

Kim Hyejin merasa bahwa orang yang meneleponnya adalah Yang Minseo.

Tidak lama kemudian, ponsel asistennya yang duduk di kursi penumpang juga berdering.

Dia menjawabnya, mengucapkan beberapa patah kata, lalu menyerahkan ponsel di tangannya dan berkata, "Tuan Lee, Nona Yang menelepon."

Lee Seungjae menerima telepon itu dan bertanya, "Ada apa?"

Suara mungil Yang Minseo meneteskan kecemasan, "Seungjae Oppa, apa kamu sudah menemukan Hyejin Eonni?"

"Ya."

"Dia pasti ketakutan, ‘kan? Temani dia dan jangan datang ke rumah sakit dulu untuk beberapa hari ke depan."

Lee Seungjae mengiakan samar.

Jarak mereka cukup dekat. Pembicaraan mereka juga bisa didengar oleh Kim Hyejin dengan jelas. Hatinya yang semula hangat kembali berubah dingin.

Tanpa perceraian, dia tetaplah suaminya. Betapa memalukannya dia, yang seorang istri harus bergantung pada pihak ketiga agar suaminya mau menemaninya.

Kim Hyejin perlahan mendorong lengan Lee Seungjae menjauh dan bergerak untuk duduk di kursi.

Dia menoleh dan melihat ke luar jendela, tersenyum pada bayangannya sendiri di jendela mobil. Senyuman itu tampak dingin.

Keindahan yang baru saja terjadi itu hanyalah ilusi.

Ya, itu semua adalah ilusi dalam benaknya.

Mobil mulai masuk ke jalanan kota.

Kim Hyejin berkata pada Lee Seungjae, "Antar aku ke rumah ibuku. Bantu aku mencari alasan untuk Nenek."

Lee Seungjae terdiam sejenak, "Ya."

Kembali ke rumah.

Begitu memasuki pintu, Kim Sunhee menarik Kim Hyejin ke dalam pelukannya dan menangis, "Nak, kamu baik-baik saja?"

"Ya."

"Syukurlah kamu baik-baik saja. Kamu membuat ibu ketakutan setengah mati. Ini semua salah Ibu karena Ibu sangat ceroboh. Ibu tidak mengerti maksudmu yang meminta ibu meminum pil glukosa dan butuh waktu satu hari untuk menyadari hal ini. Berkat bantuan Seungjae, Ibu bisa menemukanmu. Entah apa yang akan terjadi padamu jika bukan karena dia. Kamu adalah satu-satunya anak ibu. Bagaimana Ibu bisa hidup jika sesuatu terjadi padamu?" Wanita yang biasanya berapi-api itu kini menangis.

Kim Hyejin mengangkat tangannya untuk menyeka air matanya dan dengan lembut membujuk, "Jangan menangis, Bu. Aku sudah kembali, bukan?”

Seminggu kemudian, di malam hari.

Lee Seungjae terlalu banyak minum di sebuah acara bisnis.

Sopir membantunya pulang dan mendudukkannya di sofa untuk berbaring.

Dia bangun untuk mengambil handuk, tiba-tiba mendengar Lee Seungjae bergumam dengan mata tertutup, "Kim Hyejin, Kim Hyejin, ambilkan segelas air."

Sopir itu ragu-ragu selama dua detik, mengeluarkan ponselnya dan menelepon Kim Hyejin dan berkata, "Nona, Tuan Lee mabuk dan terus memanggil nama Nona."

Kim Hyejin mengerutkan alisnya.

Kim Sunhee juga mendengar ini, lalu mengatakan, “Pergilah. Kalian masih menikah dan belum resmi bercerai. Jangan terlalu keras.”

Kim Hyejin mengiakan pelan dan berkata kepada sopir, "Aku akan segera ke sana."

"Terima kasih, Nona." Sopir itu menutup telepon.

Dia menuangkan segelas air dan menyuapkannya kepada Lee Seungjae

Baru meminumnya setengah, suara bel pintu tiba-tiba berbunyi.

Sopir meletakkan cangkir di atas meja dan beranjak untuk membuka pintu.

Dia melihat Yang Minseo berdiri di luar, berpakaian putih dan membawa sekeranjang buah.

Sopir itu berkata dengan nada meminta maaf, "Nona Yang, Tuan Lee terlalu banyak minum. Mungkin Tuan tidak bisa merawat Nona.”

Yang Minseo terkekeh, "Tidak apa-apa. Aku yang akan menjaganya."

Dia berjalan masuk dan meletakkan keranjang buah di atas lemari, lalu berkata pada sopir, "Kamu kembali saja. Seungjae Oppa akan baik-baik saja denganku."

Sopir itu terlihat canggung, "Aku sudah menelepon Nyonya dan Nyonya akan segera datang.”

Yang Minseo tersenyum tipis, "Tidak apa-apa. Aku mengenal Hyejin Eonni. Dia punya sifat yang baik dan tidak akan keberatan."

Sopir itu ragu-ragu sejenak, tetapi masih mengatakan, "Baiklah kalau begitu."

Dia mengambil kunci mobil dan pergi.

Mengitari lorong masuk, Yang Minseo berjalan ke sofa dan duduk, mengambil cangkir teh dan memberikan air minum pada Lee Seungjae.

Ujung hidung Lee Seungjae mencium aroma parfum yang familier, membuatnya perlahan membuka matanya.

Melihat bahwa itu adalah Yang Minseo, sedikit keterkejutan muncul di matanya. Dia beranjak dari sofa untuk duduk dan bertanya, "Kenapa kamu datang?"

Yang Minseo mengedipkan matanya dan tersenyum lembut, "Aku sangat merindukanmu, jadi aku datang. Kamu tidak akan menyalahkanku, ‘kan, Seungjae Oppa?"

Lee Seungjae sedikit mengernyit, "Aku terlalu mabuk untuk bisa menemanimu. Kembalilah."

Yang Minseo membeku. Matanya memerah, berkata dengan nada menuduh, "Seungjae Oppa, kamu masih belum benar-benar memaafkanku. Aku sudah mengatakan semuanya. Pesan perpisahan tiga tahun yang lalu, ibuku mengambil ponselku dan mengirimkannya. Dia membawaku keluar negeri dan menyuruh seseorang untuk mengawasiku 24 jam sehari agar aku tidak bisa menghubungimu. Apa kamu tahu betapa menderitanya aku selama tiga tahun ini? Setiap hari aku merindukanmu sampai mau gila rasanya. Tapi aku tidak bisa bertemu denganmu. Aku diperlakukan seperti ini sampai menjadi depresi berat ...."

Dia menutupi wajahnya dan menangis tersedu-sedu.

"Aku sudah memaafkanmu, sungguh." Mata Lee Seungjae sedikit tertunduk, tetapi suaranya hangat, "Jangan menangis."

Yang Minseo menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dia terlihat menyedihkan dan tampak marah, "Kalau begitu kenapa kamu mengusirku?"

"Aku belum bercerai. Tidak pantas juga kamu ada di sini di tengah malam." Dia mencubit kakinya dengan keras dengan tangannya, mencoba menggunakan rasa sakitnya untuk membangunkan kesadarannya dari mabuk.

Yang Minseo menangkap tindakan kecil ini dan perlahan-lahan mencondongkan tubuh ke arahnya. Lengannya yang lembut menjuntai ke bahunya, menatapnya dengan rona bahagia di pipinya. Suaranya terlontar lembut, "Aku tidak keberatan."

Lee Seungjae menghindar dan mengatakan, "Aku yang keberatan."

Mata Yang Minseo berkilat dengan sedikit kekecewaan. Tangannya yang sudah terulur membeku di udara. Dia menariknya kembali setelah beberapa saat.

Keduanya tiba-tiba kehabisan kata-kata.

Keheningan yang mencekam memenuhi ruangan hingga menyesakkan.

Yang Minseo tidak tahan dengan keheningan ini. Dia mendongakkan kepalanya dan melihat sekeliling. Tatapannya akhirnya mendarat di lukisan di dinding, lalu mengatakan, "Apa lukisan tinta dan bambu ini adalah lukisan Sin Yunbok yang asli?"

"Bukan. Itu disalin oleh Kim Hyejin."

"Benarkah? Lukisan itu sangat bagus. Aku pikir itu lukisan aslinya." Yang Minseo berkata pelan, "Aku tidak menyangka kalau Hyejin Eonni sangat mahir.”

Mata suram Lee Seungjae melembut, "Dia memang luar biasa."

"Seungjae Oppa bahkan lebih hebat lagi. Di mataku, kamu akan selalu menjadi pria terbaik." Yang Minseo menatapnya dengan kedua mata bersinar. Kekaguman di matanya terpancar dengan sangat jelas.

Bulu mata Lee Seungjae yang tebal sedikit terkulai. Kesan dingin mewarnai bagian bawah matanya.

Dalam hati Kim Hyejin, pria paling hebat dalam hidupnya pasti Hyunsu.

Tiba-tiba, Yang Minseo mendengar langkah kaki yang sangat ringan dari luar pintu dan memikirkan apa yang dikatakan sopir barusan. Kim Hyejin akan datang.

Dengan binar di matanya, sebuah rencana muncul di benaknya.

Dia berdiri dan meraih lengan Lee Seungjae, suaranya memikat dan panas, "Seungjae Oppa, biar kubantu mandi. Setelah itu, saat kamu tertidur, aku akan pergi."

"Tidak perlu." Lee Seungjae mengangkat tangannya untuk mendorongnya.

"Tidak apa-apa, aku bukan orang asing."

"Tidak perlu, pergilah!" Nada bicaranya mulai kesal.

Ketika mendengar suara kunci terbuka, Yang Minseo mengaduh pelan dan berpura-pura jatuh ke arahnya. Dia melingkarkan tangannya di pinggang Lee Seungjae dan menggerakkan wajahnya ke arahnya.

Lee Seungjae memegangi lehernya dan mencoba menjauhkan kepalanya.

Namun, Yang Minseo melilitnya seperti ular. Dia juga cukup mabuk dan otot-ototnya terlalu lemah untuk mendorongnya menjauh.

Begitu Kim Hyejin memasuki ruangan, dia melihat Yang Minseo dan Lee Seungjae tengah berpelukan dan berciuman!

Tangan Lee Seungjae dengan lembut membelai pinggang Yang Minseo, kemudian beralih memegang lehernya dengan mesra!

Kim Hyejin seperti tersambar petir dan separuh tubuhnya menjadi dingin!

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

110