Bab 8 Raja Ampat

by Lizbeth Lee 14:14,Oct 20,2023
“Sebentar lagi, Nak. Sebentar lagi semuanya akan baik-baik saja,” ucap Hamira sambil mengusap lembut pipi anaknya dan mencium dahi Claudia. “Semua akan baik-baik saja. Papa dan Mama selalu ada bersamamu Claudia, putri cantikku.”

“Kuatlah anakku, kuatlah. Hanya kamu, Claudia satu-satunya anakku,” sahut Gigas dari belakang tubuh Claudia yang sedang memeluk rindu kepada Hamira, sontak saja membalikkan tubuhnya dan melihat Sang Jenderal masih begitu gagah berdiri dengan pakaian tentara yang biasa dipakai oleh Gigas saat akan bertugas.

“Tapi, kalian ku mohon jangan tinggalkan aku lagi. Ajaklah aku bersama kalian, Papa, Mama! Ku mohon Pa, Ma, aku tidak mau di sini lagi,” teriak Claudia dalam mimpinya.

Sebuah laras panjang ditempelkan di tubuh Claudia sambil digoyang-goyangkan “Hei! Kau! Bangun! Kau, seperti orang gila, bisanya tidur sambil teriak-teriak!” panggil seorang pria yang suaranya sedikit tidak asing di telinga Laudia, yang dengan perlahan membuka matanya serta beradaptasi dengan sinar matahari tropis yang masuk di sela-sela jendela kamarnya. Ia memicingkan matanya dan mengerjap berkali-kali, lalu betapa terkejutnya Claudia saat melihat sebuah senjata laras panjang menempel di tubuhnya, sontak saja Claudia melompat turun dari tempat tidurnya dengan ketakutan.

Tubuhnya kembali gemetar ketakutan bukan main, Ia bahkan sampai berlutut di samping tempat tidurnya, “Ampun, Tuan! Ampun! Jangan bunuh saya, Tuan. Saya mohon, Tuan, jangan bunuh saya,” teriak Claudia ketakutan, dia bahkan sudah tidak merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya lagi, akibat pikiran yang teralihkan dengan hal lain yang ada di depan matanya ini.

“Papa, Mama, kalian dimana? Kenapa Laudia bisa ada di sini? Ku mohon kembalilah Pa, Ma, mengapa kalian tidak juga datang menjemputku. Laudia, Laudia takut, Pa, Ma ...,” gumamnya dalam hati, sambil terisak.

Mendengar suara ribut-ribut dari luar, Paul segera berlari dan membuka pintu kamar Claudia dengan panik “Ada apa?!!” tanya Paul, lalu ia mengangkat Laudia yang masih tremor ketakutan.

Paul juga menatap tajam kepada Matteo, dan melotot tepat di senjata laras panjang yang dipegang oleh Matteo. Memberikan kode, jika senjata itulah yang membuat Laudia ketakutan bukan main.

Matteo merasa jengah dengan Claudia yang selalu saja menangis, ia bahkan membalas Paul, melotot balik dengan mengatakan “WHAT?!” tanpa suara.

Namun, kedua alisnya beradu menjadi satu sangking jengkelnya, akhirnya Matteo bersuara membela dirinya “Entahlah aku hanya membangunkannya, tapi dia seperti orang gila ketakutan begitu dan berteriak tiada henti saat tidur,” jawab Matteo santai lalu keluar begitu saja, tanpa memperdulikan Claudia yang melongo heran menatap dirinya dan Paul.

Begitu juga dengan Claudia yang begitu heran dengan apa yang baru saja didengarnya “Apakah perlu membangunkan seseorang menggunakan laras panjang seperti itu? Siapa saja akan seperti aku ketakutan dan terbirit-birit bukan main,” gumam Claudia dalam hati.

“Dia sungguh mengerikan, wajah tampannya itu sangat tidak cocok dimiliki oleh orang semengerikan dirinya.” Laudia masih bergumam sendiri dalam hati.

Paul mendekati Claudia dan merangkulnya “Apakah kau baik-baik saja? Ayo, kita sarapan dulu yah, badanmu sudah mendingan?” tanya Paul dengan lembut, Laudia lalu memastikan jika Paul bukanlah salah satu dari pria-pria psikopat yang selama ini menyewanya.

Di perlakukan dengan manis dari awal adalah kebiasan para psikopat menurut pengalamannya sendiri dan sudah sering seperti ini berulang-ulang kali. Dan seperti biasa Laudia akan bertanya agar tau sejauh mana dirinya dari Negara asalnya. Selama ini rencana untuk melarikan diri selalu saja tidak berhasil dilakukannya berkat penjagaan ketat para Tuan-Tuan penyewanya.
Namun, mengingat mimpinya barusan bahwa Hamira meyakinkan jika sebentar lagi semuanya baik-baik saja, Laudia tetap memikirkan dan memiliki harapan untuk pulang kembali ke Athena.

“Kita, ada dimana, Tuan?” tanya Claudia ragu-ragu dan takut jika akan dimarahi lagi seperti barusan Matteo memarahi dirinya.
“Kita ada di Indonesia, kita sedang di Raja Ampat, surganya dunia,” terang Paul sambil tertawa kecil.

“Oh Tuhan ... ini sangat jauh,” lirih Claudia dalam hati.
Bagaimana ia bisa pulang ke Athena, dengan posisi dirinya yang entah beranta, kenapa harus di Indonesia? Claudia sangat frustasi.

“Raja Ampat? Indonesia? Bukankah itu, di Asia tenggara Tuan?” tanya Claudia sungguh tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.
Benar-benar ingin menangis saat itu juga dan berteriak jika dirinya ingin segera pulang ke Athena, bahwa sebenarnya dirinya bisa mengganti uang yang dipakai oleh Paul untuk menebusnya dari Casandra. Namun, semua itu hanya menjadi khayalannya belaka, karena pada kenyataannya Claudia sangat trauma dan hidup penuh ketakutan.

“Iya, benar sekali kita di Asia Tenggara. Kita akan ngobrol ketika di meja makan yuk.” Paul lalu menuntun Claudia dengan sabar dan telaten. Saat melihat meja makan di hadapannya dan seorang pria tampan yang sudah duduk dengan wajah tanpa ekspresi, Claudia kembali merasakan ketegangan yang tiada tara.

“Ayo duduklah,” ucap Paul mempersilahkan Claudia sambil mendorong kursi tempat duduknya saat Claudia perlahan dan hati-hati duduk di kursi yang sebelumnya ditarik oleh Paul.

“Makanlah dulu yang banyak yah, setelah makan ini ada obat yang harus kau minum.” Claudia mengangguk tAnda mengerti juga tidak berani terlalu banyak berbicara atau bertanya.

Ia begitu takut dengan Matteo yang duduk di sisi sebelah kanan meja, sedangkan dirinya dan Paul duduk di kepala meja yang berlawanan arah hingga membuat mereka saling berhadapan.

“Tuan, apakah saya boleh bertanya?” Dari tadi ia menahan lidahnya untuk bisa tetap tenang dan tanpa berkata apa-apa, tapi hatinya begitu penasaran, hingga membuatnya memberanikan diri bertanya dan sesekali mencuri-curi pAndangannya kepada Matteo.

“Iyah silahkan, apa yang ingin kamu tanyakan?” sahut Paul selalu saja ramah.

“Tuan, apakah Anda telah membeli saya dari Casandra?” tanya Claudia dengan ragu sambil menundukkan wajahnya tak berani sedikit pun menatap Paul apalagi Matteo setelah berucap.

“Jika aku mengatakan, ‘iya’ aku membeli mu dari Casandra, apakah kamu akan marah?” tanya Paul khawatir jika saja Laudia tersinggung karena dia dianggap barang dagangan yang bisa berganti Tuan kapan pun ada yang menawarnya lebih tinggi. Claudia lalu mengangkat kepalanya dan menatap heran kepada Paul, apakah dia tidak salah dengar dengan pertanyaan Paul?

“Tuan, aku sudah tidak punya hak untuk marah, Tuan. Bisa bertanya tanpa ditampar saja, aku bersyukur Tuan. Aku hanya ingin tau, apa tugasku untuk Tuan semua. Aku, hanya butuh diarahkan dan diberitahu tugasku, Tuan. Maka, aku akan melakukannya semaksimal mungkin, jika aku berbuat salah tolong jangan siksa aku seperti para majikanku sebelumnya,” lirih Claudia yang berbicara dengan tangisan menderai tak dapat ditahan mengingat betapa nasibnya begitu di luar ekspektasinya.

Sebuah perasaan seperti tertusuk belati tajam begitu ngilu dan perih dirasakan oleh Matteo yang mendengar ucapan Claudia, namun Ia tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Matteo hanya kembali mendengarkan dengan seksama dan melihat apa yang akan terjadi. Paul juga tercengang dengan apa yang didengarnya dan tak tau harus berbicara apa dan dari mana menjelaskan bahwa Claudia ditebus olehnya karena ia ingin mengeluarkan Claudia dari sarang ular dan memberikannya kebahagiaan yang belum pernah dirasakannya.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

128