Bab 5 Hanggar Pesawat Nomor 8

“Aku tau, baiklah kalau begitu, aku akan ke kamar Claudia. Aku pun tidak merubah keputusanku sama sekali. Permisi, Kak,” pamit Paul.

Sepeningalnya Paul, Matteo kembali berperang dengan apa yang harus dilakukannya. Sebuah pesan dari mendiang sang Papi kembali terngiang di batinnya. “Carilah Paul adikmu, jagalah dia, tidak ada yang lebih berharga dari seorang saudara. Kalian harus saling melindungi satu sama lain, jangan ada masalah apa pun yang memecah belah kalian. Ingatlah Matteo! Tidak ada yang namanya bekas saudara, kalian hanya berdua, dan kalian harus hidup saling menolong satu sama lain. Sebagai anak tertua itu adalah tanggung jawab terbesarmu, sampaikan salamku kepada Gracia, mamimu.”

Paul menatap teduh wajah wanita yang menjadi obsesinya, ia lalu melihat Tommy yang juga dengan setia duduk di samping wanitanya. “Tommy, bukankah lebih baik jika kamu juga ikut denganku? Kamu akan aman bersamaku.” Tommy begitu terkesiap mendengar ajakan dari seorang Tuan barunya Claudia yang dia percayai memiliki hati nurani dan welas asih.

“Tuan, aku sungguh berterima kasih atas ajakan Anda, Tuan.
Sejujurnya, jika hidupku bisa memilih aku akan mengikuti kemana pun Anda pergi, Tuan. Tapi, jika aku pergi maka, Nyonya besar akan menyakiti kedua orang tuaku, Tuan. Dan ada baiknya jika aku di sini, aku bisa mengabari kalian semua pergerakkan yang akan dilakukan oleh Nyonya Besar, Tuan.” Paul mengangguk-angguk kepalanya sambil berpikir, jika ada benarnya yang dikatakan oleh Tommy ini.

“Ku sarankan kalau bisa Anda menghilang secepatnya, Tuan. Aku takut ada yang akan membocorkan keadaan ini kepada Nyonya Besar.
Walau pun kelima orang kepercayaannya telah ditembak mati oleh Tuan Matteo. Tapi, bukankah itu malah membuat Nyonya Besar bertanya-tanya, mengapa bahkan salah satu diantara mereka tidak ada yang melaporkan keadaan terkini dari Claudia.”

“Apa yang kau katakan semuanya benar, Tommy. Baiklah alangkah baiknya jika sekarang kembalilah ke Club Parradise, ini pakailah ponsel ini, hubungi aku jika ada informasi apa pun.”

“Baiklah Tuan.” Saat hendak beranjak dari tempat itu, Matteo masuk dan merebut ponsel yang dipegang oleh Tommy.

“Kau tidak bisa memberikan ponsel pintar untuknya, Paul. Bukan hanya dia yang akan mati, tapi kau dan perempuan itu juga akan mati terlacak oleh mereka. Kau gunakan ini, burner phone. Gunakan hanya seperlunya saja, di dalam kotak ini ada lima burner phone yang setelah kau pakai langsung hancurkan atau buang sejauh mungkin, apakah kau paham?” terang Matteo.

Paul tersenyum dan berbahagia dengan keputusan yang diambil oleh Matteo, mendengar apa yang instruksikan Matteo, Tommy membungkuk tAnda mengerti.

“Ingat hanya jika ada informasi yang sangat penting saja baru kau hubungi aku lewat ponsel ini. Di dalamnya semua hanya ada satu nomor dan hanya nomor itu saja yang akan kau hubungi, bukan yang lain. Sekarang pulang lah, dan maafkan aku.”

BUGK! Upper cut mendarat di permukaan dagu Tommy hingga membuatnya pingsan seketika.

“SHITT! OH LORD! Kau gila Matteo! Dia sudah menolong kita! Aku tidak mengerti mengapa kau menjadi sangat bengis seperti ini?!” Paul memekik terkejut dengan aksi sang kakak yang tanpa aba-aba langsung membuat Tommy pingsan seketika di tempat.

“Justru itu, aku harus memukulnya, bukan? Jika dia pulang dengan selamat dan baik-baik saja tanpa ada tambahan luka, maka cctv akan menangkap segalanya hingga membuatnya dicurigai bekerja sama dengan kita. Sekarang bawa Claudia ke BAndar Udara Charles de Gaulle, aku akan menyusul setelah mengantarkan tubuh Tommy.” Paul tampak mencerna perkataan sang kakak yang mulai dimengertinya walau dirinya masih merasa sangat kasihan melihat Tommy yang tidak berdaya saat ini.

“Baiklah,” ucap Paul yang segera bergegas menyuntikkan obat bius agar Claudia tidak terbangun dan terkejut dalam perjalanan. Ia lantas mengambil kursi roda, menutup wajah Claudia dengan memakaikan masker, serta mendorongnya dengan kursi roda menuju ke parkiran khusus miliknya. Tentu saja diantar dengan Matteo yang juga mendorong sebuah kursi roda yang diduduki oleh Tommy, juga masih dalam keadaan tidak sadar.

Sesampai di Rolls-Royce Ghost yang terparkir gagah, Matteo segera membopong Claudia untuk masuk ke kursi penumpang. Ditidurkannya Claudia lalu ia menggantung infus di bagian pengait yang sudah dimodif oleh Paul pada mobilnya.

“Pergilah ke BAndar Udara Charles de Gaulle langsung ke hanggar nomor delapan, dan di sana akan ada pesawat Jet bernama Gracia Amore. Akan ada pria tua bernama Fernandez yang melayani kamu, aku akan segera menyusul secepatnya,” terang Matteo.

Setelah itu Matteo lalu kembali mendorong kursi roda menuju ke sebuah mobil sport Koenigsegg Jesko sebuah mobil yang berbekal mesin 5.0 liter V-8 Twin Turbo dan dapat menghasilkan kecepatan setara seribu enam ratus daya dorong kuda, serta memiliki kecepatan maksimal lima ratus tiga belas kilometer perjam. Ditengarai, memiliki kecepatan bahkan di atas mobil Bugatti, ia bahkan bisa menyetir sangat cepat hingga kamera cctv pun tak dapat melihatnya dengan jelas.

Double safe belt dipasangnya agar tubuh Tommy tidak melayang-layang di dalam mobil miliknya. Dengan eraman knalpot yang membela jalanan di kota Paris, Matteo menginjak pedal gas tanpa ragu, beberapa payung-payung yang terpasang di pinggir restaurant bahkan sampai ikut terangkat karena daya dorong yang begitu dasyat dari mobil Koenigsegg Jesko. Ketika hampir sampai, ia segera menurunkan kecepatan pada mobilnya, dan di tekannya tombol otomatis untuk melepaskan safe belt, serta membuka pintu otomatis, kembali ditendangnya Tommy hingga tersungkur di atas trotoar depan Bar.

Pekikkan dan teriakkan beberapa wanita terdengar sayu saat melihat tubuh Tommy berlumuran darah keluar begitu saja dari mobil sport termahal di dunia. Dan tentu saja, siapa pun itu tak dapat melihat siapa yang telah melempar Tommy, karena begitu Tommy keluar dari mobil mewah itu, tanpa menunggu lama sang driver sudah melesat secepat kilat.

***

“Siapa Anda?” tanya seorang pria tua yang sedang duduk sambil merokok dengan topi hitamnya.

“Saya adalah Paul, Matteo menyu-”

“Oh! Yah ... yah ... yah ... baiklah mana paketnya?” tanya pria tua yang bernama Fernandes itu.

“Hah? Paket?” Paul bingung dengan bahasa-bahasa sandi yang sekarang sedang dipakai oleh Fernandez.

“Iyah, paket yang akan kita angkut menggunakan si cantik Gracia Amore!” pekik Fernandez, jengah melihat Paul yang serba kebingungan.

Paul lantas berjalan menuju ke mobilnya, dan membuka pintu serta memperlihatkan isinya. “Apakah ini, yang kau maksud dengan paket?” tanya Paul sambil menaikkan alisnya.

“Oh, Okay. Ayo bawalah dia ke atas!” perintah Fernandez.

“Bukankah aku yang harusnya kau layani?” tanya Paul bingung disuruh menggendong Claudia. Walau pun sebenarnya ia justru sangat bersedia, namun pesan dari Matteo sangat jelas bukan? Ada seorang tua bernama Fernandez yang akan melayaninya.

“Apakah aku terlihat seperti pelayan bagimu? Aku bahkan tidak memakai name tag di dadaku! Ada -ada saja anak muda jaman sekarang ini, angkat paket itu, aku akan-”

Tiba-tiba suara berisik seperti mesin jet berbunyi mendekati hanggar tempat mereka sekarang berdiri, dan turunlah sang Tuan Besar Matteo Fuentes.

“Fernandez, stop mengerjai kakakku, angkat wanita ini, aku akan menyalahkan mesinnya Gracia,” titah Matteo sambil berlalu menaiki tangga Jet pribadinya.

“Baik Tuan,” ucap Fernandez tanpa memperpanjang atau berdebat seperti yang dia lakukan kepada Paul.

Sedangkan di sisi belahan benua lain, seorang wanita anggun yang dikenal dengan panggilan Nyonya Besar sedang berjalan dengan anggunnya, menggunakan dress merah membentuk lekuk tubuhnya. Gaun itu buatan Louis Vuitton dengan bertaburkan empat belas ribu empat ratus butir Swarovski menegaskan bahwa dialah ratu dalam pesta malam ini.

“Selamat malam, Nyonya Besar …”