Bab 3 Aku Menginginkan Tommy

by Lizbeth Lee 14:03,Oct 20,2023
“Mama, apa itu cinta, Ma?” Sepasang suami istri tergelak mendengar pertanyaan putri kecil mereka.

“Mengapa tertawa? Aku ingin tau, Mama. Apa, itu cinta?” rajuk Nona Muda karena ditertawai oleh ke dua orang Tuanya.

“Cinta ... itu adalah kasih sayang, kamu tidak akan bisa hidup tanpa seseorang yang kamu kasihi Laudia. Tapi, cinta juga tidak harus memiliki, Laudia cukup bahagia ketika tau orang yang kamu kasihi juga bahagia. Seperti dirimu yang saat ini Bahagia, melihatnya Mama dan Papa juga ikut bahagia. Satu lagi, ketika, Laudia ingin terlihat cantik di depan Papa dan Mama. Itu artinya, kau mencintai dirimu sendiri juga mencintai Papa dan Mama karena ingin memberikan segala yang terbaik dari dirimu untuk kami,” terang Hamira sambil mengecup puncak kepala anaknya.

“Papa dan Mama, saling mencintai, bukan? Apakah, itu cinta yang sama dengan cinta yang aku miliki kepada kalian? Aku sering melihatmu menangis saat Papa bertugas Mama. Aku tidak suka dengan cinta yang membawa pada kesedihan,” lirih Claudia sambil mengerjabkan kedua matanya.

“Iyah sayang, kami saling mencintai. Suatu saat nanti, anak Mama akan menemukan cinta yang sama dengan cinta yang Papa dan Mama miliki. Sekarang, habiskan roti bakar dan susu itu, kamu harus ke sekolah, bukan?” Claudia mengangguk dan menuruti apa yang dikatakan oleh mamanya.

“Kelak jadilah seorang wanita yang kuat, karena anak Papa hanya Claudia satu-satunya di dunia ini.” Kecup sang Ayah saat mengantarkan anak semata wayangnya berangkat ke sekolah.

(Masa Sekarang)

Tut ... tut ... tut ... suara mesin detak jantung di ICU berbunyi, terdengar samar di telinga Claudia.

“Papa ... Mama ...” lirihnya, mendengar wanitanya mengigau Paul segera berjalan ke samping tempat tidur perawatannya Claudia. Ia mengelus tangan Claudia dengan lembut seraya membangunkannya.

“Hei ...,” tegur Paul dengan ramahnya. Mata Claudia mengerjap dan berusaha untuk menyesuaikan dengan terangnya sinar lampu di ruangan ICU tersebut, tidak langsung menjawab Claudia masih menyelidiki di mana Ia berada. Ada seorang pria tampan sedang memAndangnya dengan senyuman yang begitu menawan dan meneduhkan, yang satu lagi sedang duduk sambil menatap Claudia dengan sorot mata yang tajam. Sorot mata yang tidak dapat diartikan, apakah itu iba atau justru tatapan penuh kebencian, Claudia sungguh tak berani beradu pAndang dengannya.

Ia memalingkan wajahnya, dan mengangkat tangan yang dipasangi infus, baju yang digunakan juga sudah berubah. Saat hendak menggerakkan tubuhnya, rasa sakit bagai ditusuk seribu jarum dirasakannya, hingga membuatnya meringis dan menghentikan niatnya.

“Berbaringlah dulu, luka mu masih belum kering,” ucap Paul sambil membelai rambut panjang Claudia dengan lembut.

Claudia masih diam seribu bahasa, Ia bahkan tidak berani meminta air minum. Walau pun tenggorokkannya terasa sangat kering, Claudia hanya menahan dalam diam, namuan Paul seorang dokter, juga seorang pengusaha sukses pada bidang kesehatan, tentu peka dengan apa yang dirasakan oleh Claudia. Ia mengambilkan segelas air beserta sedotan dan memberikannya kepada Claudia, “Minumlah dengan perlahan,” ucap Paul sambil menekan tombol otomatis untuk menegakkan tempat tidur.

“Terima kasih, Tuan.” Akhirnya suara lembut itu kembali terdengar setelah beberapa kali mereka mendengar Claudia memanggil papa dan mamanya dalam tidurnya. Wajah Paul langsung sumringah mendengar wanita di hadapannya berbicara kepadanya.

“Siapa namamu?” tanya Paul ramah.

Claudia tidak langsung menjawab, ia sesekali mencuri pAndang kepada pria yang dari tadi melihatnya tanpa ekspresi. Pria tampan yang sanggup mengintimidasinya hanya dengan menatap tanpa kata dan reaksi apa pun, dengan susah payah Claudia menelan ludah untuk membasahi tenggorokkannya, lalu kembali memalingkan wajahnya dan menatap pria yang satunya lagi. Pria yang baru saja memberikan air minum untuknya. Claudia merasa lebih nyaman dengan wjajah teduh ini, ia merasa terlindungi.

“Namaku Paul, dia Matteo, siapa namamu?” terang Paul sambil mengulang pertanyaannya.

“Saya Claudia, Tuan,” jawab Claudia masih terdengar takut-takut.

“Claudia? Laudia, bolehkah aku memanggilmu dengan menyingkatnya menjadi Laudia?” Claudia lantas menganggukkan kepalanya dan sedikit tersenyum.

Ia teringat akan panggilan kecilnya, yah … Laudia adalah panggilan yang diberikan oleh kedua orang Tuanya. laluia menjelajahi pAndangannya melihat seisi ruangan, seperti sedang mencari seseorang, dan kembali Ia mencuri pAndang kepada Matteo.
“Apakah dia pengawal barunya Casandra?” gumamnya dalam hati, Ia begitu takut jika Sandra mengganti pengawal baru.

“Apakah Tommy baik-baik saja, di mana Sandra sekarang, lalu apakah tamu semalam tidak akan menyewanya aku lagi?” Mengingat bagaimana Lalit memperlakukan dirinya, tiba-tiba tubuh Laudia kembali bergetar dan ketakutan.

Paul yang baru selesai berbicara dengan perawat serta menAndatangani berkas begitu memahami dengan keadaan Claudia yang masih trauma, dan menoleh serta menghampirinya. “Ada apa, Laudia?” tanya Paul dengan tenang dan berusaha agar emosi serta rasa trauma Claudia tidak semakin memuncak, hingga berujung pada serangan panik.

“Di-dimana aku, Tuan? Di mana Tommy?” tanya Claudia, membuat Paul mengernyitkan dahinya.

“Siapa Tommy?” tanya Paul.

“Aku mau Tommy menemaniku, Tuan. Kumohon, panggilkan dia Tuan,” lirih Claudia yang terlihat mengalami trauma cukup berat.
Airmatanya sudah mengalir, sekujur tubuhnya gemetaran bukan main setiap ia melihat Matteo yang sejak tadi tidak melepaskan pAndangannya.

“Matteo,” panggil Paul.

Tanpa menunggu lama Matteo beranjak meninggalkan Paul dan Claudia di dalam, dia pergi entah ke mana. Namun, Claudia sedikit lega melihat Matteo sudah tidak ada di ruangan itu lagi. Paul juga melihat bagaimana perubahan raut wajahnya saat ada dan tidak adanya Matteo di ruangan itu, Paul tau kalau Claudia sangat ketakutan.

“Apa yang sudah kamu alami memang sungguh di luar akal sehatku sebagai manusia, aku akan merawatmu dengan baik Claudia, aku akan membuatmu jatuh cinta kepadaku,” gumam Paul dalam hati, hanya saja lagi-lagi dia kepikiran siapa sebenarnya Tommy ini.

***

“Yah Tuhan!!! Tuan, untuk apa Anda ke sini lagi, Tuan? Bukankah aku sudah memberikan apa yang kalian minta? Tolong jangan halangi aku, Tuan. Aku harus segera pergi dari tempat ini, Nyonya Besar tidak akan membiarkanku hidup jika dia tau perempuan itu dibeli putus olehmu. Ku mohon Tuan, pergilah, ku mohon pergilah sekarang juga, “ tangis Casandra sambil memeluk kaki Matteo.

“Aku kesini mencari pengawalmu yang bernama Tommy,” sahut Matteo dengan datar.

“Sial apa lagi aku ini, mau kau bawa kemana Tommy? Apakah perempuan Yunani itu tidak cukup kini kau mau merampok anak buah ku juga? Ku mohon pergilah, Tuan, pergilah,” usir Sandra sambil memohon.

“Di mana Tommy!” bentak Matteo, lalu seorang lelaki berkulit sawo matang datang dengan kaki pincang, dia adalah lelaki yang sebelumnya mendapatkan kemurahan hati seorang Matteo untuk hidup, dia datang lalu menunduk hormat kepada Matteo.

“Apakah, Tuan mencari saya?” tanya Tommy sudah pasrah jika dirinya akan kehilangan nyawanya saat ini.

“Bukan aku, ikuti aku saja dan jangan macam-macam. Setelah urusan kita selesai kau boleh kembali ke tempat ini.” Tommy lantas mengikuti Matteo yang berjalan dengan gagahnya, juga memasuki mobil bersama. Sepanjang jalan Tommy ingin sekali bertanya sesuatu tapi dia begitu takut untuk hanya sekedar bernafas, apalagi bersuara di samping seorang pembunuh berdarah dingin ini.

“Apa yang ingin kau tanyakan?” Mendengar Matteo yang langsung to the point paham dengan apa yang ditahannya sejak tadi, akhirnya Tommy menghembuskan nafasnya dengan berat.

“Tuan, maafkan saya jika lancang. Saya hanya ingin bertanya apakah Nona Claudia baik-baik saja, Tuan?” tanya Tommy dengan hati-hati.

“Hem,” sahut Matteo singkat.

“Syukurlah,” gumam Tommy.

“Apa dia kekasihmu?” giliran Matteo yang bertanya dengan datar, Tommy lantas tersenyum kecut mendengar pertanyaan itu.
“Saya …”

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

128