Bab 7 Tangan Kanan Nyonya Besar

by Lizbeth Lee 14:10,Oct 20,2023
“HALO! HALO!” teriak Nabil merasa jika nyawanya sedang terancam, sungguh beruntung nasibnya karena panggilannya akhirnya dijawab oleh Tommy.

“Ha-Halo, Nabil,” sahut Tommy juga menahan rasa gugup.

“Tommy, di mana Casandra? Kenapa dia tidak mengangkat ponselnya sama sekali, hah?!” bentak Nabil begitu panik saat melihat Nyonya Besar masih mengelap Desert Eagle miliknya dengan kanebo khusus.
Hingga membuat senjata di tangannya menjadi begitu mengkilat, pantulan sinar dari Desert Eagle itu membuatnya bergidik ngeri.

“Aku, aku juga baru saja sadar Nabil, ada orang yang membeli Claudia, dan membunuh ke lima orang pengawal Nyonya Besar. Aku juga tidak tau di mana Casandra, paha ku ditembak, dan aku juga dilempar di pinggir jalan setelah mereka memukulku hingga babak belur, aku juga sedang mencari Casandra saat ini, Nabil!” sahut Tommy dengan terengah-engah.

“APA?!” Nabil menyalahkan fitur Video Call saat melihat Nyonya Besar sedang menggertakkan giginya, dan terlihat pada layar ponselnya jika wajah Tommy benar-benar babak belur. Posisi rahangnya bahkan terlihat bergeser dari tempatnya, mata yang hampir tertutup akibat bengkak yang berwarna biru terlihat begitu memprihatinkan bagi Nabil, sesama anak buah yang bekerja dalam satu payung yang dipimpin oleh Nyonya Besar.

“Aku sudah berusaha mencegah mereka Nabil, aku bahkan mengatakan kepada Casandra jika jangan menjualnya. Namun, aku tidak tau mengapa Casandra menjual perempuan jalang itu kepada mereka, bahkan semua cctv telah diambil oleh Casandra, dan ... dan aku ... aku dihajar habis-habisan sampai pingsan. Maafkan aku jika aku tidak mengangkat telponmu, bukan karena aku sedang bersenang-senang, tapi karena aku juga sedang mencari Casandra dan tentu saja karena sebelumnya aku masih belum sadarkan diri.”

“SIALAN!” teriak Nyonya Besar sambil menarik pelatuk pistol Titanium miliknya, kini Ia menembak wajah Nabil yang awalnya terlihat begitu ketakutan. Kini, bahkan wajah itu sudah tidak berbentuk lagi, semua peluru di dalam megazin pistol tersebut habis dan bersarang di seluruh wajah Nabil yang tewas seketika.

“Nyo-Nyonya,” tegur kepala kebersihan yang baru saja masuk dan membuka pintu ruangan kerja Nyonya Besar bersama seorang anak buah kebersihan yang baru. Melihat Mata Nabil yang keluar dan wajah yang sudah tidak berbentuk dengan hidung yang juga entah hilang di mana seketika membuatnya muntah saat itu juga. Begitu juga anak buah Nyonya Besar yang ketakutan berdiri dengan gemetar secara reflex memuntahkan semua isi dalam perutnya, saat melihat muntahan gadis muda ini berserakkan di lantai, kecuali satu orang.

“Kamu pergilah!” perintah Nyonya Ruth sang kepala kebersihan, Ruth sudah bekerja sejak Nyonya besarnya baru lahir. Ia kini bahkan sudah berusia lima puluh delapan tahun, dan sudah bekerja disana sejak berusia enam belas tahun, bisa dikatakan Ruth adalah satu-satunya pegawai terlama dan satu-satunya pegawai yang berani berbicara dan menegur kesalahan sang Nyonya Besarnya.

“Ba-Baik, Ruth,” ucap gadis itu berlari kencang dengan dada kembang kempis, Ruth lantas membuang nafasnya dengan berat.
“Kamu dua orang buang mayat Nabil, kamu juga dua orang ambil sarung tangan dan buang karpet ini, serta bersihkan seluruh muntahan yang ada, dan kamu tiga orang pergilah keluar, biar aku di sini mengawasi kinerja kawan-kawan kalian!”

“Baik, Ruth!” ucap mereka sambil menunduk bersamaan.

“Aku sungguh muak melihat pada bodyguard penakut seperti kalian, aku sangat membencinya, aku bahkan begitu ingin memusnahkan kalian saat ini juga, FUCK!! Kecuali kamu. Hei! kamu yang sipit! Siapa namamu?!” panggil sang Nyonya Besar setengah berteriak.

“Saya Yoshiro, Nyonya,” jawabnya sambil membungkuk hormat lalu berjalan dengan tenang. Tanpa disengaja terdengar seperti daging terinjak “Kreeeecccceeekkk!!” Bunyi itu sontak membuat semua orang menoleh, begitu juga dengan sang Nyonya Besar yang spontan menyorot kaki Yoshiro yang entah menginjak apa. Namun, Yoshiro tetap berjalan dengan santai seolah Ia hanya menginjak kotoran dan tidak menghiraukan reaksi semua orang di sekitarnya.

Ketika Yoshiro semakin mendekat ke arah Nyonya Besar duduk, barulah terlihat kalau yang diinjak oleh Yoshiro adalah sisa potongan hidung dari Nabil, semua melihat dengan menahan rasa mual yang datang melAnda. Sedangkan, Ruth hanya menggelengkan kepalanya sambil berjalan dan mengambil dengan tangannya sendiri yang menggunakan sarung tangan elastic. “Lain kali kalau jalan hati-hati... kalau begini kau menambah pekerjaanku,” omel Ruth kepada Yoshiro.

Yoshiro lantas menunduk hormat tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun bahkan tidak meminta maaf. Bagi Yoshiro itu tidak perlu diucapkan karena dia hanya menginjak seonggok daging sisa yang tidak berguna, permintaan maaf hanyalah menunjukkan sisi lemah seseorang, dan hanya pelacur saja yang sedikit-sedikit minta maaf padahal kata ‘maaf’ itu harusnya digunakan di saat situasi yang memang harus.

Melihat Reaksi Yoshiro yang dingin, cuek tapi sopan membuat Nyonya Besar tersenyum lebar, dia merasa jika pria Jepang di hadapannya ini untuk sementara benar-benar memenuhi kriterianya untuk menjadi orang kepercayaan dan tangan kanannya. Semoga saja Yoshiro adalah tangan kanan terakhirnya, mengingat sudah ratusan kepala orang kepercayaan yang diledakkan sendiri olehnya. Menjadi orang kepercayaan Nyonya Besar sama saja dengan memanggil Malaikat maut di sisimu, dia akan dengan mudah mengambil nyawamu tanpa ada aba-aba.

“Hem ... hanya kamu satu-satunya yang terlihat sangat berani, apakah kamu bisa membuktikan sejauh mana ke kejamanmu? Apakah, kamu cocok menjadi kaki tanganku yang baru mengganti Raj yang tolol itu?!” desis Nyonya Besar, membuat salah seorang anak buah yang diperintahkan oleh Ruth untuk membersihkan ceceran otak Raj dan Nabil muntah gemetar ketakutan hingga membuat segala perkakas kebersihan jatuh berserakan.

“Suatu kehormatan bagi saya, Nyonya,” desis Yoshiro, dan sang Nyonya besar langsung melirik anak buahnya yang sangat ketakutan itu sambil menunjukkan smirk kejamnya. Dan kode itu langsung saja dimengerti oleh Yoshiro, dia tau apa yang diinginkan oleh sang Nyonya Besar, hanya dengan ekspresinya saja, Nyonya Besar hanya ‘Haus Darah’!

Tanpa beranjak sedikit pun Yoshiro melempar kunai tepat di tengah dahi temannya sendiri. “Jangan pernah menunjukkan ketakutan dan kelemahan kalian di hadapan siapa pun,” desisnya melihat temannya mengejang saat maut menjemput dengan tiba-tiba. Seolah mengingatkan yang lainnya bahwa, jika ingin umur panjang di sisi Nyonya Besar maka, belajarnya untuk menjadi manusia yang tak berbelas kasihan, tak berperasaan dan tidak gampang menunjukkan perubahan ekspresi pada dirimu.

“Hahahahaa! Hahahaa! Aku suka denganmu, Yoshiro. Di tengah kabar buruk ini, aku akhirnya mendapatkan kaki tangan yang hampir sama kejamnya dengan ku.” Tawanya membahana sambil menepuk kedua tangannya.

“SIAPKAN JET PRIBADIKU, KITA AKAN KE BARCELONA MALAM INI JUGA!” perintah Nyonya Besar sambil mengangkat pistolnya.

***

Bau semilir lautan menari-nari pada indera penciuman Claudia yang sedang terbaring, matanya masih sangat berat untuk melihat sekeliling, ia hanya mendengar desiran ombak dan aroma pantai.
Mengingatkannya pada Athena, kampung halamannya. Di mana ia begitu sering berlari-lari juga bermain kejar-kejaran bersama kedua orang Tuanya. Kenangan akan pantai yang terakhir yang paling indah dalam hidupnya adalah di saat ia menyaksikan, Gigas Wafter menemukan kembali cinta baru dalam hidupnya.

Cinta yang membuatnya melamar seorang wanita, wanita yang begitu lembut dan baik hampir seperti Hamira ibu kandungnya sendiri.
Suara lonceng gereja terngiang-ngiang dalam ingatan bawah sadarnya, wajah Hamira ibu kandungnya selalu saja muncul di setiap tidurnya, wajah itu begitu menenangkan sanubarinya. “Aku merindukanmu, Ma,” lirih Claudia dalam mimpinya, Ia bahkan sampai meneteskan air matanya.

“Mama juga, Sayang …”

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

128