Bab 8 Tak ingin kehilangan senyuman diwajahmu
by Lizbeth Lee
15:18,Sep 22,2023
Tugas berat seolah kini sedang dipikul oleh Soni, bagaimana mungkin Ia tega untuk menyampaikan berita buruk ini kepada sahabat yang selama ini selalu membersamai mereka lebih dari dua puluh tahun lamanya. Menyangksikan tumbuh kembang Arumi bersama Devara adalah kebahagiaan tersendiri bagi Soni.
Disaat anak-anak seusia Devara justru bersenang-senang di club malam, bangga dengan harta orang tua dan mempergunakannya untuk sesuatu hal yang tidak berfaedah, Devara justru menjadi seorang pemuda yang bertanggung jawab, suka membantu dan selalu rendah hati. Semua itu tidak terlepas dari peran besar Arumi sebagai sahabat Devara sejak kecil.
Begitu berat rasanya bagi Soni, “Mbak Citra... dengan berjalannya waktu Arumi akan mulai kehilangan keseimbangan dan fungsi otot gerak motoriknya. Semuanya akan terjadi secaara bertahap dan perlahan. Bisa saja sepuluh tahun lagi, bisa lima tahun lagi dan bahkan bisa satu tahun lagi.” Soni menatap satu persatu wajah duka Heri dan Citra secara bergantian.
“Lalu apa yang terjadi setelahnya?” Tak sabar untuk mendengar detail kelanjutan penuruna progress kesehatan yang akan dialami oleh Arumi.
“Sete;ah Arumi kehilangan fungsi geraknya dan lumpuh, Ia juga akan berakhir diatas tempat tidur ketika tangannya pun kehilangan fungsi gerakanya. Kelumpuhan total seluruh tubuh akan dialami oleh Arumi. Setelahnya Arumi akan menderita Pnuemonia dan itulah akhir dari segala progres kesehatan yang menurun untuk penyakit Parkinson ini.” Dengan cepat Soni menyelesaikan kalimat yang juga menyakiti dirinya sendiri saat menddengar suaranya.
“Oh Tuhan! Oh Tuhan... kenapa harus anak manisku yang menderita seperti ini Tuhan! Jika bisa Kau gantikan, maka tolong gantikan saja kepadaku, jangan anakku, biar aku saja yang sakit seperti itu. Tapi jangan anakku, kumohon Tuhan.” Citra kembali meracau dan tak sanggup untuk menerima kenyataan dan fakta yang telah menanti dimasa depan.
Heri tampak lebih tegar dibandingkan istrinya, Ia mengambil kembali hasil scan yang ada diajas meja tersebut dan memperhaatikan gambar otak kecil aanaknya. Bahkan Soni juga menunjukkan perbandingan saluran otak yang normal dengan saluran otaak milik Arumi. Benar saja gambar itu memperlihatkan perbedaan yang tidak terlalu signifikan jika diperhatikan.
Lebar dari saluran pembulu darah tersebut bahkan hanya selisih beberapa milimeter tapi, perbedaan tipis itu sungguh berpengaruh besar untuk seluruh kehidupan anak kesayangannya. “Pak Soni, apakah tidak ada jalan keluar lain? Seperti operasi tulang belakang mungkin? Atau operasi pada otaknya untuk melebarkan kembali saluran darah yang menyempit?” Hera masih memiliki harapan yang besar bahwa penyakit ini bisa disembuhkan.
“Maafkan saya Mas, penyakit ini belum ada obatnya. Hanya saja ssaya ingin tegaskan untuk kalian berdua. Terutama Mbak Citra, dengarkan saya baik-baik.” Soni menegakkan posisi duduknya dan berbicara lebih laantaang dari sebelumnya, hingga membuat Citra berhenti menangis dan menunggu apa yang akan disampaikaan oleh Soni.
“Jika Mbak Citra seperti ini, maka saya passtikan Arumi tidak akan melewati satu tahun pertamanya. Mbak Citra harus kuat! Tunjukkan jika Mbak adalah seorang Ibu yang tangguh dan selalu ada untuk Arumi juga menjadi penyemangat pertama. Penyakit pada umumnya akan semakin memburuk jika pikiran penderita tidak positif. Jika Mbak Citra selalu larut dalam kesedihan, Apa Mbak yakin? Arumi bisa melewati semua ini sendiri?” tanya Soni.
Tiba-tiba pintu kamar Jefry terbuka, berdirilah Jefry dengan wajah memerah dan sembab. Ternyata sejak tadi anak ini menguping pembicaraan orang tua dan tidak berani keluar sama sekali, lalu menangisi keadaan kakaknya. Tapi mendengar perkataan motivasi dari Soni, Jefry memutuskan untuk keluar dan juga angkat bicara dengan kedua orang tuanya.
“Benar kata Om Soni, Mama harus kkuat! Jangan malah menunjukkan kesedihan untuk didepan Kakak,” ucapnya lalu Jefry berjalan dan duduk bergabung bersama para orang tua. “Om, apa yang harus kakakku lakukan untuk membuat fungsi geraknya tetap stabil untuk jangka waktu dekat ini Om?”
“See? Lihatlah ini baru Adiknya Mbak Arumi. Kita akan menemani Arumi untuk jadwal terapi, olah raga, makan makanan yang sehat.
Semua sudah Om tulis di sini.” Soni memberikan tiga lembar kertas jadwal kegiatan yang harus dilakukan oleh Arumi seumur hidupnya.
“Bukankah Arumi suka melukis? Nah dukung Arumi untuk mulai melukis, karena kegiatan tersebut baik untuk penderita Parkinson. Biarkan Arumi berkarya selama tubuhnya masih bisa diperintah oleh otaknya.” Keterangan yang sampaikan Soni seketika memberikan angin segar sekaligus memberikan cambukan bagi keluarga Arumi untuk sama-sama berjuang mendampingi Arumi.
“Baiklah, kalau begitu Jefry mau ke Rumah Sakit dulu yah Ma, Jefry mau nemani Kak Arumi.” pamit Jefry kepada kedua orang tuanya dan kedua orang tua Devara dan melesat pergi dengan cepat.
***
Suara canda tawa terdengar dari luar ruangan perawatan yang dihuni oleh Arumi. Mendengar suara tersebut Jefry tak kuasa menahan tangis, Jefry memilih bersandar sejenak ditembok dan menyeka air matanya yang terjatuh, bukan hanya takut akan kehilangan Kakak kandungnya, tapi yang paling ditakutkan oleh Jefry adalah kehilangan senyuman di wajah cantik sang Kakak.
Berkali-kali Jefry menyeka air matanya dan menarik serta menghembuskan nafasnya dengan teratur dan memantapkan langkahnya masuk kedalam kamar tersebut dengan wajah yang ceria.
“Adoh...adoh adoh! Loe itu sakit tapi bikin ini tempaat kayak Taman bermain yah Kak?” celetuk Jefry secara tiba-tiba dan masuk kekamar perawatan Arumi begitu saja.
“Hais! Anak ini suka aja ganggu kesenangan orang,” omel Arumi sambil melirik tajam mata Jefry. Devara hanyaa menggelengkan kepala melihat tingkah adik kakak yang seperti kucing dan tikur ini.
“Masa? Tapi kalau dipikir-pikir, Iyah juga sih! Gw itu bukannya gak suka liat Loe bahagia Kak. Tapi, Gw itu suka lihat Loe marah. Hahahaha!” BUK!! Bantal melayang dan mendarat tepat di wajah Jefry.
“HAHAHA!” Setelah Jefry terbahak, kini giliran Arumi yang terbahak melihat bantal yang dilemparnya telak mendarat diwajah sang adik.
Betapa terharunya Jefry saat melihat Arumi terpingkal-pingkal, sampai tanpa sadar air matanya kembali terjatuh saat Ia mengingat penjelasan Soni dirumahnya tadi. Buru-buru Jefry menyeka air matanya dan Arumi yang melihat adiknya itu menangis seketika merasa begitu bersalah.
“Eh Dek! Sakit yah? Yah ampun, sini-sini. Maafin Gw yah... sini Dek.” panggil Arumi begitu khawatir melihat wajah Jefry yang memerah dengan bekas air mata.
“Nggak Kak. Nggak apa-apa kok, cuman tadi kena dimata aja jadi yah gini, jadi berair matanya.” Usahanya untuk berbohong berhasil, Jefry dapat membohongi Arumi dengan baik.
“Nih Kak! Bakpao, tadi pas lewat depan Taman di komplek, Gw lihat Paman yang jualan bakpao lewat, Loe suka banget sama Bakpao ayamnya kan? Nih Kak, oh yah ini buat Kak Devara yang paling suka isi kacang tanah. Kalo Gw, tentu saja isi kacang hijau.” kekeh Jefry sambil membagi satu persatu bakpao di tangannya.
“Yah ampun Dek, tumben Loe baik banget sama Gw? Biasanya Loe kayak Dajal,” Ejek Arumi lalu memakan dengan lahap bakpao pemberian Jefry.
“Jef, temanin Kakak ke Kantin beli susu buat Arumi yuk,” ajak Devara.
“Tapi nanti Kak Arumi sendiri Kak.” Jefry menolak ajakan Devara karena begitu khawatir dengan Kakaknya.
“Nggak sendiri kok, itu Susternya baru aja datang mau mandiin Arumi, masa kita disini nonton Rumi mandi,” kekeh Devara. Setelah melihat benar saja ada dua Suster datang membawa satu baskom air hangat Jefry akhirnya pergi dan mengikuti langkah Devara dari belakang.
Dalam perjalanan ke Kantin, Jefry terlihat begitu murung, “Jef, Arumi dinyatakan positif Parkinson yah sama bokap gw?”
Disaat anak-anak seusia Devara justru bersenang-senang di club malam, bangga dengan harta orang tua dan mempergunakannya untuk sesuatu hal yang tidak berfaedah, Devara justru menjadi seorang pemuda yang bertanggung jawab, suka membantu dan selalu rendah hati. Semua itu tidak terlepas dari peran besar Arumi sebagai sahabat Devara sejak kecil.
Begitu berat rasanya bagi Soni, “Mbak Citra... dengan berjalannya waktu Arumi akan mulai kehilangan keseimbangan dan fungsi otot gerak motoriknya. Semuanya akan terjadi secaara bertahap dan perlahan. Bisa saja sepuluh tahun lagi, bisa lima tahun lagi dan bahkan bisa satu tahun lagi.” Soni menatap satu persatu wajah duka Heri dan Citra secara bergantian.
“Lalu apa yang terjadi setelahnya?” Tak sabar untuk mendengar detail kelanjutan penuruna progress kesehatan yang akan dialami oleh Arumi.
“Sete;ah Arumi kehilangan fungsi geraknya dan lumpuh, Ia juga akan berakhir diatas tempat tidur ketika tangannya pun kehilangan fungsi gerakanya. Kelumpuhan total seluruh tubuh akan dialami oleh Arumi. Setelahnya Arumi akan menderita Pnuemonia dan itulah akhir dari segala progres kesehatan yang menurun untuk penyakit Parkinson ini.” Dengan cepat Soni menyelesaikan kalimat yang juga menyakiti dirinya sendiri saat menddengar suaranya.
“Oh Tuhan! Oh Tuhan... kenapa harus anak manisku yang menderita seperti ini Tuhan! Jika bisa Kau gantikan, maka tolong gantikan saja kepadaku, jangan anakku, biar aku saja yang sakit seperti itu. Tapi jangan anakku, kumohon Tuhan.” Citra kembali meracau dan tak sanggup untuk menerima kenyataan dan fakta yang telah menanti dimasa depan.
Heri tampak lebih tegar dibandingkan istrinya, Ia mengambil kembali hasil scan yang ada diajas meja tersebut dan memperhaatikan gambar otak kecil aanaknya. Bahkan Soni juga menunjukkan perbandingan saluran otak yang normal dengan saluran otaak milik Arumi. Benar saja gambar itu memperlihatkan perbedaan yang tidak terlalu signifikan jika diperhatikan.
Lebar dari saluran pembulu darah tersebut bahkan hanya selisih beberapa milimeter tapi, perbedaan tipis itu sungguh berpengaruh besar untuk seluruh kehidupan anak kesayangannya. “Pak Soni, apakah tidak ada jalan keluar lain? Seperti operasi tulang belakang mungkin? Atau operasi pada otaknya untuk melebarkan kembali saluran darah yang menyempit?” Hera masih memiliki harapan yang besar bahwa penyakit ini bisa disembuhkan.
“Maafkan saya Mas, penyakit ini belum ada obatnya. Hanya saja ssaya ingin tegaskan untuk kalian berdua. Terutama Mbak Citra, dengarkan saya baik-baik.” Soni menegakkan posisi duduknya dan berbicara lebih laantaang dari sebelumnya, hingga membuat Citra berhenti menangis dan menunggu apa yang akan disampaikaan oleh Soni.
“Jika Mbak Citra seperti ini, maka saya passtikan Arumi tidak akan melewati satu tahun pertamanya. Mbak Citra harus kuat! Tunjukkan jika Mbak adalah seorang Ibu yang tangguh dan selalu ada untuk Arumi juga menjadi penyemangat pertama. Penyakit pada umumnya akan semakin memburuk jika pikiran penderita tidak positif. Jika Mbak Citra selalu larut dalam kesedihan, Apa Mbak yakin? Arumi bisa melewati semua ini sendiri?” tanya Soni.
Tiba-tiba pintu kamar Jefry terbuka, berdirilah Jefry dengan wajah memerah dan sembab. Ternyata sejak tadi anak ini menguping pembicaraan orang tua dan tidak berani keluar sama sekali, lalu menangisi keadaan kakaknya. Tapi mendengar perkataan motivasi dari Soni, Jefry memutuskan untuk keluar dan juga angkat bicara dengan kedua orang tuanya.
“Benar kata Om Soni, Mama harus kkuat! Jangan malah menunjukkan kesedihan untuk didepan Kakak,” ucapnya lalu Jefry berjalan dan duduk bergabung bersama para orang tua. “Om, apa yang harus kakakku lakukan untuk membuat fungsi geraknya tetap stabil untuk jangka waktu dekat ini Om?”
“See? Lihatlah ini baru Adiknya Mbak Arumi. Kita akan menemani Arumi untuk jadwal terapi, olah raga, makan makanan yang sehat.
Semua sudah Om tulis di sini.” Soni memberikan tiga lembar kertas jadwal kegiatan yang harus dilakukan oleh Arumi seumur hidupnya.
“Bukankah Arumi suka melukis? Nah dukung Arumi untuk mulai melukis, karena kegiatan tersebut baik untuk penderita Parkinson. Biarkan Arumi berkarya selama tubuhnya masih bisa diperintah oleh otaknya.” Keterangan yang sampaikan Soni seketika memberikan angin segar sekaligus memberikan cambukan bagi keluarga Arumi untuk sama-sama berjuang mendampingi Arumi.
“Baiklah, kalau begitu Jefry mau ke Rumah Sakit dulu yah Ma, Jefry mau nemani Kak Arumi.” pamit Jefry kepada kedua orang tuanya dan kedua orang tua Devara dan melesat pergi dengan cepat.
***
Suara canda tawa terdengar dari luar ruangan perawatan yang dihuni oleh Arumi. Mendengar suara tersebut Jefry tak kuasa menahan tangis, Jefry memilih bersandar sejenak ditembok dan menyeka air matanya yang terjatuh, bukan hanya takut akan kehilangan Kakak kandungnya, tapi yang paling ditakutkan oleh Jefry adalah kehilangan senyuman di wajah cantik sang Kakak.
Berkali-kali Jefry menyeka air matanya dan menarik serta menghembuskan nafasnya dengan teratur dan memantapkan langkahnya masuk kedalam kamar tersebut dengan wajah yang ceria.
“Adoh...adoh adoh! Loe itu sakit tapi bikin ini tempaat kayak Taman bermain yah Kak?” celetuk Jefry secara tiba-tiba dan masuk kekamar perawatan Arumi begitu saja.
“Hais! Anak ini suka aja ganggu kesenangan orang,” omel Arumi sambil melirik tajam mata Jefry. Devara hanyaa menggelengkan kepala melihat tingkah adik kakak yang seperti kucing dan tikur ini.
“Masa? Tapi kalau dipikir-pikir, Iyah juga sih! Gw itu bukannya gak suka liat Loe bahagia Kak. Tapi, Gw itu suka lihat Loe marah. Hahahaha!” BUK!! Bantal melayang dan mendarat tepat di wajah Jefry.
“HAHAHA!” Setelah Jefry terbahak, kini giliran Arumi yang terbahak melihat bantal yang dilemparnya telak mendarat diwajah sang adik.
Betapa terharunya Jefry saat melihat Arumi terpingkal-pingkal, sampai tanpa sadar air matanya kembali terjatuh saat Ia mengingat penjelasan Soni dirumahnya tadi. Buru-buru Jefry menyeka air matanya dan Arumi yang melihat adiknya itu menangis seketika merasa begitu bersalah.
“Eh Dek! Sakit yah? Yah ampun, sini-sini. Maafin Gw yah... sini Dek.” panggil Arumi begitu khawatir melihat wajah Jefry yang memerah dengan bekas air mata.
“Nggak Kak. Nggak apa-apa kok, cuman tadi kena dimata aja jadi yah gini, jadi berair matanya.” Usahanya untuk berbohong berhasil, Jefry dapat membohongi Arumi dengan baik.
“Nih Kak! Bakpao, tadi pas lewat depan Taman di komplek, Gw lihat Paman yang jualan bakpao lewat, Loe suka banget sama Bakpao ayamnya kan? Nih Kak, oh yah ini buat Kak Devara yang paling suka isi kacang tanah. Kalo Gw, tentu saja isi kacang hijau.” kekeh Jefry sambil membagi satu persatu bakpao di tangannya.
“Yah ampun Dek, tumben Loe baik banget sama Gw? Biasanya Loe kayak Dajal,” Ejek Arumi lalu memakan dengan lahap bakpao pemberian Jefry.
“Jef, temanin Kakak ke Kantin beli susu buat Arumi yuk,” ajak Devara.
“Tapi nanti Kak Arumi sendiri Kak.” Jefry menolak ajakan Devara karena begitu khawatir dengan Kakaknya.
“Nggak sendiri kok, itu Susternya baru aja datang mau mandiin Arumi, masa kita disini nonton Rumi mandi,” kekeh Devara. Setelah melihat benar saja ada dua Suster datang membawa satu baskom air hangat Jefry akhirnya pergi dan mengikuti langkah Devara dari belakang.
Dalam perjalanan ke Kantin, Jefry terlihat begitu murung, “Jef, Arumi dinyatakan positif Parkinson yah sama bokap gw?”
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved