Bab 4 Hasil Laboratorium
by Lizbeth Lee
15:07,Sep 22,2023
Mendengar penjelasan dari Arumi, ada rasa khawatir berlebih dalam diri Devara. Ia menatap sendu wajah Arumi yang selalu membuatnya tertawa. Tapi kini yang terlihat hanyalah wajah penuh kekhawatiran.
“Om Soni ada? Aduh gw malu ngerepotin om Soni, udah nggak usah Dev nanti gw bilang aja kaki gw di tangkap sama setan sampe kekunci, biar dukun aja yang kita repotin yach!” kikik Arumi membuat Devara ingin menjitak kepala sahabatnya namun di tahannya.
“Loe yah, uda buat orang khawatir masih aja bisa becanda.” Omel Devara melihat kelakuan sahabatnya.
Tak lama mereka akhirnya dipindahkan ke kamar yaang sudah dipesan oleh Soni untuk Arumi, sampai di ruangan sudah ada kedua orang tua Arumi dan Jefry adiknya, sedangkan Vina baru saja masuk tak lama setelah Arumi dan Devara masuk, sambil membawa makanan dan minuman untuk keluarga Arumi.
Semua mengerubungi Arumi dan bisa bernafas lega saat Arumi bisa tersenyum, “Rum, papa sampe takut banget dengar kamu jatuh dari tangga Rum.” Ucap Heri.
“Maaf yah pa, buat papa khawatir sampai tutup rumah produksi dan tutup toko maaf yah ma.” Ucap Arumi dengan tulus.
“Kamu ini jatuh kok malah minta maaf. Sudah jangan mengada-ngada Rum, yang penting sekarang anak mama uda sadar.” Sahut Citra dengan tulus sambil mengelus lembut rambut hitam legam anaknya.
“Kak, loe jadi mumi kok nanggung banget cuman di kaki tangan sama jidat doang? Gak asik tau kak.” Goda Jefry membuat Arumi tertawa.
“Sialan loe Jeff, awas aja kalo gw sembuh gw piting loe kayak kemarin.” Ancam Arumi membuat semua yang mendengar ikut tertawa.
Lalu suara ketukan pintu kamar terdengar dan Vina membuka kamar tersebut, ada Soni yang berdiri dengan wajah yang begitu serius sambil menarik nafas yang begitu dalam menatap Vina dengan tatapan sedih. Melihat tatapan itu hati Vina bergemuruh dan gugup luar biasa. Pasti bukan berita baik jika wajah sang suami sudah seperti itu.
Soni lalu melangkah masuk kedalam sambil memasang senyum terpaksa di wajahnya dan melihat Arumi dengan iba, “Mas Heri dan mbak Citra ke ruangan saya sekarang bisa?” tanya Soni memanggil kedua orang tua Arumi. Tawa di wajah kedua orang tua Arumi mendadak sirna saat melihat raut wajah serius Soni.
“Om Soni, please biacaranya disini saja om, jangan rahasia-rahasiaan sama Arumi yah Om... Please Om Arumi pengen tau juga hasil laboratorium Arumi Om.” Pinta Arumi yang sadar akan tatapan tak biasa dari Soni saat memandangnya sejenak.
“Tapi ini urusan orang dewasa Rum...” terang Devara mencoba untuk menenangkan hati sahabatnya.
“Tapi ini kan tubuh gw Dev, gw yang paling berhak tau saat ini gw lagi sakit apa sebenarnya? Kenapa kok tiba-tiba gw jatuh aja kayak tadi loe bilang, jatuh gitu aja kayak gedebok pisang. Belum lagi kaki gw yang tiba-tiba kekancing kayak mesin eror gitu. Gw pengen tau apa yang salah sama diri gw sendiri Dev! Please Om... Ma... Pa... please...” pinta Arumi begitu memelas hingga akhirnya kedua orang tuanya tidak dapat lagi membantah keinginan Arumi.
“Sudah nggak apa-apa Pak Soni, sampaikan disini saja,” ucap Heri kepada Soni di balas dengan anggukan kepala.
“Baiklah hasil test darah secara umum sebenarnya Arumi baik, Hemoglobin juga normal namun saat kami memeriksa lebih lanjut terdapat sebuah dugaan indikasi jika Arumi menderita penyakit Parkinson, seperti yang tadi Arum katakan kalau kaki bergerak tiba-tiba terasa terkancing begitu saja. Tapi ini baru dugaan, kita tetap berdoa segala yang terbaik untuk kamu yah nak. Besok pagi Om Soni sendiri yang akan menscan seluruh anggota tubuh Rumi untuk pemeriksaan lebih lanjut di bantu dengan seorang dokter spesialis Neurologi. Setelahnya baru kita dapat menvonis apakah ini benar Parkinson atau ada gejala lain.” Ungkap Soni berusaha memperbesar hati Arumi dan keluarganya.
“Parkinson? Penyakit apa itu om?” tanya Arumi yang merasa asing dengan nama penyakit tersebut.
“Parkinson itu salah satu kelainan sistem saraf pusat yang berfungsi mengkoordinasikan gerakan tubuh sehingga mempengaruhi keluwesan gerak seseorang nak. Tapi untuk lebih jelasnya lagi besok baru kita pastikan semuanya yah.” Ucap Soni.
Seketika seisi ruangan begitu tegang mendengar nama penyakit ini, terlebih Heri yang mengingat jika adik bungsunya juga meninggal karena penyakit yang sama, Air matanya tiba-tiba saja jatuh begitu saja lalu, Ia merangkul Soni untuk keluar dari kamar.
“Papa mau ngajak Om Soni ngopi dulu, kalian disini dulu yah.” Ucap Heri lalu menggiring Soni keluar.
“Pak Soni, Apakah penyakit parkinson juga penyakit turunan?” tanya Heri kepada Soni.
“Penyakit parkinson memang salah satu penyakit keturunan Mas Heri, walaupun sangat jarang penyakit ini timbul karena faktor keturunan. Hanya saja jarang bukan berarti tidak, peluangnya tetap masih ada. Apakah ada keluarga Mas Heri yang juga menderita penyakit yang sama?” tanya Soni menatap wajah pucat Heri.
Dengan berat Heri menganggukkan kepalanya, “ Adik bungsu saya meninggal karena penyakit parkinson, tapi dia setres karena tubuhnya banyak yang tidak bisa digerakkan dia meminum obatnya lebih banyak dari dosisnya hingga dinyatakan meninggal karena over dosis.” Cerita Heri sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
Soni yang mendengar cerita Heri hanya bisa menepuk bahu Heri dengan prihatin, “Kita akan berjuang bersama yah mas Heri, jangan khawatir Arumi anak yang kuat, kita akan melakukan berbagai terapi untuknya. Paling tidak dengan terapi kita akan memperlambat progres kerusakan saraf pada otaknya, besok saya akan pastikan semua pemeriksaannya dan jika benar positis saya akan memberikan jadwal terapi serta obat-obatan yang harus di minumnya.” Terang Soni menguatkan.
“Terima kasih banyak Pak Soni.” Ucap Heri.
Tanpa keduanya ketahui, Devara sengaja menguping pembicaraan papanya dan Heri dengan tergesah Devara lari ke toilet lalu segera membuka Google dan mencari tau informasi tentang penyakit Parkinson, semakin ia membaca semakin ia merasakan panas di pelupuk matanya. Devara begitu hancur hingga tanpa sadar ia meninju dinding toilet rumah sakit.
“Kenapa harus Arumi! Kenapa?! Kenapa harus Arumi yah Tuhan.” Lirih Devara sambil mengeluarkan jerit tangis yang mengoyak isi hatinya. Devara berusaha menenangkan diri beberapa saat untuk kembali ke kamar perawatan Arumi.
Sedangkan di kamar perawatan, Arumi sudah tidak sabar ingin meminta Devara mencari tau apa itu penyakit Parkinson lewat media internet, tapi Devara tak kunjung terlihat batang hidungnya.
“Rum... Mama Papa kembali dulu ke rumah dan ke pabrik yah. Jefry yang jaga kamu sementara, Mama nanti kembali pas malam untuk ngurus pekerjaan dan keperluan kamu.” Pamit Citra kepada anaknya.
“Iyah ma, nggak apa-apa. Tante Vina terima kasih banyak yah, sudah membantu keluarga Arumi. Oh yah Ayam betutunya enak banget tadi te.” Ucap Arumi dengan tulus.
“Syukurlah sayang, kamu istirahat disini yah. Devara tadi pamit ke toilet, biar dia disini dulu nemani Arumi sama Jefry yah, tante balik sama Mama dan Papamu. Ingat istirahat dan positif thinking okey?” ucap Vina menyemangati Arumi.
“Yes pasti!” pekik Arumi sambil mengepalkan tangan kirinya.
Setelah semua pergi dan hanya tersisa Jefry yang kelelahan dan tertidur di ranjang penjaga, masuklah Devara membawa es susu untuk Arumi dari kantin.
“Loe kemana aja sih? Giliran dibutuhin aja ngilang kayak hantu. Bener-bener loe yah.” Rajuk Arumi di tanggapi dengan senyuman oleh Devara.
“Minum susu dulu, sini.” ucap Devara tidak ingin menanggapi omelan Arumi.
“Makasi yah, Dev... gw mau minta tolong sama loe dong. Gw penasaran sama penyakit gw, cariin infonya diinternet dong.” Pinta Arumi sambil menyeruput gelas susu yang dipegang oleh Devara.
“Nggak usalah ngapain? Belum pasti juga kan loe penyakitan parkinson.” Elak Devara sambil membuang muka.
Arumi yang begitu mengenal Devara langsung saja tau jika Devara pasti telah tau tentang penyakitnya lebih detail dari informasi yang disampaikan oleh Soni. Apalagi Arumi melihat ada bekas air mata di pipi Devara dan mata Devara yang sedikit sembab serta tangan kanan yang lebam.
“Apa gw bakal mati Dev?” lirih Arumi begitu saja.
“Om Soni ada? Aduh gw malu ngerepotin om Soni, udah nggak usah Dev nanti gw bilang aja kaki gw di tangkap sama setan sampe kekunci, biar dukun aja yang kita repotin yach!” kikik Arumi membuat Devara ingin menjitak kepala sahabatnya namun di tahannya.
“Loe yah, uda buat orang khawatir masih aja bisa becanda.” Omel Devara melihat kelakuan sahabatnya.
Tak lama mereka akhirnya dipindahkan ke kamar yaang sudah dipesan oleh Soni untuk Arumi, sampai di ruangan sudah ada kedua orang tua Arumi dan Jefry adiknya, sedangkan Vina baru saja masuk tak lama setelah Arumi dan Devara masuk, sambil membawa makanan dan minuman untuk keluarga Arumi.
Semua mengerubungi Arumi dan bisa bernafas lega saat Arumi bisa tersenyum, “Rum, papa sampe takut banget dengar kamu jatuh dari tangga Rum.” Ucap Heri.
“Maaf yah pa, buat papa khawatir sampai tutup rumah produksi dan tutup toko maaf yah ma.” Ucap Arumi dengan tulus.
“Kamu ini jatuh kok malah minta maaf. Sudah jangan mengada-ngada Rum, yang penting sekarang anak mama uda sadar.” Sahut Citra dengan tulus sambil mengelus lembut rambut hitam legam anaknya.
“Kak, loe jadi mumi kok nanggung banget cuman di kaki tangan sama jidat doang? Gak asik tau kak.” Goda Jefry membuat Arumi tertawa.
“Sialan loe Jeff, awas aja kalo gw sembuh gw piting loe kayak kemarin.” Ancam Arumi membuat semua yang mendengar ikut tertawa.
Lalu suara ketukan pintu kamar terdengar dan Vina membuka kamar tersebut, ada Soni yang berdiri dengan wajah yang begitu serius sambil menarik nafas yang begitu dalam menatap Vina dengan tatapan sedih. Melihat tatapan itu hati Vina bergemuruh dan gugup luar biasa. Pasti bukan berita baik jika wajah sang suami sudah seperti itu.
Soni lalu melangkah masuk kedalam sambil memasang senyum terpaksa di wajahnya dan melihat Arumi dengan iba, “Mas Heri dan mbak Citra ke ruangan saya sekarang bisa?” tanya Soni memanggil kedua orang tua Arumi. Tawa di wajah kedua orang tua Arumi mendadak sirna saat melihat raut wajah serius Soni.
“Om Soni, please biacaranya disini saja om, jangan rahasia-rahasiaan sama Arumi yah Om... Please Om Arumi pengen tau juga hasil laboratorium Arumi Om.” Pinta Arumi yang sadar akan tatapan tak biasa dari Soni saat memandangnya sejenak.
“Tapi ini urusan orang dewasa Rum...” terang Devara mencoba untuk menenangkan hati sahabatnya.
“Tapi ini kan tubuh gw Dev, gw yang paling berhak tau saat ini gw lagi sakit apa sebenarnya? Kenapa kok tiba-tiba gw jatuh aja kayak tadi loe bilang, jatuh gitu aja kayak gedebok pisang. Belum lagi kaki gw yang tiba-tiba kekancing kayak mesin eror gitu. Gw pengen tau apa yang salah sama diri gw sendiri Dev! Please Om... Ma... Pa... please...” pinta Arumi begitu memelas hingga akhirnya kedua orang tuanya tidak dapat lagi membantah keinginan Arumi.
“Sudah nggak apa-apa Pak Soni, sampaikan disini saja,” ucap Heri kepada Soni di balas dengan anggukan kepala.
“Baiklah hasil test darah secara umum sebenarnya Arumi baik, Hemoglobin juga normal namun saat kami memeriksa lebih lanjut terdapat sebuah dugaan indikasi jika Arumi menderita penyakit Parkinson, seperti yang tadi Arum katakan kalau kaki bergerak tiba-tiba terasa terkancing begitu saja. Tapi ini baru dugaan, kita tetap berdoa segala yang terbaik untuk kamu yah nak. Besok pagi Om Soni sendiri yang akan menscan seluruh anggota tubuh Rumi untuk pemeriksaan lebih lanjut di bantu dengan seorang dokter spesialis Neurologi. Setelahnya baru kita dapat menvonis apakah ini benar Parkinson atau ada gejala lain.” Ungkap Soni berusaha memperbesar hati Arumi dan keluarganya.
“Parkinson? Penyakit apa itu om?” tanya Arumi yang merasa asing dengan nama penyakit tersebut.
“Parkinson itu salah satu kelainan sistem saraf pusat yang berfungsi mengkoordinasikan gerakan tubuh sehingga mempengaruhi keluwesan gerak seseorang nak. Tapi untuk lebih jelasnya lagi besok baru kita pastikan semuanya yah.” Ucap Soni.
Seketika seisi ruangan begitu tegang mendengar nama penyakit ini, terlebih Heri yang mengingat jika adik bungsunya juga meninggal karena penyakit yang sama, Air matanya tiba-tiba saja jatuh begitu saja lalu, Ia merangkul Soni untuk keluar dari kamar.
“Papa mau ngajak Om Soni ngopi dulu, kalian disini dulu yah.” Ucap Heri lalu menggiring Soni keluar.
“Pak Soni, Apakah penyakit parkinson juga penyakit turunan?” tanya Heri kepada Soni.
“Penyakit parkinson memang salah satu penyakit keturunan Mas Heri, walaupun sangat jarang penyakit ini timbul karena faktor keturunan. Hanya saja jarang bukan berarti tidak, peluangnya tetap masih ada. Apakah ada keluarga Mas Heri yang juga menderita penyakit yang sama?” tanya Soni menatap wajah pucat Heri.
Dengan berat Heri menganggukkan kepalanya, “ Adik bungsu saya meninggal karena penyakit parkinson, tapi dia setres karena tubuhnya banyak yang tidak bisa digerakkan dia meminum obatnya lebih banyak dari dosisnya hingga dinyatakan meninggal karena over dosis.” Cerita Heri sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
Soni yang mendengar cerita Heri hanya bisa menepuk bahu Heri dengan prihatin, “Kita akan berjuang bersama yah mas Heri, jangan khawatir Arumi anak yang kuat, kita akan melakukan berbagai terapi untuknya. Paling tidak dengan terapi kita akan memperlambat progres kerusakan saraf pada otaknya, besok saya akan pastikan semua pemeriksaannya dan jika benar positis saya akan memberikan jadwal terapi serta obat-obatan yang harus di minumnya.” Terang Soni menguatkan.
“Terima kasih banyak Pak Soni.” Ucap Heri.
Tanpa keduanya ketahui, Devara sengaja menguping pembicaraan papanya dan Heri dengan tergesah Devara lari ke toilet lalu segera membuka Google dan mencari tau informasi tentang penyakit Parkinson, semakin ia membaca semakin ia merasakan panas di pelupuk matanya. Devara begitu hancur hingga tanpa sadar ia meninju dinding toilet rumah sakit.
“Kenapa harus Arumi! Kenapa?! Kenapa harus Arumi yah Tuhan.” Lirih Devara sambil mengeluarkan jerit tangis yang mengoyak isi hatinya. Devara berusaha menenangkan diri beberapa saat untuk kembali ke kamar perawatan Arumi.
Sedangkan di kamar perawatan, Arumi sudah tidak sabar ingin meminta Devara mencari tau apa itu penyakit Parkinson lewat media internet, tapi Devara tak kunjung terlihat batang hidungnya.
“Rum... Mama Papa kembali dulu ke rumah dan ke pabrik yah. Jefry yang jaga kamu sementara, Mama nanti kembali pas malam untuk ngurus pekerjaan dan keperluan kamu.” Pamit Citra kepada anaknya.
“Iyah ma, nggak apa-apa. Tante Vina terima kasih banyak yah, sudah membantu keluarga Arumi. Oh yah Ayam betutunya enak banget tadi te.” Ucap Arumi dengan tulus.
“Syukurlah sayang, kamu istirahat disini yah. Devara tadi pamit ke toilet, biar dia disini dulu nemani Arumi sama Jefry yah, tante balik sama Mama dan Papamu. Ingat istirahat dan positif thinking okey?” ucap Vina menyemangati Arumi.
“Yes pasti!” pekik Arumi sambil mengepalkan tangan kirinya.
Setelah semua pergi dan hanya tersisa Jefry yang kelelahan dan tertidur di ranjang penjaga, masuklah Devara membawa es susu untuk Arumi dari kantin.
“Loe kemana aja sih? Giliran dibutuhin aja ngilang kayak hantu. Bener-bener loe yah.” Rajuk Arumi di tanggapi dengan senyuman oleh Devara.
“Minum susu dulu, sini.” ucap Devara tidak ingin menanggapi omelan Arumi.
“Makasi yah, Dev... gw mau minta tolong sama loe dong. Gw penasaran sama penyakit gw, cariin infonya diinternet dong.” Pinta Arumi sambil menyeruput gelas susu yang dipegang oleh Devara.
“Nggak usalah ngapain? Belum pasti juga kan loe penyakitan parkinson.” Elak Devara sambil membuang muka.
Arumi yang begitu mengenal Devara langsung saja tau jika Devara pasti telah tau tentang penyakitnya lebih detail dari informasi yang disampaikan oleh Soni. Apalagi Arumi melihat ada bekas air mata di pipi Devara dan mata Devara yang sedikit sembab serta tangan kanan yang lebam.
“Apa gw bakal mati Dev?” lirih Arumi begitu saja.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved