Bab 6 TEST TERBAIK
by Lizbeth Lee
15:13,Sep 22,2023
Betapa terkejutnya Arumi saat mengetahui sang kekasih datang mencarinya datang ke Rumah Sakit. Rasanya ini sesuatu yang baru bagi Arumi, dijenguk oleh pacar? Oh Tuhan... mimpi apa semalam bisa sesenang ini. Tapi ada beberapa tingkah Demas yang membuat Arumi terheran-heran ditambah lagi konsentrasi buyar begitu saja ketika Devara selalu saja menjawab Demas dengan kalimat-kalimat yang ketus. Hingga membuat Arumi memekik memanggil nama sahabatnya.
“DEVARA!” pekik Arumi sambil melotot. Devara mendengus kesal dan segera berjalan mengambilkannya obat dan membuka dari pembungkusnya, lalu Ia berikan sendiri kepada Arumi.
“Loh bukan Gw nih yang ngasih obatnya?” tanya Demas terheran karena pikirnya Devara hanya akan mengambilkan obat tersebut sesuai dosis dan akan memberikan kepadanya.
“Nanggung, itung-itung Loe sudah tau dimana letaknya obat itu kan?” Devara menunjuk nakas yang berada tepat didepan Demas duduk.
“Hehehe, nggak apa-apa Dem yah. Lagian Gw juga sungkan ngerepoti Loe.” sahut Arumi salah tingkah.
Demas lalu mengangguk dan kembali bertanya, “Kata Dokter Loe sakit apa Rum?” Mendengar pertanyaan Demas rasa gelisah langsung menguasai diri Arumi, tidak tau harus berbicara apa. Apalagi Arumi dikenal sebagai pembohong terburuk sepanjang masa.
“Arumi nggak sakit, dia cuman kecelakaan biasa. Bocah ceroboh kayak gini sampe jatuh dari tangga kayak main adegan kungfu.” Devara langsung menjawab untuk menyelamatkan Arumi yang sudah kebingungan hingga keringat dingin jatuh begitu saja di pelipisnya.
“Oh syukur deh kalau nggak ada yang serius. Berarti Loe uda bisa pulang cepatkan?” tanya Demas sambil sesekali melihat ponselnya.
“Kalau sudah sembuh Gw pasti langsung pulang kok Dem. Ngomong-ngomong emang Loe nggak ada jadwal kuliah nih sekarang? Dari tadi ngeliatin HP melulu.” ucap Arumi berniat mengusir secara halus karena sebentar lagi dia akan menjalani pemeriksaan lanjutan.
“Iyah deh, Gw pamit yah Rum, jangan lupa nanti kalo Hp Loe uda ada chatingan sama Gw, okey?” ucap Demas sambil mengangkat jempol.
“Okay bye Dem,” ucap Arumi sambil tersenyum lebar.
Demas lalu beranjak dari kursinya dan mengecup dahi Arumi dengan singkat sambil berbisik, “Bye pacar,” lalu beranjak keluar dari kamar perawatan tersebut sambil mengangkat tangannya kepada Devara.
Tubuh Arumi langsung panas dingin dan mematung karena tidak bisa mencerna apa yang baru saja Demas lakukan kepadanya. Arumi terdiam dengan wajah yang hendak meledak karena rasa bahagia bercampur malu.
“Dev... barusan Demas ngapain?” tanya Arumi dengan gugup, wajah Devara juga memerah sama seperti Arumi, hanya bedanya perasaan dihati mereka. Nafasnya tersengal dengan berat menatap Arumi sambil mengepalkan kedua tangannya.
“Halo anak-anak, apa kabar? Arumi sudah makan dan minum obat belum?” Tiba-tiba saja Soni datang dengan dua orang perawat dan membuyarkan pikiran kedua insan muda yang dilanda kegalauan serta kebahagiaan dihati mereka massing-massing.
“Om Soni? Sudah dong Om.” jawab Arumi lalu menarik Devara yang berada di sisinya.
“Devara tunggu disini yah, papa mau bawa Arumi keruangan scan dulu.” Pamit Soni kepada anaknya, Devara lalu memegang tangan Arumi dengan kuat.
“Loe harus kuat dan pantang menyerah okey? Gw bakal selalu disini untuk Loe Rum.” bisik Devara, lalu menganggukkan kepalanya kepada Soni.
“Thanks yah Dev.” Arumi lalu menarik nafasnya dalam-dalam, seolah Ia ingin menguatkan dirinya sendiri dan memasang senyum termanis untuk Devara juga Soni. Itulah Arumi, dia selalu berusaha untuk menjadi kuat apapun yang sedang dihadapinya.
Setelah rangkaian pemeriksaan berlangsung Arumi kembali diantarkan ke dalam kamar perawatannya dab kembali bertemu dengan Devara yang sejak dua jam lalu selalu setia menunggu dengan cemas. Kini Soni beserta Dokter Imelda spesialis Neurologi sedang mengkaji dan melihat hasil pemeriksaan.
“Pak Dokter Soni, maafkan saya.”ucap Dokter Imelda dengan wajah yang begitu lesu menunjukkan lembar hasil pemeriksaan ditangannya.
Soni lalu mengambil dan membaca, seketika itu juga Soni langsung terduduk lemas. Selain membayangkan betapa hancur hati kedua orang tuanya Arumi dan Arumi, Soni juga memikirkan perasaan Devara. Kedekatan antara Devara dan Arumi sejak kecil bagaikan perangko dan amplop yang telah menempel jika salah satu dilepas maka pasti akan ada yang robek atau tersakiti.
“Apakah tidak cara lain untuk melakukan test ulang Dokter Imelda?” tanya Soni berharap hasil test tersebut ada kesalahan.
“Pak Dokter, kita sama-sama memeriksanya dan melakukan segala rangkaian test terbaik. Untuk saat ini semua rangkaian pemeriksaan kitalah yang paling terbaik diseluruh Indonesia Pak. Saya tau perasaan Anda, kita hanya bisa memperlambat dengan segala terapi rutin dan mengkonsumsi makanan-makanan yang dianjurkan. Hanya itu Pak Dokter, selebihnya keajaiban selalu ada ditangan Tuhan bukan?” Dokter Imelda berucap sambil menatap nanar kepada Dokter Soni yang terlihat begitu terpukul.
Mengerti jika saat ini Soni juga merasa sedang sedih dan bimbang untuk menyampaikan berita buruk ini kepada Heri dan Citra. Dengan duduk sejenak dan menenangkan pikirannya Soni memutuskan untuk menyampaikannya langsung di rumah keluarga Arumi. Ia lantas bergegas berangkat dan menyetir mobilnya dengan perasaan yang begitu berkabut.
Betapa terkejutnya Citra saat melihat Soni dan Vina sudah berdiri didepan toko mereka, Vina tersenyum namun terlihat begitu dipaksakan. Jantung Citra llangsung bertalu begitu cepat, air matanya tak kuasa untuk di tahannya.
“Pa! Papa!” teriak Citra membuat sang suami berlari menuruni tangga.
“Iyah ma?” sahut Heri dengan tergesa hingga tidak menyadari Soni dan Vina yang sedang berdiri di depan toko sejak tadi karena Citra belum mempersilahkan mereka masuk.
“Pa... Pak Soni...” Hanya kalimat pendek itu saja yang bisa terucap dari bibir gemetar Citra yang sudah memiliki perasaan tidak enak.
“Loh kok gak suruh masuk Ma? Ayo Pak Soni, mari masuk kita duduk diatas saja yah,” ajak Heri sambil menaiki tangga diikuti oleh Vina, sedangkan Citra segera menutup tokonya sejenak lalu juga menyusul ke lantai dua dan segera membuatkan teh hangat untuk tetangga sekaligus sahabat mereka.
Soni dan Vina saling memandang satu sama lain, merasakan ketegangan di ruangan tersebut akhirnya Vina mencoba mencairkannya dengan berbicara, “Pa... Mama rasa sekarang saatnya Papa perlihatkan hasil test Arumi yah Pa.” Soni lalu menarik nafasnya dalam-dalam dan membuka hasil map tersebut dengan menunjukkan gambar otak kecil pada kepala Arumi.
“Begini pak...” Baru saja memulai pembicaraan, Citra langsung memotong suara Soni karena sudah tidak tahan dan tidak mau menerima akan penjelasan medis yang akan disampaikan secara bertele-tele.
“Pak Soni maaf, maaf Mbak Vina... Arumi memang menderita Parkinson kan?” tebak Citra dengan air mata yang sudah bercucuran. Vina langsung berdiri dan memeluk Citra dengan erat.
“Yang sabar yah Mbak Citra.” Ucap Vina ikut meneteskan air mata.
“Tidak! Tuhan tolong jangan Arumiku Tuhan!” teriak Citra menangis histeris dan segera memeluk Vina dengan Erat.
“DEVARA!” pekik Arumi sambil melotot. Devara mendengus kesal dan segera berjalan mengambilkannya obat dan membuka dari pembungkusnya, lalu Ia berikan sendiri kepada Arumi.
“Loh bukan Gw nih yang ngasih obatnya?” tanya Demas terheran karena pikirnya Devara hanya akan mengambilkan obat tersebut sesuai dosis dan akan memberikan kepadanya.
“Nanggung, itung-itung Loe sudah tau dimana letaknya obat itu kan?” Devara menunjuk nakas yang berada tepat didepan Demas duduk.
“Hehehe, nggak apa-apa Dem yah. Lagian Gw juga sungkan ngerepoti Loe.” sahut Arumi salah tingkah.
Demas lalu mengangguk dan kembali bertanya, “Kata Dokter Loe sakit apa Rum?” Mendengar pertanyaan Demas rasa gelisah langsung menguasai diri Arumi, tidak tau harus berbicara apa. Apalagi Arumi dikenal sebagai pembohong terburuk sepanjang masa.
“Arumi nggak sakit, dia cuman kecelakaan biasa. Bocah ceroboh kayak gini sampe jatuh dari tangga kayak main adegan kungfu.” Devara langsung menjawab untuk menyelamatkan Arumi yang sudah kebingungan hingga keringat dingin jatuh begitu saja di pelipisnya.
“Oh syukur deh kalau nggak ada yang serius. Berarti Loe uda bisa pulang cepatkan?” tanya Demas sambil sesekali melihat ponselnya.
“Kalau sudah sembuh Gw pasti langsung pulang kok Dem. Ngomong-ngomong emang Loe nggak ada jadwal kuliah nih sekarang? Dari tadi ngeliatin HP melulu.” ucap Arumi berniat mengusir secara halus karena sebentar lagi dia akan menjalani pemeriksaan lanjutan.
“Iyah deh, Gw pamit yah Rum, jangan lupa nanti kalo Hp Loe uda ada chatingan sama Gw, okey?” ucap Demas sambil mengangkat jempol.
“Okay bye Dem,” ucap Arumi sambil tersenyum lebar.
Demas lalu beranjak dari kursinya dan mengecup dahi Arumi dengan singkat sambil berbisik, “Bye pacar,” lalu beranjak keluar dari kamar perawatan tersebut sambil mengangkat tangannya kepada Devara.
Tubuh Arumi langsung panas dingin dan mematung karena tidak bisa mencerna apa yang baru saja Demas lakukan kepadanya. Arumi terdiam dengan wajah yang hendak meledak karena rasa bahagia bercampur malu.
“Dev... barusan Demas ngapain?” tanya Arumi dengan gugup, wajah Devara juga memerah sama seperti Arumi, hanya bedanya perasaan dihati mereka. Nafasnya tersengal dengan berat menatap Arumi sambil mengepalkan kedua tangannya.
“Halo anak-anak, apa kabar? Arumi sudah makan dan minum obat belum?” Tiba-tiba saja Soni datang dengan dua orang perawat dan membuyarkan pikiran kedua insan muda yang dilanda kegalauan serta kebahagiaan dihati mereka massing-massing.
“Om Soni? Sudah dong Om.” jawab Arumi lalu menarik Devara yang berada di sisinya.
“Devara tunggu disini yah, papa mau bawa Arumi keruangan scan dulu.” Pamit Soni kepada anaknya, Devara lalu memegang tangan Arumi dengan kuat.
“Loe harus kuat dan pantang menyerah okey? Gw bakal selalu disini untuk Loe Rum.” bisik Devara, lalu menganggukkan kepalanya kepada Soni.
“Thanks yah Dev.” Arumi lalu menarik nafasnya dalam-dalam, seolah Ia ingin menguatkan dirinya sendiri dan memasang senyum termanis untuk Devara juga Soni. Itulah Arumi, dia selalu berusaha untuk menjadi kuat apapun yang sedang dihadapinya.
Setelah rangkaian pemeriksaan berlangsung Arumi kembali diantarkan ke dalam kamar perawatannya dab kembali bertemu dengan Devara yang sejak dua jam lalu selalu setia menunggu dengan cemas. Kini Soni beserta Dokter Imelda spesialis Neurologi sedang mengkaji dan melihat hasil pemeriksaan.
“Pak Dokter Soni, maafkan saya.”ucap Dokter Imelda dengan wajah yang begitu lesu menunjukkan lembar hasil pemeriksaan ditangannya.
Soni lalu mengambil dan membaca, seketika itu juga Soni langsung terduduk lemas. Selain membayangkan betapa hancur hati kedua orang tuanya Arumi dan Arumi, Soni juga memikirkan perasaan Devara. Kedekatan antara Devara dan Arumi sejak kecil bagaikan perangko dan amplop yang telah menempel jika salah satu dilepas maka pasti akan ada yang robek atau tersakiti.
“Apakah tidak cara lain untuk melakukan test ulang Dokter Imelda?” tanya Soni berharap hasil test tersebut ada kesalahan.
“Pak Dokter, kita sama-sama memeriksanya dan melakukan segala rangkaian test terbaik. Untuk saat ini semua rangkaian pemeriksaan kitalah yang paling terbaik diseluruh Indonesia Pak. Saya tau perasaan Anda, kita hanya bisa memperlambat dengan segala terapi rutin dan mengkonsumsi makanan-makanan yang dianjurkan. Hanya itu Pak Dokter, selebihnya keajaiban selalu ada ditangan Tuhan bukan?” Dokter Imelda berucap sambil menatap nanar kepada Dokter Soni yang terlihat begitu terpukul.
Mengerti jika saat ini Soni juga merasa sedang sedih dan bimbang untuk menyampaikan berita buruk ini kepada Heri dan Citra. Dengan duduk sejenak dan menenangkan pikirannya Soni memutuskan untuk menyampaikannya langsung di rumah keluarga Arumi. Ia lantas bergegas berangkat dan menyetir mobilnya dengan perasaan yang begitu berkabut.
Betapa terkejutnya Citra saat melihat Soni dan Vina sudah berdiri didepan toko mereka, Vina tersenyum namun terlihat begitu dipaksakan. Jantung Citra llangsung bertalu begitu cepat, air matanya tak kuasa untuk di tahannya.
“Pa! Papa!” teriak Citra membuat sang suami berlari menuruni tangga.
“Iyah ma?” sahut Heri dengan tergesa hingga tidak menyadari Soni dan Vina yang sedang berdiri di depan toko sejak tadi karena Citra belum mempersilahkan mereka masuk.
“Pa... Pak Soni...” Hanya kalimat pendek itu saja yang bisa terucap dari bibir gemetar Citra yang sudah memiliki perasaan tidak enak.
“Loh kok gak suruh masuk Ma? Ayo Pak Soni, mari masuk kita duduk diatas saja yah,” ajak Heri sambil menaiki tangga diikuti oleh Vina, sedangkan Citra segera menutup tokonya sejenak lalu juga menyusul ke lantai dua dan segera membuatkan teh hangat untuk tetangga sekaligus sahabat mereka.
Soni dan Vina saling memandang satu sama lain, merasakan ketegangan di ruangan tersebut akhirnya Vina mencoba mencairkannya dengan berbicara, “Pa... Mama rasa sekarang saatnya Papa perlihatkan hasil test Arumi yah Pa.” Soni lalu menarik nafasnya dalam-dalam dan membuka hasil map tersebut dengan menunjukkan gambar otak kecil pada kepala Arumi.
“Begini pak...” Baru saja memulai pembicaraan, Citra langsung memotong suara Soni karena sudah tidak tahan dan tidak mau menerima akan penjelasan medis yang akan disampaikan secara bertele-tele.
“Pak Soni maaf, maaf Mbak Vina... Arumi memang menderita Parkinson kan?” tebak Citra dengan air mata yang sudah bercucuran. Vina langsung berdiri dan memeluk Citra dengan erat.
“Yang sabar yah Mbak Citra.” Ucap Vina ikut meneteskan air mata.
“Tidak! Tuhan tolong jangan Arumiku Tuhan!” teriak Citra menangis histeris dan segera memeluk Vina dengan Erat.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved