Bab 9 Kesalahan di acara
by Karyaku019
13:56,Sep 17,2023
Setelah ini Pak agung akan melanjutkan sesi presentasi dengan paparan data-data perkembangan jumlah pengguna, transaksi yang terjadi di platform teknologi milik perusahaannya, efek yang ditimbulkan oleh penggunaan teknologi, penerapan marketing yang tepat, dan banyak lagi hal penting yang menjadi inti presentasi. Kemudian, ia akan menutup sesi dengan tips-tips memulai karier di bidang teknologi untuk para pengunjung.
Namun tiba-tiba, fani melihat bahwa Pak agung tampak sedikit gelisah saat melihat layar yang menampilkan halaman presentasi selanjutnya. Ia coba memeriksa beberapa halaman lain di layar tersebut dengan clicker, tetapi justru bertambah gelisah.
“Hmm, sepertinya file ini tidak update,” gumam sang pembicara. Meski pelan, tetapi microphone yang ia gunakan masih dapat menangkap kata-kata tersebut dengan jelas, sehingga fani pun bisa mendengarnya.
Jantung fani langsung berdegup kencang. Ia coba mengingat-ingat apakah ia sudah memberikan file terbaru untuk tim multimedia. Ia yakin hal tersebut sudah ia lakukan. Lalu mengapa kesalahan ini masih saja terjadi? Ia sadar betul bahwa Pak agung tentu tidak bisa melanjutkan presentasi dengan file berisi data yang berbeda. Karena selain kontennya berbeda, isi dari presentasi itu juga tidak cocok dengan paparan dan tema acara.
“Tim multimedia, bisa tolong matikan saja presentasi saya,” ujar Pak agung tiba-tiba lewat microphone yang ia genggam.
Tim terkait pun langsung mengganti tayangan presentasi tersebut dengan banner visual yang mereka gunakan sejak awal acara. Pak agung pun melanjutkan sesi presentasi tanpa file presentasi. Tentu saja dia hapal semua data di luar kepala karena dia sendiri yang menyusun presentasinya, tetapi tetap saja harus melakukan improvisasi agar bisa menghadirkan penjelasan yang bisa dipahami oleh para pengunjung tanpa bantuan visual pendukung.
Masih ada waktu sekitar dua puluh menit lagi sebelum sesi presentasi tersebut berakhir, dan fani merasa itu adalah dua puluh menit paling lama dalam hidupnya. Ia berusaha memperhatikan apa ada hal lain yang bisa ia lakukan untuk membantu Pak agung. Bergegas menuju lokasi tim multimedia untuk mengganti file sepertinya bukan piihan yang tepat, karena hal itu mungkin akan mengganggu konsentrasi sang pembicara yang seperti ingin cepat-cepat menyelesaikan sesi.
Ia pun melirik ke arah Pak heri yang masih duduk di kursinya. Tidak ada ekspresi apa-apa dari raut wajah sang Rektor, selain tetap bersemangat mendengarkan penjelasan Pak agung. Meski begitu, fani tetap merasa tidak nyaman. Tak lama kemudian, Pak agung pun mengakhiri sesi yang dibarengi dengan tepuk tangan meriah dari para pengunjung.
Fani merasa beruntung mendengar hal itu, dan berharap sang pembicara akan turun dari panggung dengan kondisi hati yang baik. Begitu sang pembicara kembali ke ruangan khusus di belakang panggung, fani pun langsung menghampirinya.
“Mohon maaf sekali atas ketidaknyamanannya, Pak agung. Sepertinya ada kesalahan soal file presentasi yang diberikan. Ini semua kesalahan saya yang tidak memeriksa kembali ke tim multimedia,” ujar perempuan cantik tersebut meminta maaf.
“Tidak apa-apa, fani. Saya maklum kok, ini biasa terjadi di acara kampus seperti ini,” ujar sang pembicara. “Untung saja saya hapal materi-materi saya sendiri.”
Fani tidak bisa menebak apakah Pak agung bersungguh-sungguh mengatakan itu. Atau pria itu hanya bersikap sopan, tetapi akan mulai berbicara buruk tentang dirinya di kemudian hari kepada Pak heri dan yang lainnya.
“Kalau begitu, saya pamit dulu ya. Mau kembali ke kantor. Sukses acaranya, fani,” ujar Pak agung sambil beranjak pergi.
“Tidak mau makan siang dulu, Pak?”
“Tidak usah. Saya ada janji lain soalnya.”
“Baik, Pak,” jawab fani sambil tersenyum semanis mungkin. Begitu Pak agung hilang dari pandangan, fani langsung menyandarkan tubuhnya di dinding.
Namun baru saja sesaat ia bisa bernapas lega, perempuan tersebut langsung tegang begitu melihat bayu menghampirinya dengan raut wajah yang kesal.
“Apa-apaan sih!? Kamu ini bagaimana!? Mengurus hal sepele begitu saja gak becus!!” Ujar sang pria dengan penuh kemarahan. Ia tampak tidak peduli bahwa di sekitar situ masih ada beberapa panitia lain.
“Lagipula kenapa kamu gak memastikan semuanya berjalan lancar? Dia pasti kecewa karena nggak bisa presentasi dengan maksimal tadi. Duh, gimana nasib bantuan beliau ke kampus kalau kita sudah mengecewakan beliau seperti ini. Kesannya kan kita tidak serius, tidak memberikan fasilitas maksimal. Sekarang beliau makan siang saja ditolak, pasti beliau kecewa berat sama kita! Sadar kamu?! Tahu nggak kalau kesalahan kamu itu bikin acara sempurna kita jadi berantakan? Ini pembicara paling penting dan kamu bikin kacau! Payah banget sih!” fani hanya bisa menunduk menahan malu.
Meski ia sudah menyatakan maaf, tetapi sepertinya tidak ada yang bisa memberhentikan ocehan bayu yang sedang dilanda kemarahan itu.
“Dasar bego!” ujar pria tersebut dengan kasar. “Tolol!”
“Aku izin ke belakang sebentar ya. Kalian makan siang saja dulu. Nanti sebelum sesi berikutnya mulai, aku akan kembali lagi,” ujar perempuan cantik itu dengan nada suara yang tertahan.
Ada getaran yang terdengar. Meski tidak mengatakannya dengan jujur, semua orang tahu bahwa fani tengah berusaha keras untuk menahan air matanya agar tidak keluar di depan orang lain. Perempuan berjilbab itu langsung berjalan menjauhi panggung.
Tanpa sengaja, ia menemukan sebuah ruangan kosong di gedung pertemuan, tempat acara Entrepreneurship Day berlangsung. Ia pun memutuskan untuk masuk ke ruangan tersebut.
Ruangan tersebut sepertinya merupakan sebuah gudang yang berisi beberapa perlengkapan acara. Ada beberapa meja kayu dan kursi plastik di sana. Ruangan tersebut tampak cukup terang karena sinar matahari yang masuk lewat jendela yang sebenarnya tidak terlalu lebar. Fani langsung duduk di atas sebuah meja kayu yang posisinya paling dekat dengan pintu. Karena postur tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, kakinya pun harus menggantung di atas lantai.
Tak lama kemudian, karena merasa tengah sendirian, perempuan cantik itu langsung melepaskan air matanya yang selama ini tertahan. Ia mulai sesunggukan, dengan kedua telapak tangan berusaha menutup wajahnya sendiri. Tangan tersebut tampak harus berkali-kali menyeka air mata yang bercucuran menyusuri pipinya yang halus. Dalam hati, fani menyadari bahwa semua yang terjadi memang merupakan kesalahannya.
Ia pun tahu bahwa kesalahan itu adalah sesuatu yang fatal, dan bisa berdampak buruk pada kampus mereka. Namun, apakah ia pantas diperlakukan seperti itu di depan panitia yang lain. Apalagi yang melakukan itu adalah bayu, pacarnya sendiri, yang seharusnya paling mengerti perasaan dia dibanding orang lain.
Fani membiarkan seluruh emosinya keluar, hingga ia tidak sadar ada seseorang yang turut mengikutinya masuk ke ruangan tersebut. Ia baru menyadari hal itu saat kepalanya dibelai dengan lembut oleh sosok tersebut.
“Sudah, jangan menangis. Kesalahan kamu tidak terlalu fatal kok,” ujar suara orang tersebut berusaha menenangkan fani.
Namun, suara itu bukan milik bayu. Fani mendongakkan kepala, berusaha menatap sosok di hadapannya. Alangkah terkejutnya dia, karena orang yang menenangkannya barusan adalah sosok yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
“Pak heri!? Bapak ngapain di sini…? Sa-saya…”
“Sudah… kamu lanjutkan saja nangisnya, luapkan perasaan kamu. Biarkan seluruh emosi kamu keluar, terkadang itu jalan yang terbaik untuk menuntaskan sesuatu sesaat sebelum kembali bisa berpikir dengan jernih,” ujar pria tua tersebut sambil terus mengusapkan tangannya di kepala fani yang masih berbalut jilbab.
Bila di kondisi normal, fani pasti sudah marah besar karena sang rektor berani menyentuh tubuhnya yang suci. Namun, perempuan tersebut kini tengah berada dalam kondisi kalut dan malu akibat insiden saat acara tadi, sehingga ia merasa tidak sanggup untuk mengeluarkan emosi lain saat itu.
Ia pun membiarkan saja tangan Pak heri yang kasar mengusap-usap kepalanya. “Maafkan saya, Pak. Saya sudah mengecewakan Bapak dan kampus kita, sehingga Pak agung tadi langsung pergi tanpa…”
“Ssstt… sssttt… sudah, jangan membahas hal itu. Lagipula tadi Pak agung pulang sambil tersenyum kan? Saya juga lihat ekspresi wajah beliau tadi. Itu artinya tidak ada masalah. Sudah kamu jangan mikir yang aneh-aneh,” ujar sang Rektor dengan lembut.
Dalam hati, fani bertanya-tanya bagaimana Pak heri tahu kalau sang pembicara tadi pulang sambil tersenyum? Darimana pula Pak heri tahu kalau dirinya masuk ke ruangan kosong ini untuk menenangkan diri? Eh tunggu dulu… fani pun baru menyadari kalau saat ini mereka hanya berdua saja di ruangan tersebut, dengan posisi pintu yang tertutup. Apabila ada orang yang masuk, mungkin mereka akan berpikiran yang macam-macam.
Tapi fani mencoba menahan pikiran buruknya. Ia masih tenggelam dalam kekalutan karena melakukan kesalahan. Kemarahan bayu benar-benar membuat mentalnya turun drastis.
“Betul. Sudah kamu tenang saja…” fani merasa sedikit tenang mendengar kata-kata tersebut.
Semoga saja apa yang dikatakan Pak heri memang benar, dan bukan kebohongan untuk sekadar menenangkan dirinya.
“Terima kasih, Pak. Sa …” Kata-kata perempuan tersebut terpotong karena Pak heri tiba-tiba menarik kepalanya, lalu menempelkannya di dada sang pria tua yang masih tertutup dengan kemeja lengan panjang.
Fani kini bisa merasakan degupan jantung Pak heri yang menurutnya lebih kencang dari normalnya manusia biasa. Apa artinya ini semua? Perempuan berparas manis tersebut tahu bahwa hal ini adalah kesalahan. Ia dan Pak heri tidak seharusnya berada dalam posisi seperti itu. Ia tahu sang rektor mungkin hanya ingin menenangkan dirinya, tetapi apabila ada yang melihat mereka berdua, tentu orang tersebut akan berpikir yang tidak-tidak.
Apakah itu yang selama ini terjadi sehingga mengakibatkan gosip tidak sedap terkait sang rektor? Fani awalnya memang ingin segera melepaskan pelukan tersebut, tetapi anehnya ia seperti mendapatkan kenyamanan yang berbeda dari Pak heri. Tubuh sang Rektor tua memang tidak sekekar bayu, tetapi wanginya harum khas pria dewasa. Apalagi kedua tangan sang pria masih terus mengusap-usap bagian belakang kepala fani, seperti mengalirkan kehangatan dari atas, yang kemudian menyebar ke seluruh tubuhnya.
Karena itu, perempuan tersebut merasa ada sedikit kehampaan saat Pak heri akhirnya melepas pelukan tersebut.
“Kamu yang tenang ya, tidak akan terjadi apa-apa setelah ini. Apabila ada sesuatu, langsung saja WhatsApp Bapak,” ujar Pak heri. Pria tua tersebut memberikan elusan terakhir yang terasa begitu lembut di pipi fani, sebelum kemudian bergerak menuju pintu keluar dan meninggalkan ruangan tersebut.
Namun tiba-tiba, fani melihat bahwa Pak agung tampak sedikit gelisah saat melihat layar yang menampilkan halaman presentasi selanjutnya. Ia coba memeriksa beberapa halaman lain di layar tersebut dengan clicker, tetapi justru bertambah gelisah.
“Hmm, sepertinya file ini tidak update,” gumam sang pembicara. Meski pelan, tetapi microphone yang ia gunakan masih dapat menangkap kata-kata tersebut dengan jelas, sehingga fani pun bisa mendengarnya.
Jantung fani langsung berdegup kencang. Ia coba mengingat-ingat apakah ia sudah memberikan file terbaru untuk tim multimedia. Ia yakin hal tersebut sudah ia lakukan. Lalu mengapa kesalahan ini masih saja terjadi? Ia sadar betul bahwa Pak agung tentu tidak bisa melanjutkan presentasi dengan file berisi data yang berbeda. Karena selain kontennya berbeda, isi dari presentasi itu juga tidak cocok dengan paparan dan tema acara.
“Tim multimedia, bisa tolong matikan saja presentasi saya,” ujar Pak agung tiba-tiba lewat microphone yang ia genggam.
Tim terkait pun langsung mengganti tayangan presentasi tersebut dengan banner visual yang mereka gunakan sejak awal acara. Pak agung pun melanjutkan sesi presentasi tanpa file presentasi. Tentu saja dia hapal semua data di luar kepala karena dia sendiri yang menyusun presentasinya, tetapi tetap saja harus melakukan improvisasi agar bisa menghadirkan penjelasan yang bisa dipahami oleh para pengunjung tanpa bantuan visual pendukung.
Masih ada waktu sekitar dua puluh menit lagi sebelum sesi presentasi tersebut berakhir, dan fani merasa itu adalah dua puluh menit paling lama dalam hidupnya. Ia berusaha memperhatikan apa ada hal lain yang bisa ia lakukan untuk membantu Pak agung. Bergegas menuju lokasi tim multimedia untuk mengganti file sepertinya bukan piihan yang tepat, karena hal itu mungkin akan mengganggu konsentrasi sang pembicara yang seperti ingin cepat-cepat menyelesaikan sesi.
Ia pun melirik ke arah Pak heri yang masih duduk di kursinya. Tidak ada ekspresi apa-apa dari raut wajah sang Rektor, selain tetap bersemangat mendengarkan penjelasan Pak agung. Meski begitu, fani tetap merasa tidak nyaman. Tak lama kemudian, Pak agung pun mengakhiri sesi yang dibarengi dengan tepuk tangan meriah dari para pengunjung.
Fani merasa beruntung mendengar hal itu, dan berharap sang pembicara akan turun dari panggung dengan kondisi hati yang baik. Begitu sang pembicara kembali ke ruangan khusus di belakang panggung, fani pun langsung menghampirinya.
“Mohon maaf sekali atas ketidaknyamanannya, Pak agung. Sepertinya ada kesalahan soal file presentasi yang diberikan. Ini semua kesalahan saya yang tidak memeriksa kembali ke tim multimedia,” ujar perempuan cantik tersebut meminta maaf.
“Tidak apa-apa, fani. Saya maklum kok, ini biasa terjadi di acara kampus seperti ini,” ujar sang pembicara. “Untung saja saya hapal materi-materi saya sendiri.”
Fani tidak bisa menebak apakah Pak agung bersungguh-sungguh mengatakan itu. Atau pria itu hanya bersikap sopan, tetapi akan mulai berbicara buruk tentang dirinya di kemudian hari kepada Pak heri dan yang lainnya.
“Kalau begitu, saya pamit dulu ya. Mau kembali ke kantor. Sukses acaranya, fani,” ujar Pak agung sambil beranjak pergi.
“Tidak mau makan siang dulu, Pak?”
“Tidak usah. Saya ada janji lain soalnya.”
“Baik, Pak,” jawab fani sambil tersenyum semanis mungkin. Begitu Pak agung hilang dari pandangan, fani langsung menyandarkan tubuhnya di dinding.
Namun baru saja sesaat ia bisa bernapas lega, perempuan tersebut langsung tegang begitu melihat bayu menghampirinya dengan raut wajah yang kesal.
“Apa-apaan sih!? Kamu ini bagaimana!? Mengurus hal sepele begitu saja gak becus!!” Ujar sang pria dengan penuh kemarahan. Ia tampak tidak peduli bahwa di sekitar situ masih ada beberapa panitia lain.
“Lagipula kenapa kamu gak memastikan semuanya berjalan lancar? Dia pasti kecewa karena nggak bisa presentasi dengan maksimal tadi. Duh, gimana nasib bantuan beliau ke kampus kalau kita sudah mengecewakan beliau seperti ini. Kesannya kan kita tidak serius, tidak memberikan fasilitas maksimal. Sekarang beliau makan siang saja ditolak, pasti beliau kecewa berat sama kita! Sadar kamu?! Tahu nggak kalau kesalahan kamu itu bikin acara sempurna kita jadi berantakan? Ini pembicara paling penting dan kamu bikin kacau! Payah banget sih!” fani hanya bisa menunduk menahan malu.
Meski ia sudah menyatakan maaf, tetapi sepertinya tidak ada yang bisa memberhentikan ocehan bayu yang sedang dilanda kemarahan itu.
“Dasar bego!” ujar pria tersebut dengan kasar. “Tolol!”
“Aku izin ke belakang sebentar ya. Kalian makan siang saja dulu. Nanti sebelum sesi berikutnya mulai, aku akan kembali lagi,” ujar perempuan cantik itu dengan nada suara yang tertahan.
Ada getaran yang terdengar. Meski tidak mengatakannya dengan jujur, semua orang tahu bahwa fani tengah berusaha keras untuk menahan air matanya agar tidak keluar di depan orang lain. Perempuan berjilbab itu langsung berjalan menjauhi panggung.
Tanpa sengaja, ia menemukan sebuah ruangan kosong di gedung pertemuan, tempat acara Entrepreneurship Day berlangsung. Ia pun memutuskan untuk masuk ke ruangan tersebut.
Ruangan tersebut sepertinya merupakan sebuah gudang yang berisi beberapa perlengkapan acara. Ada beberapa meja kayu dan kursi plastik di sana. Ruangan tersebut tampak cukup terang karena sinar matahari yang masuk lewat jendela yang sebenarnya tidak terlalu lebar. Fani langsung duduk di atas sebuah meja kayu yang posisinya paling dekat dengan pintu. Karena postur tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, kakinya pun harus menggantung di atas lantai.
Tak lama kemudian, karena merasa tengah sendirian, perempuan cantik itu langsung melepaskan air matanya yang selama ini tertahan. Ia mulai sesunggukan, dengan kedua telapak tangan berusaha menutup wajahnya sendiri. Tangan tersebut tampak harus berkali-kali menyeka air mata yang bercucuran menyusuri pipinya yang halus. Dalam hati, fani menyadari bahwa semua yang terjadi memang merupakan kesalahannya.
Ia pun tahu bahwa kesalahan itu adalah sesuatu yang fatal, dan bisa berdampak buruk pada kampus mereka. Namun, apakah ia pantas diperlakukan seperti itu di depan panitia yang lain. Apalagi yang melakukan itu adalah bayu, pacarnya sendiri, yang seharusnya paling mengerti perasaan dia dibanding orang lain.
Fani membiarkan seluruh emosinya keluar, hingga ia tidak sadar ada seseorang yang turut mengikutinya masuk ke ruangan tersebut. Ia baru menyadari hal itu saat kepalanya dibelai dengan lembut oleh sosok tersebut.
“Sudah, jangan menangis. Kesalahan kamu tidak terlalu fatal kok,” ujar suara orang tersebut berusaha menenangkan fani.
Namun, suara itu bukan milik bayu. Fani mendongakkan kepala, berusaha menatap sosok di hadapannya. Alangkah terkejutnya dia, karena orang yang menenangkannya barusan adalah sosok yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
“Pak heri!? Bapak ngapain di sini…? Sa-saya…”
“Sudah… kamu lanjutkan saja nangisnya, luapkan perasaan kamu. Biarkan seluruh emosi kamu keluar, terkadang itu jalan yang terbaik untuk menuntaskan sesuatu sesaat sebelum kembali bisa berpikir dengan jernih,” ujar pria tua tersebut sambil terus mengusapkan tangannya di kepala fani yang masih berbalut jilbab.
Bila di kondisi normal, fani pasti sudah marah besar karena sang rektor berani menyentuh tubuhnya yang suci. Namun, perempuan tersebut kini tengah berada dalam kondisi kalut dan malu akibat insiden saat acara tadi, sehingga ia merasa tidak sanggup untuk mengeluarkan emosi lain saat itu.
Ia pun membiarkan saja tangan Pak heri yang kasar mengusap-usap kepalanya. “Maafkan saya, Pak. Saya sudah mengecewakan Bapak dan kampus kita, sehingga Pak agung tadi langsung pergi tanpa…”
“Ssstt… sssttt… sudah, jangan membahas hal itu. Lagipula tadi Pak agung pulang sambil tersenyum kan? Saya juga lihat ekspresi wajah beliau tadi. Itu artinya tidak ada masalah. Sudah kamu jangan mikir yang aneh-aneh,” ujar sang Rektor dengan lembut.
Dalam hati, fani bertanya-tanya bagaimana Pak heri tahu kalau sang pembicara tadi pulang sambil tersenyum? Darimana pula Pak heri tahu kalau dirinya masuk ke ruangan kosong ini untuk menenangkan diri? Eh tunggu dulu… fani pun baru menyadari kalau saat ini mereka hanya berdua saja di ruangan tersebut, dengan posisi pintu yang tertutup. Apabila ada orang yang masuk, mungkin mereka akan berpikiran yang macam-macam.
Tapi fani mencoba menahan pikiran buruknya. Ia masih tenggelam dalam kekalutan karena melakukan kesalahan. Kemarahan bayu benar-benar membuat mentalnya turun drastis.
“Betul. Sudah kamu tenang saja…” fani merasa sedikit tenang mendengar kata-kata tersebut.
Semoga saja apa yang dikatakan Pak heri memang benar, dan bukan kebohongan untuk sekadar menenangkan dirinya.
“Terima kasih, Pak. Sa …” Kata-kata perempuan tersebut terpotong karena Pak heri tiba-tiba menarik kepalanya, lalu menempelkannya di dada sang pria tua yang masih tertutup dengan kemeja lengan panjang.
Fani kini bisa merasakan degupan jantung Pak heri yang menurutnya lebih kencang dari normalnya manusia biasa. Apa artinya ini semua? Perempuan berparas manis tersebut tahu bahwa hal ini adalah kesalahan. Ia dan Pak heri tidak seharusnya berada dalam posisi seperti itu. Ia tahu sang rektor mungkin hanya ingin menenangkan dirinya, tetapi apabila ada yang melihat mereka berdua, tentu orang tersebut akan berpikir yang tidak-tidak.
Apakah itu yang selama ini terjadi sehingga mengakibatkan gosip tidak sedap terkait sang rektor? Fani awalnya memang ingin segera melepaskan pelukan tersebut, tetapi anehnya ia seperti mendapatkan kenyamanan yang berbeda dari Pak heri. Tubuh sang Rektor tua memang tidak sekekar bayu, tetapi wanginya harum khas pria dewasa. Apalagi kedua tangan sang pria masih terus mengusap-usap bagian belakang kepala fani, seperti mengalirkan kehangatan dari atas, yang kemudian menyebar ke seluruh tubuhnya.
Karena itu, perempuan tersebut merasa ada sedikit kehampaan saat Pak heri akhirnya melepas pelukan tersebut.
“Kamu yang tenang ya, tidak akan terjadi apa-apa setelah ini. Apabila ada sesuatu, langsung saja WhatsApp Bapak,” ujar Pak heri. Pria tua tersebut memberikan elusan terakhir yang terasa begitu lembut di pipi fani, sebelum kemudian bergerak menuju pintu keluar dan meninggalkan ruangan tersebut.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved