Bab 8 Kill Me Heal Me

by Liana Dee 16:32,Aug 13,2023
"Kau pikir kau akan ke mana?"


Suara itu milik Daniel. Aku terlonjak, sontak berbalik dan hampir menabrak dada dada bidang Daniel. Tersadar aku bahwa dia begitu dekat denganku sampai hampir tidak berjarak.


Dia bergerak maju, menekanku ke pintu dengan mata yang menyala-nyala bagai iblis yang siap membakar musuh-musuhnya. Menakutkan, tapi aku tetap menantang mata birunya.


"Berani sekali kau memperlakukan Luis seperti itu! Dan nyalimu besar juga untuk kabur dari rumah ini!"


Mulutku hendak berkata, tetapi Daniel segera merenggut lenganku dengan kasar, lalu menyeretku yang tak bersedia. Aku meronta, tetap bertahan. Namun, Daniel tak peduli, terus menyeretku dengan kekuatannya yang besar. Pergelangan tanganku terasa sakit. Jika begini terus, bisa putus tanganku. Terpaksa aku pun mengikutinya.


Kami menaiki tangga, dan kulihat Daniel akan membawaku ke kamar tempatku dikurung. Pria kasar itu menghempaskanku masuk ke dalam kamar. Di sana beberapa pengawal telah berkumpul, dan Luis juga ada di sana setelah dibebaskan.


Sepertinya, Luis yang menghubungi Daniel. Sial! Seharusnya kupukul saja Luis sampai pingsan supaya tidak bisa menghubungi Daniel atau para pengawal! Sayangnya, aku kurang cepat dan tidak teliti.


Aku tersungkur di depan mereka, menatap wajah mereka yang terlihat ketakutan, kecuali Luis. Kemudian, aku menoleh saat Daniel berkata:


“Kau lihat, Luis? Perempuan kecil seperti ini—dan kau, pengawalku yang sudah bertahun-tahun lamanya—bisa-bisanya dibodohi seperti ini?"


Aku mengernyit. Apa Luis tidak punya ekspresi? Dia hanya diam menatap Daniel dengan wajah datarnya, mengabaikan keberadaanku sepenuhnya.


Daniel melepas jasnya dan menggulung lengan kemejanya. Jantungku berdetak kencang, gugup. Sikapnya itu seperti akan menghajar seseorang. Apa aku sasaranya?


“Dan kau, Rana,” kata Daniel dengan suara keras. “Ini adalah peringatan untukmu. Kalau kau membodohi salah satu pegawaiku lagi untuk melarikan diri, kau akan membuang satu nyawa karena aku akan langsung membunuh mereka!"


Aku bergidik. Satu nyawa hilang karenaku? Apa dia gila? Mataku bergerak goyah saat melihat Daniel tiba-tiba melayangkan tinjunya pada Luis dengan satu pukulan telak hingga kepala Luis mundur ke belakang. Darah pun menetes dari sudut bibirnya.


Aku terkesiap mundur. Dan makin terhenyak ketika Daniel menghajar Luis lagi dan lagi tanpa perlawanan, hingga lelaki itu jatuh berlutut dengan memar dan bibir berdarah yang mengotori kemejanya.


Tanganku gemetar, rasanya lemas melihat hal itu dengan kepala mataku sendiri.


Tubuh Luis ambruk. Daniel mundur satu langkah, menatap tubuh Luis jatuh berlutut tepat di depan kakinya. Kemudian, dia menoleh dan menatap padaku.


“Kalu lihat itu, Rana? Setiap kau mencoba melarikan diri, aku bersumpah akan ada nyawa yang berkorban untukmu. Mereka semua yang lengah hingga memberi kesempatan padamu untuk lari, akan kubunuh!" ucapnya, kata-kata itu langsung terperangkap dalam otakku.


Tak berhenti sampai di situ, dengan kejam Daniel mengarahkan pukulannya sekali lagi ke arah Luis. Aku berteriak, spontan mencengkram lengan Daniel yang terayun, mencegah Daniel menghabisi pria malang itu.


“Jangan! Hentikan, Daniel! Aku yang salah, aku yang salah! Jangan bunuh dia! Aku yang salah!" jeritku panik.


Matanya yang sedingin es menatapku. Daniel terdiam dan mematung. Pria itu sangat marah padaku. “Jadi kau mengaku salah?” Daniel mundur lagi. Aku merasa lega luar biasa karena lelaki itu tidak jadi melampiaskan kemarahannya kepada Luis yang sudah berlutut tak berdaya di lantai.


“Aku hanya ingin keluar dari tempat ini." Aku akhirnya berteriak frustrasi meluapkan kemarahanku karena Daniel menggunakan ancaman licik untuk mencegahku melarikan diri.


“Kau milikku! Dan tidak ada milikku yang bisa keluar dari sini tanpa seizinku!" Suara Daniel menggema, membuatku semakin geram.


“Atas dasar apa?” tukasku berteriak marah. “Aku bukan milik siapa-siapa, apalagi lelaki jahat sepertimu. Aku cuma mau keluar dari sini. Aku muak terhadapmu, muak atas semua yang ada di sini. Aku cuma mau keluar!"


“Kau mau keluar hah?” balas Daniel, lalu mencengkeram lenganku lagi di tempat yang sama hingga aku merasa lenganku memar.


“Mari kita keluar!”


"LEPASKAN!" Aku memekik dan merontak, mencoba melepaskan cengkraman Daniel yang semakin menguat.


Aku sempat melihat ke belakang. Para pengawal hanya melihatku diseret dengan kejamnya. Tak ada yang berani menolong ketika aku berteriak-teriak dalam seretan Daniel.


Sepertinya kemarahan Daniel adalah hal biasa di rumah ini, dan tidak ada satu pun yang berani melawan laki-laki itu. Mereka tahu konsekwensinya jika turut campur.


Aku dibawa ke ujung lorong oleh Daniel, di mana jendela kaca lantai dua yang mengarah langsung ke balkon. Dengan kasar Daniel mendorongku keluar, lalu mendesakku ke ujung balkon hingga kepalaku mengarah ke bawah. Aku menatap ngeri ke kolam renang yang sangat luas di bawahnya.


Kolam itu tampak sangat bening dan dalam. Aku bergidik. Mungkinkah Daniel akan mendorongku ke bawah? Masalahnya, aku tidak bisa berenang.


Aku tak siap mengelak kala Daniel mendesak tubuhku sampai ke ujung balkon, membuat kepalaku terbungkuk ke bawah, sementara tanganku dikekang oleh Daniel di belakangku.


“Kau lihat itu? Salah sedikit aku melemparmu ke bawah, kepalamu bisa pecah terkena ubin pinggiran kolam." Napas Daniel sedikit terengah oleh kemarahan. “Kau perempuan tak tahu diuntung! Harusnya kau bersyukur atas kebaikan hatiku padamu dan keluargamu, hingga kau masih bisa hidup sampai sekarang. Tahukah kau kalau aku bisa dengan mudah mencabut nyawamu kapanpun aku mau!”


Apa katanya? Memangnya dia Tuhan! Muaknya aku mendengar ucapan angkuhnya itu!


“Tuhan yang berhak mencabut nyawaku, bukan iblis sepertimu!" Aku berteriak, berusaha menantang meski jantungku makin berpacu kencang diliputi ketakutan luar biasa.


Daniel meradang mendengar penentangan dariku. “Dasar perempuan tidak tahu terima kasih!” Lantas, Daniel mendorongku lagi sampai ke ujung. “Ada kata-kata terakhir?”


Aku menoleh, sehingga tatapan mataku yang penuh kebencian bertemu dengan mata dingin Daniel. “Terima kasih karena sudah membebaskanku.”


Kurasakan tubuhku terlempar, melayang di udara, kemudian meluncur ke bawah, ke kolam renang yang dalam itu.


"Setidaknya kalau aku mati, aku sudah mencoba membalaskan dendam kita, papa...," ucapku dalam hati.


Sedetik kemudian, tubuhku terbanting menembus permukaan kolam lalu tenggelam. Aku sengaja tidak berusaha menyelamatkan diri, membiarkan tubuhku makin tenggelam dalam kolam itu.


Pandanganku menggelap, dan lama-lama mataku terpejam. Dan entah berapa banyak air kolam yang tertelan olehku, rasanya napasku sesak, dan paru-paru seakan mau pecah.


"Oh, Tuhan… aku akan mati…."


Ini lebih baik. Setidaknya aku terbebas dari pria iblis itu. Bersamanya dan menatapnya membuatku tersiksa karena dendam dan kebencian yang mengakar. Kuakui, aku bukan lagi wanita baik perangai sebelum kematian orangtuaku.


Dan terlebih lagi, aku sudah tak suci.


Maafkan aku, Papa dan mama. Aku belum menuntaskan balas dendam ini. Selamat tinggal dunia yang kejam. Papa, mama, sampai jumpa di sana. Aku menyusul kalian.


...***...


...Epilog...


"Apa yang telah kuperbuat?"


Daniel bergeming di atas sana, menatap permukaan kolam yang tenang. Dia mengernyit. Kenapa gadis itu tak muncul di permukaan?


"Apa dia sengaja ingin mati?" gumamnya gusar. "Sial!"


Daniel bergegas pergi dari sana secepat kilat. Kakinya yang jenjang berlari menuruni tangga dengan tangkas.


Di dalam kolam, Rana mulai kehabisan napas. Ia merasa bahwa malaikat maut akan menjemputnya saat ini juga. Dan ketika sudah sampai di titik akan kehilangan kesadarannya, terdengar ceburan lain yang tak kalah kerasnya di kolam.


Tak lama kemudian, sebuah lengan yang kuat merengkuhnya. Rana membuka matanya sedikit, tetapi tak dapat melihat dengan jelas siapa sosok di depannya. Entah ini hanya perasaannya saja atau memang ini mimpi, Rana merasakan bibirnya disentuh lembut oleh bibir lain.


Setelah itu, Daniel mengangkat tubuhnya, lalu membawanya ke permukaan. Tubuh lemas Rana dibaringkan di lantai di pinggiran kolam, lalu dia merasakan perutnya ditekan dengan ahli hingga aliran air yang tertelan keluar.


Rana memuntahkan banyak air dan terbatuk-batuk kesakitan. Paru-parunya masih terasa begitu sakit dan nyeri.


Siapakah penolongnya? Apakah dia memang belum diizinkan mati?


Tangan kuat itu terus menekan hingga seluruh cairan terpompa keluar dari perut Rana. Matanya terbuka lagi, tapi pandangannya buram. Kesadarannya semakin hilang, ketika suara itu terdengar tenang di atasnya.


“Panggil Dokter!”


Itu suara Daniel. Apakah Daniel yang menyelamatkannya? Tapi, kenapa lelaki itu melakukan itu?

Unduh App untuk lanjut membaca