Bab 2 Hancur Lebur
by Liana Dee
16:20,Aug 13,2023
"Siapa pria tadi, Pa?"
Pertanyaan itu meluncur dengan mudah dari bibirku, mengubah ekspresi papa yang langsung memucat rona wajahnya. Dahiku mengernyit, menangkap sikap kikuknya yang tiba-tiba.
Papa menyembunyikan sesuatu.
"Dia ... dia rekan bisnis Papa," jawabnya tanpa berani menatapku sambil duduk di sebuah sofa.
"Masih muda keliatannya?" cetusku terus mencari tahu.
"I-iya. Dia pemilik RK Group."
Ada nada keengganan saat papa menjawab. Kenapa begitu? Aku mengangguk bukan karena puas dengan jawabannya, tetapi kurasa cukup menginterograsi papa yang terlihat tertekan. Mungkin aku akan menanyainya lain waktu, atau ... mencari tahu!
Hubungan papa dan pria itu membuatku kepikiran hampir sepanjang waktu. Keesokkannya setelah selesai mengajar, aku menilik profil pemilik RK Group itu di laptop.
Kucari data tentang RK Group di situs berita bisnis, hingga akhirnya muncul nama pemilik perusahaan terbesar di Indonesia yang berpusat di Prancis.
"Itu kan Daniel Adrian bukan?" Esil berseru di sebelahku, membuatku terhenyak seraya mengelus dada.
Aku ingin menegur kelancangannya, tetapi urung karena Esil sepertinya tahu tentang pria itu. "Kok Mbak Esil bisa tahu?" tanyaku heran.
"Ya tahu dong, suamiku sering ngomongin dia dan memuja-muja dia," timpal Esil bersemangat, duduk di tempatnya dengan tangan memegang mug. "Dia itu masih 33 tahun, tapi kaya banget! Dia salah satu bangsawan kaya di Prancis. Ayahnya orang Prancis, ibunya keturunan Jawa-China."
Menarik. Aku memutar tubuhku sepenuhnya ke hadapan Esil, mendengarkan lebih banyak lagi. "Masa?" timpalku memancing, tanpa sengaja melirik kepulan asap dari kopi di mug.
"Wuih! Dia itu benar-benar lajang idaman para wanita!" Esil semakin berapi-api bercerita. "Katanya, dia sering jadi incaran beberapa pengusaha karena dia selalu mengambil alih perusahaan mereka. Beberapa kali mendapat ancaman pembunuhan lho." Setelah panjang lebar bercerita, Esil menyeruput kopinya.
Pantas saja pria itu dikawal. Mereka dibayar demi keselamatannya. Aki bertaruh, Daniel Adrian itu pasti pria lemah!
Sudah cukup cari tahunya. Ternyata dia pecundang. Aku kembali memutar kursiku dan menutup laptop sambil tersenyum mencemooh. Pria itu bukan ancaman terbesar bagi perusahaan papa. Mungkin kedatangan pria itu ke rumah hanya bersilaturahmi sesama pebisnis.
Mengambil alih perusahaan papa? Kurasa tidak akan semudah itu.
Itu hanya argumenku sementara!
Keadaan kelurgaku baik-baik saja selama 6 bulan ini. Mama tetap suka shopping, arisan, dan pergi keluarga negri tiap 3 kali dalam sebulan. Akan tetapi, setiap bulan aku melihat perubahan raut wajah papa yang semakin lama makin lesu. Senyumnya luntur perlahan. Dan aku memperhatikannya saat kami makan malam bersama—karena di waktu itu saja kami bisa bercengkrama.
Mama sibuk mengomentari perjalanannya ke Seoul dan beberapa barang yang dibelinya tanpa memperhatikan bagaimana kasutnya wajah papa hari ini.
Aku juga malas mendengar ocehannya, dan mulai membuka ucapan dengan bertanya pada papa. "Pa, bagaimana kondisi perusahaan?" Aku sengaja memilih pertanyaan itu karena aku tahu bahwa yang paling membuat papa kalut pasti soal perusahaan.
Sudah kuduga ekspresi kaget yang terlihat di wajah tua papa. Dia terlihat bingung dan gugup tanpa berani menatapku. Lalu, dia menjawab, "Tentu saja baik-baik saja. Tidak ada masalah apa pun. Jangan khawatir."
Melihat senyum dipaksakan papa justru membuatku semakin cemas. Kuartikan semua ucapan papa dengan terbalik. Perusahaannya memang mengalami masalah. Apa aku selidiki saja?
"Iya, Rana, kamu jangan cemas," timpal mama, mataku spontan meliriknya. "Perusahaan papamu sangat besar dan sukses. Mana mungkin bangkrut, 'kan?"
Perusahaan papa tak sebesar yang mama kira, aku tahu itu. Sewaktu-waktu pasti mengalami masalah, apalagi perekonomian di negara ini tidak stabil.
"Benar, Sayang." Giliran papa yang menenangkanku. "Meskipun dunia bisnis sedang kurang baik, tapi perusahaan kita tidak semudah itu bangkrut."
Siapa yang mau papa yakini? Aku atau rasa rendah diri papa?
Untuk membuat suasana makan malam ini tetap tentram, aku tak membicarakan hal itu lagi. Aku sudah dapat jawabannya. Kalaupun tahu bahwa faktanya begitu, aku bisa apa? Aku tidak mengerti soal bisnis.
Tapi, akhirnya aku menyesali keputusanku. Seandainya aku memilih jurusan bisnis saat kuliah, mungkin aku bisa membantu papa. Pada awal bulan Desember, kejayaan perusahaan papa runtuh.
Saat aku pulang mengajar. Aku tercengang kala turun dari mobil, memperhatikan beberapa orang mengeluarkan barang-barang dari rumah kami.
"Jangan ambil, saya mohon!"
Jeritan mama buatku terhenyak dan bergegas menghampiri. Aku melihat mama memohon di kaki papa yang tengah berdiri tertunduk lesu. Seorang pria tengah membawa tas bermerek yang dibeli mama 2 minggu lalu di Seoul.
Pria itu persis melewatiku. Aku ternganga. Ada apa ini?
Lalu, aku hampiri kedua orangtuaku. Mama terus mendesak sambil menangis menanyakan siapa mereka dan kenapa mereka membawa semua barang-barang di rumah ini. Namun, papa tetap bergeming, hingga akulah yang datang untuk memaksanya bicara.
"Iya, Pa, tolong jawab! Kenapa mereka membawa semua barang-barang kita?"
Papa mengangkat kepalanya perlahan, menatapku nanar. Hanya dua kata yang terucap: "kita bangkrut." Setelah, itu papa berjalan memasuki rumah kami yang telah kosong dengan langkah gontai.
Mama menangis semakin meraung-raung. Aku menghampirinya untuk menenangkannya sambil menatap punggung lesu papa yang semakin menjauh.
Sudah kuduga bahwa keadaan kami tidak baik-baik saja. Semua barang dan rumah telah disita untuk membayar utang miliaran rupiah. Kami diberi waktu sehari untuk membereskan barang dan pindah di sebuah rumah reot dan berdebu.
Bersyukur kami punya rumah itu, tapi mama sepertinya sulit untuk beradaptasi. Mama sejak kecil terbiasa hidup mewah, dan papa memperlakukannya layaknya ratu. Mama tidak tahan dengan debu, tidak bisa membersihkan rumah, apalagi memasak.
Natal dan tahun baru kami sangat suram. Mama semakin kurus dan sakit-sakitan, papa frustrasi karena menganggur. Kami masih bisa makan berkat pekerjaanku sebagai pengajar.
"Kenapa hidup kita seperti ini?" keluh mama meratapi telur dadar gosong buatannya. "Menu kita biasanya steak wagyu, berlibur di luar negri tiap akhir tahun. Tapi ini..."
"Cukup, Ma!" bentak papa, tiba-tiba memukul meja. "Kita sudah bangkrut! Lagipula, kenapa Mama dulu tidak belajar masak?"
"Kok Papa salahin Mama? Kenapa dulu Papa nggak becus urus perusahaan?" balas mama, tak pernah aku melihat mereka adu mulut begini.
"Enak aja kamu bilang! Emang kamu tahu apa? Kamu cuma bisa boros, foya-foya...."
Aku tak mau mendengar pertengkaran mereka lagi. Sambil menutup kedua telinga aku pergi dari meja makan dengan perasaan kecewa dan marah. Pertengkaran mereka tak berhenti bahkan begitu aku sampai di kamar.
Terakhir yang kudengar, papa meninggalkan rumah, sementara mama menangis di meja makan. Papa tidak pulang semalaman. Saat menjelang pagi, aku menemukan papa tertidur di depan teras dalam keadaan mabuk.
Keadaan semakin parah. Mama yang sudah tidak tahan dengan keadaan ini stress, tidak mau makan, hingga akhirnya sakit. Papa juga sering mabuk-mabukan. Pertengkaran terus berulang.
Mama pun sakit. Pertengahan Januari menjadi hari terakhir mereka bertengkar. Mama memiliki riwayat penyakit jantung. Sudah dirawat, tapi penyakit mama semakin parah. Akhirnya, pada akhir bulan mama tiada.
Papa menangis di pemakaman mama, menyesali semua perbuatannya karena telah membentak wanita yang dicintainya. Dia menyalahkan diri sendiri atas pengingkaran janjinya yang ingin selalu melindungi mama.
"Pa, kita pulang, yuk," ajakku.
Papa hanya berdiam, matanya nanar menatap nisan yang mengukir nama istrinya.
"Udah siang nih. Papa nggak lapar?" bujukku lagi, iba.
"Kamu pulang duluan. Nanti Papa nyusul," jawab papa lirih.
Aku menghela napas panjang. Seharusnya, aku tak menuruti ucapannya. Karena, papa bukan menyusulku ke rumah, melainkan menyusul mama untuk meninggalkanku selamanya.
Malam hari sehabis hujan, aku menunggu di dekat jendela sambil menatap keluar, mengharapkan sosok papa muncul. Ponselku berdering, dari nomor papa.
Aneh? Kenapa papa menelepon? Perasaanku jadi cemas. Buru-buru kujawab telepon itu.
"Halo, Papa."
"Halo." Terdengar suara pria yang bukan milik papa. Aku mengernyit. "Ini anaknya yang punya nomor ini?"
"Ya, ini siapa?"
"Papa Anda kecelakaan. Dia ditabrak oleh mobil. Dan sekarang mau dibawa ke rumah sakit."
Firasat tak pernah salah, apa yang kucemaskan terjadi. Setelah menutup telepon. Aku bergegas ke rumah sakit dengan air mata terus mengalir. Aku terus bergumam dalam hati: "Jangan tinggalin aku, Pa. Jangan tinggalin aku seperti mama meninggalkan aku."
Pertanyaan itu meluncur dengan mudah dari bibirku, mengubah ekspresi papa yang langsung memucat rona wajahnya. Dahiku mengernyit, menangkap sikap kikuknya yang tiba-tiba.
Papa menyembunyikan sesuatu.
"Dia ... dia rekan bisnis Papa," jawabnya tanpa berani menatapku sambil duduk di sebuah sofa.
"Masih muda keliatannya?" cetusku terus mencari tahu.
"I-iya. Dia pemilik RK Group."
Ada nada keengganan saat papa menjawab. Kenapa begitu? Aku mengangguk bukan karena puas dengan jawabannya, tetapi kurasa cukup menginterograsi papa yang terlihat tertekan. Mungkin aku akan menanyainya lain waktu, atau ... mencari tahu!
Hubungan papa dan pria itu membuatku kepikiran hampir sepanjang waktu. Keesokkannya setelah selesai mengajar, aku menilik profil pemilik RK Group itu di laptop.
Kucari data tentang RK Group di situs berita bisnis, hingga akhirnya muncul nama pemilik perusahaan terbesar di Indonesia yang berpusat di Prancis.
"Itu kan Daniel Adrian bukan?" Esil berseru di sebelahku, membuatku terhenyak seraya mengelus dada.
Aku ingin menegur kelancangannya, tetapi urung karena Esil sepertinya tahu tentang pria itu. "Kok Mbak Esil bisa tahu?" tanyaku heran.
"Ya tahu dong, suamiku sering ngomongin dia dan memuja-muja dia," timpal Esil bersemangat, duduk di tempatnya dengan tangan memegang mug. "Dia itu masih 33 tahun, tapi kaya banget! Dia salah satu bangsawan kaya di Prancis. Ayahnya orang Prancis, ibunya keturunan Jawa-China."
Menarik. Aku memutar tubuhku sepenuhnya ke hadapan Esil, mendengarkan lebih banyak lagi. "Masa?" timpalku memancing, tanpa sengaja melirik kepulan asap dari kopi di mug.
"Wuih! Dia itu benar-benar lajang idaman para wanita!" Esil semakin berapi-api bercerita. "Katanya, dia sering jadi incaran beberapa pengusaha karena dia selalu mengambil alih perusahaan mereka. Beberapa kali mendapat ancaman pembunuhan lho." Setelah panjang lebar bercerita, Esil menyeruput kopinya.
Pantas saja pria itu dikawal. Mereka dibayar demi keselamatannya. Aki bertaruh, Daniel Adrian itu pasti pria lemah!
Sudah cukup cari tahunya. Ternyata dia pecundang. Aku kembali memutar kursiku dan menutup laptop sambil tersenyum mencemooh. Pria itu bukan ancaman terbesar bagi perusahaan papa. Mungkin kedatangan pria itu ke rumah hanya bersilaturahmi sesama pebisnis.
Mengambil alih perusahaan papa? Kurasa tidak akan semudah itu.
Itu hanya argumenku sementara!
Keadaan kelurgaku baik-baik saja selama 6 bulan ini. Mama tetap suka shopping, arisan, dan pergi keluarga negri tiap 3 kali dalam sebulan. Akan tetapi, setiap bulan aku melihat perubahan raut wajah papa yang semakin lama makin lesu. Senyumnya luntur perlahan. Dan aku memperhatikannya saat kami makan malam bersama—karena di waktu itu saja kami bisa bercengkrama.
Mama sibuk mengomentari perjalanannya ke Seoul dan beberapa barang yang dibelinya tanpa memperhatikan bagaimana kasutnya wajah papa hari ini.
Aku juga malas mendengar ocehannya, dan mulai membuka ucapan dengan bertanya pada papa. "Pa, bagaimana kondisi perusahaan?" Aku sengaja memilih pertanyaan itu karena aku tahu bahwa yang paling membuat papa kalut pasti soal perusahaan.
Sudah kuduga ekspresi kaget yang terlihat di wajah tua papa. Dia terlihat bingung dan gugup tanpa berani menatapku. Lalu, dia menjawab, "Tentu saja baik-baik saja. Tidak ada masalah apa pun. Jangan khawatir."
Melihat senyum dipaksakan papa justru membuatku semakin cemas. Kuartikan semua ucapan papa dengan terbalik. Perusahaannya memang mengalami masalah. Apa aku selidiki saja?
"Iya, Rana, kamu jangan cemas," timpal mama, mataku spontan meliriknya. "Perusahaan papamu sangat besar dan sukses. Mana mungkin bangkrut, 'kan?"
Perusahaan papa tak sebesar yang mama kira, aku tahu itu. Sewaktu-waktu pasti mengalami masalah, apalagi perekonomian di negara ini tidak stabil.
"Benar, Sayang." Giliran papa yang menenangkanku. "Meskipun dunia bisnis sedang kurang baik, tapi perusahaan kita tidak semudah itu bangkrut."
Siapa yang mau papa yakini? Aku atau rasa rendah diri papa?
Untuk membuat suasana makan malam ini tetap tentram, aku tak membicarakan hal itu lagi. Aku sudah dapat jawabannya. Kalaupun tahu bahwa faktanya begitu, aku bisa apa? Aku tidak mengerti soal bisnis.
Tapi, akhirnya aku menyesali keputusanku. Seandainya aku memilih jurusan bisnis saat kuliah, mungkin aku bisa membantu papa. Pada awal bulan Desember, kejayaan perusahaan papa runtuh.
Saat aku pulang mengajar. Aku tercengang kala turun dari mobil, memperhatikan beberapa orang mengeluarkan barang-barang dari rumah kami.
"Jangan ambil, saya mohon!"
Jeritan mama buatku terhenyak dan bergegas menghampiri. Aku melihat mama memohon di kaki papa yang tengah berdiri tertunduk lesu. Seorang pria tengah membawa tas bermerek yang dibeli mama 2 minggu lalu di Seoul.
Pria itu persis melewatiku. Aku ternganga. Ada apa ini?
Lalu, aku hampiri kedua orangtuaku. Mama terus mendesak sambil menangis menanyakan siapa mereka dan kenapa mereka membawa semua barang-barang di rumah ini. Namun, papa tetap bergeming, hingga akulah yang datang untuk memaksanya bicara.
"Iya, Pa, tolong jawab! Kenapa mereka membawa semua barang-barang kita?"
Papa mengangkat kepalanya perlahan, menatapku nanar. Hanya dua kata yang terucap: "kita bangkrut." Setelah, itu papa berjalan memasuki rumah kami yang telah kosong dengan langkah gontai.
Mama menangis semakin meraung-raung. Aku menghampirinya untuk menenangkannya sambil menatap punggung lesu papa yang semakin menjauh.
Sudah kuduga bahwa keadaan kami tidak baik-baik saja. Semua barang dan rumah telah disita untuk membayar utang miliaran rupiah. Kami diberi waktu sehari untuk membereskan barang dan pindah di sebuah rumah reot dan berdebu.
Bersyukur kami punya rumah itu, tapi mama sepertinya sulit untuk beradaptasi. Mama sejak kecil terbiasa hidup mewah, dan papa memperlakukannya layaknya ratu. Mama tidak tahan dengan debu, tidak bisa membersihkan rumah, apalagi memasak.
Natal dan tahun baru kami sangat suram. Mama semakin kurus dan sakit-sakitan, papa frustrasi karena menganggur. Kami masih bisa makan berkat pekerjaanku sebagai pengajar.
"Kenapa hidup kita seperti ini?" keluh mama meratapi telur dadar gosong buatannya. "Menu kita biasanya steak wagyu, berlibur di luar negri tiap akhir tahun. Tapi ini..."
"Cukup, Ma!" bentak papa, tiba-tiba memukul meja. "Kita sudah bangkrut! Lagipula, kenapa Mama dulu tidak belajar masak?"
"Kok Papa salahin Mama? Kenapa dulu Papa nggak becus urus perusahaan?" balas mama, tak pernah aku melihat mereka adu mulut begini.
"Enak aja kamu bilang! Emang kamu tahu apa? Kamu cuma bisa boros, foya-foya...."
Aku tak mau mendengar pertengkaran mereka lagi. Sambil menutup kedua telinga aku pergi dari meja makan dengan perasaan kecewa dan marah. Pertengkaran mereka tak berhenti bahkan begitu aku sampai di kamar.
Terakhir yang kudengar, papa meninggalkan rumah, sementara mama menangis di meja makan. Papa tidak pulang semalaman. Saat menjelang pagi, aku menemukan papa tertidur di depan teras dalam keadaan mabuk.
Keadaan semakin parah. Mama yang sudah tidak tahan dengan keadaan ini stress, tidak mau makan, hingga akhirnya sakit. Papa juga sering mabuk-mabukan. Pertengkaran terus berulang.
Mama pun sakit. Pertengahan Januari menjadi hari terakhir mereka bertengkar. Mama memiliki riwayat penyakit jantung. Sudah dirawat, tapi penyakit mama semakin parah. Akhirnya, pada akhir bulan mama tiada.
Papa menangis di pemakaman mama, menyesali semua perbuatannya karena telah membentak wanita yang dicintainya. Dia menyalahkan diri sendiri atas pengingkaran janjinya yang ingin selalu melindungi mama.
"Pa, kita pulang, yuk," ajakku.
Papa hanya berdiam, matanya nanar menatap nisan yang mengukir nama istrinya.
"Udah siang nih. Papa nggak lapar?" bujukku lagi, iba.
"Kamu pulang duluan. Nanti Papa nyusul," jawab papa lirih.
Aku menghela napas panjang. Seharusnya, aku tak menuruti ucapannya. Karena, papa bukan menyusulku ke rumah, melainkan menyusul mama untuk meninggalkanku selamanya.
Malam hari sehabis hujan, aku menunggu di dekat jendela sambil menatap keluar, mengharapkan sosok papa muncul. Ponselku berdering, dari nomor papa.
Aneh? Kenapa papa menelepon? Perasaanku jadi cemas. Buru-buru kujawab telepon itu.
"Halo, Papa."
"Halo." Terdengar suara pria yang bukan milik papa. Aku mengernyit. "Ini anaknya yang punya nomor ini?"
"Ya, ini siapa?"
"Papa Anda kecelakaan. Dia ditabrak oleh mobil. Dan sekarang mau dibawa ke rumah sakit."
Firasat tak pernah salah, apa yang kucemaskan terjadi. Setelah menutup telepon. Aku bergegas ke rumah sakit dengan air mata terus mengalir. Aku terus bergumam dalam hati: "Jangan tinggalin aku, Pa. Jangan tinggalin aku seperti mama meninggalkan aku."
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved