Bab 4 Beraninya dia Menyentuhku!

by Liana Dee 16:27,Aug 13,2023
Aku mendelik. Pria ini ... berani-beraninya mencium bibirku?


Menjijikkan! Segera kuhempaskan sekuat tenaga tubuh pria itu, sebuah tamparan keras kulayangkan tepat di pipinya.


Semua orang terkejut. Berani sekali wanita rendahan sepertiku menampar pria berkuasa seperti Daniel. Aku tak peduli dengan yang mereka pikirkan, dan aku siap menerima konsekuensinya.


Seorang pengawal berbadan besar maju, kemudian menghempaskanku. Tak cukup hanya itu, pipiku ditampar oleh tangan besarnya yang kasar.


Menyakitkan, sampai air mataku keluar. Namun, aku menatap menantang pria itu, sehingga dia murka dan hendak mengayunkan kembali tangannya ke pipiku.


"Cukup!" seru Daniel, menghentikan ayunan tangan pengawalnya yang mengarah padaku.


Daniel beranjak dari kursinya. Aku mendengar rumor lain bahwa Daniel terkenal bengis. Dia memiliki sabuk hitam dari berbagai jenis ilmu bela diri. Tanpa pengawal pun, dia bisa mengalahkan orang-orang yang hendak membunuhnya.


Mungkin dia ingin membunuhku sendiri dengan tangannya. Entah sesadis apa dia melakukannya padaku.


Namun, pertama-tama dia menghampiri pengawalnya. Kepalan tangan Daniel mengarah pada wajah si pengawal hingga tubuhnya tumbang. Sekuat itukah dia? Bulu kudukku sampai merinding melihatnya.


"Sudah kubilang, jangan menyakitinya!" pekik Daniel geram, memukul wajah pengawalnya yang sudah tak berdaya.


Jerit memohon ampun terucap di bibir pria berbadan kekar itu. Puas melampiaskannya, Daniel menjauhi pria itu, lalu mengarahkan tatapan dingin padaku.


Tentu saja aku langsung tersentak dengan mata mendelik. Tekadku untuk mati ciut, tubuhku langsung gemetaran saat pria itu mendekatiku.


Aku tidak ingin mati sekarang.


Namun, alih-alih meminta ampun, aku bergeming seraya membuang muka. Dari ujung mataku, terlihat Daniel jongkok di hadapanku. Jemarinya menyentuh daguku, lalu menghelanya kasar hingga tatapan kami terpaksa bertemu.


"Beraninya gadis buruk sepertimu menamparku," gumamnya dingin, keberanianku sontak goyah. Daniel mendekatkan wajahnya ke telingaku, lalu berbisik tajam. "Kau harus dihukum!"


Mataku mendelik, bergidik ngeri. Bisikan itu seolah bisikan dari iblis yang sedang meminta nyawa seorang gadis malang.


Daniel beranjak, memberi isyarat pada pengawal yang satunya untuk menyeretku pergi.


"LEPASKAN! LEPASKAN KATAKU!" Jeritku meronta.


Semua orang menatapku miris dan saling berbisik. Mereka pasti menerka-nerka akan diapakan aku nanti oleh iblis itu.


"Ikat tangannya, dan tutup matanya!" perintah Daniel saat kami berada di depan pintu masuk bar.


Salah satu pengawal mengeluarkan tali dan sebuah kain. Daniel pergi saat kedua pria itu mengikat kedua tanganku dan menutup mataku.


"LEPASKAN! KALIAN MAU LAKUKAN APA PADAKU? DASAR PRIA JAH*NAM!"


"Diam kau!" hardik salah satu pengawal Daniel. "Dasar jal*ng! Kalau kau mau tetap hidup, turuti saja perintah bos!"


"Aku tidak yakin itu," cemooh pengawal yang satunya. "Dia sudah kurang ajar pada bos kita. Mungkin dia akan jadi makanan harimau lapar di rumahnya."


Si*lan! Mereka tertawa mengejek. Aku langsung bergidik ngeri mendengarkan dan membayangkan bahwa kematianku akan sesadis itu.


Tapi, bukan berarti aku akan menyesal telah melawannya. Aku masih berusaha meronta agar tidak dibawa oleh mereka meski sia-sia. Salah satu pengawal menggendongku di pundaknya bagai membawa sekarung beras.


Mereka menghempaskan tubuhku begitu saja, memasukkannya ke dalam mobil. Aku bagai orang buta yang linglung, menerka-terka dengan panik akan dibawa ke mana aku sekarang.


Deru mesin mobil terdengar, itu artinya mobil akan membawaku pergi dari sini. Aku meronta panik. Kakiku yang bebas menendang-tendang pintu mobil.


"BUKA! BUKA PINTUNYA! LEPASKAN SAYA!"


Sepasang tangan meraih tubuhku, lalu menyandarkanku pada punggung kursi mobil dengan kasar. Tercium aroma parfum khas pria yang tak asing. Aku langsung mengenali siapa yang memakainya.


"Daniel Adrian?" gumamku pelan.


"Ya, ini aku. Hebat juga kau bisa mengenaliku tanpa melihatku."


Dia memuji atau mengejekku? Dasar kurang ajar! Tak sudi kedua tangannya menyentuh bahuku, aku pun meronta.


"Menjauh! Kau menjijikkan!"


Namun, aku tak berdaya dengan terikat. Tangan kekar Daniel merebahkan tubuhku dengan kencang.


"Nyalimu besar juga melawanku, Nona Rana Darmaji," kata Daniel mengeja namaku dengan bibir kotornya.


Wajahku membeku dengan mulut ternganga sedikit, itu memberikan kesempatan bagi Daniel untuk melum*at bibirku. Ketercenganganku langsung lenyap, aku meronta, tetapi ciuman Daniel makin beringas hingga bibirku terluka.


Daniel melepaskan ciumannya, aku terengah-engah dalam perasaan geram.


"Jangan begitu, Sayang," ucapnya sensual, rasanya ingin muntah mendengarnya. "Lebih baik kau menurut, daripada aku melakukan hal yang lebih kejam lagi."


Daniel mengancamku seraya menyapu darah yang mengalir di bibirku. Ada jeda beberapa saat, aku tidak tahu apa yang sedang dilakukannya. Namun kemudian, kurasakan sebuah sentuhan di pahaku. Spontan aku menggerakkan kakiku.


Kurang ajar, Daniel tak berhenti meski kakiku terus digerakkan. Bahkan, tangannya berani menelusuri pahaku hingga menyusup ke dalam rok hitam ketatku.


"LEPASKAN! JANGAN SENTUH, DASAR BAJ*NGAN!" makiku.


Daniel membungkam bibirku dengan kecupan kasar, luka yang tadi terasa begitu perih. Penderitaanku semakin jadi. Daniel menggodaku dengan menggesek-gesekkan jemarinya di celana dalamku. Perasaanku bercampur aduk, tanpa sadar aku mendes*h.


"Kau menyukainya?" Daniel mencemooh. "Mau kita teruskan di rumah?"


Pria sial*n! Kalau ada kesempatan akan kubunuh kau!


Senyum sinisku terkembang, lalu aku meludah meski tidak tahu apa itu mengenai wajahnya. "Dalam mimpi!"


Kedua tanganku digenggam erat, rasanya seakan semua darahku tersumbat di seluruh telapak tanganku. "Jadi, ini pilihanmu? Jangan menyesal jika aku melakukan hal yang lebih buruk dari ini!"


Tubuhku menegang. "Hal yang lebih buruk"? Apa itu berarti kematian?


...***...


...Epilog...


Langit mendung, angin berembus kencang di tengah-tengah sebuah pemakaman. Para pelayat meninggalkan sebuah makam, hanya tinggal seorang gadis yang tengah meratap di samping makam itu. Dia bersimpuh, mengelus nisan putih yang bertuliskan nama ayahnya.


Dua orang pria berdiri dari kejauhan. Itu adalah Daniel dan sekretarisnya. Di bawah payung hitam yang dipegang oleh sekretarisnya, Daniel menyaksikan adegan sedih itu.


"Tuan, kenapa tidak Anda dekati saja nona Rana?" Sang sekretaris memberi saran.


Daniel tak mengatakan apa pun. Mendekati gadis itu tidak akan memberikan dampak apa pun pada Rana. Yang dibutuhkan gadis itu adalah "kesendirian".


"Ayo, kita ke mobil!"


Sejak Daniel duduk, mobil tak kunjung bergerak. Daniel tak memberi perintah, meskipun sekretarisnya bertanya.


Sudah hampir satu jam Rana di samping makam ayahnya. Daniel menegak kala melihat Rana berjalan perlahan dengan keluar dari area makam.


"Ikuti dia perlahan!" perintah Daniel.


Mobil mengikuti Rana sampai halte karena pikirnya gadis itu akan pulang naik bis. Tapi, hati Rana sedang terguncang. Rana terus melangkah sambil termenung, berjalan tanpa arah di trotoar.


Daniel mengernyit heran. Dia berada di dalam mobil sambil terus memperhatikan. Melihatnya seperti itu membuatnya geram. Dia terus menahannya sambil mengepalkan jemarinya.


"Dasar gadis itu..."


Tak tahan lagi, Daniel keluar dari mobil, hendak mengejarnya. Namun, langkahnya memelan, jarak mereka semakin jauh. Daniel mengikutinya tanpa berniat mendekati.


Rana terus berjalan, hingga langkahnya gontai dan akhirnya tubuhnya tumbang. Rana jatuh terduduk di atas aspal, spontan Daniel hendak menghampiri. Namun, seorang wanita paruh baya mendekati Rana dan membantunya berdiri.


"Kamu tidak apa-apa, Rana?" tanya wanita itu.


Rana tersenyum lemah. "Nggak apa-apa, Bu Sri."


"Ibu antar pulang, ya?"


Wanita itu memapah Rana pergi. Dari percakapan mereka, Daniel menyimpulkan bahwa mereka saling mengenal. Danie akhirnya berbalik kembali ke mobilnya, yang ternyata sudah terparkir dekat dengannya.


"Tuan, bapak Dandy sudah menunggu di ruang rapat," kata sekretarisnya, begitu Daniel masuk ke dalam mobil.


"Bobby, awasi terus gerak-gerik Rana. Laporkan semua yang dilakukannya secara diam-diam. Dan ... beri penjagaan di sekitarnya," kata Daniel, tatapannya dingin.


Selama hampir sebulan anak buah Daniel mengawasi Rana, hingga suatu ketika dia mendapatkan laporan bahwa Rana pindah kerja ke bar atas bantuan seorang bartender.


Daniel yang sedang melakukan perjalanan bisnis ke London meminta anak buahnya untuk mencari tahu. Dan pada hari Rana menjalankan rencananya, Daniel kembali ke Jakarta.


Setelah mendapat instruksi dari Rana, Choki menyelundupkan gelas itu, lalu ke meja bar untuk mempersiapkan mejanya. Pada pukul 10:30, seorang pria berbadan kekar menghampirinya. Pria itu menyuruhnya untuk ikut ke tempat parkir. Sesampainya di sana, tangan kekar pengawal itu menyergap tangannya.


"Apa-apaan ini? Lepaskan?" ronta Choki.


"Diam! Atau kuhajar kau! Ikut dengan saya!" ancam pria itu, tangan kirinya diacungkan hendak memukul Choki.


Dalam keadaan terancam Choki terpaksa menurut. Dia ikut dengan pria itu tanpa perlawanan ke sebuah mobil mewah yang terparkir tak jauh dari tempatnya.


Choki dipersilakan masuk. Betapa terkejutnya dia saat melihat sosok Daniel di dalam mobil. Rona wajahnya memucat. Apa hari ini ia akan mati?


Daniel menoleh. "Masuklah!" perintahnya dingin pada Choki.


Choki masuk ke dalam mobil dengan gemetaran. Aura intimidasi Daniel yang kuat membuatnya duduk menjauh darinya.


"Langsung saja. Apa yang Rana rencanakan?" tanya Daniel, Choki kembali terkejut dengan mata terbelalak.


"A ... apa maksud Anda?" kilah Choki gugup.


Daniel setengah berputar menghadapnya. "Saya tahu kamu yang membantu Rana bekerja di bar dengan identitas palsu."


Choki tak dapat berkelit lagi. Ia tertunduk karena tak sanggup menatap Daniel. Pria itu bisa membunuhnya tanpa menyentuh. Tapi, ia bimbang. Apa dia mesti mengkhianati Rana demi menyelamatkan nyawanya?


"Saya akan mengampunimu dan Rana, jika kau mau menceritakan semuanya," kata Daniel, membujuk dengan membuat perjanjian yang meyakinkan.


Cukup lama bagi Choki untuk berpikir. Tapi, jika pria itu juga mau mengampuni Rana, maka dia pikir tidak apa jika memberitahukan rencana Rana. Toh, Rana juga akan selamat.


Choki akhirnya menceritakan semua rencana Rana. Daniel mendengarkan sambil berpikir sampai Choki selesai menguraikannya.


"Jadi, Tuan. Anda berjanji akan mengampuni kami, 'kan? Tolong, Tuan. Kasihanilah kami. Orangtua Rana sudah meninggal, hidupnya hancur," mohon Choki sambil menangkupkan kedua tangannya.


Entah Daniel mendengarnya, dia termenung sambil berpikir cukup lama. Choki memperhatikan dengan heran dan penasaran pada apa yang sedang dipikirkan.


"Lakukan," gumam Daniel.


Choki tertegun. "A ... apa, Tuan?"


"Lakukan apa yang direncanakannya."

Unduh App untuk lanjut membaca