Bab 7 Mencari celah Kabur

by Liana Dee 16:31,Aug 13,2023
Apa yang terjadi padaku?


Semalam aku baik-baik saja, sampai aku...


Ah, minuman yang diberikan Luis semalam! Aku jadi seperti itu tak lama semenjak aku menenggaknya. Rasa muakku memuncak ketika menyadari ada sesuatu yang dicampurkan pada minuman itu dengan mata menyala-nyala.


Dikuasai oleh kemarahan yang campur aduk menjadi satu, aku menantang tatapan Daniel, mencoba tidak mempedulikan tubuhnya yang telanj*ng.


“Aku selalu mendengar kau jahat dan licik. Tapi, aku sungguh tak menyangka kau serendah itu, menggunakan obat untuk memaksa perempuan yang jijik kepadamu supaya mau melayanimu!” kataku tajam.


Sepertinya kata-kataku mengena di hati Daniel. Terlihat rahang lelaki itu mengeras, marah. Dengan kasar, Daniel menyambar jubah sutra hitamnya dan mengenakannya. Lalu, dengan gerakan tiba-tiba dia naik ke atas ranjang dan mencengkeram rahangku dengan sebelah tangannya.


Cengkeraman itu terasa keras dan menyakitkan sampai aku mengernyit. Tapi, aku menahan diri untuk tidak mengaduh, aku tidak mau memberikan kepuasan kepada lelaki itu!


“Apa pun yang kau katakan, satu hal yang pasti, kau sudah menjadi milikku! Dan seperti yang kubilang, segala sesuatu yang menjadi milik Daniel Adrian tidak akan pernah bisa lepas, kecuali aku melepaskanmu, atau aku membunuhmu!”


Pria itu melepaskan cengkeramannya di rahangku dengan kasar, hingga membuat tubuhku terdorong lagi ke ranjang. Daniel melangkah keluar kamar dengan langkah tegas sambil membanting pintu di belakangnya.


Kupalingkan wajahku saat dia pergi, dan terhenyak mendengar suara keras pintu dibanting. Aku termangu di ranjang, lalu kilasan rasa sakit di antara paha menyadarkanku. Tanpa sengaja aku menoleh pada noda darah yang tampak mencolok di seprai putih itu, seakan tengah menertawakanku.


Ironis, keperawananku terenggut oleh bajingan berhati iblis yang ingin aku bunuh. Tubuhku gemetar, dipenuhi oleh rasa campur aduk yang menyesakkan ketika aku mencoba berdiri.


Noda merah di ranjang itu sangat menggangguku, hingga dengan kasar aku merenggut seprai itu dan membantingnya ke lantai. Napasku terengah-engah, dan entah kenapa kemudian tubuhku ambruk ke lantai, menangis penuh emosi.


"Kenapa jadi begini? Papa, mama, maafkan aku," isakku.


Ingatanku melayang kepada kedua orangtuaku, kepada dendamku yang belum terbalaskan, dan kepada nasibku yang membuatku terperangkap di sini dalam cengkeraman musuh besarku.


Kini aku terpuruk di sini, dalam cengkeraman Daniel. Dan yang sangat menyakitkan, aku tidak berdaya menghadapi pria itu.


Namun, tiba-tiba aku mengusap kasar air mata yang menyedihkan ini. Tidak! Sudah cukup aku menangis, aku harus melawan dengan segala cara!


Terhuyung aku beranjak, lalu melangkah pelan ke kamar mandi. Semua jejak yang ditinggalkan Daniel harus kuhapus dari tubuhku yang sudah tak suci lagi. Aku pun mandi untuk membersihkan aroma parfum Daniel yang tertinggal.


Daniel boleh saja menodaiku, tapi bukan berarti aku miliknya. Aku wanita bebas, wanita bebas yang bertekad untuk menghancurkannya. Tunggu saja, Daniel. Aku pasti punya kesempatan untuk keluar dari penjaramu ini!


Air yang membasahi tubuhku terasa menyegarkan, membuat pikiranku menjadi semangat untuk membuat rencana kabur. Namun, aku perlu mencari tahu dulu celah di ruangan ini yang bisa aku manfaatkan. Nanti saja aku periksa.


Di dalam kamar mandi terdapat lemari kecil yang berisi handuk dan piyama mandi. Aku mengernyih jijik melihat isi lemari itu. Semua handuk dan piyama berwana merah muda! Fix! Kamar ini memang disediakan untuk wanita mainan Daniel.


"Pilihannya cuma ini. Ya udah, pakai aja." Aku meraih piyama merah muda di rak lemari bagian kanan.


Setelahnya aku keluar dari kamar mandi, mulai bingung mau pakai baju apa. Di lantai dekat ranjang tanktop dan hotpants milikku berserakan. Kuambil baju-baju itu, tapi tiba-tiba aku meringis karena bau menyengat dari baju itu.


Baunya sama seperti tubuhnya setelah bercampur dengan Daniel semalam. Aroma parfumku menyatu dengan aroma parfum Daniel. Aku tidak bisa pakai baju ini. Lantas, kulirik lemari pakaian yang ada di ruangan ini.


"Mungkin ada baju yang bisa kupakai?" gumamku sambil membuka lemari pakaian ini.


Eng ing eng! Ini bukan sekadar lemari pakaian, tapi mirip ruangan ganti baju, di mana pakaian, sepatu, dan aksesoris wanita lengkap di sini. Aku terpana sekejab, kaki melangkah masuk sebab tergoda. Mulailah aku menjelajah ruangan ini, melihat-lihat model pakaian yang ada di dalam ruangan.


Rata-rata pakaian di sini modelnya gaun dan rok dengan desain terbaru. Aku terpukau pada blus krem dan rok hitam pendek. Terlihat lucu dan cantik. Aku membawanya ke depan cermin panjang setinggi badanku. Lalu, kupaskan baju itu di tubuhku.


"Kayaknya ini pas sama aku. Apa aku pakai aja?" gumamku menimbang-nimbang.


Daripada telanj*ng, aku kenakan baju itu. Dan memang pas sekali bajunya dengan tubuh langsingku. Warnanya cocok dengan kulit putihku. Roknya juga tidak kependekkan—pas di lutut. Kesan imut terpancar jika aku mengenakannya.


Setelah itu, aku berjalan keluar dan menutup pintu lemari. Waktunya untuk mencari jalan keluar untuk kabur. Namun, setelah aku berkeliling, hasilnya malah nihil.


Aku hanya duduk di kursi putih ini dengan putus asa sebab setelah sekian lama berkeliling ruangan, memeriksa setiap sudut di kamar mandi dan jendela, tetap benar-benar tidak ada celah yang bisa digunakan sebagai jalan untuk melarikan diri.


Putus asa, aku duduk sambil memeluk lututku. Kalau begini, bagaimana caranya aku bisa keluar dari rumah ini? Sedangkan keluar dari kamar ini saja aku tidak mampu. Aku menghela napas panjang.


Mataku melirik ke pintu kamar. Pintu yang terkunci itu satu-satunya jalan.


Akan tetapi, yang bisa keluar masuk dari pintu itu hanya Daniel, dan juga seorang lelaki bertampang dingin bernama Luis, yang selalu ada di sebelah tuannya setiap ada kesempatan. Lelaki bertampang dingin itu sepertinya ditugaskan untuk mengantarkan makanan untukku.


Pikiranku berputar. "Memang rasanya tidak mungkin. Jika tidak dicoba, aku tidak akan tahu," gumamku seraya beranjak.


Aku tersenyum seakan mendapat ide yang sangat cemerlang. Cuma ini satu-satunya cara, dan aku mulai menyusun rencana.


Luis akan datang untung mengantarkan makanan. Seperti sudah diatur, pintu kamar itu terbuka, dan aku langsung terduduk tegak waspada, menantinya masuk ke dalam.


Sosok Luis muncul di sana membawa nampan makanan dengan wajahnya datar tanpa ekspresi seperti biasa. Dan aku langsung sengaja memasang wajah kesakitan.


“Aku minta tolong...” Aku merintih sesakit mungkin.


Luis mengernyit dan mendekat. “Ada apa, Nona?’


“Aku … aku mau muntah … tolong aku." Aku meremas perutku, berusaha berakting semeyakinkan mungkin.


Ya! Sepertinya Luis tidak curiga. Lelaki itu mendekat dan menatapku.


“Kau mau dibantu ke kamar mandi?” tanyanya menawarkan.


Aku mengangguk lemah. Dengan tangan kuatnya, Luis membantuku berdiri dan memapah tubuhku yang lunglai ke kamar mandi. Ketika Luis membuka pintu kamar mandi, aku berakting seolah-olah muntahnya akan keluar, hingga Luis langsung bergegas membawaku ke kamar mandi. Di wastafel, aku menundukkan kepala seolah-olah akan muntah hebat.


“Handuk … tolong…” gumamku lemah, melirik ke arah lemari handuk yang ada di ujung ruangan kamar mandi.


Masih tanpa curiga, Luis melangkah ke arah lemari handuk. Saat itulah dengan secepat kilat aku melompat dan berlari ke arah pintu keluar kamar mandi.


Luis menyadari kalau dia ditipu ketika melihat kelebatan langkahku yang cepat. Dia berusaha mengejar tapi terlambat, aku yang melompat gesit sudah keluar dari kamar mandi dan membanting pintunya dari luar, lalu menguncinya rapat-rapat.


Dengan napas terengah karena pacuan adrenalin, aku menyandarkan tubuhku di pintu kamar mandi, memejamkan mata, tak peduli akan gedoran-gedoran marah Luis dari dalam,


“Anda tidak akan bisa melarikan diri,” ancam Luis berteriak dari dalam. “Tuan Daniel pasti akan menemukanmu. Dan aku bersumpah, kalau Anda sampai membuat tuan Daniel marah, Anda akan menyesalinya!"


Teriakan-teriakan Luis makin keras dibarengi dengan gedoran-gedorannya di pintu. Kata-katanya sempat membuat hatiku kecut. Tapi, aku bergegas menggelengkan kepala.


Daniel memang lelaki kejam, tetapi aku tidak boleh takut. Aku harus berani menantang Daniel, menunjukkan pada lelaki itu bahwa aku bukanlah perempuan yang bisa ditundukkan dengan begitu mudahnya.


Dengan langkah hati-hati, aku membuka pintu putih yang tak terkunci itu. Mataku mengintip sedikit keluar, khawatir kalau-kalau ada penjaga yang menjaga di pintu.


Tapi, rupanya Daniel beranggapan bahwa aku terlalu lemah, sehingga tidak perlu menempatkan penjaga di pintu. Lorong itu kosong. Aku melangkah keluar dengan hati-hati. Suara gedoran-gedoran pintu kamar mandi dan teriakan Luis masih terdengar ketika aku keluar. Tapi, ketika aku menutup pintu putih besar itu, suara itu lenyap dan menjadi senyap. Rupanya ruangan putih tempatku dikurung itu kedap suara.


Aku melangkah lagi melewati lorong itu. Tidak ada pintu lain di lorong itu, arahnya langsung ke tangga spiral yang besar menuju ke pintu depan. Dengan hati-hati, aku mengintip dari ujung tangga ke arah bawah.


Kosong?


Ke manakah para penjaga yang aku lihat kemarin?


Pelan dan waspada, aku melangkah menuruni tangga. Akhirnya, aku sudah berhasil menyeberangi ruangan dan memegang handel pintu besar itu, ketika suara dingin yang mulai aku kenal terdengar tepat di belakangku.


“Kau pikir kau akan ke mana?”


...***...


...Epilog...


Semenjak melihat Rana dibawa oleh orang-orangnya Daniel dengan mata kepalanya sendiri, Choki menjadi resah. Apa Rana selamat? Daniel berjanji untuk tidak melakukan apa pun padanya, 'kan?


Choki sampai tak bisa tidur. Pengkhianatan yang dilakukannya menderanya dalam rasa bersalah. Akhirnya, Choki berangkat dari rumah menuju rumah Rana. Sesampainya di sana, tidak ada jejak bahwa Rana berada di rumah.


Kemudian, dia menghubungi nomor Rana sambil duduk di atas motornya. Ia mendecak, tidak dijawab. "Apa aku cari ke klub malam?" gumamnya.


Choki melajukan motornya ke tempat kerjanya. Sekarang baru pagi, tentu belum ada siapa pun, kecuali beberapa staf bersih-bersih. Sepanjang perjalanan, Choki sudah menerka-nerka bahwa Rana pasti tidak ke sana.


Dan firasatnya memang benar. Di sana hanya ada petugas bersih-bersih dan beberapa pelayan wanita, termasuk Rena.


Rena menghampiri begitu melihatnya. Lalu, dia menyapa. "Choki, ngapain di sini pagi-pagi?"


"Nyari Naomi," sahut Choki.


"Nomnom?" Lalu, Rena tergelak seraya menutup bibirnya dengan jemari lentiknya yang sudah diwarnai merah. "Dia sudah berbuat kesalahan. Kamu pikir, apa yang bakal terjadi padanya? Klok!" Rena menggerakkan tangannya ke arah leher.


Choki mendelik gusar. "Mana mungkin! Tuan Daniel kan udah jan..." Tiba-tiba ia membungkam mulutnya sebab hampir keceplosan mengatakan hal yang tidak seharusnya diketahui oleh orang lain.


Rena menaikkan alis, penasaran. Dia mendekat pelan seakan mendesak Choki. "Jan? 'Jan' apa? Apa hubungan kamu sama tuan Daniel?"


Choki sempat panik, tapi ia segera memulihkan diri. Choki dan Daniel memiliki perjanjian rahasia, dan Rena adalah biang gosip penyebar rumor. Tentu saja, ia harus menyimpan rahasia itu rapat-rapat darinya.


"Kepo lo! Udah, gue mau cabut. Kalau ada kabar soal Naomi, bilang gue!" kata Choki seraya melangkah pergi dari hadapan Rena yang tengah kesal karena mati penasaran.

Unduh App untuk lanjut membaca