Bab 1 Siapa Pria itu?
by Liana Dee
16:19,Aug 13,2023
Hidupku terbiasa seperti seorang putri. Sejak kecil tidak pernah merasa susah, bergelimang harta, dan dilayani oleh banyak pelayan.
Ayahku adalah pengusaha yang memiliki banyak pabrik, kebun sawit yang luas dan tak pernah habis.
Aku tidak tahu banyak soal bisnisnya, ataupun keuntungan perusahaan ayahku. Yang aku dan ibuku tahu adalah hidup kami nyaman tanpa memikirkan berapa banyak uang yang kami dapat.
Meski kaya, aku bukan gadis sombong. Ayahku tak pernah mengaturku untuk menjadi pewaris perusahaan meski aku anak tunggalnya. Dia bilang, biar suamiku kelak yang menjalankan bisnis keluarga ini.
Makanya, aku bisa hidup sesuai cita-citaku, yaitu menjadi guru TK. Aku sangat menyukai anak-anak.
Sudah hampir 3 tahun aku mengajar di sana. Umurku kini 25 tahun, dan masih singel. Kuakui, aku jomblo akut yang tak pernah mengenal cinta. Bahkan, aku tidak punya pacar pertama, tapi bukan berarti tidak pernah mengalami cinta pertama pada seseorang.
Sekolah TK hanya sampai pukul 10, aku sudah bisa pulang setelah mengajar. Begitu bel berbunyi, anak-anak memberikan salam, berbaris satu per satu, lalu mencium tanganku sebelum meninggalkan kelas.
Setelah kelasnya kosong, barang-barangku di meja dibereskan. Seorang anak perempuan mendatangiku. Senyum bak malaikat kecil menyapaku lembut, membuatku terenyuh.
"Ada apa, Adel?" tanyaku, mengelus rambut hitam lurusnya yang sebahu.
"Bu guru, temanin Adel dulu, yuk! Adel belum dijemput sama mama." Suara imutnya menggemaskan.
Dan aku menjawab lembut. "Oke. Yuk, ikut Ibu ke ruang guru."
Kusodorkan kelima jariku untuk digenggam oleh tangan mungilnya yang halus. Senyum riangnya terkembang, menularkan senyuman di bibirnya.
Hmm ... aku sangat menyayangi anak-anak.
Mimpiku adalah menjadi seorang ibu muda dan memiliki seorang anak, lalu suami yang sangat menyayangi kami seperti ayahku. Namun, aku terlalu sibuk untuk mencari seorang pria. Aku juga mencintai pekerjaanku. Makanya, aku hanya jadi ibu asuh sementara anak-anak di sekolah ini.
Sambil menunggu jemputan, aku membelikan es krim untuk Adel. Beberapa guru yang duduk di ruang guru mengajaknya mengobrol dan bercengkrama, aku pun begitu.
"Adel," kata seorang guru yang mejanya bersebelahan denganku. "Enak, ya, punya guru seperti bu Rana?"
Celetukan itu sontak membuatku tersipu sambil menaikkan kacamataku dengan ujung jari, sementara Adel mengangguk polos.
"Iya, Bu Esil. Bu Rana juga cantik," jawab Adel sesuai dengan pikirannya yang masih murni.
"Tapi sayang, dia belum punya pacar," timpal bu Esil, pipiku makin merah mendengarnya. "Del, kamu punya om yang belum menikah nggak? Kenalin sama ibu Rana dong."
Esi bukanlah wanita yang usil, dia memang cukup dekat denganku. Dia sering menggodaku untuk segera menikah, bahkan sampai mengenalkanku pada beberapa pria. Sayangnya, tak ada satu pun yang sreg olehku.
Adel akan menjawabnya, tetapi suara pintu ruangan diketuk. Aku dan beberapa orang di sana menoleh ke arah itu. Adel langsung melompat riang dan berlari ke arah pria yang tengah berdiri di ambang pintu.
"Om Bima!" serunya, lalu menghamburkan diri ke dalam pelukan pria bertubuh tinggi itu.
Esil tak kuasa menahan bibirnya untuk menggodaku sambil berbisik. "Wuuu. Dari pakaiannya, dia orang kaya. Boleh juga tuh, Ran. Wajahnya lumayan ganteng lagi."
Mata Esil berbinar melihat pria berjas hitam itu. Siapa yang tidak kepincut? Apalagi dari senyumannya pria itu cukup ramah. Mungkin Esil akan menggaetnya jika dia belum menikah.
Namun, aku tidak berpikir demikian seperti Esil.
Aku beranjak sambil menenteng tas kuning milik Adel. Tas itu diberikan pada omnya Adel, begitu sampai di depannya.
"Ini tasnya Adel," kataku.
Pria itu takjub sekejab menatapku, lalu mengambil tas itu dariku sambil tersenyum kikuk. "Oh, terima kasih."
"Terima kasih, Bu Rana," kata Adel kemudian, tangan kecilnya melambaikan tangan ke arahku. "Dah dah, Ibu Rana."
Aku membalasnya dengan lambaian tangan dan senyum ramahku seperti biasa. Pria yang bernama Bima itu masih menatapku sejenak sebelum berbalik, Esil menjadikan bahan candaan untukku.
Entah sejak kapan Esil berdiri di sampingku, tahu-tahu dia menyenggol lenganku sambil berkata, "Kayaknya, omnya Adel suka sama kamu deh!"
Bola mataku berputar gusar. "Bu Esil, apa aku secantik itu, sampai semua orang tertarik sama aku? Dia paling cuma merasa segan aja sama aku, soalnya dia telat jemput Adel."
Esil terus mengejarku dan mencecar argumennya. Aku tak mendengarkan, meraih tasku, lalu segera pergi dari tempat ini. Ocehannya membuatku ingin cepat-cepat pulang.
Tapi ... memang benar. Tidak ada seorang pria pun yang mudah membuatku terkesan. Mungkin hanya pria yang kutemui di rumah hari ini.
Menjelang waktu makan siang. Aku tertegun melihat 2 buah mobil mewah terparkir di area dalam rumahku. Aku yakin, itu tamu papa.
Langsung kucecar pelayan yang membukakanku pintu dengan pertanyaan: "Mama mana, Bi?"
"Pergi arisan ke rumah bu Gina," jawab si pelayan bertubuh tambun itu dengan tetap tertunduk sedikit.
"Kalau papa?"
"Di ruang kerja, sedang menerima tamu, Nona."
Benar kan kataku, pasti ada tamu. Tapi, memangnya ada berapa banyak tamu yang datang, sampai 2 buah mobil terparkir di sana?
Pertemuan dengan papa kutunda dulu, aku bermaksud beranjak ke kamarku yang ada di lantai atas. Namun, aku bergeming saat pintu ruang kerja papa terbuka. Dua orang pria berjas hitam keluar dari ruangan, lalu berdiri di samping kanan-kiri pintu. Sepertinya, mereka menunggu seseorang keluar dari ruangan.
Tak lama kemudian, seorang pria berjas biru dongker keluar. Tak kuasa aku untuk menoleh ke arah lain saat wajahnya muncul. Tuhan memahat dirinya dengan sempurna.
Tubuhnya tinggi, dada bidangnya lebar dan kekar, wajah tampannya hasil perkawinan beda negara dengan hidung mancung dan garis rahang tegas. Aku tergoda dengan dagu terbelahnya. Sulit rasanya untuk bergedip. Begitu mudahnya bagiku untuk terpesona padanya.
Tiba-tiba, mata biru tajamnya melirik ke arahku. Sontak aku terhenyak dan melirik ke arah lain. Tapi, alangkah tak sopannya aku jika aku hanya diam saja. Senyumku terkembang kikuk, menunduk sedikit padanya sebagai sapaan.
Namun, pria itu tak membalasku, malah berjalan melewatiku seakan keberadaanku tidak dianggap. Aku sempat melihat ekspresi dinginnya yang kaku, meninggalkan kesan congkak yang bikin geram.
Mungkin dia memang seangkuh itu. Kekayaan yang dimilikinya sampai bisa menyewa tiga orang untuk sekadar mengawalnya. Luntur sudah keterpanaanku padanya. Sikapnya padaku hari ini sudah kucap buruk di mataku.
Segera terlupakan pria itu, aku beranjak ke ruang kerja ayahku untuk menemuinya. Pintu ruangan kubuka dengan riang sambil tersenyum manis, lalu aku berseru memanggilnya.
"Papa..."
Sekejab, senyumku memudar saat melihat papa tengah duduk sambil termenung muram. Begitu melihatku muncul, senyumnya langsung terkembang, tetapi itu hanya pura-pura.
Aku sempat melihat keresahan yang sedang dialaminya.
"Kamu udah pulang, Sayang? Bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini? Lancar? Apa anak-anak membuat masalah lagi?" cecar papa, seakan ingin mengalihkanku.
Sayangnya, usahanya gagal. Aku tidak sanggup untuk tersenyum, maupun menimpalinya. Aku menatapnya lamat-lamat sambil mencari tahu apa yang salah pada dirinya. Papa seperti itu setelah menemui pria tadi.
***
...Epilog...
Tuan Darmaji bergeming di atas sebuah kertas sambil memegang sebuah pena. Daniel menunggu di hadapannya dengan tangan terlipat di dada.
Tatapan dinginnya mencemooh pria itu, lalu berkata, "Kalau tidak sanggup, batalkan saja."
"Tidak!" Tuan Darmaji langsung menahan kertas yang akan direnggut oleh Daniel. "Saya akan tanda tangan."
Tuan Darmaji menandatangani surat perjanjian dengan tergesa-gesa dan terdesak. Dia tidak berpikir panjang atas yang dilakukannya.
Setelah selesai, giliran Daniel yang menandatangani surat itu dengan disaksikan oleh pengacara dan pengawal Daniel.
"Anda harus menepati perjanjian kita. Anda akan mendapatkan salinan perjanjian segera," kata Daniel seraya mengacungkan kertas itu.
Tuan Darmaji mengangguk tak rela. Daniel beranjak dari kursinya, lalu keluar dari ruangan ini tanpa diantar.
Seorang pengawal membukakannya pintu, berjalan keluar duluan, lalu berdiri di samping pintu.
Daniel keluar dari ruangan setelahnya. Tanpa sengaja matanya menatap pada sosok perempuan yang muncul di hadapannya dengan jarak yang cukup jauh.
Gadis berkacamata dengan gaya pakaian kurang menarik. Namun, wajahnya membuatnya tenggelam dalam lamunan sesaat.
Gadis itu menunduk memberi salam, tapi Daniel berpura-pura tak melihatnya, acuh tak acuh berjalan melewatinya.
Sikap kaku dan dinginnya dipertahankan sampai ia berada di dalam mobil. Daniel kembali termenung saat duduk di dalam mobil, kemudian bertanya pada pengacaranya.
"Siapa gadis itu?"
"Dia putri tunggal pak Darmaji," jawab si pengacara agak tertegun.
"Oh, dia yang akan digadaikan oleh ayahnya?" Daniel tersenyum misterius. "Cari tahu tentang dia, dan kirim orang untuk menjaganya. Aku tidak mau milikku rusak."
Sebenarnya, apa yang dibicarakan oleh papa dan pria itu?
Ayahku adalah pengusaha yang memiliki banyak pabrik, kebun sawit yang luas dan tak pernah habis.
Aku tidak tahu banyak soal bisnisnya, ataupun keuntungan perusahaan ayahku. Yang aku dan ibuku tahu adalah hidup kami nyaman tanpa memikirkan berapa banyak uang yang kami dapat.
Meski kaya, aku bukan gadis sombong. Ayahku tak pernah mengaturku untuk menjadi pewaris perusahaan meski aku anak tunggalnya. Dia bilang, biar suamiku kelak yang menjalankan bisnis keluarga ini.
Makanya, aku bisa hidup sesuai cita-citaku, yaitu menjadi guru TK. Aku sangat menyukai anak-anak.
Sudah hampir 3 tahun aku mengajar di sana. Umurku kini 25 tahun, dan masih singel. Kuakui, aku jomblo akut yang tak pernah mengenal cinta. Bahkan, aku tidak punya pacar pertama, tapi bukan berarti tidak pernah mengalami cinta pertama pada seseorang.
Sekolah TK hanya sampai pukul 10, aku sudah bisa pulang setelah mengajar. Begitu bel berbunyi, anak-anak memberikan salam, berbaris satu per satu, lalu mencium tanganku sebelum meninggalkan kelas.
Setelah kelasnya kosong, barang-barangku di meja dibereskan. Seorang anak perempuan mendatangiku. Senyum bak malaikat kecil menyapaku lembut, membuatku terenyuh.
"Ada apa, Adel?" tanyaku, mengelus rambut hitam lurusnya yang sebahu.
"Bu guru, temanin Adel dulu, yuk! Adel belum dijemput sama mama." Suara imutnya menggemaskan.
Dan aku menjawab lembut. "Oke. Yuk, ikut Ibu ke ruang guru."
Kusodorkan kelima jariku untuk digenggam oleh tangan mungilnya yang halus. Senyum riangnya terkembang, menularkan senyuman di bibirnya.
Hmm ... aku sangat menyayangi anak-anak.
Mimpiku adalah menjadi seorang ibu muda dan memiliki seorang anak, lalu suami yang sangat menyayangi kami seperti ayahku. Namun, aku terlalu sibuk untuk mencari seorang pria. Aku juga mencintai pekerjaanku. Makanya, aku hanya jadi ibu asuh sementara anak-anak di sekolah ini.
Sambil menunggu jemputan, aku membelikan es krim untuk Adel. Beberapa guru yang duduk di ruang guru mengajaknya mengobrol dan bercengkrama, aku pun begitu.
"Adel," kata seorang guru yang mejanya bersebelahan denganku. "Enak, ya, punya guru seperti bu Rana?"
Celetukan itu sontak membuatku tersipu sambil menaikkan kacamataku dengan ujung jari, sementara Adel mengangguk polos.
"Iya, Bu Esil. Bu Rana juga cantik," jawab Adel sesuai dengan pikirannya yang masih murni.
"Tapi sayang, dia belum punya pacar," timpal bu Esil, pipiku makin merah mendengarnya. "Del, kamu punya om yang belum menikah nggak? Kenalin sama ibu Rana dong."
Esi bukanlah wanita yang usil, dia memang cukup dekat denganku. Dia sering menggodaku untuk segera menikah, bahkan sampai mengenalkanku pada beberapa pria. Sayangnya, tak ada satu pun yang sreg olehku.
Adel akan menjawabnya, tetapi suara pintu ruangan diketuk. Aku dan beberapa orang di sana menoleh ke arah itu. Adel langsung melompat riang dan berlari ke arah pria yang tengah berdiri di ambang pintu.
"Om Bima!" serunya, lalu menghamburkan diri ke dalam pelukan pria bertubuh tinggi itu.
Esil tak kuasa menahan bibirnya untuk menggodaku sambil berbisik. "Wuuu. Dari pakaiannya, dia orang kaya. Boleh juga tuh, Ran. Wajahnya lumayan ganteng lagi."
Mata Esil berbinar melihat pria berjas hitam itu. Siapa yang tidak kepincut? Apalagi dari senyumannya pria itu cukup ramah. Mungkin Esil akan menggaetnya jika dia belum menikah.
Namun, aku tidak berpikir demikian seperti Esil.
Aku beranjak sambil menenteng tas kuning milik Adel. Tas itu diberikan pada omnya Adel, begitu sampai di depannya.
"Ini tasnya Adel," kataku.
Pria itu takjub sekejab menatapku, lalu mengambil tas itu dariku sambil tersenyum kikuk. "Oh, terima kasih."
"Terima kasih, Bu Rana," kata Adel kemudian, tangan kecilnya melambaikan tangan ke arahku. "Dah dah, Ibu Rana."
Aku membalasnya dengan lambaian tangan dan senyum ramahku seperti biasa. Pria yang bernama Bima itu masih menatapku sejenak sebelum berbalik, Esil menjadikan bahan candaan untukku.
Entah sejak kapan Esil berdiri di sampingku, tahu-tahu dia menyenggol lenganku sambil berkata, "Kayaknya, omnya Adel suka sama kamu deh!"
Bola mataku berputar gusar. "Bu Esil, apa aku secantik itu, sampai semua orang tertarik sama aku? Dia paling cuma merasa segan aja sama aku, soalnya dia telat jemput Adel."
Esil terus mengejarku dan mencecar argumennya. Aku tak mendengarkan, meraih tasku, lalu segera pergi dari tempat ini. Ocehannya membuatku ingin cepat-cepat pulang.
Tapi ... memang benar. Tidak ada seorang pria pun yang mudah membuatku terkesan. Mungkin hanya pria yang kutemui di rumah hari ini.
Menjelang waktu makan siang. Aku tertegun melihat 2 buah mobil mewah terparkir di area dalam rumahku. Aku yakin, itu tamu papa.
Langsung kucecar pelayan yang membukakanku pintu dengan pertanyaan: "Mama mana, Bi?"
"Pergi arisan ke rumah bu Gina," jawab si pelayan bertubuh tambun itu dengan tetap tertunduk sedikit.
"Kalau papa?"
"Di ruang kerja, sedang menerima tamu, Nona."
Benar kan kataku, pasti ada tamu. Tapi, memangnya ada berapa banyak tamu yang datang, sampai 2 buah mobil terparkir di sana?
Pertemuan dengan papa kutunda dulu, aku bermaksud beranjak ke kamarku yang ada di lantai atas. Namun, aku bergeming saat pintu ruang kerja papa terbuka. Dua orang pria berjas hitam keluar dari ruangan, lalu berdiri di samping kanan-kiri pintu. Sepertinya, mereka menunggu seseorang keluar dari ruangan.
Tak lama kemudian, seorang pria berjas biru dongker keluar. Tak kuasa aku untuk menoleh ke arah lain saat wajahnya muncul. Tuhan memahat dirinya dengan sempurna.
Tubuhnya tinggi, dada bidangnya lebar dan kekar, wajah tampannya hasil perkawinan beda negara dengan hidung mancung dan garis rahang tegas. Aku tergoda dengan dagu terbelahnya. Sulit rasanya untuk bergedip. Begitu mudahnya bagiku untuk terpesona padanya.
Tiba-tiba, mata biru tajamnya melirik ke arahku. Sontak aku terhenyak dan melirik ke arah lain. Tapi, alangkah tak sopannya aku jika aku hanya diam saja. Senyumku terkembang kikuk, menunduk sedikit padanya sebagai sapaan.
Namun, pria itu tak membalasku, malah berjalan melewatiku seakan keberadaanku tidak dianggap. Aku sempat melihat ekspresi dinginnya yang kaku, meninggalkan kesan congkak yang bikin geram.
Mungkin dia memang seangkuh itu. Kekayaan yang dimilikinya sampai bisa menyewa tiga orang untuk sekadar mengawalnya. Luntur sudah keterpanaanku padanya. Sikapnya padaku hari ini sudah kucap buruk di mataku.
Segera terlupakan pria itu, aku beranjak ke ruang kerja ayahku untuk menemuinya. Pintu ruangan kubuka dengan riang sambil tersenyum manis, lalu aku berseru memanggilnya.
"Papa..."
Sekejab, senyumku memudar saat melihat papa tengah duduk sambil termenung muram. Begitu melihatku muncul, senyumnya langsung terkembang, tetapi itu hanya pura-pura.
Aku sempat melihat keresahan yang sedang dialaminya.
"Kamu udah pulang, Sayang? Bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini? Lancar? Apa anak-anak membuat masalah lagi?" cecar papa, seakan ingin mengalihkanku.
Sayangnya, usahanya gagal. Aku tidak sanggup untuk tersenyum, maupun menimpalinya. Aku menatapnya lamat-lamat sambil mencari tahu apa yang salah pada dirinya. Papa seperti itu setelah menemui pria tadi.
***
...Epilog...
Tuan Darmaji bergeming di atas sebuah kertas sambil memegang sebuah pena. Daniel menunggu di hadapannya dengan tangan terlipat di dada.
Tatapan dinginnya mencemooh pria itu, lalu berkata, "Kalau tidak sanggup, batalkan saja."
"Tidak!" Tuan Darmaji langsung menahan kertas yang akan direnggut oleh Daniel. "Saya akan tanda tangan."
Tuan Darmaji menandatangani surat perjanjian dengan tergesa-gesa dan terdesak. Dia tidak berpikir panjang atas yang dilakukannya.
Setelah selesai, giliran Daniel yang menandatangani surat itu dengan disaksikan oleh pengacara dan pengawal Daniel.
"Anda harus menepati perjanjian kita. Anda akan mendapatkan salinan perjanjian segera," kata Daniel seraya mengacungkan kertas itu.
Tuan Darmaji mengangguk tak rela. Daniel beranjak dari kursinya, lalu keluar dari ruangan ini tanpa diantar.
Seorang pengawal membukakannya pintu, berjalan keluar duluan, lalu berdiri di samping pintu.
Daniel keluar dari ruangan setelahnya. Tanpa sengaja matanya menatap pada sosok perempuan yang muncul di hadapannya dengan jarak yang cukup jauh.
Gadis berkacamata dengan gaya pakaian kurang menarik. Namun, wajahnya membuatnya tenggelam dalam lamunan sesaat.
Gadis itu menunduk memberi salam, tapi Daniel berpura-pura tak melihatnya, acuh tak acuh berjalan melewatinya.
Sikap kaku dan dinginnya dipertahankan sampai ia berada di dalam mobil. Daniel kembali termenung saat duduk di dalam mobil, kemudian bertanya pada pengacaranya.
"Siapa gadis itu?"
"Dia putri tunggal pak Darmaji," jawab si pengacara agak tertegun.
"Oh, dia yang akan digadaikan oleh ayahnya?" Daniel tersenyum misterius. "Cari tahu tentang dia, dan kirim orang untuk menjaganya. Aku tidak mau milikku rusak."
Sebenarnya, apa yang dibicarakan oleh papa dan pria itu?
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved