Bab 3 balas dendam
by Liana Dee
16:26,Aug 13,2023
Daniel Adrian.
Nama yang papa sebut sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Aku mengetahuinya dari seorang pria yang membantu papa sesaat terjadi kecelakaan.
Namun sayang, aku terlambat melihatnya untuk terakhir kali. Sebab saat aku sampai di rumah sakit, papa sudah meninggal.
Aku menangis sejadi-jadinya, sendirian di lorong rumah sakit. Orang-orang hanya menatapku, tak bisa melakukan apa pun, kecuali mengasihaniku.
Seorang perawat membawaku ruang mayat. Tubuh papa yang kaku sudah dibersihkan terbaring di ruangan ini. Kakiku melangkah pelan dengan ekspresi tertekan, air mata tergenang. Kutatap wajah papaku, mengulurkan tangan ke arah pipinya. Terasa dingin.
Papa memang sudah tiada.
Barulah tangisku pecah, menunduk dan berdiri di samping ranjang. Lalu, aku menjauh untuk menghindari air mataku jatuh di anggota tubuh papa.
Aku berjalan keluar, menangis sepuasnya. Sendirian.
Ya, sendiri.
Semenjak papa bangkrut, anggota keluarga seakan membuang kami. Tidak ada yang membantu keluargaku, padahal kami sering membantu mereka. Bahkan untuk datang ke pemakaman papa dan mama saja mereka tak sudi. Mereka menjauh dari kami.
Hanya orang-orang di sekitar yang peduli. Para tetangga, bapak dan ibu RT berada di sampingku yang sedang lemah ini. Mereka bahkan menyuruhku untuk tidak ikut mengantarkan jenazah papa ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Namun, aku tetap bersikeras ke sana meski aku sendiri tak yakin sanggup melihat papa dikuburkan. Saat peti papa diturunkan ke dalam tanah, tatapanku nanar. Aku tak menangis, aku sudah pasrah melepaskannya pergi.
Yang tidak aku ikhlaskan adalah cara kematian papa yang menyedihkan.
Setelah berdoa dan menaburkan bunga, para pelayat pergi. Aku bergeming di samping nisan papa seraya termenung. Langit mendung, sama seperti hatiku yang kelam. Beberapa rintik hujan mulai terasa di kulit, aku tak peduli.
Setelah beberapa saat aku tertunduk, kutata sendu nisan papa, seolah aku tengah menatapnya. "Pa, kenapa Papa semudah itu hancur? Papa ... Papa mabuk dan sengaja menabrakkan diri karena ditinggal mama? Apa Papa tidak memikirkan aku? Aku ... aku sendirian sekarang, Pa."
Jemariku merem*s tanah yang ditaburi oleh bunga tujuh rupa. Marah bercampur sedih, lalu hati mulai terasa sesak. Aku menyadari bahwa kematian papa yang menyedihkan ini karena satu orang.
Daniel Adrian.
Aku teringat pada pertemuan papa dan Daniel pada setengah tahun yang lalu. Ekspresi kalut papa terlihat jelas meski sudah berusaha disembunyikan olehku.
Lalu, Esil pernah berkata padaku tentang Daniel bahwa: "Dia tampan, tapi sayangnya playboy. Aku juga dengar rumor tentang dia yang suka menghancurkan perusahaan-perusahaan kecil."
Dan ... salah satu perusahaan kecil itu adalah milik papa!
Tatapanku berubah penuh amarah, dan kepalan tanganku makin kuat. Perusahaan papa selama ini baik-baik saja, tapi Daniel menghancurkan perusahaan papa.
Itu memang baru dugaan. Tapi, aku mencoba mencari tahu lebih dalam setelah kondisiku mulai membaik. Banyak artikel yang memberitakan bahwa Daniel Adrian mengakuisi beberapa perusahaan.
Kemudian, aku menemukan forum yang terdiri dari pemilik perusahaan yang bangkrut. Cerita provokasi bahwa Daniel memang senang menghancurkan perusahaan-perusahaan kecil. Dan yang paling terbaru adalah tentang perusahaan papa.
Si pemilik akun memberikan opini bahwa Daniel Adrian memang sengaja menghancurkan PT SWG karena papa menolak kerjasama dengannya.
"Jahat!" umpatku, memukul meja di samping laptopku.
Mataku penuh dengan kemurkaan yang membara. Kebencian dan dend merasuki hatiku yang suci. Karena iblis itu aku jadi begini! Aku akan menuntut balas atas kematian kedua orangtuaku.
Mata diganti mata! Kematianlah yang pantas untuk pria itu.
Dimulailah rencana balas dendam itu. Aku mencari tahu tentang Daniel Adrian setelah sepulang mengajar. Dengan mengandalkan koneksi dari beberapa teman, aku bisa mendapatkan beberapa informasi tentangnya.
Rencana awalku adalah keluar dari pekerjaanku sebagai guru TK, lalu menjadi pelayan bar. Semua penampilanku; memakai gaun seksi, melepas kacamata bulat yang biasa kupakai, mewarnai rambut menjadi cokelat kemerahan dan memotongnya dengan gaya ala wanita nakal.
Kenapa aku malah memilih bekerja di bar? Karena menurut teman kuliahku, Choki sang bartender, Daniel adalah pelanggan tetap Angel's Night Club.
Choki memberitahukan jadwal kedatangannya, minuman kesukaannya, bahkan tipe wanita yang sering diajaknya minum bersama. Choki juga yang membantuku menyusup sebagai pelayan di bar. Selain itu, Choki bersedia memberi pengarahan sebagai pelayan selama dua minggu, hingga akhirnya aku siap menampilkan diri di depan Daniel.
Dan, hari inilah waktunya.
"Kamu yakin mau lakukan ini, Ran?" tanya Choki, beberapa meter sebelum kami tiba di depan pintu bar.
"Ssst! Jangan panggil nama asliku di sini," tegurku sambil celingak-celinguk. "Sekarang namaku Naomi. Kamu harus terbiasa sekarang!"
Choki menggangguk pasrah. Biasanya aku tak setegas ini. Karena dendam, aku keluar cangkang. Aku bukan lagi seorang putri lemah dan berhati lembut. Di dalam diriku penuh dengan dendam. Kematian tidak membuatku takut. Makanya, aku berani nekat melakukan ini.
"Tapi, Nom," kata Chok lagi, cemas. "Kalau kamu ketahuan, bisa gawat. Daniel punya pengawal sadis, kamu bisa aja di..."
"Dibunuh?" sambung Rana, Choki tak sanggup mengatakannya karena takut hal itu akan terjadi. "Aku tidak takut, Choki. Aku siap menanggung resikonya. Udah ah, kita masuk ke dalam. Nanti bos ngomel kalau kita sampai telat.
Sore hari bar sudah dibereskan. Sebelum berganti pakaian, aku mengendap ke dapur bersama dengan Choki. Pria itu memberikan gelas yang biasa dipakai oleh Daniel, lalu aku mengoleskan racun di sekitar gelas dengan racun yang tak dapat terdeteksi.
"Choki, maaf kalau aku melibatkanmu. Kalau rencana ini ketahuan, katakan saja bahwa aku yang menyuruhmu dengan ancaman," kataku sambil memberikan gelas itu pada Choki.
Pria itu menerimanya dengan tangan bergetar. Aku pergi setelahnya untuk mengganti pakaianku dengan tengtop hitam dan celana ketat yang memperlihatkan hampir semua pahaku.
Pukul 8 malam bar dibuka. Aku hanya melayani beberapa tamu sambil melirik ke arah arlojiku. Aku menunggu b*jingan itu. Sekitar pukul 11 malam, riuh terdengar di pintu masuk bar.
Kutinggalkan pria tua yang kutuangkan minumannya, mendekat ke arah keriuhan itu dengan rasa penasaran. Daniel Adrian datang! Dia membawa 3 pengawal berbadan besar yang mengekor di sampingnya.
Manager langsung menyambutnya dengan wajah penjilat seperti biasanya. "Selamat datang, Tuan Daniel. Sudah 2 minggu saya tidak melihat Anda."
Daniel mengabaikannya sambil memilih tempat duduk favoritnya. Para dayang di klub malam berjejer tanpa perintah, termasuk aku. Perempuan-perempuan itu memasang senyuman mereka, penuh harap dipilih oleh Daniel.
"Silakan Anda pilih wanita mana yang Anda suka untuk menemani Anda," kata sang manager bar, merentangkan tangannya ke arah perempuan-perempuan berbaju seksi sambil membungkuk sedikit.
Daniel menatap mereka dengan tidak minat. Ada apa ini? Apa harinya sedang buruk? Tapi, itu hanya sementara saja, karena senyuman m*sum pria itu terulas.
"Hmm ... aku baru melihatnya." Daniel menunjuk padaku, dan aku sontak terhenyak.
Pak manager sedikit bingung, tapi tetap memperkenalkanku pada Daniel. "Oh ... iya. Dia pelayan baru. Namanya..."
"Bawa dia ke sini!" tukas Daniel sambil mengibas-kibaskan tangannya.
Kesempatan pertama langsung dipilih? Ini kebetulan yang menguntungkan. Aku terkejut sekejab, lalu tersenyum. Namun, jangan salah menyangka. Senyumanku ini artinya senyuman jahat.
Malam ini, aku akan jadi pencabut nyawamu, Daniel.
Aku menghampirinya dengan rasa penuh percaya diri. Latihanku menggoda para tamu kugunakan saat ini juga. Senyuman sensual, dan gerakan genit kutunjukkan ke arahnya. Aku mengambil tempat duduk di sampingnya.
"Pelayan! Bawakan minuman untuk Tuan Daniel!" seru sang manager, tersenyum puas. Dipikirannya hanyalah uang. Ia berharap hari ini akan mengeruk uang banyak dari dompet Daniel.
Tapi, ada apa ini? Kenapa aku malah gugup? Padahal, aku sudah mempersiapkannya dengan percaya diri, tapi saat Daniel menatapku, rasa nyaman menyergapku. Aku hanya tersenyum tipis. Menjijikkan sekali melirik ke arah tatapan m*sum Daniel.
"Siapa namamu?" tanya Daniel, tangan kirinya mulai merangkul bahuku.
Oh, Tuhan! Ini menjijikkan. Aku menahan diri pada perasaan geli ini, dan berusaha tersenyum. "Naomi, Tuan."
"Oh." Daniel mengangguk dan tersenyum. Tapi, aku tidak mengerti apa arti senyum itu. Rasanya agak aneh.
Pelayan datang membawakan sebotol alkohol dan sebuah gelas, serta seember kecil batu es. Aku melirik gelas itu, tersenyum sinis.
Membunuh orang untuk pertama kalinya sangat mendebarkan dan gugup. Aku pun begitu. Tapi, aku tidak merasa bersalah meskipun membunuh perbuatan dosa. Biarlah aku menjadi pendosa demi menghukum iblis berwujud manusia itu.
Daniel meraih gelasnya, dan menyodorkannnya padaku. "Tuangkan untukku."
Bibirku kembali mengulas senyum menggoda. Kutuangkan perlahan alkohol itu dari botol ke dalam gelas yang sudah kuberi racun. Satu tenggakkan saja, nyawa Daniel langsung melayang!
Setelah gelas terisi, Daniel mengarahkan gelasnya ke bibirnya. Aku menunggu sambil harap-harap cemas. Dalam hati aku bergumam, "Matilah kau, Daniel! Cepat mati!"
Namun, Daniel tiba-tiba menjauhkan gelasnya. Aku tercengang. Ada apa ini? Apa rencanaku ketahuan.
"Minumlah!" Daniel menyodorkan gelasnya padaku.
Matilah aku!
"Tidak, Tuan. Minuman itu khusus untuk, Tuan," kataku kikuk, berusaha mencari alasan.
"Kenapa? Apa minuman ini beracun?"
Bukan hanya aku, orang-orang di sekitar sama terkejutnya. Sang manager mendekat, menyangkal tudingan Daniel. Dia bilang, mana mungkin mereka berani melakukan hal itu padanya.
"Kalau memang benar, coba suruh dia minum," kata Daniel pada manager, lalu mengalihkan tatapannya padaku sambil tersenyum misterius.
Fix, pria itu tahu bahwa gelas itu beracun! Senjata makan tuan namanya. Aku harus bagaimana sekarang? Apa mungkin lebih baik mati?
Aku bergeming membuat keputusan seraya melirik pada gelas yang Daniel sodorkan padaku. Aku menghela napas panjang. Inilah keputusanku.
Papa, mama, aku menyusul kalian.
Gelas itu kurenggut dari tangan Daniel, kuarahkan bibir gelas ke mulutku tanpa ragu. Aku akan mati di tangan Daniel tanpa membalas dendam. Tidak apa-apa. Setidaknya, aku sudah mencoba.
Aku memejamkan mata saat bibir gelas menyentuh ujung bibirku. Namun, tiba-tiba gelas itu direnggut oleh Daniel, dan melemparkannya asal sampai pecah. Tangannya yang lain dengan cepat memeluk pinggangku, menghela tubuhku mendekat padanya, lalu mencium Daniel mencium bibirku.
...***...
...Epilog...
Daniel Pov
Yang mereka tahu, aku pria jahat yang serakah.
"Tuan, ini semua tentang percakapan dan beberapa artikel tentang Anda di forum para pengusaha bangkrut," kata seorang pria paruh baya dan berkacamata. "Mereka menulis soal rumor PT SWG..."
"Luis." Aku memotong ucapannya, membuatnya terbungkam. "Biarkan saja apa yang mereka katakan. Ini tidak penting!"
Aku sudah biasa mendengar keluhan soal diriku, dan aku tidak peduli. Semua yang kulakukan demi kepuasanku. Mereka tidak tahu apa-apa cara bagaimana aku bisa mencapai ke tingkat tertinggi.
Berita tentang kematian Nyonya Darmaji sudah tersiar langsung ke telingaku lewat Luis. Menyedihkan.
Kupandangi jendela ruang kerjaku yang dialiri air hujan yang turun dengan derasnya sore ini. Suara pintu terbuka mengalihkan pandanganku, lalu muncul seorang tamu yang tak kuharapkan.
Dari wajahku yang datar dan dingin, aku menatap heran. Suami dari wanita yang baru saja meninggal datang dalam keadaan basah kuyup. Dia merangkak ke arahku, berlutut di bawah kakiku sambil memelas.
"Tuan, saya mohon. Lepaskanlah Rana. Biarkan dia menjalani kehidupannya sesuai dengan keinginannya."
Tuan Darmaji menangkupkan kedua tangannya, memohon seakan aku Tuhan yang bisa mengabulkan permintaan umatnya. Tapi, sepertinya pria itu tidak tahu aku.
"Tuan Darmaji," ucapku, perlahan aku mendekatkan wajah tanpa ekspresiku yang membuat semua orang bergidik setiap melihatnya. "Perjanjian tetap perjanjian."
Tak peduli seberapa pucatnya wajah pria itu, aku berteriak memanggil pengawal yang berada di luar. Tuan Darmaji memeluk kakiku, terus memohon dan berdalih bahwa dia sangat menyayangi putrinya. Dia tidak ingin hidupnya berantakan karena perjanjian yang telah disepakati.
Salah satu pengawalku masuk.
"Seret dia keluar!" perintahku, lalu berbalik dengan acuh tak acuh.
Pria berbadan kekar itu menyeretnya, sementara tuan Darmaji menjerit histeris merapalkan permintaannya padaku.
Aku jahat? Kejam? Nilai aku sesuka hati kalian!
Nama yang papa sebut sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Aku mengetahuinya dari seorang pria yang membantu papa sesaat terjadi kecelakaan.
Namun sayang, aku terlambat melihatnya untuk terakhir kali. Sebab saat aku sampai di rumah sakit, papa sudah meninggal.
Aku menangis sejadi-jadinya, sendirian di lorong rumah sakit. Orang-orang hanya menatapku, tak bisa melakukan apa pun, kecuali mengasihaniku.
Seorang perawat membawaku ruang mayat. Tubuh papa yang kaku sudah dibersihkan terbaring di ruangan ini. Kakiku melangkah pelan dengan ekspresi tertekan, air mata tergenang. Kutatap wajah papaku, mengulurkan tangan ke arah pipinya. Terasa dingin.
Papa memang sudah tiada.
Barulah tangisku pecah, menunduk dan berdiri di samping ranjang. Lalu, aku menjauh untuk menghindari air mataku jatuh di anggota tubuh papa.
Aku berjalan keluar, menangis sepuasnya. Sendirian.
Ya, sendiri.
Semenjak papa bangkrut, anggota keluarga seakan membuang kami. Tidak ada yang membantu keluargaku, padahal kami sering membantu mereka. Bahkan untuk datang ke pemakaman papa dan mama saja mereka tak sudi. Mereka menjauh dari kami.
Hanya orang-orang di sekitar yang peduli. Para tetangga, bapak dan ibu RT berada di sampingku yang sedang lemah ini. Mereka bahkan menyuruhku untuk tidak ikut mengantarkan jenazah papa ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Namun, aku tetap bersikeras ke sana meski aku sendiri tak yakin sanggup melihat papa dikuburkan. Saat peti papa diturunkan ke dalam tanah, tatapanku nanar. Aku tak menangis, aku sudah pasrah melepaskannya pergi.
Yang tidak aku ikhlaskan adalah cara kematian papa yang menyedihkan.
Setelah berdoa dan menaburkan bunga, para pelayat pergi. Aku bergeming di samping nisan papa seraya termenung. Langit mendung, sama seperti hatiku yang kelam. Beberapa rintik hujan mulai terasa di kulit, aku tak peduli.
Setelah beberapa saat aku tertunduk, kutata sendu nisan papa, seolah aku tengah menatapnya. "Pa, kenapa Papa semudah itu hancur? Papa ... Papa mabuk dan sengaja menabrakkan diri karena ditinggal mama? Apa Papa tidak memikirkan aku? Aku ... aku sendirian sekarang, Pa."
Jemariku merem*s tanah yang ditaburi oleh bunga tujuh rupa. Marah bercampur sedih, lalu hati mulai terasa sesak. Aku menyadari bahwa kematian papa yang menyedihkan ini karena satu orang.
Daniel Adrian.
Aku teringat pada pertemuan papa dan Daniel pada setengah tahun yang lalu. Ekspresi kalut papa terlihat jelas meski sudah berusaha disembunyikan olehku.
Lalu, Esil pernah berkata padaku tentang Daniel bahwa: "Dia tampan, tapi sayangnya playboy. Aku juga dengar rumor tentang dia yang suka menghancurkan perusahaan-perusahaan kecil."
Dan ... salah satu perusahaan kecil itu adalah milik papa!
Tatapanku berubah penuh amarah, dan kepalan tanganku makin kuat. Perusahaan papa selama ini baik-baik saja, tapi Daniel menghancurkan perusahaan papa.
Itu memang baru dugaan. Tapi, aku mencoba mencari tahu lebih dalam setelah kondisiku mulai membaik. Banyak artikel yang memberitakan bahwa Daniel Adrian mengakuisi beberapa perusahaan.
Kemudian, aku menemukan forum yang terdiri dari pemilik perusahaan yang bangkrut. Cerita provokasi bahwa Daniel memang senang menghancurkan perusahaan-perusahaan kecil. Dan yang paling terbaru adalah tentang perusahaan papa.
Si pemilik akun memberikan opini bahwa Daniel Adrian memang sengaja menghancurkan PT SWG karena papa menolak kerjasama dengannya.
"Jahat!" umpatku, memukul meja di samping laptopku.
Mataku penuh dengan kemurkaan yang membara. Kebencian dan dend merasuki hatiku yang suci. Karena iblis itu aku jadi begini! Aku akan menuntut balas atas kematian kedua orangtuaku.
Mata diganti mata! Kematianlah yang pantas untuk pria itu.
Dimulailah rencana balas dendam itu. Aku mencari tahu tentang Daniel Adrian setelah sepulang mengajar. Dengan mengandalkan koneksi dari beberapa teman, aku bisa mendapatkan beberapa informasi tentangnya.
Rencana awalku adalah keluar dari pekerjaanku sebagai guru TK, lalu menjadi pelayan bar. Semua penampilanku; memakai gaun seksi, melepas kacamata bulat yang biasa kupakai, mewarnai rambut menjadi cokelat kemerahan dan memotongnya dengan gaya ala wanita nakal.
Kenapa aku malah memilih bekerja di bar? Karena menurut teman kuliahku, Choki sang bartender, Daniel adalah pelanggan tetap Angel's Night Club.
Choki memberitahukan jadwal kedatangannya, minuman kesukaannya, bahkan tipe wanita yang sering diajaknya minum bersama. Choki juga yang membantuku menyusup sebagai pelayan di bar. Selain itu, Choki bersedia memberi pengarahan sebagai pelayan selama dua minggu, hingga akhirnya aku siap menampilkan diri di depan Daniel.
Dan, hari inilah waktunya.
"Kamu yakin mau lakukan ini, Ran?" tanya Choki, beberapa meter sebelum kami tiba di depan pintu bar.
"Ssst! Jangan panggil nama asliku di sini," tegurku sambil celingak-celinguk. "Sekarang namaku Naomi. Kamu harus terbiasa sekarang!"
Choki menggangguk pasrah. Biasanya aku tak setegas ini. Karena dendam, aku keluar cangkang. Aku bukan lagi seorang putri lemah dan berhati lembut. Di dalam diriku penuh dengan dendam. Kematian tidak membuatku takut. Makanya, aku berani nekat melakukan ini.
"Tapi, Nom," kata Chok lagi, cemas. "Kalau kamu ketahuan, bisa gawat. Daniel punya pengawal sadis, kamu bisa aja di..."
"Dibunuh?" sambung Rana, Choki tak sanggup mengatakannya karena takut hal itu akan terjadi. "Aku tidak takut, Choki. Aku siap menanggung resikonya. Udah ah, kita masuk ke dalam. Nanti bos ngomel kalau kita sampai telat.
Sore hari bar sudah dibereskan. Sebelum berganti pakaian, aku mengendap ke dapur bersama dengan Choki. Pria itu memberikan gelas yang biasa dipakai oleh Daniel, lalu aku mengoleskan racun di sekitar gelas dengan racun yang tak dapat terdeteksi.
"Choki, maaf kalau aku melibatkanmu. Kalau rencana ini ketahuan, katakan saja bahwa aku yang menyuruhmu dengan ancaman," kataku sambil memberikan gelas itu pada Choki.
Pria itu menerimanya dengan tangan bergetar. Aku pergi setelahnya untuk mengganti pakaianku dengan tengtop hitam dan celana ketat yang memperlihatkan hampir semua pahaku.
Pukul 8 malam bar dibuka. Aku hanya melayani beberapa tamu sambil melirik ke arah arlojiku. Aku menunggu b*jingan itu. Sekitar pukul 11 malam, riuh terdengar di pintu masuk bar.
Kutinggalkan pria tua yang kutuangkan minumannya, mendekat ke arah keriuhan itu dengan rasa penasaran. Daniel Adrian datang! Dia membawa 3 pengawal berbadan besar yang mengekor di sampingnya.
Manager langsung menyambutnya dengan wajah penjilat seperti biasanya. "Selamat datang, Tuan Daniel. Sudah 2 minggu saya tidak melihat Anda."
Daniel mengabaikannya sambil memilih tempat duduk favoritnya. Para dayang di klub malam berjejer tanpa perintah, termasuk aku. Perempuan-perempuan itu memasang senyuman mereka, penuh harap dipilih oleh Daniel.
"Silakan Anda pilih wanita mana yang Anda suka untuk menemani Anda," kata sang manager bar, merentangkan tangannya ke arah perempuan-perempuan berbaju seksi sambil membungkuk sedikit.
Daniel menatap mereka dengan tidak minat. Ada apa ini? Apa harinya sedang buruk? Tapi, itu hanya sementara saja, karena senyuman m*sum pria itu terulas.
"Hmm ... aku baru melihatnya." Daniel menunjuk padaku, dan aku sontak terhenyak.
Pak manager sedikit bingung, tapi tetap memperkenalkanku pada Daniel. "Oh ... iya. Dia pelayan baru. Namanya..."
"Bawa dia ke sini!" tukas Daniel sambil mengibas-kibaskan tangannya.
Kesempatan pertama langsung dipilih? Ini kebetulan yang menguntungkan. Aku terkejut sekejab, lalu tersenyum. Namun, jangan salah menyangka. Senyumanku ini artinya senyuman jahat.
Malam ini, aku akan jadi pencabut nyawamu, Daniel.
Aku menghampirinya dengan rasa penuh percaya diri. Latihanku menggoda para tamu kugunakan saat ini juga. Senyuman sensual, dan gerakan genit kutunjukkan ke arahnya. Aku mengambil tempat duduk di sampingnya.
"Pelayan! Bawakan minuman untuk Tuan Daniel!" seru sang manager, tersenyum puas. Dipikirannya hanyalah uang. Ia berharap hari ini akan mengeruk uang banyak dari dompet Daniel.
Tapi, ada apa ini? Kenapa aku malah gugup? Padahal, aku sudah mempersiapkannya dengan percaya diri, tapi saat Daniel menatapku, rasa nyaman menyergapku. Aku hanya tersenyum tipis. Menjijikkan sekali melirik ke arah tatapan m*sum Daniel.
"Siapa namamu?" tanya Daniel, tangan kirinya mulai merangkul bahuku.
Oh, Tuhan! Ini menjijikkan. Aku menahan diri pada perasaan geli ini, dan berusaha tersenyum. "Naomi, Tuan."
"Oh." Daniel mengangguk dan tersenyum. Tapi, aku tidak mengerti apa arti senyum itu. Rasanya agak aneh.
Pelayan datang membawakan sebotol alkohol dan sebuah gelas, serta seember kecil batu es. Aku melirik gelas itu, tersenyum sinis.
Membunuh orang untuk pertama kalinya sangat mendebarkan dan gugup. Aku pun begitu. Tapi, aku tidak merasa bersalah meskipun membunuh perbuatan dosa. Biarlah aku menjadi pendosa demi menghukum iblis berwujud manusia itu.
Daniel meraih gelasnya, dan menyodorkannnya padaku. "Tuangkan untukku."
Bibirku kembali mengulas senyum menggoda. Kutuangkan perlahan alkohol itu dari botol ke dalam gelas yang sudah kuberi racun. Satu tenggakkan saja, nyawa Daniel langsung melayang!
Setelah gelas terisi, Daniel mengarahkan gelasnya ke bibirnya. Aku menunggu sambil harap-harap cemas. Dalam hati aku bergumam, "Matilah kau, Daniel! Cepat mati!"
Namun, Daniel tiba-tiba menjauhkan gelasnya. Aku tercengang. Ada apa ini? Apa rencanaku ketahuan.
"Minumlah!" Daniel menyodorkan gelasnya padaku.
Matilah aku!
"Tidak, Tuan. Minuman itu khusus untuk, Tuan," kataku kikuk, berusaha mencari alasan.
"Kenapa? Apa minuman ini beracun?"
Bukan hanya aku, orang-orang di sekitar sama terkejutnya. Sang manager mendekat, menyangkal tudingan Daniel. Dia bilang, mana mungkin mereka berani melakukan hal itu padanya.
"Kalau memang benar, coba suruh dia minum," kata Daniel pada manager, lalu mengalihkan tatapannya padaku sambil tersenyum misterius.
Fix, pria itu tahu bahwa gelas itu beracun! Senjata makan tuan namanya. Aku harus bagaimana sekarang? Apa mungkin lebih baik mati?
Aku bergeming membuat keputusan seraya melirik pada gelas yang Daniel sodorkan padaku. Aku menghela napas panjang. Inilah keputusanku.
Papa, mama, aku menyusul kalian.
Gelas itu kurenggut dari tangan Daniel, kuarahkan bibir gelas ke mulutku tanpa ragu. Aku akan mati di tangan Daniel tanpa membalas dendam. Tidak apa-apa. Setidaknya, aku sudah mencoba.
Aku memejamkan mata saat bibir gelas menyentuh ujung bibirku. Namun, tiba-tiba gelas itu direnggut oleh Daniel, dan melemparkannya asal sampai pecah. Tangannya yang lain dengan cepat memeluk pinggangku, menghela tubuhku mendekat padanya, lalu mencium Daniel mencium bibirku.
...***...
...Epilog...
Daniel Pov
Yang mereka tahu, aku pria jahat yang serakah.
"Tuan, ini semua tentang percakapan dan beberapa artikel tentang Anda di forum para pengusaha bangkrut," kata seorang pria paruh baya dan berkacamata. "Mereka menulis soal rumor PT SWG..."
"Luis." Aku memotong ucapannya, membuatnya terbungkam. "Biarkan saja apa yang mereka katakan. Ini tidak penting!"
Aku sudah biasa mendengar keluhan soal diriku, dan aku tidak peduli. Semua yang kulakukan demi kepuasanku. Mereka tidak tahu apa-apa cara bagaimana aku bisa mencapai ke tingkat tertinggi.
Berita tentang kematian Nyonya Darmaji sudah tersiar langsung ke telingaku lewat Luis. Menyedihkan.
Kupandangi jendela ruang kerjaku yang dialiri air hujan yang turun dengan derasnya sore ini. Suara pintu terbuka mengalihkan pandanganku, lalu muncul seorang tamu yang tak kuharapkan.
Dari wajahku yang datar dan dingin, aku menatap heran. Suami dari wanita yang baru saja meninggal datang dalam keadaan basah kuyup. Dia merangkak ke arahku, berlutut di bawah kakiku sambil memelas.
"Tuan, saya mohon. Lepaskanlah Rana. Biarkan dia menjalani kehidupannya sesuai dengan keinginannya."
Tuan Darmaji menangkupkan kedua tangannya, memohon seakan aku Tuhan yang bisa mengabulkan permintaan umatnya. Tapi, sepertinya pria itu tidak tahu aku.
"Tuan Darmaji," ucapku, perlahan aku mendekatkan wajah tanpa ekspresiku yang membuat semua orang bergidik setiap melihatnya. "Perjanjian tetap perjanjian."
Tak peduli seberapa pucatnya wajah pria itu, aku berteriak memanggil pengawal yang berada di luar. Tuan Darmaji memeluk kakiku, terus memohon dan berdalih bahwa dia sangat menyayangi putrinya. Dia tidak ingin hidupnya berantakan karena perjanjian yang telah disepakati.
Salah satu pengawalku masuk.
"Seret dia keluar!" perintahku, lalu berbalik dengan acuh tak acuh.
Pria berbadan kekar itu menyeretnya, sementara tuan Darmaji menjerit histeris merapalkan permintaannya padaku.
Aku jahat? Kejam? Nilai aku sesuka hati kalian!
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved